Senin, 12 November 2012
Senin, 13 Agustus 2012
Selasa, 15 Mei 2012
STATE OF THE ART POSTMODERN THEORY Oleh: Henry Subiakto
PENGERTIAN DAN KLASIFIKASI
Sebelum mengungkap perkembangan teori sosial postmodern, pertama yang harus dilakukan
adalah membedakan terlebih dahulu antara istilah postmodernity, post modernism,
dan teori sosial post modern. Post modernity mengacu pada periode historis yang umumnya
dilihat sebagai sejarah baru menyusul era modern. Postmodernism mengacu pada produk kultural (di bidang kesenian,
film, arsitektur, dan sebagainya) yang berbeda dengan produk kultural modern.
Sedangkan teori sosial postmodern
mengacu pada cara berpikir yang berbeda dari teori sosial modern.1
Kalau menggunakan istilah
Richard Hernstein dan Chaerles Murray dalam buku The Bell Curve (1994), teori
postmodern pada
dasarnya mengkritisi ilmu pengetahuan modern yang dianggap tidak memadai
lagi. Teoritisi postmodern cenderung menolak perspektif teoritis modern, termasuk
grand narasi yang dianut sebagian besar ilmuwan sejak renaissance. Menurut teoritisi postmodern, dunia sekarang sudah
sedemikian berbeda, sehingga memerlukan cara berpikir yang sama sekali baru.
Rekha Mirchandani dalam
tulisannya di jurnal Sociological Theory,
Maret 2005, dengan judul Postmodernism
and Sosiology: From The Epistimological to the Empirical, mencoba mengklasifikasi
perkembangan postmodernisme ketika bertemu dengan sosiologi. Mirchandani
membaginya dalam dua fase.2 Pertama adalah fase atas cabaran kalangan
postmodernis pada epistimologi ilmu pengetahuan. Kemudian fase kedua adalah
perkembangan teori postmodernisme secara empiris. Pada fase pertama,
postmodernis sebagai gerakan epistimologi, ditandai dengan pemikiran para
teoritisi yang mengangkat persoalan, atau mengkritik ilmu pengetahuan modern yang
dibangun atas dasar asumsi-asumsi ilmu pengetahuan alam, dan asumsi adanya kebenaran
universal. Sedangkan fase kedua, perkembangan teori postmodernisme secara
empiris, adalah tahapan ketika beberapa teoritisi postmodernis berusaha
melakukan perubahan pemikiran, yaitu menginterogasi kembali keberadaan konsep-konsep
teori sosiologi yang klasik.3 Jadi untuk fase yang kedua ini, teori
postmodernis sudah masuk ke ranah pembongkaran konsep-konsep sosiologi, dan
berkait dengan persoalan-persoalan pada tataran empiris.
Tulisan ini akan menggunakan
konsepsi Mirchandani memilah atau melakukan klasifikasi atas dua perkembangan
tersebut, tetapi penulis tidak membaginya semata-mata hanya berdasarkan konsep
Mirchandani yang membagi perkembangan fase epistimologi ke empiris, tetapi juga
melengkapi dengan memperhitungkan pembagian perkembangan atau periodesasi para
teoretisi postmodernis berdasarkan sarjana lain, terutama George Ritzer baik
dalam buku The Postmodern Social Theory
(2003) maupun Ritzer bersama Goodman dalam Modern
Social Theory (2003). Karena itu dalam tulisan ini, pengelompokkannya sama
dengan Mirchandani, yaitu epistimologi dan empiris, tetapi ditambah dengan
kelompok ketiga, yaitu para filosof peletak dasar pemikiran kritis terhadap
ilmu pengetahuan, namun mereka tidak menyebut dirinya sebagai pemikir post modernis.
Jadi, dalam tulisan ini akan dikemukakan
tiga kelompok teoretisi postmodernis, yaitu teoritisi utama postmodern yang
pemikirannya mengkritik asumsi dasar ilmu pengetahuan atau epistimologi. Teoritisi
kedua, adalah para teoritisi lanjutan yang memperkaya postmodern, yang
mengembangkan postmodern secara empiris. Sedangkan kelompok teoritisi ketiga,
adalah para filosof awal yang pemikirannya mempengaruhi atau meletakkan dasar
pemikiran postmodernis, tetapi mereka tidak pernah dirinya mengklaim sebagai teoretisi
postmodern.
Yang masuk teoritisi
utama postmodern kelompok pertama, adalah
mereka yang dalam pemikirannya selain menentang narasi besar (epistimologi),
juga sudah menggunakan istilah postmodern
untuk menandai pemikirannya. Teoritisi tersebut antara lain Michel Foucault,
Jean Baudrillard, Jacques Lacan, Jaques Derrida, Jean Francois Lyotard, Frederick
Jameson, Richard Rorty dan Daniel Bell.
Teoritisi yang kedua adalah kelompok pemikir atau para
sarjana yang mengembangkan atau memperkaya kajian postmodern secara empiris. Mereka antara lain adalah Foster, Umberto
Eco, Gilles Lipovetsky, Featherstone,
Angela Mc Robbie, Cornel West, Mark Poster,
Henry Jenkins, Gayatri Spivak, dan sebagainya.
Teoritisi ketiga adalah mereka
yang sejak lama mengkritik atau kritis terhadap prinsip-prinsip ilmu pengetahuan
modern dan meletakkan dasar pemikiran postmodern, hingga mempengaruhi teoritisi
postmodernis berikutnya, tetapi mereka tidak pernah mengklaim dirinya sebagai
penganut postmodern. Mereka yang masuk
sebagai pelopor ini antara lain Friedrich Nietzsche, Sigmund Freud, Charles
Wright Mills, dan Thomas S. Kuhn.
PEMIKIR UTAMA POST MODERNIS
(EPISTIMOLOGY)
Michel Foucault (1926-1984)
Teoritisi yang masuk sebagai
pemikir Utama Postmodern adalah mereka yang dalam pemikirannya selain menentang
narasi besar, juga sudah menggunakan istilah post modern untuk menandai pemikirannya. Salah satu yang bisa
dikatagorikan itu adalah Michel
Foucault, teoritisi Perancis yang merupakan tokoh penting poststrukturalis sekaligus
juga postmodernis. Dalam buku The Order
of Things (1964-65), Foucault mengakui,
bahwa Nietzsce adalah pendiri filsafat skeptis yang unik, yang oleh masyarakat masa kini
disebut postmodernisme.4 Sementara dalam buku yang lain Discipline and Punish, The Birth of the Prison (1979), Foucault menganggap kekuasaan tidak hanya dimiliki
oleh Negara, beberapa kelompok memiliki jenis kekuasaan tertentu. Melalui
wacana (discourse) mereka mengontrol
pemikiran, keyakinan dan tindakan individu lain. Discourse ini menjadi key
word yang dibahas dan ditawarkan dalam pemikiran Foucault.
Menurutnya masyarakat menjadi
subyek-subyek yang diciptakan oleh sistem dan jaringan kekuasaan yang biasanya
tidak disadari sama sekali oleh sang subyek. Menurut Foucault, kekuasaan menciptakan
pengetahuan, pengetahuan dan kekuasaan saling mempengaruhi secara langsung satu
sama lain. Metafor utama Foucault adalah
bahwa masyarakat itu mirip “Panoptikon”,
suatu penjara dimana semua orang di dalamnya bisa diawasi terus menerus5.
Filsafat Foucault jelas tampak relevan bagi zaman informasi sekarang
ini, dimana pengetahuan dan kekuasaan kedua-duanya sama-sama belaka.
Dalam tema yang lebih spesifik
geneologi kekuasaan, Foucault mengupas bahwa kekuasaan dan ilmu pengetahuan
secara langsung berdampak pada yang lain. Tidak ada hubungan kekuasaan tanpa
pembentukan bidang ilmu pengetahuan, sebaliknya, pada saat yang sama, tidak ada
ilmu pengetahuan yang tidak
mengisyaratkan dan merupakan hubungan kekuasaan6.
Foucault, dalam Discipline and Punish,
The Birth of The Prison (1979), di
dalamnya membahas tentang wacana (discourse).
Wacana dapat dideteksi secara sistematis sebagai suatu ide, opini, konsep, dan
pandangan hidup, yang dibentuk dalam suatu konteks tertentu, sehingga
mempengaruhi cara berpikir dan bertindak tertentu. Wacana tertentu menghasilkan kebenaran dan
pengetahuan tertentu yang menimbulkan efek kuasa. Kekuasaan dalam pandangan
Foucoult disalurkan melalui hubungan sosial, dimana katagorisasi perilaku
sebagai baik atau buruk diproduksi, yang pada akhirnya dipakai sebagai
pengendali perilaku. Jadi khalayak ditundukkan bukan dengan cara kontrol yang
bersifat langsung dan fisik, tetapi dengan wacana dan mekanisme, berupa
prosedur, aturan, tatacara dan sebagainya.
Menurut Foucault masih dalam ”Discipline and Punish, The Birth of The
Prison (1979), kapitalisme mempunyai kecenderungan mengontrol negara tetapi
dengan cara yang halus, yaitu dengan cara mengontrol pengetahuan, wacana dan
membuat definisi apa-apa yang dianggap baik dan benar. Misalnya menggunakan
etika yang dianggap baik, sistem pemerintahan yang baik dan sebagainya. Mode
baru penahklukan ini adalah, orang ditetapkan sebagai objek pengetahuan, objek
wacana ilmiah. Pendirian kuncinya adalah ilmu pengetahuan manusia modern
mempunyai akarnya disini.7 Dalam
hal ini kapitalisme untuk kepentingan kapitalisme itu sendiri acapkali
menggunakan term demokrasi, seakan memenuhi kebutuhan untuk apa yang dianggap terbaik. Namun di lain
waktu kapitalisme bisa anti demokrasi,
sepanjang hal itu memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Bahkan menurut Foucault
yang demokrasi kapitalis pada kenyataannya totalitarian.
Selain The Order of Things, dan Discipline
and Punish (1979), Foucault juga terkenal sebagai penulis yang cukup
produktif, bukunya yang terkenal antara lain The Archaeology of Knowledge and the Discourse on Language (1969), The Birth of The Clinic (1975), dan Hystory
of Sexuality (1980) di samping
tulisannya di berbagai Jurnal. Untuk lebih memperdalam pemahaman tentang Michel Foucault dapat pula
diakses di internet yaitu di "http://en.wikipedia.org/wiki/Michel_Foucault".
Foucault bersama
Lyotard dan Baudrillard (kadang bersama Rorty dan Derrida) oleh Mirchandani
dikatagorikan sebagai pemikir epistimologi postmodern yang bertentangan, atau
berbeda dengan epistimologi modern8.
Prinsip-prinsip ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh Foucault, Lyotard, dan Baudrillard menentang narasi besar dan
skeptis terhadap ilmu pengetahuan modern. Foucault
mengadopsi pemikiran Nietzsche tentang adanya hubungan antara kekuasaan dan
pengetahuan. Tetapi menurut Mirchandani, pemikiran epistimologi posmodern
ketika dihadapkan dengan sosiologi, melakukan kritik khususnya dalam hal
membangun ilmu pengetahuan, yaitu sosiologi dianggap terikat dengan asumsi ilmu
alam. Epistimologi postmodern juga mengkritik representasi penggunaan bahasa
yang digunakan untuk menjelaskan ilmu pengetahuan, seakan bahasa itu bersifat
netral. Postmodern juga keberatan dengan asumsi adanya kebenaran universal.
Sedangkan kalangan sosiologi mengkritik pemikir epistimologi postmodern dianggap nihilisme, tidak memberikan solusi,
dan malah juga dikatakan tidak ada ide yang baru.9
Perlu diingat, bahwa konsep postmodern sebagian besar bukan produk para sosiolog,
(Lyotard, Derrida, Jameson bukan sosiolog), makanya menjadi menarik ketika dibahas pertemuannya
dengan para teoritisi sosiologi oleh Mircandani.
Jean Baudrillard (1929
- )
Teoritisi postmodern
lain dari Eropa yang juga terkenal adalah
Jean Baudrillard. Pemikir
kelahiran Reim, Perancis 29 Juli 1929 ini dikenal sebagai tokoh yang identik
dengan postmodernism dan post structuralism.10 Ia menuliskan karyanya paling awal pada
tahun 1960-an dengan berorientasi pada modernisme dan kritik terhadap Marxian. Hingga tahun 1980-an ia belum menggunakan
istilah post modernism. Baru pada
tahun 1983, Baudrillard dalam buku Simulation,
melukiskan secara tegas kehidupan post
modern ditandai dengan simulasi. Proses simulasi mengarah pada penciptaan simulacra atau reproduksi
objek dan atau peristiwa. Menurutnya terjadi kekaburan antara tanda dan
realitas, sehingga semakin sukar mengenali yang asli dengan yang tiruan. Baudrillard mencontohkan larutnya TV ke dalam
kehidupan, dan larutnya kehidupan ke dalam TV. Antara yang nyata dengan yang
tidak nyata bercampur aduk sulit dibedakan. Akhirnya simulasilah yang
mengambarkan sesuatu yang nyata, yang menjadi utama, dan berkuasa.
Baudrillard melukiskan
kehidupan postmodern ini dengan
istilah hiper reality, dimana media
berhenti menjadi cermin realitas, tetapi justru menjadi realitas itu sendiri.
Apa yang ada di media itulah yang diperlakukan sebagai realitas. Kebohongan dan
distorsi yang dijajakan media kepada khalayak adalah hiper-realitas. Awalan “hiper” berarti lebih nyata ketimbang
kenyataan. Baudrillard menggambarkan runtuhnya sekat antara kenyataan dengan
simulasi. Ini termasuk media dengan kehidupan sosial, sehingga baginya televisi
adalah dunia hiper realitas. Televisi mensimulasikan situasi kehidupan nyata, sangat kurang
merepresentasikan dunia ketimbang menjalankan dunianya sendiri.11 Apa yang nyata disubordinasikan dan akhirnya dilarutkan sama sekali. Kini semakin mustahil untuk membedakan
yang nyata dari yang sekadar tontonan. Dalam kehidupan nyata, kejadian-kejadian
nyata semakin mengambil ciri hiperriil. Warga negara modern tidak akan menjadi
masyarakat unggul, melainkan hanya menjadi konsumen media di dalam dunia
tanda-tanda yang tanpa penanda12.
Istilah simulacra dan hyper-reality
merupakan keyword dari pemikiran
Baudrillard dalam menggambarkan kehidupan postmodern
dengan peran media massanya. Pemikiran Baudrillard yang tajam itu kemudian dalam tradisi postmodern dikenal sebagai teoritisi radikal. Komentar-komentarnya
pada isu-isu internasional dinilai amat kritis, yang kadang bertentangan dengan
opini umum masyarakat Barat. Misalnya komenter Baudrillard mengenai Perang
Teluk, dan serangan Teroris pada 11 September 2001 di gedung WTC di New York,
menunjukkan kekritisannya. Untuk
kasus WTC di koran Perancis Le Monde
dia mengatakan;13
"That we have dreamed of this event,"
that everybody without exception has dreamt of it, because everybody must dream
of the destruction of any power hegemonic to that degree, — this is
unacceptable for Western moral conscience, but it is still a fact, and one
which is justly measured by the pathetic violence of all those discourses which
attempt to erase it. It is almost they who did it, but we who wanted it. If one
does not take that into account, the event lost all symbolic dimension to
become a pure accident, an act purely arbitrary, the murderous fantasy of a few
fanatics, who would need only to be suppressed. But we know very well that this
is not so. Thus all those delirious, counter-phobic exorcisms: because evil is
there, everywhere as an obscure object of desire. Without this deep complicity,
the event would not have had such repercussions, and without doubt, terrorists
know that in their symbolic strategy they can count on this unavowable complicity."
Selain Simulation,
Baudrillard juga menulis buku For Critique of the Political Economy of The
Sign (1981). Selain itu ia juga menulis buku yang berjudul America
(1988). Buku itu merupakan buah dari kunjungan dan pengamatan Baudrillard ke
negara Paman Sam itu. Dalam buku America, Baudrillard memandang
Amerika sebagai rumah masyarakat konsumen. Amerika adalah Hiperrealitas dan
Simulakrum yang sempurna. Sedangkan Eropa dianggap sebagai saksi mata suatu trend tetap bekenaan dengan model
Amerika. Bagi Baudrillard tidak ada masa lalu dan tidak ada kebenaran di
Amerika. Ia hidup dalam simulakra yang terus menerus, dalam tanda sekarang yang
tidak berkesudahan. Amerika adalah sebuah dunia citraan yang sederhana yang
kelihatannya diciptakan di layar pikiran. Dimana kehidupan adalah sinema. Yang
asli adalah sesuatu seperti Disneyland dan
televisi.
Menurut Baudrillard (sebagaimana dikutip oleh Umberto
Eco dan Huxtable), dikatakan bahwa yang
tidak riil (unriel), menjadi realitas …yang riil kini meniru imitasi. Misalnya,
Disney World jelas jelas simulasi dan tidak riil, telah menjadi model bukan
hanya untuk kota-kota selebrasi Disney, tetapi juga untuk banyak komunitas lain
di Amerika Serikat. Seaside, Florida,
Kentlands, Maryland,
adalah contoh komunitas populer yang mencoba menyamai kota kecil artificial (ersatz) Amerika yang dibuat oleh Disney World.14
Sebenarnya Baudrillard sangat dipengaruhi perpektif
Marxian yang menitik beratkan pada persoalan ekonomi. Hanya saja saat menulis The Mirror of Production (Baudrillard
1973/1975), Ia mencoba memutuskan hubungan yang radikal dengan Teori Marx dan
Marxian, dengan malah melakukan kritik terhadap Marx. Menurut Baudrillard Marx
dianggap justru menolong sistem kapitalis, membantu kelicikan para kapitalis. Marx melakukan kritik radikal tentang
ekonomi politik, tetapi masih dalam
bentuk ekonomi politik. Baudrillard akhirnya tidak mempercayai Marx, termasuk
konsep revolusi sosialnya. Popularitas pemikiran Baudrillard mengundang banyak
sarjana untuk menulis tentang dirinya. Tercatat nama-nama seperti Mike Gane,
Gary Genosko, Ben Agger, George Ritzer dan masih banyak yang lain.
Sebagian besar
tertarik dan terpengaruh pemikiran Baudrillard. Bahkan Mirchandani (2005)
memasukkan pemikiran Baudrillard sebagai teoritisi epistimologi postmodern
bersama Foucault dan Lyotard15. Tapi walau demikian ada pula yang
mengkritiknya. Karena Baudrillard menganggap kebenaran itu tidak ada, lalu
sebenarnya apa yang diperjuangkan oleh
Baudrillard? Bukankah berarti dia bukan teoritisi, sebab teoritisi senantiasa
mencoba mencari kebenaran, bukan sekadar bermain logika provokatif?.16 Demikian kritikan Mike Gane terhadap
Baudrillard dalam buku Baudrillard Live: Selected Interviews yang ditulis tahun
1993.
Demikian pula,
karena Baudrillard menolak yang nyata (the
real), menolak menggambarkan yang nyata atau merefleksikan yang nyata, maka
dianggap mengembangkan teori anti sosial. Oleh karenanya Douglas Kelner menganggap
kajian Baudrillard sebagai fiksi ilmiah, yang mengantisipasi masa depan dengan
membesar-mbesarkan kecenderungan hari ini, dan memperingatkan sejak pagi
mengenai apa yang bakal terjadi apabila kecenderungan hari ini berlanjut.17
Jacques Lacan
(1901-1999).
Teoritisi lain yang juga terkenal sebagai pemikir postmodernis
adalah Jacques Lacan. Ia merupakan
salah satu psikoanalisis Prancis yang memiliki kontribusi pemikiran pada murid
dan pengikutnya. Lacan
menganggap dirinya sebagai seorang psikoanalisis struktural, tapi dalam banyak
hal ide-idenya justru mengawali berakhirnya strukturalisme dan munculnya
post-strukturalisme, juga post modernis. Pemikiran
Lacan ditulis dalam buku Ecrits: A
Selection (1966/1977), Feminine
Sexuality (1966/1977), The Four
Fundamental Concept of Psycho-analysis (1973/1977) dan The Ethics of Psychoanalysis (1982/1992).
Sebagaimana diketahui salah satu prinsip utama
strukturalisme adalah kematian subyek, tapi bagi Lacan sebagai seorang
psikoanalisis hal demikian tidak mudah diterima. Lacan menerima keyakinan strukturalis bahwa
makna kata ditentukan oleh perbedaan kata, dalam batas tertentu subyek juga
merupakan produk dari struktur tertentu. Menurutnya subyektivitas manusia tidak
abadi dan natural, bahkan tidak dikonstruksi secara sosial. Lacan seringkali
mengklaim bahwa ide-idenya adalah kembali pada Sigmund Freud. Pendekatan
Lacanian telah memperkenalkan kembali persoalan dan konsep bahwa ilmu sosial
secara keliru telah termarginalkan oleh pembentukan subyektivitas diri,
pentingnya identifikasi yang imajiner.
Teori-teori Lacan melukiskan
tantangan bagi sosiologi modern yang berdasarkan pada ide agen-agen rasional.
Interpretasi strukturalis Freud awalnya mengandung konsep subyek postmodern dan penjelasan kekuasaan
sosial dan ilmu pengetahuan postmodern.
Lacan memberikan catatan, bahwa alam dikonstruksi seperti sebuah bahasa. Meskipun
psikoanalisis mengistimewakan biologi, namun Lacan menjelaskan bahwa bahasa dan
budaya merupakan pusat alam bawah sadar. Individu merupakan sesuatu yang
dibentuk dalam bahasa, lebih jauh bahasa merupakan pusat pembahasan
psikoanalisis. Bagi Lacan bahasa selalu beroperasi dalam dua arena. Tugas
psikoanalisis adalah menyelidiki penyebab komunikasi yang tidak sempurna dan
itulah alam bawah sadar, itulah bahasa, yang menyebabkan kecacatan dalam
komunikasi interpersonal. Dengan kekacauan ini regularitas bahasa bisa
dipelajari dan diterapi.
Tiga konsep inti pemikiran
Lacan adalah, yang imajiner, yang simbolik dan yang nyata. Tiga hal inilah key word pemikiran Jacques Lacan. Bagi
Lacan, psikoanalisis sangat dikaitkan dengan ide-ide Saussure tentang bahasa.
Yang imajiner (the imaginary) adalah
tatanan ketika individu memahami dirinya sendiri sebagai hal menyeluruh dan
subyek yang lengkap. Merupakan suatu ranah ketika ego rasional berkembang melalui suatu indentifikasi dengan
keseluruhan citraan hingga individu memahami dirinya sendiri. Namun menurut
Lacan citraan itu adalah ilusi dan kepalsuan yang salah.
Sedangkan yang simbolik adalah
struktur supra personal dari determinasi sosial yang sudah ada sebelumnya. Ia
adalah ruang budaya dan bahasa. Kita lahir di dalamnya, dan ia memberikan kita
nama, dan menceritakan apa ras, kelas, jenis kelamin, dan katagori sosial yang
lain. Pada yang imaginer, ego-ego didefinisikan melalui identifikasi mereka.
Pada yang simbolik subjek didefinisikan melalui individualitasnya, perbedaan
mereka dari yang lain (the other).
Yang lain adalah tatanan simbolik yang berada di luar kita dan mendahului kita
dan bahkan menggambarkan satu-satunya tempat di mana subjek muncul.18 Jadi ada dua kecenderungan yang
melewati ranah makna. Salah satunya, yang imaginer selalu cenderung membakukan
yang simbolik ke dalam struktur makna yang stabil. Di sisi lain yang simbolik
cenderung mengeluarkan yang imaginer dan membubarkannya ke dalam permainan yang
berbeda tanpa makna.19 Tiada
satupun yang benar-benar muncul karena ada tatanan yang ketiga, yang disebut
Lacan (1986/1992) dengan yang nyata (the
real). Yang nyata membangun yang simbolik dan yang imajiner. Ia memaksa
yang imaginer mencari ekspresi yang mustahil dalam yang simbolik, dan ia memaksa
yang simbolik menggunakan yang imaginer sebagai intinya dan secara intrinsik
mengkonstruksi elemen yang tidak berarti itu di sekitar identifikasi yang imajiner.
20
Dalam anjurannya untuk kembali
kepada Feud, Lacan menyatakan bahwa perbedaan antara yang simbolik, sebagai
tatanan bahasa, dan yang imajiner sebagai sesuatu yang dicitrakan oleh hubungan
interpersonal ganda, telah terdapat dalam pemikiran Freud secara implisit. Analisis pasca Freudian justru memusatkan
perhatian pada yang imajiner. Akibatnya praktik psikoanalisis gagal memahami
prinsip-prinsip dasar psikoanalisis, yang terletak pada yang simbolik. Ini
menurut Lacan menyebabkan psikoanalisis di dalam praktiknya, mustahil bisa
membedakan antara yang esensial dengan ciri-ciri bersifat kontingen, sehingga
yang terjadi adalah konservatisme yang menghalangi inovasi, serta ritualistik
teknik yang dipahami secara keliru oleh para praktisinya.21
Dikemukakannya segi yang
simbolik itu, memungkinkan Lacan membedakan antara ego yang diciptakan oleh
serangkaian identifikasi imajiner, dan subjek yang dipandang merupakan hasil dari
efek bahasa terhadap manusia. Bahasa menjadikan manusia tahkluk pada penanda,
dan ini merupakan bukti jelas betapa bahasa memfragmentasikan tubuh berdasarkan
divisi-divisinya sendiri. Kehendak Freudian, subyek bukanlah suatu kekuatan
berdasarkan instink tetapi memiliki tatanan logis, dan tak ada komponen
biologis tertentu yang menjadi faktor di dalamnya.22
Ide-ide Lacan berpengaruh
besar dalam beberapa bidang kajian, termasuk sosiologi. Banyak muridnya seperti
Yulia Kristeva, Irigay, dan Cixous sangat dipengaruhi oleh ide-ide Lacanian. Untuk
memahami pemikiran Lacan selain membaca buku-bukunya, juga bisa dibaca tulisan
tentang Lacan dari para teoritisi sosial seperti Mark Bracher (1997), Lacan Discourse and Social Change:
Psychoanalitic Cultural Critism. Atau juga Russell Grigg, dalam buku Social Theory: A Guide to Central Thinkers, dengan editor Peter Beilharz (1999) yang
sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Jacques Derrida (1930-2004).
Teoritisi post-strukturalis
lain yang sangat terkenal dan juga masuk
dalam pemikir postmodern adalah Jacques Derrida. Ia adalah salah satu murid Foucault, tak jauh beda dengan gurunya
yang ingin menulis sebuah sejarah kegilaan dengan pembahasan bahasa kewarasan (reason). Kalau
strukturalisme semiotika menganggap individu dikendalikan oleh struktur bahasa, maka dekonstruksi Derida
menurunkan peran bahasa hanya sekedar ”tulisan” semata, yang tidak memaksa
penggunanya. Bahkan institusi
sosial-pun menurut Derida tak lebih hanya sebagai “teks” dan karena itu tak
mampu memaksa orang. Disitulah Derrida melakukan dekonstruksi terhadap bahasa
dan institusi sosial yang kesemuanya hanya diperlakukan sebagai teks. Istilah
dekonstruksi (deconstruction) menjadi
key word pemikiran dari Derrida, yang
memperlakukan semua realitas sosial sebagai teks.
Menurut makna, kata
mendekonstruksi berarti membongkar bagian-bagian dari suatu keseluruhan.
Diskursus yang dominan di Perancis saat itu adalah strukturalisme, yang
memperoleh sumber dari lingguistik, maka dengan memberi tekanan pada
dekonstruksi memungkinkan Derrida terlibat dalam dialog dengan strukturalisme.
Sekaligus tetap memisahkan diri darinya. 23
Derrida melihat bahasa tidak
teratur dan tidak stabil. Konteks yang berlainan memberikan kata-kata dengan
arti yang berlainan pula. Akibatnya sistem bahasa tak memiliki kekuatan memaksa
terhadap orang. Sasaran kritik yang
dibongkar Derrida adalah paham logosentrisme yang telah mendominasi pemikiran
Barat, yaitu pencarian sistem berpikir universal yang mengungkap apa yang
benar, tepat, indah dan seterusnya. Menurut Derrida logosentrisme telah menutup
ilmu pengetahuan manusia dan memberangus sejarah sejak era tulisan Plato. Derrida mengkritik masyarakat
pada umumnya yang diperbudak oleh logosentrisme. Sebagaimana ia ingin
membebaskan teater dari kediktatoran penulis skenario, ia ingin melihat
masyarakat terbebas dari gagasan semua penguasa intelektual yang telah
menciptakan pemikiran dominan. Dengan
kata lain Derrida ingin melihat kita semua sebagai penulis yang merdeka. Ia
menyimpulkan bahwa masa depan tak perlu ditunggu atau ditemukan kembali.
Maksudnya kita tak akan menemukan masa depan di masa lalu, dan kita tak boleh
berdiam pasif, menunggu nasib kita. Masa depan harus ditemukan, diciptakan,
ditulis dalam apa yang kita kerjakan sekarang ini.
Dengan menghilangkan prasangka
logosentrisme Barat dan otoritas intelektualnya, Derrida meninggalkan kita
tanpa jawaban. Penyelidikan terhadap jawaban terhadap logis telah menjadi
destruktif dan memperbudak. Menurut Derrida kita tetap dalam proses pembuatan,
tetap dengan permainan dan dengan perbedaan. 24
Derrida bersama Rorty oleh
Mirchandani dimasukkan sebagai teoritisi postmodernis yang pemikirannya
termasuk bersifat epistimologis25,
tetapi bukan yang utama (yang utama adalah Foucault, Baudrillard dan Lyotard).
Dia dianggap ”masuk” dalam epistimologi postmodern karena pemikiran-pemikiran
Derrida mencabar strukturalisme, anti logosentrisme Barat dan membongkar
idiologi palussentrisme.
Pemikiran Derrida bisa diikuti
dalam tulisan-tulisan yang cukup banyak karena termasuk pemikir yang produktif.
Bukunya antara lain
Speech and Phenomena: And Other Essays on Hursel’s Theory of Sign
(1973). Juga Of Gramatology (1976), writing and Differenece
(1978), Dissemination (1981), Positions (1981), Margin of Philosophy (1982),
The Ear of The Other (1985) dan masih banyak tulisan lainnya mengenai
Derrida yang bisa diakses melalui internet.
Jean Francois Lyotard (
1928-1998).
Selain tokoh-tokoh yang sudah diaungkapkan di muka, ada
salah satu pemikir post-modern yang lain yang tak kalah
pentingnya, yaitu Jean Francois Lyotard. Teori postmodern semakin jelas setelah Lyotard tahun 1979 menulis dalam
bahasa Inggris dengan judul The Postmodern
Condition. Sebagaimana tokoh-tokoh lain postmodern, Lyotard juga menolak
gagasan tentang narasi besar atau metanarative, makanya oleh Mirchandani
ia juga dimasukkan sebagai pemikir epistimologi postmodernis. Sejak awal Lyotard menganggap dirinya sebagai
postmodernis, makanya seperti yang dilakukan Foucault, Lyotard juga mengutib Nietzsche,
dalam bukunya The Grey Science
(1882), yang menganggap narasi besar
peradaban Barat telah ambruk saat itu.
Sependapat dengan filsafat pesimistis Frederich Nietzsche,
menurut Lyotard dasar-dasar esensialis dari semua grand narrative tidak bisa
dipercaya lagi. Secara umum
semua narasi adalah permainan bahasa belaka. Postmodern menurutnya adalah upaya
memerangi totalitas, dan menghidupkan perbedaan. Postmodern menjadi wadah pertemuan berbagai perspektif
teoretis yang berbeda-beda.26 Ilmu
pengetahuan postmodern bukanlah
semata-mata menjadi alat penguasa, tetapi memperhalus kepekaan kita terhadap
pandangan yang berbeda dan memperkuat kemampuan kita untuk bertoleransi.
Inti pandangan Lyotard perihal
postmodernism dikarakterisasikan
dengan keunggulan narasi besar. Namun, kebanyakan proyek dari narasi besar
gagal. Dia mencontohkan Nasionalisme Nazi dan Komunisme yang telah runtuh,
Lyotard merasa kini saatnya menciptakan ”perang atas perspektif totalistik
semacam itu. Penjelasan pemahaman Lyotard tentang narasi besar berdasarkan
idenya mengenai hubungan antara narasi dan sains, tetapi keduanya dianggap
seperti aliran Wittgenstein sebagai ”permainan bahasa”. Hubungan sosial
dipahami seperti permainan yang memerlukan bahasa untuk bisa ambil bagian. ”Permainan bahasa adalah relasi minimum yang
diperlukan bagi keberadaan masyarakat”27.
Narasi dan sains adalah bentuk ilmu
pengetahuan. Ilmu pengetahuan secara luas didefinisikan untuk memasukkan
pernyataan-pernyataan denotatif seperti know
how, knowing how to live, how to listen, dan lain-lain. Melalui narasi
aturan aturan pragmatis yang merupakan ikatan yang menjaga kebersamaan
masyarakat disebarkan. Ikatan tersebut diciptakan tidak hanya oleh makna narasi
tetapi juga dengan aksi pendeklamasian mereka. Legitimasi atas narasi semacam
itu bukan berasal dari sumber eksternal, tetapi berasal dari kenyataan
sederhana bahwa mereka melakukan apa yang mesti dilakukan28.
Sains sebaliknya hanya
menerima pernyataan-pernyataan
denotatif. Dalam arti kata, ia hanya ”nilai kebenaran” yang menentukan acceptability pernyataan-pernyataan
sains. Tidak sama dengan narasi, sains bukan sebuah arah dan komponen bagian
ikatan sosial. Bahkan ada perbedaan di sana-sini antara narasi dan sains, tidak
bisa dipungkiri, bahwa keduanya adalah permainan bahasa, dan salah satunya
memerlukan yang lain.
Meskipun narasi besar
menimbulkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki, Lyotard tidak memandang hal itu sesuatu yang
jelek. Dengan kemunduran (the decline)
narasi besar, legitimasi menjadi plural, lokal dan imanen akan selalu menjadi
diskursus legitimasi. Lyotard berharap peran bagi sains postmodern tidak hanya memfokuskan pada performitifitas
determinisme. Melainkan melakukan apa
yang disebut paralogy, atau meneliti
dan menciptakan counterexamples,
dalam arti lain, menciptakan sesuatu yang tidak dapat dipahami (unintellegible), mendukung suatu argumen
berarti mencari sebuah paradoks dan melegitimasinya dengan aturan baru menurut
permainan nalar (the games of reasoning)
29
Paralogy dan counterexamples merupakan key
word yang ditawarkan oleh Lyotard, yaitu Ilmu pengetahuan postmodern tidak menjadi alat penguasa,
tetapi memperhalus kepekaan kita terhadap pandangan yang berbeda dan memperkuat
kemampuan kita untuk bertoleransi di dalam kehidupan yang makin multikultur.
Fredric Jameson (1934- )
Kalau sebagian besar teoritisi
postmodern berasal dari Eropa (terutama Perancis), maka ada beberapa pemikir postmodern yang berasal dari Amerika
Serikat, salah satunya adalah Fredric
Jameson. Dia adalah teoritisi
kelahiran Cleveland, Ohio, dan menyelesaikan program master dan doktornya di
Yale University, artinya dia benar-benar murni lahir dan dididik di Amerika
Serikat. Tahun 1984 Jameson menulis Postmodernism, or the Cultural Logic of Late
Capitalism dalam Jurnal New Left Review 146 (July Aug 1984).30
Judul ini jelas menunjukkan pendirian Marxian dari pemikiran Jameson. Menurutnya, kapitalisme yang kini dalam fase “lanjutan” masih terus
menjadi gambaran dominan dalam kehidupan sekarang, tetapi telah menimbulkan
logika kultural baru yaitu postmodernism.
Ia istilahkan dalam sub judul makalahnya dengan Postmodernism as Cultural Dominant.
Jameson menolak klaim yang dibuat kebanyakan pemikir
postmodern (misalnya Lyotard dan Baudrillard) yang menyatakan teori Marxian
adalah narasi besar par-exellence dan karena itu tak mempunyai tempat di dalam
atau tak relevan dengan post-modernitas. Jameson ingin menyelamatkan teori
Marxian, sekaligus berusaha menunjukkan, teori Marx menawarkan penjelasan
teoretis terbaik tentang postmodernism. Menurut Jameson, perubahan struktur ekonomi telah tercermin dalam perubahan
kultural. Ia menghubungkan kultur realis dengan
kapitalisme pasar, kultur modernis dengan kapitalisme monopoli, dan kultur postmodernis
dengan kapitalisme multinasional. Singkatnya, Jameson menyajikan suatu citra postmodernity di mana manusia
terkatung-katung dan tak mampu memahami sistem kapitalis multinasional.
Pada waktu yang sama tahun 1983, dalam sebuah seminar di
Inggris saat itu, ilmuwan Jerman Juergen Habermas mempertahankan pendapatnya tentang
uncomplete project of modernity. Melalui
makalah yang berjudul Modernity versus
posmodenity, and Neo-conservative culture critism, Habermas menganggap postmodernism tak lain merupakan proyek modernisme yang belum
selesai (Asley 1990 dalam Crook 2001, 309). Penilaian Habermas semacam itu amat logis, mengingat dia pada dasarnya masuk dalam teoritisi
modernisme, karenanya menurut Habermas postmodern masih merupakan proyek modernisme juga, yaitu
proyek modernisme yang belum selesai.
Kembali
kepada Fredric Jameson, teoritisi postmodernis dari Amerika ini tidak hanya
menyelamatkan teori Marxis tapi juga berusaha keras menunjukkan dan menawarkan
penjelasan teoritis mengenai postmodernism.
Menurutnya, kerangka kerja Marxis masih sangat diperlukan untuk memahami
kandungan historis yang baru, yang menuntut bukan sebuah modifikasi atas
kerangka kerja Marxis, namun sebuah perluasan atas teori tersebut.31
Menariknya,
meskipun Jameson secara umum dipuji untuk wawasannya dalam kebudayaan
postmodernisme, dia sering dikritik, khususnya justru oleh kaum Marxis, karena
dianggap menawarkan analisis yang tidak mencukupi tentang dasar ekonomi dari dunia
baru sekarang ini. Pada kenyataannya Fredric Jameson memang menghabiskan
waktunya yang sangat sedikit dalam menganalisis dasar ekonomi tersebut, dan
lebih mencurahkan perhatiannya pada logika budaya. 32
Jameson
menggunakan pemikiran Mandel (1975) atas tiga tahapan dalam sejarah
kapitalisme. Tahap pertama, dianalisis oleh Marx, adalah kapitalisme pasar dan
kemunculan pasar nasional yang disatukan. Tahap kedua dianalisis oleh Lenin,
adalah fase imperialis, dengan kemunculan jaringan kapitalisme global. Tahap
ketiga dilabeli oleh Ernest Mandel (yang diikuti oleh Jameson) sebagai
kapitalisme akhir (late capitalism),
melibatkan ”perluasan yang besar atas modal ke dalam wilayah-wilayah yang belum
dikomodifikasikan sampai sekarang ini”.33
Istilah late capitalism menjadi key
word bagi Jameson dalam mengungkapkan pemikirannya mengenai postmodernis.
Bagi Jameson, kunci
kapitalisme akhir adalah karakter multinasionalnya, dan kenyataan bahwa ia telah terus meningkatkan komodifikasi.
Termasuk di dalamnya komodifikasi kebudayaan, bisnis trans-nasional, pembagian
kerja internasional baru, produksi yang berpindah ke wilayah-wilayah dunia
ketiga, pertumbuhan dalam perbankan dan bursa saham, dan jenis baru
inter-relasi dalam media, komputerisasi dan otomatisasi.
Jameson
juga mengaitkan proses perkembangan ini dengan perubahan dalam tanda-tanda.
Dalam tahap awal kapitalisme, tanda-tanda hadir dan memiliki hubungan yang
tidak jelas dengan yang diwakili. Kemudian di era modernisme, tanda-tanda dipisahkan
dari yang mereka wakili (kendati tidak lengkap menghapus dunia objektif yang
diwakili). Kemudian hadirlah tahap berikutnya yaitu postmodernisme, yang
dikarakterkan dengan ”pembalikan” dari kuantitas ke kualitas, sebuah reifikasi
mempenetrasi tanda-tanda itu sendiri dan melepaskan petanda dari penanda. Pada
masa postmodernis referensi dan kenyatn hilang secara bersamaan, dan bahkan
makna petanda dipermasalahkan. Kita ditinggalkan dengan permainan
penanda-penanda yang murni dan acak. Peranan murni dari penanda merupakan kepentingan
yang sentral bagi Jameson, sebagaimana bagi Baudrillard yang amat mempengaruhi
pemikiran Jameson. Pada kapitalisme akhirlah, meluasnya komodifikasi ke seluruh
ranah kehidupan sosial dan pribadi, yang mentransformasikan yang nyata menjadi
citra dan simulacrum.34
Secara
lebih umum, menurut Jameson, perubahan-perubahan dalam struktur ekonomi telah
tercermin dalam perubahan budaya. Jadi ia mengasosiasikan kebudayan realis
dengan kapitalisme pasar, kebudayaan modernis dengan model monopoli, dan
kebudayaan postmodernis dengan kapitalisme multinasional. Hal demikian, seperti
versi baru dari argumentasi Marx mengenai superstruktur dasar (base-superstruktur), dan banyak
memunculkan kecaman karena Jameson mengambil posisi yang deterministik semacam
ini. 35
Produk-produk
teknologi informasi (seperti video, kartun, termasuk komputer) bagi Jameson dapat dilihat sebagai teks. Dan teks tersebut menggantikan karya seni,
master piece seniman, dan lain-lain.
Dengan datangnya teks tidak lagi ada aturan, tidak ada lagi mahakarya, atau karya agung. Sebagai gantinya, segala
yang kita tinggalkan adalah teks. Yang berbeda dengan karya-karya seni, teks tidak memiliki makna yang
mendalam. Mencoba untuk
menemukan makna-makna, untuk memberi tema pada teks, untuk menafsir mereka,
hanya mengganggu arus esensial bagi produk itu sendiri.
Apa
yang dilakukan Jameson dalam postmodern menurut Mirchandani (2005) lebih
bersifat empiris dibandingkan epistimologi. Jameson bukan pemikir yang
mempersoalkan dasar-dasar ilmu pengetahuan, tetapi dia dianggap lebih banyak beroperasi
pada fase untuk melakukan perubahan pemikiran, yaitu menginterogasi kembali
keberadaan konsep-konsep teori sosiologi yang klasik.36 Dalam hal ini Jameson membela teori
Marx.
Richard Rorty (1931 - )
Pemikir postmodern dari
Amerika Serikat selain Fredric Jameson
adalah Richard Rorty. Teoritisi ini dikenal sebagai filosof postmodernis Amerika
Serikat terkemuka. Ia lahir di New York City, 4 Oktober 1931, dia memperoleh
gelar Master dari University of Chicacgo, dan doktor di Yale University,
sekolah yang sama dengan Jameson. Rorty sepakat dengan kritik Nietzschean
terhadap konsep-konsep metafisik seperti ”kebenaran”, identitas dan
pengetahuan. Rorty tidak setuju dengan gagasan bahwa
ilmu pengetahuan sebagai representasi yang akurat, karenanya teori representasi
umum menurutnya perlu ditinggalkan, karenanya ia mengajukan dekonstruksi teori
representasi, khususnya dalam hal citra hakekat cermin. Itulah yang dia tulis dalam Philosophy
and the Mirror of Nature (1979).
Dapat disimpulkan, menurut Rorty tidak ada epistimologi
universal yang mungkin ada karena semua klaim kebenaran dibentuk di dalam
diskursus. Tidak ada akses kepada kepada dunia objek independen yang bebas dari
bahasa dan tidak ada sudut pandang yang digunakan untuk menilai klaim secara
netral. Tidak ada landasan filosofis unversal bagi pemikiran atau tindakan
manusia. Seluruh kebenaran terikat pada budaya. Konsep kebenaran tidak memiliki
daya eksplanatoris, hanya sebagai suatu tingkat persetujuan sosial dari suatu
tradisi budaya. Rorty merekomendasikan agar kita mencampakkan epistimologi,
mengakui kebenaran sebagai bentuk dari penghargaan sosial. 36
Bagi Rorty, manusia menggunakan bahasa untuk
menordinasikan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan. Disini rorty
menciptakan pandangan Witthenstenian, bahwa bahasa adalah alaty yang digunakan
oleh organisme manusia, dan pemisahan tanda dan bunyi yang diciptakan dengan
yang kita buat akan terbukti menjadi taktik yang bermanfaat untuk memprediksi
dan mengontrol perilakunya di masa datang. Dalam pandangannya, hubungan antara
bahasa dengan seluruh jagad raya materi, merupakan hubungan kausalitas, dan
bukan representasi atau ekspresi yang memadai. Rorty menurut Mirchandani masuk
dalam katagori pemikir epistimologi postmidern.
Daniel Bell
(1919- )
Selain Jameson, dan Rorty, filosof postmodern dari
Amerika yang lainnya adalah Daniel Bell,
profesor emiritus dari Harvard
University. Bell lahir 10 mei 1919 dan
menjadi sosiolog setelah memperolah doktor di American Academic of Art and
Science. Awalnya dia mengajar di Columbia Unversity, namun kemudian ia pindah
ke Harvard sampai pensiun. Bell
terkenal dalam bahasannya pada masyarakat post-industri. Ia berupaya
mempersembahkan narasi untuk pembangunan, khususnya di Amerika Serikat, Jepang,
Eropa Barat, bahkan (dulunya) Uni Soviet.
Bell membagi perubahan sosial
dari praindustri, industrial, dan postindustri. Ada
tiga jenis pemisahan dalam tiga jenis masyarakat ini. Sebagai contoh, dalam
hubungannya dengan pekerjaan, masyarakat praindustrial didominasi oleh para
petani, penambang, nelayan, dan para pekerja tanpa keahlian. Masyarakat industri didominasi oleh para
pekerja dan ahli mesin berkeahlian minim. Sedang masyarakat postindustri
didominasi para ilmuwan teknis dan profesional.
Dalam desain argumentasinya,
masyarakat praindustrial diwarnai dengan ”permainan melawan alam”. Artinya
orang-orang menyerap sesuatu dari alam, dalam bidang pertambangan, perikanan,
kehutanan, dan pertanian. Masyarakat industrial memusatkan perhatiannya pada
”permainan melawan alam yang diolah di pabrik”. Yaitu masyarakat yang
didominasi oleh mesin, dan membutuhkan koordinasi, jadwal, dan program yang
mengatur segala sesuatu ke tingkat yang tinggi. Sedangkan masyarakat postindustri
didominasi oleh pelayanan-pelayanan,
fokusnya adalah ”permainan antara person-ke person”, sebuah permainan
yang sangat memanfaatkan perbedaan dalam pengetahuan. Yang dihargai bukanlah
kekuatan otot semata, atau tenaga, namun informasi.37
Pemikiran Bell nampaknya juga lebih
berorientasi pada persoalan empiris. Menggunakan konsepsi Mirchandani Bell
lebih tepat dikelompokkan bersama Jameson, karena pembahasannya bukan
menyangkut persoalan epistimologi keilmuan, melainkan lebih banyak membahas
konsep-konsep masyarakat pasca industrial. Kendati demikian pemikiran Daniel
Bell termasuk sudah cukup lama. Ia menuliskan
pemikirannya sudah pada tahun 1973 dengan judul The Coming of Post Industrial Society.
TEORITISI YANG MEMPERKAYA POSTMODERN (EMPIRISME)
Awal 1980-an terminologi postmodern
menjadi semakin terkenal sebagai sebutan pada pandangan-pandangan yang kecewa
terhadap penerimaan ide-ide struktur dan
dinamika modern. Namun para pemikir atau teoritisi yang masuk sebagai tokoh
yang memperkaya teori postmodern ini, lebih banyak yang berfokus pada persoalan
empiris, yang sudah masuk ke kajian sosiologi, atau bahkan kajian budaya, bukan
epistimologi. Salah satunya adalah Foster,
menulis The Anti-Aestetic tahun 1983, yang mengungkap perdebatan mengenai aesthetic postmodern yang semakin membesar menjadi isu kultural dan sosial.38 Dalam jurnal Theory,
Culture, & Society tahun 1983,
terdapat tulisan yang topiknya membantu mendefinisikan tema postmodern, di dalam iklan, budaya
konsumen, diet, perwujudan seksualitas dan olah raga.
Teori postmodern dalam perkembangannya tidak hanya ada pada disiplin
sosiologi semata, tetapi merambah ke kajian ilmu sosial yang lebih luas dan
aplikatif baik di dunia seni maupun komunikasi. Terutama mengkaji postmodernism sebagai produk kultural
(di bidang kesenian, film, arsitektur, dan sebagainya) yang berbeda dengan
produk kultural modern. Hal itu sejalan dengan perkembangan Cultural Studies yang menjadi bahasan
multidisiplin di universitas-universitas di Inggris, Amerika Serikat, daratan
Eropa dan Australia. Dalam bahasan Cultural
Studies tersebut, ada yang mengurai hubungan postmodernism dengan berbagai sarana konsumsi baru, kaitannya
dengan media, film, feminisme dan kehidupan multikultural. Namun bagaimanapun
juga dalam kajian postmodern empiris tersebut, nuansa kajian sosiologi masih
kental sebagai dasar acuan para teoritisi.
Salah satunya muncul nama scholars, kelahiran Turin Italia, Umberto Eco, yang menulis buku Travel in Hyper-Reality (1987).
Sebagaimana Baudrillard, Eco juga menggunakan konsep Hyper-Reality (dengan beberapa perbedaan) ketika menggambarkan
kebudayaan Amerika yang ia kunjungi. Eco bertamasya melintasi seluruh daratan
Amerika manakala ia sedang mencari tempat untuk menyelidiki perbatasan realisme,
jiplakan ketimbang yang asli. Eco lebih tepat masuk kelompok empiris dibanding
etimologis. Ada juga Gilles Lipovetsky
yang menulis buku The empire of Fashion:
Dressing Modern Democray (1987). Menurut Gilles, fashion adalah agen primer dari gerakan spiral menuju
individualisme dan konsildasi masyarakat liberal. Selain nama-nama teoretisi di
atas, masih banyak teoritisi yang mengembangkan dan menulis tentang postmodern, seperti Featherstone yang di tahun 1988, membedakan antara sociology of postmodern dengan postmodern
sociology.39
Kemudian ada lagi Angela Mc Robbie, yang menulis tentang Feminisme,
“Postmodernism and The ”Real Me”,
dalam jurnal Postmodernism and Popular
Culture 1985 yang kemudian dimuat dalam buku Media and Cultural Studies Key Works, yang disusun oleh Meenakshi Gigi Durham &
Daouglas M. Kellner tahun 2005. Dalam kajian multikulturalisme dan postmodern
terdapat nama Cornel West yang
menulis Race Matters (1994). West membahas masalah kaum kulit hitam Amerika dengan budaya
postmodern, yang menurutnya mengalami “ancaman nihilistik bagi eksistensinya”. Kemudian Mark Poster menulis Post Modern Virtualities tahun 1995. Dalam tulisan itu Poster membahas tentang Communications “Superhighway”, problem-problem realitas, hingga narasi-narasi
di Cyberspace. Ada
lagi Henry Jenkins tahun 2003
menulis tentang “Quentin Tarantino’s
Stars Wars? Digital Cinema, Media Convergence and Participatory Culture”. 40 Tulisan ini membahas Transisi media massa yang menjadi media konvergensi
dan memunculkan budaya partisipartoris. Semua tulisan dan pemikiran di atas, kalau
menggunakan perspektif Mirchandani, lebih bersifat pembahasan postmodern dari
aspek empiris, kajiannya melebar ke seluruh aspek kehidupan yang berkait dengan
postmodernitas.
Namun semua karya dan pemikiran postmodern itu menjadi semakin mengemuka karena ada penulis-penulis
yang aktif mengungkapkan perkembangannya. Para ilmuwan sosial seperti Douglas
Kellner, Stephen Crook, George Ritzer, Barry Smart, Ben Agger, Gayatri C. Spivak,
Julia Kristeva, juga Ziaudin Sardar, Chris Barker, dan Dave Robinson dan masih
banyak yang lain, merupakan sejumlah scholars
dari dunia Barat yang intens membahas perkembangan teori-teori sosial termasuk postmodernis dan cultural studies. Di Indonesia nama
Yasraf Amir Piliang juga dikenal lekat dengan pemikiran postmodernis. Jadinya perkembangan pemikiran dan studi postmodern
bisa terekam dan terdokumentasi secara baik, dan menjadi bahan pembahasan bagi
para sarjana.
PARA FILOSOF YANG MEMPENGARUHI
Kalau ditilik dari
perkembangannya, terutama dari periodisasi waktu. Teori post modernisme pada
dasarnya merupakan pengembangan dari pemikiran strukturalisme dan post strukturalisme, dan sekaligus kritik
terhadap modernisme. Beberapa tokoh yang bisa dimasukkan dalam katagori pemikir
awal, adalah mereka yang sejak lama mengkritik atau kritis terhadap
prinsip-prinsip ilmu pengetahuan modern.
Para pemikir awal ini tidak masuk dalam kelompok teoritisi posmodernis
epistimologi, karena kendati mereka lebih banyak menyoroti tataran ilmu (epistimologi),
tetapi para filosof ini tidak pernah menyatakan dirinya sebagai pemikir post
modernis. Bahkan di antara mereka hidup sebelum istilah postmodernis dikenal. Para
teoritisi besar peletak dasar pemikiran kritis terhadap ilmu pengetahuan
tersebut, antara lain adalah sebagai berikut:
Friedrich Nietzsche (1844-1900).
Filofof kelahiran Jerman, yang
bernama Friedrich Nietzsche ini, dikenal
sebagai tokoh yang pemikirannya berpengaruh terhadap teori postmodernism. Nietzsche adalah anak seorang pastor Lutheran yang
keras, namun sebagai ilmuwan ia kehilangan keyakinan Kristennya dan menjadi
atheis.41
Dalam buku yang meneguhkan
ateismenya, The World as Will and Idea
(1818) Nietzhe beranggapan, masyarakat Eropa harus menghadapi fakta betapa
nilai-nilai Kristen tak bisa diandalkan lagi. Siapapun yang tetap percaya
kepada nilai-nilai itu berarti berdusta atau tidak autentik. Berbagai macam
iman yang menggantikan Kristianitaspun sama-sama bangkrut, terutama pemujaan
terhadap ilmu dan kemajuan.42
Nietzsche menawarkan suatu ”anti sosiologi” yang
memandang dekadensi, kemrosotan moral, dan berbagai kerusakan, merupakan
sesuatu kesemrawutan yang dihasilkan oleh narasi besar modernisasi. Nietzsche
menolak konsep proses rasionalitas dan rasionalisasi. Ia juga menolak ide
tentang pengetahuan murni, karena nalar dan kebenaran tidak lebih sekadar
sarana yang digunakan oleh ras dan species tertentu untuk kepentingan
pembenaran. Pemanfaatan itu sendirilah
yang menjadi kebenaran.43 Bagi
Nietzsche, kebenaran bukan sekumpulan fakta, karena hal itu hanya mungkin ada
disebabkan adanya interpretasi, dan tidak ada batas bagaimana realitas itu
diinterpretasikan. Kalau gagasan tentang kebenaran dianggap memiliki suatu
sandaran historis, maka sebenarnya ia hanya merupakan konsekuensi dari
kekuasaan, yang baginya interpretasi dipegang sebagai suatu kebenaran. Menurut
Nietzsche, Socrates, Katolikisme, Protestanisme, dan Pencerahan telah
memberikan andil pada moralitas budak dan membantu menyebarkannya secara luas.
Diilhami sesuatu yang tidak pasti, mentalitas budak menimbulkan tindakan
keputus-asaan, dan fanatik yang membahayakan.44
Walhasil, Nietzsche menolak filsafat pencerahan sebagai nalar dan kemajuan
universal. Pemikiran Nietzsche ini mempengaruhi pemikir teoritisi postmodern utama seperti Michel Foucault,
yaitu konsep difusi kekuasaan ”mikro-fisik”, Derida mengenai serangannya pada
hegemoni budaya, dan Baudrillard ketika mengembangkan konsep simulasi.45 Mempelajari pemikiran Nietzsche bisa membaca
karya-karyanya yang sudah ditulis dalam
bahasa Inggris seperti The Gay Science
(1887/1974), Basic Writing of Nietzsche
(1992), atau juga tulisan David Robinson, Nietzsche
and Postmodernism (1999) dan Freiderich Nietzsche yang ditulis oleh Paul
Raymond Harrison (2001).
Sigmund Freud (1856-1939).
Pemikir besar lain yang juga
mengilhami teori postmodern adalah Sigmund
Freud. Ide-ide Freud diakui memiliki relevansi secara positif dan negatif
terhadap perkembangan poststrukturalisme dan postmodernisme. Dalam beberapa pemahaman, Freud adalah strukturalis
yang memperkenalkan persoalan-persoalan psikologis tentang proses proses alam
bawah sadar. Itu ia contohkan ketika
membahas mimpi dan ucapan seseorang yang sedang mengalami histeria. Ucapan tanpa sadar dan mimpi itu tak lain
merupakan suatu ekspresi yang ditekan oleh manusia. Logika psikoanalisis
adalah, penutur memperoleh kenikmatan atas histeria itu. Dengan mengeluarkan ide yang tertekan. Namun
dalam proses tersebut penutur juga mengacaukan makna yang diucapkan. Jadi
kata-kata yang dikeluarkan dalam histeria harus ditafsirkan sebagai gejala
pokok bahkan realitas bawah sadarnya. Karena itu menurut Freud penyebab
neurosis seperti histeria itu bersifat psikologis, bukan bersifat fisiologis
seperti diyakini orang sebelumnya. Dan terapinya memerlukan percakapan terus
menerus tentang sebab yang sebenarnya. Baginya faktor seksual atau faktor
libido sebagai akar penyebab neurosis.
Freud menghasilkan banyak
teori yang dalam banyak hal sangat modern. Feud percaya ada karakteristik
manusia yang esensial. Bahkan dia menganut dalam banyak hal tempat, perspektif
yang deterministik, saintifik dan
positivistik. Dan dalam pelbagai cara,
dia menggunakan pandangan totalistik tentang perkembangan masa kanak-kanak.
Tentu saja ini ditentang para penganut postmodern, tapi bagaimanapun teori
teori Freud merupakan isntrument untuk memahami perkembangan post
strukturalisme. Dan banyak tema-tema postmodernisme dapat dijumpai dalam kajian
Freud.46
Diantara Ide yang dikembangkan
Freud yang membuktikan relevansinya dengan postmodernis adalah suatu pandangan
bahwa masyarakat modern gagal memenuhi janji-janjinya, dan mustahil menawarkan
representasi realitas yang tidak terdistorsi.47
Teori-teori Freud merupakan
instrumen untuk memahami perkembangan poststrukturalisme dan postmodernisme. Ide
Freud yang menganggap masyarakat modern gagal dalam memenuhi janji-janjinya,
dan mustahil menawarkan representasi realitas yang tidak terdistorsi, sangat
relevan dengan prinsip postmodern. Buku Freud, Studies on Hysteria (1895) banyak mengungkap teori
psikoanalisisnya yang mengenalkan penyembuhan lewat bicara (taking cure). Karya
karya lain adalah Totem and taboo
(1913), Group Psychology and The Analysis
of The Ego (1921), The Future of an
Illusion (1927) dan Civilization and
Its Discontents (1930). Sementara banyak teoritisi sosial menulis tentang
pemikiran Freud, antara lain Douglas Kirsner, dalam buku Social Theory: A Guide to Central Thinkers, dengan editor Peter Beilharz (1999).
Charles Wright Mills (1916- 1962)
Sebenarnya orang yang pertama kali menggunakan istilah postmodern secara ilmiah untuk
mengkritik teori-teori besar adalah teoritisi sosial Charles Wright Mills dalam
buku The Sociological Imagination
(1959). Mills menggunakan istilah postmodern
untuk melukiskan era paska pencerahan. ”Kita berada di penghujung abad modern,
...abad modern digantikan oleh periode post
modernity”. Demikian Mills ketika mengkritik keras teori besar (grand theory) modern dalam sosiologi,
terutama yang dipraktikan oleh Talcott Parsons. Mills menginginkan sosiologi
yang besar menghubungkan masalah pribadi yang khusus. Mills yang terkenal
sebagai teoritisi yang dinamis dan banyak bertentangan dengan berbagai tokoh
ini menurut George Ritzer, kendati ia menggunakan istilah postmodern namun
dimasukkan oleh Ritzer sebagai seorang modernis daripada postmodernis.48 Namun kalau dilihat dari semangatnya
menentang grand theory, Mills bersama
teritisi sebelumnya yaitu Nietzsche, Freud, dan Kuhn, merupakan para
pemikir gelombang pertama yang membuka awal pemikiran kritis terhadap ilmu
pengetahuan dan modernitas. Kalau menggunakan konsepsi Mirchandani ketiga
pemikir awal ini lebih banyak masuk sebagai pemikir yang mempermasalahkan
epistimologi ilmu pengetahan modernisme. Mereka masuk dalam kriteria ini karena
pemikirannya memang sudah mengkritik pengetahuan modern terutama narasi besar
ilmu sosial, tetapi nama maupun pemikiran mereka belum menyebut atau disebut
sebagai pemikiran postmodern.
Thomas S. Kuhn (1922-2002).
Selain Nietzsche, Freud, dan Mills tokoh ilmuwan yang
juga sering disebut ikut membuka dan mendorong munculnya teori post modern adalah Thomas S. Kuhn (1922-2002). Dalam
buku The Structure of Scientific
Revolutions (1962) telah memberikan tempat untuk terjadinya perang terbuka
antara para pembela dan pengritik ilmu.49
Inilah awal kebangkitan teori postmodern yang berarti juga perang
ilmu, mengenai bagaimana kalangan pengkritik ilmu (aliran postmodern) berhadapan dengan ilmuwan konstruksionis dapat dilihat
pada publikasi Science Wars, dalam
Jurnal Social Text 46-7 tahun 1996. Menurut Kuhn, ilmu berkembang melalui
siklus-siklus ilmu normal diikuti oleh revolusi yang kemudian diikuti lagi oleh
ilmu normal dan diikuti lagi revolusi. Kuhn
menganggap ilmu normal sebagai upaya dogmatis, termasuk teori-teori ilmiah
modern, ataupun yang ada dalam buku-buku teks itupun sudah menjadi irrasional
dan dogmatis. Menurut Kuhn ilmu normal sering menindas kebaruan-kebaruan
fundamental karena hal-hal baru sering bersifat subversif terhadap
komitmen-komitmen dasar ilmu normal, tapi ketika profesi tak lagi bisa mengelak
dari anomali-anomali yang merongrong tradisi ilmiah yang sudah ada, maka dimulailah investigasi di luar kelaziman.
RINGKASAN
Membicarakan postmodernisme
tak bisa melepaskan diri dari modernisme. Karena keduanya saling terkait
sebagai sebuah konsep periodisasi yang mengacu kepada epos historis, sekaligus
epistimologi teori sosial yang memiliki karakteristik masing-masing. Sebagai
realitas empiris, keduanya adalah abstraksi yang longgar mendefinisikan parameter
institusional bangunan sosial. Modernitas ditandai dengan munculnya kapitalisme
dan sistem negara bangsa. Institusi modernitas diasosiasikan dengan proses
sosial dan budaya individualisisasi, diferensiasi, komodifikasi, urbanisasi,
rasonalisasi, birokratisasi dan pengawasan.
Sebagai konsep epistimologi, perbedaan
modernisme dan postmodernisme tidaklah jelas. Dikatakan, pengalaman hidup
dengan modernisme melibatkan tahapan, perubahan, ambiquitas, risiko, keraguan,
dan revisi kronis terhadap pengetahuan. Namun logika dunia fragmentaris, ambigu
dan tidak menentu yang melibatkan refleksifitas tingkat tinggi juga menjadi
tanda budaya postmodern. Titik berat kepada ketidakpastian, ironi dan khaburnya
sekat budaya lebih menjadi tanda pascamodern. Modernisme sebagai suatu gerakan
artistik dan filsafat menghilangkan perbedaan budaya tinggi , budaya pop dengan
cara yang tidak dilakukan oleh pascamodern. Perbedaan lain, para teoritisi menunjuk kepada runtuhnya
perbedaan modern antara yang nyata dengan simulasi.
Sebagai
suatu pokok bahasan filosofis dan epistimologis, modernisme diasosiasikan
dengan filsafat pencerahan, ilmu pengetahuan, kebenaran universal dan kemajuan.
Sebaliknya filsafat pascamodern diasosiasikan dengan gugatan atas
katagori-katagori ini. Bukan
kedalaman namun permukaan. Bukan kebenaran melainkan banyak kebenaran. Bukan obyektivitas melainkan solidaritas.
Bukan universalisme melainkan rejim kebenaran yang spesifik secara historis
(Foucault). Namun kalau Lyotard menyebut posisi filosofis ini dengan sebutan
pascamodern. Foucault justru mempertanyakan perlunya mendukung atau menentang
pencerahan. Rorty menyesal telah menggunakan istilah “pascamodern” karena
filsafat pascapencerahan yang didukungnya dapat dilacak kembali sampai kepada Nietzsche.
Perdebatan
tentang modernisme dan postmodernisme seperti tiada hentinya. Para pendukungnya
sering mengeluarkan puji-pujian, sedangkan lawannya biasanya terjebak dalam apa yang bisa
dideskripsikan sebagai kemarahan. Ada yang menganggap postmodernism sebagai
“kegilaan” atau merupakan “langit hitam
omong kosong yang besar”. Bahkan ada yang mengatakan dengan adanya diversitas atas teori-teori sosial
postmodern, kegunaan dan validtas teori tersebut dipertanyakan.
Teori
postmodern dikritik karena kegagalannya berbuat sesuai dengan standard ilmiah
modern, standard yang dihindari oleh post-modern. Dalam bahasa yang lebih formal, segala sesuatu
yang dikatakan postmodernis oleh para penganut modernisme dianggap salah,
idenya tidak dapat dibuktikan, khususnya dengan riset ilmiah. Kritik ini sendiri menggunakan asumsi
model saintifik, eksistensi realitas, eksistensi pencarian, dan eksistensi
kebenaran. Yang semua asumsi ini sejak awal memang sudah ditolak postmodernis.
Karena
post-modernis tidak dapat dilihat sebagai suatu tubuh ide-ide saintifik maka
sebagian ilmuwan melihat teori sosial
postmodern sebagai ideologi. Jadi persoalannya bukan benar atau tidak, tetapi
percaya atau tidak. Namun harus diingat orang yang percaya kepada seperangkat
ide tidak punya dasar berargumen bahwa ide-ide mereka lebih baik, atau lebih
buruk ketimbang ide lainnya. Tapi karena
tidak dibatasi norma-norma sains, postmodern menjadi bebas bermain-main dengan
berbagai macam ide. Generalisasi luas yang dtawarkan sering tanpa kualifikasi
menjadikan diskursus postmodern sulit diterima orangorang di luar perspektif
itu. Ide-ide postmodern sering kabur dan abstrak, sehingga sering sulit jika
harus dihubungkan dengan dunia sosial. Teoritisi post modern sering kali melakukan
kritik terhadap masyarakat modern, namun kritik-kritik itu dapat dipertanyakan
validitasnya. Yang lebih parah,
teoritisi post modern sering mengkritik masyarakat tetapi kekurangan
visi tentang bagaimana masyarakat itu seharusnya. Bahkan karena kebenaran
menurut postmodern itu tidak tunggal, dan nilai-nilai yang diperjuangkan juga
multikultur, maka postmodern justru sering dipandang tidak memperjuangkan
apapun, melainkan sebagai gerakan nihilisme.
DAFTAR PUSTAKA
Agger, Ben, ”Teori Sosial Kritis, Kritik, Penerapan dan Implikasinya”,
Kreasi
Wacana
,Yogyakarta, 2004.
Baudrillard, Jean., "Nietzsche and the Machine,",
in Negotiations, ed. Richard
Beardsworth,
Elizabeth Rottenberg, 2002
Baudrillard, Jean., Without
Alibi, trans. and (eds). Peggy, Stanford, CA:
Stanford
University Press, 2002.
Barker, Chris, ”Cultural Studies, Teori dan Praktek”, Kreasi Wacana,
Jogjakarta, 2004.
Beilharsz, Peter, ”Teori-Teori Sosial, Observasi Kritis terhadap Para
Filosof Terkemuka”.
Pustaka Pelajar, Jogjakarta. 2005.
Bracher, Mark,
Jacques Lacan, . Diskursus dan Perubahan Sosial, Pengantar Kritik
Budaya Psikoanalisis, Jalasutra, Yogyakarta.
2004
Crook, Stephen, “Social
Theory and The Postmodern”, in George Ritzer and Barry Smart
(eds), Hand Book of Social Theory,
Sage Publication, London,
2001
Durham, Meenakshi Gigi, and Kellner,
Douglas M,. Media and Cultural Studies.
Blackwell Publishing, Oxford, 2005.
Harvey, Robert,
ed., Afterwords: Essays in Memory
of Jean-François Lyotard,. Stony
Brook, NY:
Humanities Institute, 2000.
Hicks, Stephen R. C. Explaining
Postmodernism: Skepticism
and Socialism from
Rousseau to Foucault., Scholargy Publishing, 2004
Jameson,
Fredric., Postmodernism, or The Cultural Logic of Late Capitalism,
edited by
Meenakshi Gigi Durham & Douglas
M Kellner, Media and Cultural Studies
Keyworks, Revised Edition, Blacwell
Publishing, Oxford,
2005.
Lyotard, Jacques Francois., Toward the
Postmodern, ed. Robert Harvey and Mark S.
Roberts, New
Jersey: Humanities Press, 1993.
Ritzer, George, Teori Sosial Postmodern, Juxtapose Jogjakarta, 2005.
Ritzer, George,
and Goodman, Doglas J,. Teori Sosiologi Modern, Edisi keenam,
Kencana,
Jakarta,
2004.
Ritzer, George, and
Smart, Barry, Hand Book of Social Theory, Sage
Publication,
London 2001.
Robinson, Dave,.
Nietzsche and Postmodernism, Icon Book UK,
Totem Books USA
1999
Sardar,
Ziauddin, Thomas Kuhn and The Science War, Icon Boks UK, & Totem Books
USA, 2000.
Williams, James,
“Lyotard: Towards a Postmodern
Philosophy”.,Cambridge:
Polity
Press, 1998.
JURNAL:
Mirchandani,
Rika, Postmodernism and Sosiology: From The Epistimological to the
Empirical, in Jurnal Sociological Theory, Volume 23, No 1
March 2005
INTERNET:
"http://en.wikipedia.org/wiki/Lyotard"
"http://en.wikipedia.org/wiki/Michel Foucault"
1. Ritzer, George, and
Goodman, Doglas J, 2004, Teori Sosiologi Modern, Edisi keenam, Kencana Jakarta. Hal: 629
2 . Mirchandani, Rika, Postmodernism and Sosiology: From The
Epistimological to the Empirical, dalam Jurnal Sociological Theory, Volume
23, No 1 March 2005 hal: 85-110.
3 Ibid : 109
4 Faucault, The Order of Things, Alan Sheridan, London: Pantherson, 1970, hal 353-4,
dalam Robinson, Seri Postmodern,
Nitzsche dan Postmodernisme, Jendela, 2002 Hal : 48.
5 Ritzer, George, and Goodman, Doglas J, Op.Cit: Hal 620.
6 Ritzer, George,. Teori-Teori
Postmodern, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2005: hal 94.
7 Ritzer, George, and Goodman, Doglas J, Op.Cit: Hal: 619.
8 Machandani, Op.Cit. Hal: 96.
9 Ibid, Hal: 109.
11 Barker, Chris, Cultural Sudies, Teori dan
Praktek, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004 ; Hal: 16.
12 Robinson, Dave, Seri Posmodern, Nietzsche dan
Posmodernisme, Jendela Yogyakarta, 2002 : Hal : 44.
13 Lihat Komentar Baudrillard “On the 9/11 Attack” dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Jean_Baudrillard.
14 Ritzer, George, and Goodman, Doglas J, Op.Cit: Hal: 648
15 Mirchandani, Op.Cit 109.
16 Lihat bagaimana Gane memahami Baudrillard sebagai teoritisi
sekaligus mengkritiknya, dalam Ritzer, Op.Cit hal 134.
17 Ibid. Hal 135.
18 Ritzer, Op.Cit:
hal:
19 Ibid, hal : 229.
20 Ibid, hal: 230.
21 Grig, Rassell, Jacques Lacan, dalam Peter Beilharz,
Teori-teori Sosial, Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka, Pustaka
Pelajar, 2005: hal: 251.
22 Ibid, hal 251.
23 Hart, Kevin, Jacques
Derrida, dalam Peter Beilhartz Teori-teori Sosial, Observasi Kritis
Terhadap Para Filosof Terkemuka, Pustaka Pelajar, 2005: hal: 75.
24 Ritzer, Op.Cit, hal: 209.
25 Mirchandani, Op Cit 109.
26 Ritzer & Goodman, Op.Cit hal: 631
27 Lihat Lyotard, The Postmodern Condition, 1979/1984 : 15, dalam Ritzer, Op.Cit: hal: 217
28 Ibid 217
29 Ibid, 19
30 Jameson, Fredric., Postmodernism, or The Cultural Logic of Late
Capitalism, edited by Meenakshi Gigi Durham & Douglas M Kellner, Media
and Cultural Studies Keyworks, Revised Edition, 2005, Blacwell Publishing
482-518.
31 Ritzer, Op.Cit : hal 296
32 Ibid, hal: 296
33 Jameson, Op.Cit: hal:
484.
34 Barker, Op.Cit: Hal:
163
35 Ritzer, Op.Cit: hal: 300.
36 Mirchandani, Op.Cit:
Hal 109.
36 Barker, Op.Cit: hal: 151
37 Ritzer, Op.Cit: hal: 291-292
38 Crook, Stephen, Social
Theory and The Postmodern, in George
Ritzer and Barry Smart (eds), Hand Book of Social Theory, Sage Publication,
2001 : hal 309.
39 Ibid, hal: 311.
40 Durham & Kelnerr, Op.Cit :
41 Robinson, Op.Cit : hal : 2
42 Ibid, hal: 5
43 Ritzer,
Op.Cit hal 41
44 Ibid, hal 42.
45 Ibid hal 45
46 Ibid, hal: 48
47 Ibid, hal: 49
48 Ibid, hal: 32
49 Sardar, Ziauddin, Thomas Kuhn and The Science War, Icon Boks
UK, & Totem Books USA,
2000; 6
Langganan:
Postingan (Atom)