Sering
kita dengar ada tuduhan, wasit jadi pemain. Wasitnya dituduh curang karena ikut
membantu pemain tuan rumah. Tapi repotnya yang
nuduh itu adalah pemain lain, yang
secara nyata malah ingin merebut peran wasit. Bahkan memaksa semua pihak untuk
membenarkan, mengikuti dan mengakui keputusannya yang merebut peran sebagai
wasit tadi.
Ngomong
curang, ngomong ada ketidakadilan, tapi teriaknya sambil bermain dan didukung
para supporter yang fanatik, sebagaimana halnya suporter
Hooligans. Ngritik, teriak, memberi koreksi
itu boleh saja, tapi jangan sampai lalu ambil atau merebut sempritan
milik wasit, kemudian mengatakan penilaiannyalah yang paling benar. Kalau
sudah seperti itu lalu apakah kita semua layak percaya dan mengikuti pemain
yang "praat priit- praat priit" menyembunyikan sempritan wasit dengan
dukungan suporter Hooligans tersebut?
Harusnya
ada tidaknya kecurangan, ketidakadilan dan lain lain itu yang menilai, atau menentukan,
bukan pemain ataupun supporter, tapi diserahkan
pada wasit hakim yang
profesional atau pengawas yang
independen, yang proses penjuriannya
dilakukan secara terbuka, diawasi oleh semua pihak dengan prosedur aturan yang ketat.
Lalu
siapa lagi yang
harus jadi wasit dalam sebuah pertandingan kalau bukan dari kalangan
profesional yang
independen dan dipilih sesuai kesepakatan. Jangan sampai pemain dan supporter
berusaha memainkan sempritan masing masing seakan pada jadi wasit. Kalau wasit
dianggap curang, laporkan ke pengawas pertandingan, biar diadili secara
terbuka.
Kita
tahu, semua manusia itu subyektif, tapi para wasit bisa menjadi obyektif saat
mereka diatur dengan aturan dan prosedur yang
ketat serta diawasi baik sisi etika maupun perilakunya. Sebagaimana kita ketahui
KPU, Bawaslu, DKPP, MK dan lain lain itu diatur dengan prosedur aturan yang ketat, diawasi secara
ketat, dipilih lewat proses yang ketat, semua berdasar UU, sehingga disitulah
mereka bisa menjadi lebih objektif, dibanding para pemain, para supporter, atau
rakyat biasa yang
bertindak tanpa aturan.
Walhasil
adu data, adu fakta, adu saksi, dan argumentasi di Pengadilan MK yang terbuka, tentu jauh
lebih baik daripada adu massa, adu otot, dan adu kenekadan.
Harus
kita dukung aparat yang mencegah, dan menegakkan aturan agar suporter jangan
sampai ikut masuk ke lapangan lalu mau memaksakan bertindak sebagai wasit.
Kalau hal itu sampai dibiarkan, maka akan rusak pertandingannya. Atau malah akan terjadi tawuran antar
supporter dan supporter yang
masuk lapangan digebuki Aparat keamanan.
Yuk
kita jaga pertandingan Pilpres ini secara cerdas dan tidak emosional. Biarkan
pertandingan ini ibarat Piala Champion, walau para suporter itu sangat fanatik,
tapi mereka tetap menghormati aturan permainan dan penyelenggara. Insya Allah
pertandingan akan nampak cantik, menarik
dan mampu melibatkan emosi pendukung, tapi selesai dengan damai, dan segera
mempersiapkan seri pertandingan berikutnya. Mudah mudahan kontestasi Pilpres
ini juga berakhir indah sebagaimana piala Champion yang semua pihak bisa
menerima apapun hasil pertandingannya.
Henri Subiakto