Kamis, 02 November 2017

PARA PELAKU CYBER CRIME RESAH MENGHADAPI DAFTAR ULANG KARTU PRABAYAR



Diakui atau tidak, selama ini dunia digital Indonesia banyak diwarnai dengan kejahatan. Ada penipu ngaku jadi “mama minta pulsa”. Ada SMS minta transfer uang, atau menagih kontrakkan. Ada tipuan undian berhadiah. Ada gendam lewat telepon. Bahkan belakangan ada juga sindikat bayaran untuk penyebaran hoax, dan ujaran kebencian. Sepertinya sekarang kejahatan cyber sudah menjadi profesi bagi sebagian masyarakat tertentu.

Sedikit banyak semua itu mudah terjadi dan para pelaku merasa sulit dilacak, karena nomer telepon yang mereka gunakan sebagai alat kejahatan adalah nomer tanpa identitas yang benar. Berbekal SIM Card yang bisa dibeli dengan murah dan gampang, serta bisa dipakai kejahatan kemudian langsung dibuang, dan besoknya beli lagi. Kejahatan cyberpun menjadi marak. Hoax dan penyebaran kebencianpun diproduksi oleh orang orang jahat dengan sembunyi dalam Anonimitas.

Adanya program pemerintah mewajibkan daftar ulang dengan identitas yang tunggal berdasar data eKTP tentu membuat resah dan mengkhawatirkan mereka. Dengan program daftar ulang ini, berarti siapa menipu dan nyebarin hate speech akan lebih mudah terdeteksi. Program ini juga membuat orang tidak bebas lagi ganti ganti nomer telpon karena ada pembatasan. Berarti identitas dituntut jadi makin jelas. Peluang melakukan kejahatan jadi menyempit.

Maka tak heran kalau program untuk keamanan pengguna telpon ini mereka tentang habis habisan dengan berbagai cara. Karena Program daftar ulang dengan validasi identitas ini pasti akan merugikan secara politik dan ekonomi bagi para pelaku kejahatan tersebut. Itulah kemudian menjadi tak aneh kalau mereka lalu membuat hoax macam macam untuk menggagalkan.

Ada hoax yang menakut nakuti masyarakat seakan dengan registrasi ini akan dikriminalisasi dengan UU ITE. Ada hoax yang mengatakan program ini untuk mencuri data pribadi, padahal yang diminta Cuma nomer NIK dan Nomer KK. Hingga ada hoax yang berisi tuduhan politik dikaitkan dengan pilpres 2019. Yang ujung ujungnya mengajak masyarakat untuk menolak daftar ulang.

Lewat penyebaran hoax yang massif, mereka berharap masyarakat bisa percaya, dan program daftar ulang nomer telpon akan gagal. Kalau gagal berarti mereka akan tetap bisa menipu dan bisa pula terus nyebarin hoax dan ujaran kebencian. Apakah keadaan penuh tipu daya dan fitnah ini akan kita biarkan?

Padahal sistem identitas tunggal yang terintegrasi dengan layanan publik dan keamanan, merupakan cita cita lama yang sudah diprogramkan sejak pemerintahan sebelumnya. Hanya karena ada hambatan eKTP program ini tertunda, dan baru sekarang diwujudkan.

Akankah kita masyarakat akan tunduk dan mengikuti kemauan para produsen hoax dan pelaku cyber crime? Tentu tidak. Mereka harus kita lawan. Dengan cara, tetap ikut mendaftarkan nomor kartu telepon kita. Supaya nomer kita tetap bisa kita pakai, masyarakat menjadi makin tertib dan aman, Indonesia makin bersih dari kejahatan siber.

Yuk kita dukung keamanan negara dengan mengikuti daftar ulang serta tidak mempercayai Hoax. Indonesia tidak akan maju dan sejahtera jika masyarakatnya hanya disibukkan dengan hoax, hasutan dan penipuan. Saatnya kita wujudkan sistem data kependudukan yang lengkap, terintegrasi sehingga memudahkan peningkatan pelayanan dan keamanan.

Pemerintah sudah menerapkan ISO 27001 tentang jaminan keamanan dan manajemen terkait registrasi ulang kartu seluler. Menteri Kominfo juga sudah mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 23/2016 tentang Perlindungan Data Pribadi. Sedang data yang dikirim oleh pelanggan ke operator, Lalu, oleh operator akan dikirim ke Kemenkominfo. Dari Kemenkominfo akan dikirim ke Kemendagri.
Data itu juga tersimpan di operator. Operator juga berkomitmen menjaga data-data pribadi pelanggan dan ini sudah ada sertifikasinya secara proses dan SOP sesuai ISO 27001. Jadi ini komitmen bersama antara Kominfo, Kemendagri dan operator karena menyangkut kerahasiaan dan kenyamanan pelanggan.
Kalau ada pelanggaran jelas akan kami bawa ke ranah hukum. Validitas data yang sudah teregistrasi akan terlacak sehingga orang kalau mau berbuat jahat akan berpikir ulang. Kalau untuk data kependudukan bisa ke Kemendagri dan kalau untuk nomor telepon bisa ke operator.

Henry Subiakto

Kamis, 25 Mei 2017

BOM KAMPUNG MELAYU DAN CARA BERPIKIR YANG TAK BERUBAH

Publication is the oxygen of terrorism itu teorinya. Jadi menshare foto-foto dan video korban teroris itu sama halnya membantu menyebarkan kecemasan dan ketakutan, itu yang diharapkan para pelaku teror. Tapi disisi lain kejahatan kemanusiaan tersebut, walau secara nyata korban telah bergelimpangan dengan kondisi amat mengerikan, tetap saja masih banyak "orang-orag cerdas" yang tidak percaya kalau itu korban terorisme. Mereka tetap "meremehkan" ancaman teror dan mengabaikan gerakan radikalisme.
Sudah jelas dan nyatapun tidak dipercaya, apalagi kalau minim publikasi dan minim penyebaran lewat mass self communication? Apa tidak akan lebih disepelekan dan dianggap hanya sekedar permainan, atau rekayasa? Atau sekedar pengalihan issue!
Era sudah teknologi digital tapi banyak orang cara berpikirnya melihat persoalan negara masih seperti masa lalu. Di era digital sekarang semua orang bisa mengungkap fakta di lingkungan yang dia ketahui lewat sarana komunikasi yang dimiliki. Teknologi digital telah menciptakan transparansi, karena semua orang bisa merekam, menyimpan dan menyebarkan secara diam diam yang mereka ketahui. Sekarang setiap orang bisa berperan menjadi "wartawan", penyampai informasi, atau pembocor aktivitas di instansinya. Seperti yang dilakukan Edward Snowden yang membocorkan aktivitas NSA di Amerika.
Di era digital, kendati intelejen masih bekerja dengan rapi, tapi negara tidak lagi terhegemoni oleh kekuasaan tunggal yang dominan. Kekuasaan yang mengontrol ketat semua orang. Sekarang justru setiap institusi negara bisa saling kontrol dengan institusi yang lain. Bahkan tiap orang juga bisa menjadi pengawas bagi orang yang lain. Kalau ada kejahatan di sekitarnya, setiap orang bisa berpotensi menjadi wistle blower. Apalagi kejahatan yang "mengelabuhi" dunia, dan mengorbankan banyak nyawa. Kalau hal itu benar terjadi tinggal menunggu terkuaknya skandal bom tersebut ke seluruh penjuru.
Tapi di sosmed masih banyak orang berpikir seakan kondisi negara tidak berubah. Penguasa dianggap bisa berbuat apa saja. Hampir setiap kasus terorisme dianggap hasil rekayasa, tidak hanya di era presiden Jokowi, tapi juga terorisme di era presiden SBY sekalipun. Berubahnya pemerintahan, berubahnya masyarakat dan cara-cara menggunakan teknologi tidak merubah cara berpikir mereka yang benaknya penuh khayalan tersebut.
Tahun 2017 yang jelas jelas sudah merupakan era transparansi, demokrasi, dan partisipasi, masih saja dianggap mudah bikin rekayasa dan skandal permainan penguasa. Realitas Dunia dan kehidupan sudah berubah, tapi mereka masih berpikir seperti era Orde Baru. Berpikir seperti di era negara otoriter yang dipenuhi dengan propaganda negara. Era hegemoni negara di semua sarana komunikasi. Era politik tertutup. Dan era belum ada teknologi digital dan medsos yang mengawasi siapapun hingga memunculkan "open society".
Memangnya siapa sih di era sekarang masih berani main-main membuat rekayasa membohongi semua orang? Jujur lempeng saja sekarang mudah dihajar hoax, apalagi berani bikin skandal dengan korbankan banyak nyawa manusia. Resiko bocor terlalu besar, bahkan siapapun yang terlibat bisa hancur baik karir maupun hidupnya. Bahkan organisasinya.
Apalagi kalau dikaitkan dengan keadaan negara sekarang. Tidak ada kasus besar atau issue yang harus dikhawatirkan atau perlu dialihkan. Logika pengalihan issue menjadi tidak relevan. Terlalu jauh dan tidak sebanding dengan resiko yang terjadi. Kalau sudah demikian apa masih logis jika ada yang lagi-lagi begitu ringan menuding dan menuduh?

Henry Subiakto

Selasa, 23 Mei 2017

BELAJAR BIJAK DARI SEORANG REMAJA BANYUWANGI BERNAMA AFI

Kita orang tua, atau orang yang lebih dewasa, sedang "diajari" untuk menjadi bijak dan berpikir mendalam tentang hidup berbangsa oleh Afi Nihaya Faradisa, anak SMA di Banyuwangi yang tulisan tulisannya mengalir indah dan penuh pengetahuan. Dia menulis pentingnya menghormati perbedaan, menghormati kebhinekaan dan mensyukuri Indonesia. Menurut Afi menulis itu, bukan sedang minta disetujui oleh semua yang membaca tulisannya. Bukan pula minta dipuja atau disenangi karena membenarkan sikap mereka, tapi seseorang itu menulis karena ingin menunjukkan sikap, pendapat, dan pemikiran tentang sesuatu hal.
Pemikiran yang berbeda hendaknya tidak lalu dimusuhi. Pendapat yang berbeda itu justru akan memperkaya pemikiran, dan membuat banyak pihak menjadi lebih bijak, cerdas, dan bersikap hati hati menghadapi pihak lain yang beragam. Tapi anehnya, banyak di antara kita, yang lebih tua, lebih "dewasa" dari Afi, malah bersikap seperti anak kecil. Mereka mengeroyok, membuli, mengecam bahkan, memfitnah, dan menghack FB remaja itu hingga tidak bisa dibuka.
Remaja yang sedang tumbuh, berpikiran cerdas dan kritis malah dimusuhi, hanya karena motif politik. Remaja yg harusnya didukung, diberi tempat agar tumbuh dan lebih bermanfaat bagi bangsa dan negara, malah dibungkam dan dimusuhi. Untungnya Afi itu cerdas dan berpikiran dewasa, tidak surut karena buli, hoax dan fitnah. Belum tentu untuk remaja lain seumurannya jika diperlakukan atau ditakut takuti seperti itu.
Afi pernah dituduh berbohong, yang menulis bukan dia sendiri, tapi orang dewasa di belakangnya. Karena tulisannya terlalu berbobot dan cerdas bagi anak seusia Afi. Tapi para penuduh itu terbungkam saat lihat Afi ceramah dengan indah dan menarik di kampus kampus. Afi bisa menjawab dengan pintar dan cerdas di media termasuk wawancara TV. Tapi belakangan gadis berjilbab ini justru difitnah sebagai bagian dari kelompok misionaris. Pemikirannya yg luas bukannya diapresiasi tapi malah jadi sasaran berbagai fitnah.
Medsos betul betul jadi ajang komunikasi yg amat "kejam", liar, tak mengindahkan etika, bahkan kadang terlalu jahat bagi mereka yang tak suka dengan perbedaan pikiran. Gara gara status yang tidak disukai, orang bisa membabi buta menyerang, mencela, mengolok olok hingga menfitnah. Tujuannya tak lain agar orang lain punya sikap politik yang sama dengan mereka, atau mereka "hancurkan" kalau tetap berbeda. Orang begitu mudah mengecam dan mencecar, pada orang yang berpendapat berbeda. Seakan ingin membuat semua orang harus sama, kalau berbeda harus dibikin kapok, dibuat malu, bahkan dibuat takut.
Cara cara kasar seperti ini memang cukup efektif membuat banyak orang cenderung diam, cenderung tidak berpendapat, cenderung membiarkan opini opini yang makin radikal dan tak masuk akal. Banyak orang memilih tidak ikut ikut dari pada jadi sasaran buli dan permusuhan.
Walhasil, medsospun dipenuhi dengan pendapat dan pesan yang banyak mengekspresikan kebencian, nyinyir dan pikiran ekstrim, kemarahan dan sikap merasa paling benar dari individu atau kelompok individu yang berkumpul dalam pemikiran yang tertutup. Pikiran dan opini yang muncul hanya yang sependapat, sealiran, jadilah opini mereka bergema semakin mengeras di antara mereka sendiri. Itulah yg disebut "echo chambers".
Mayoritas orang yang memiliki pikiran yang berbeda dari mereka yang ekstrim itu, cenderung memilih diam dan tidak menyuarakan hati nuraninya. Mereka memilih topik topik ringan menghindari topik "panas" yang dibahas kelompok echo chambers. Tapi masih banyak juga yang dengan cerdas, tangkas, dan berani tetap berdiri dan berpendapat yg berbeda, seperti adik kita Afi Nihaya Faradisa tersebut. Mungkin Anda termasuk yang memilih diam, atau malah yang ikut membenci dan menyerang orang orang yang memiliki sikap berbeda, sebagaimana yg dilakukan pada Afi akhir akhir ini?
Semoga perbedaan itu benar benar membuat kita menjadi semakin cerdas, semakin hati-hatisemakin bijaksana dan menghormati orang lain yang berbeda. Bukan pemicu keributan dan konflik antar kita sesama anak bangsa, amin.

Henry Subiakto

Kamis, 04 Mei 2017

HOAX PENUMPANG GELAP KEMERDEKAAN PERS Oleh: Henry Subiakto

Tanggal 3 Mei ada pembukaan World Press Freedom Day di Jakarta. Indonesia sudah menikmati kemerdekaan pers sejak lepas dari rezim otoritarianisme Orde Baru 1998. Dengan "hilangnya" restriksi dari negara tidak berarti kemerdekaan pers sudah baik dan tak bermasalah.
Sekarang kemerdekaan pers justru sering terancam karena perilaku korporasi media mereka sendiri yang kadang punya kepentingan tak sejalan dengan prinsip kemerdekaan pers. Ada media yang beritanya "ditarik-tarik" harus menguntungkan partai politik yang dekat dengan pemilik media. Kalau ada fakta sosial merugikan politik sang pemilik, ya tidak akan diberitakan. Tapi kalau berita itu menguntungkan pihaknya dan merugikan pihak lain, ya diekspose besar-besaran. Media menjadi alat ekonomi politik atau "alat pukul" untuk pihak lain.
Bentuk gangguan kedua terhadap kebebasan pers adalah berasal dari fanatisme sosial. Sering kelompok masyarakat hanya ingin ada berita yang sesuai dengan sikapnya. Mereka menentang kalau ada media memberitakan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Mereka kadang mengusir atau "mengancam" awak media yang tidak disukai. Bahkan tak jarang jurnalis diintimidasi berdasar fanatisme sosial yang berlebihan.
Media konvensional memang tidak lepas dari framing berita, bahkan kadang pemihakkan. Tapi mereka tetap dituntut tanggung jawab terhadap isinya, sekaligus berkomitmen pada reputasi jangka panjang institusinya sebagai bentuk bisnis kepercayaan. Sejelek apapun media pers konvensional, termasuk yang berbentuk online, mereka berasal dari instutusi yang jelas, jelas alamat kantornya, dan jelas pula personal penanggung jawabnya. Framing dan berita yang tidak akurat bukanlah hoax, karena masih berdasar fakta, kendati dilihat dari perspektif tertentu. Sedangkan hoax memang sengaja dibuat dengan memalsukan fakta. Pers konvensional amat beresiko untuk institusi dan orang-orang profesional di dalamnya kalau nekat memproduksi hoax.
Berbeda dengan media online abal abal yang justru serba tidak jelas. Mereka sering sembunyikan identitas, alias anonim, penanggung jawab maupun alamatnya. Karena anonim inilah mereka jadi merasa lebih bebas, dalam pemihakkan, bahkan mengubah hingga memalsukkan fakta. Media model ini juga bisa muncul dan hilang kapan saja sesuai kebutuhan politik dan ekonomi "peternaknya". Mereka tak patuhi Undang-undang Pers maupun kode etik. Tapi justru media-media seperti ini ternyata yang disukai, karena isinya sensasional dan bisa digunakan sebagai pembenar sikap politik. Sekaligus alat propaganda untuk menyerang pihak lain dalam kontestasi politik yang sedang terjadi. Di situlah kenapa hoax lalu banyak diproduksi dan cepat beredar.
Hoax adalah pesan yang berisi fakta palsu yang sengaja dibuat dan disebar untuk tujuan disinformasi. Menciptakan kecemasan, kebencian pada pihak tertentu, hingga pemujaan yang tidak rasional, dengan memanfaatkan emosi, ikatan primordial, dan trauma sosial masyarakat. Hoax sengaja dibuat dengan niat jahat, bisa dibuat oleh politisi busuk yang menghalalkan segala cara, buzzer bayaran, hingga terroris. Tapi hoax justru sering dianggap sebagai kebenaran oleh yang meyakininya.
Media konvensional dalam hal ini jadi terkesan kurang "berani", dibanding media baru abal-abal yang banyak memuat hoax dan tak peduli objektivitas. Seharusnya pers online yg konvensional menyaingi dan menepis hoax dan berita-berita palsu. Dengan cara memproduksi berita yang isinya mengklarifikasi berita hoax ataupun fake news. Kalau masyarakat ada yang suka ngeshare hoax, pasti ada juga yang kontra hoax. Artinya ada juga masyarakat yang membutuhkan berita anti hoaxnya. Jadi hoax maupun anti hoax itu berpotensi sama-sama dishare. Disini pers konvensional harus berpegang teguh pada upaya "giving the facts" memberikan fakta-fakta yg bisa dicheck kebenarannya.
Sayangnya pers online konvensional, malas menanggapi media abal-abal. Mereka khawatir menurunkan derajat reputasinya jika "mengoreksi" hoax. Padahal realitasnya hoax itu menyebar dengan potensi besar yang merusak. Hoax juga "mengancam" menurunnya kepercayaan publik pada pers konvensional. Berarti hoax juga bisa "membunuh" pers konvensional, karena mereka lebih menarik dan "bermanfaat" untuk berperang komunikasi politik.
Itulah persoalan pers atau media kita di era kebebasan sekarang ini. Ada penggunaan kebebasan pers untuk mencerdaskan, tapi ada pula yang justru mendompleng kebebasan pers untuk pembodohan dengan menyebarkan hoax.
Akhirnya kebebasan pers di era digital ini kalau tidak kita hadapi secara cerdas, justru menyuburkan peredaran hoax yang berpotensi merusak persatuan bangsa, memunculkan kebencian dan membahayakan kebangsaan. Pers nasional tidak cukup hanya menuntut kebebasan, tapi mereka juga harus ikut menanggulangi peredaran hoax, yang datang dan membonceng kebebasan itu sendiri.

Kamis, 27 April 2017

HATI HATI DENGAN KOMUNIKASI DIGITAL



Perilaku Anda di dunia digital itu pada dasarnya ter-record dalam mesin data, yang dimiliki oleh google, IG, FB, Twitter, hingga WA dll yang disebut sebagai Big Data. Nantinya setiap orang punya data profiling yang berbasis big data ini. Kalau Anda terbiasa berpendapat dan berperilaku negatif yang terkoneksi secara digital, maka data profiling digital andapun akan menunjukkan informasi negatif tentang Anda. Jadi jangan heran kalau suatu saat, Anda ditolak masuk suatu negara maju, karena saat dibuka data profiling Anda isinya adalah statemen radikal yang tidak ditolerir oleh negara yang bersangkutan. Itulah konsekuensi politik dari digital life. Bukan hanya itu, data tentang Anda di dunia digital juga bisa dipakai untuk menunjukkan track record Anda. Saat Anda maju jadi calon Gubernur, DPR atau jabatan apapun yang perlu ditelisik track recordnya, maka jejak digital bisa dipakai untuk mengungkap siapa Anda. Maka bijaklah dalam menggunakan komunikasi digital. Karena sebenarnya komunikasi itu irreversible dan datanya relatif permanen, bisa dibuka kembali.

Henry Subiakto

MOTHERHOOD SYNDROME



Ada yang namanya fenomena motherhood syndrome di masyarakat kita. Yaitu sikap seperti seorang ibu yang ingin melindungi, menyayangi atau memberikan simpati, appresiasi dan dukungan secara ikhlas pada tokoh yang dianggap sebagai korban kedzoliman. Bagi yang percaya tokoh itu adalah korban aniaya strategi politik yang primitif, maka sikap ingin membantu, mendukung bahkan mungkin menghibur dan memuliakan sang tokoh akan muncul secara suka rela. Fenomena motherhood syndrome bisa terjadi kapan saja, baik sebelum pemilu, sesudahnya, ataupun waktu yang tidak terkait dengan pemilu. Karena memang terjadi di sebagian masyarakat, maka sering ada politisi yang mencoba memanfaatkan fenomena ini. Yaitu tampil atau berdrama seakan jadi korban kedzoliman. Berupaya menampilkan diri sebagai orang yang teraniaya secara politik supaya mendapat simpati publik. Tapi masyarakat makin cerdas, tahu mana yang "akting" dan mana yang benar-benar menjadi korban serangan politik dengan cara-cara primitif yang dilakukan secara terstruktur, sistematis dan massif. Itulah fenomena sosial motherhood syndrome, yang kita saksikan akhir-akhir ini.

Henry Subiakto

Senin, 27 Maret 2017

CIRI CIRI PESAN HOAX Oleh : Henry Subiakto

Akhir akhir ini, hampir setiap ada issue (peristiwa) yang bisa dimanfaatkan untuk disinformasi mempengaruhi opini, maka muncullah hoax. Tatkala ada peristiwa yang menarik diketahui, tapi faktanya tidak atau belum lengkap (premature facts) padahal dalam kultur digital, masyarakat ingin mengetahui segala informasi dengan cepat. Maka banyak pihak melengkapi fakta yang belum lengkap itu dengan informasi spekulatif, hasil interpretasi, atau bahkan rekaan yang sesuai kecenderungan sikap atau kepentingan mereka. Hoax inilah yang muncul melengkapinya.
Hoax diproduksi untuk membenarkan misi, atau sikap, atau kepentingan dari para penyebar Hoax yamg menghalalkan kebohongan. Hoax begitu mudah diproduksi dan disebarkan karena perkembangan teknologi digital dan pemanfaatan media sosial serta kultur masyarakat yang suka getol ngeshare pesan tanpa dipikirkan mendalam. Korban hoax sering tidak sadar bahwa pikirannya sudah diarahkan oleh berbagai hoax yang terserap dalam jangka waktu lama.
Hoax bisa berupa berita dusta di sebuah situs. Berupa pesan menyesatkan yang disebarkan di WA, atau sosial media. Berupa foto hasil rekayasa atau editan. Berupa Meme yang menyesatkan. Bisa pula berupa berita benar dari sebuah link situs berkredibilitas tapi depannya ditempeli judul dan pengantar yang menipu.
Kalau diamati ciri ciri hoax adalah:
1. Sumber yang membuat tidak jelas sehingga tidak bisa dimintai tanggung jawab.
2. Pesannya sepihak, hanya membela atau menyerang saja.
3. Sering mencatut nama nama tokoh seakan berasal dari tokoh itu.
4. Memanfaatkan fanatisme dengan nilai-nilai idiologi atau agama untuk meyakinkan.
5. Judul atau tampilan provokatif.
6. Judul dengan isi atau link yang dibuka tidak cocok.
7. Nama media mirip dengan nama media terkenal.
8. Minta supaya dishare atau diviralkan.
Kalau ketemu pesan yang memenuhi sebagian ciri ciri seperti ini, jangan mudah percaya, dan jangan dishare, itu jelas mengindikasikan ciri ciri Hoax.
Henry Subiakto.

TOKOH

Setiap tokoh itu selalu memiliki dua karakter, yaitu karakter publik dan karakter privat. Karakter publik itu sifat sang tokoh menurut publik, misal kesolehannya, kemulyaannya, hingga akhlak kebaikan yang lain.
Karakter publik ini terlihat dari tampilannya di depan publik atau umum. Yaitu gambaran tokoh tersebut di benak orang banyak yang interaksinya tidak terlalu dekat, atau tidak langsung sehingga hanya melihat kulit luar, pakaian dan berbagai penampilan di panggung depan (Erfing Goffman : Front Stage).
Sedangkan karakter privat, adalah sifat asli sang tokoh yang hanya diketahui oleh orang orang dekatnya. Orang orang yang akrab, bahkan intim bergaul secara pribadi di panggung belakang (Back Stage kata Erving Goffman).
Seorang tokoh, bisa memiliki karakter publik dan karakter privatnya tidak sama atau tidak sesuai. Banyak tokoh yang karakter publiknya amat mulia dan mengagumkan, tapi ternyata dicibir oleh orang orang dekat, yang berinteraksi langsung dengan sang tokoh. Ini karena buruknya karakter privat sang tokoh di panggung belakang. Orang orang yang dekatlah yang bisa tahu tentang keburukan atau belangnya sang tokoh. Ada pula tokoh yang karakter privatnya sangat baik dihormati oleh lingkungan sekitar dan kerabatnya, tapi yang bersangkutan tidak menonjol di publik. Publik tidak kagum dan tidak memuja mujanya.
Ini semua karena peran media. Peran media komunikasi yang membangun the pictures in our heads tentang orang yang ditokohkan dan dikagumi secara luas (Lippmann). Kalau media termasuk media sosial mengekspose terus menerus tentang kiprah mulya, tampilan suci yang mengagumkan dari tokoh tersebut, maka karakter publik tokoh itupun akan moncer. Masyarakat luas akan memuja muja bahkan bisa rela melakukan apa saja untuk sang tokoh.
Tapi bisa beda 180 derajad dengan yang kenal secara pribadi. Terlebih kalau ada yang punya hubungan pribadi tersebut punya pengalaman nyata yang buruk, kemudian fakta buruk itu terungkap di publik, di media. Sisi gelap yang ada di back stage atau di panggung belakang itu terbingkar di publik, maka ributlah publik atau masyarakat luas, yang selama ini hanya bisa melihat dari jauh. Jadilah kontroversi, jadilah keributan, jadilah kekecewaan.
Disitulah kenapa kita harus hati hati menilai seorang tokoh, apalagi yang kita kagumi. Jangan hanya melihat dari tampilan fisik yang nampak di panggung depan. Contoh sudah banyak yang mengecewakan, katakalah dari Kanjeng Dimas Taat Pribadi, Gatot Brojomusti, atau yg lain.
Tokoh itu kadang kadang dipandang baik, bukan karena nyata nyata baik. Tapi karena Allah masih menutup aibnya. Ini berlaku juga bagi kita semua. Kita terlihat baik juga belum tentu benar benar baik, tapi karena ditutup aib kita oleh Allah. Maka jangankah kita merasa lebih baik dan merasa lebih suci dari yang lain. Padahal sebenarnya hanya karena Allah masih melindungi kita. Semoga semua ini menjadi pelajaran bagi kita untuk tidak bersikap secara berlebihan. Baik dalam hal suka atau benci pada seorang tokoh, jangan pula kaget jika tokoh idaman kita ternyata punya sisi amat gelap tak sesuai yg kita bayangkan.
Wasalam

Henry Subiakto | 01 februari 2017


Kamis, 26 Januari 2017

Surat Terbuka untuk Yang Terhormat bapak Al Muzamil Yusuf, Anggota DPR RI.

Saya merinding mendengar pernyataan bapak Al Muzamil Yusuf, anggota DPR RI bicara tentang Bendera Merah Putih yang ditulisi Kalimat Tauhid. Betapa tidak, pak Muzamil mengungkap tentang kemuliaan kalimat Tauhid yang selama ini kita sucikan.
Sebagai umat Islam saya setuju atas
kesucian dan keutamaan kalimat Tauhid "La illaha illallah Muhammad dza rosululloh". Kalimat Tauhid ini amat mulia dan suci dan harus kita hormati, mungkin semua umat Islam tidak ada yang meragukannya.
Namun untuk yang lain, maaf saya tidak setuju kalau berdasar logika kesucian kalimat Tauhid lalu orang dibenarkan saat ada yang membuat coretan atau tulisan pada bendera Merah Putih kita, Simbol Negara Indonesia.
Lafal tauhid mmg mulia, atau suci bagi kita umat Islam, tapi sesuatu yang suci apa lalu layak kalau ditulis di atas bendera negara RI? Bendera Merah Putih adalah simbol negara dan bangsa, dimana bangsa Indonesia itu terdiri dari berbagai agama. Apalagi jelas jelas membuat coretan di Bendera Merah Putih itu dilarang dlm UU no 24 th 2009 pasal 24.
Kalau alasannya Lafal Tauhid itu kita yakini sangat mulia, atau suci, sehingga saat dituliskan di Bendera itu dianggap tidak merendahkan bendera negara, ini masih memunculkan perdebatan. Bagaimana kalau kemudian lewat logika itu, apa dibenarkan kalau semua bendera Merah Putih lalu ditulisi kalimat Tauhid sebagai ungkapan kecintaan pada keyakinan kita? Atau diberi tulisan Allah apakah juga dibenarkan?
Bagi saya sesuatu yg suci, yang kita
muliakan tidak berarti boleh kita tempatkan sembarangan, yang jelas-jelas dilarang oleh UU. Ini persoalan penempatan yang tidak benar dan melanggar UU.
Kemudian bagimana kalau saudara-saudara kita sebangsa yang beragama Kristen dengan alasan yang sama, merasa juga dibolehkan memberi gambar salib, atau coretan kata-kata yang dianggap suci dari agamanya? Terus yang Budha juga melakukan hal yang sama? Atau yang ber Agama Hindu kasih tulisan "Om swasti astu" terus bagaimana? Mereka juga bisa beralasan, itu adalah kalimat suci bagi mereka.
Kalau hal pelanggaran hukum kita biarkan hanya karena alasan agama dan keyakinan kita masing masing, maka bisa rusak negara ini.
Kalau masalahnya adalah banyaknya kasus sebelumnya tentang corat coret bendera Merah Putih tapi dibiarkan, ya sekarang justru harus dijadikan momentum untuk penegakkan hukum. Bukan malah memberikan pembenar pada pelanggaran UU.
Mungkin dulu banyak yang tidak protes karena tidak tahu, atau tidak peduli. Sehingga kasus lama itu jadi tidak jelas, kapan, dimana, siapa pelakunya tidak jelas. Sekarang jadi menarik bagi publik karena terkait politik dan mengatas namakan agama. Bagi kami janganlah pula kejadian masa lalu seakan jadi pembenar. Lalu terjadilah Pembiaran UU dilanggar.
Menurut hemat saya, usut saja semua pelanggaran terhadap UU terkait bendera, DPR silahkan mendesak penegakan hukum tanpa pandang bulu. Tapi tentu saja untuk kasus yang masih ada bukti, saksi dan siapa siapa pelakunya, bukan sekadar foto-foto yang tidak jelas. Biarkan hukum berlaku, agar jadi pendidikan hukum bagi masyarakat.
Untuk itu, bagi penyelenggara negara hendaknya menggunakan logika berpikir yang senantiasa merujuk pada kepentingan NKRI berdasarka hukum nasional. Bukan dalil masing masing keyakinan agama kita. Demikian masukan saya sebagai Warga Negara yang kebetulan beragama Islam.
Wassalam

Henry Subiakto.

Senin, 23 Januari 2017

Etika Politik Para Mantan



Walau Donald Trump itu sangat kontroversi, dianggap rasis, dan tudingan-tudingan negatif lain. Tapi saat Trump dilantik di Washington, semua mantan presiden Amerika Serikat hadir, itulah tradisi demokrasi Amerika.
Para mantan presiden AS yang masih hidup hadir di pelantikan Trump. Tak peduli mereka dari partai lawan atau kawan. Ada Jimmy Carter yang sudah tua, ada George Bush, ada Cinton dengan Hillary, dan tentu ada Obama dengan Michell. Mereka hadir menghormati sang presiden baru Donald Trump. Mereka hadir menunjukkan kesatuan AS. Ini sudah menjadi tradisi lama mereka. Menjadi tradisi yang indah. Kendati di Pilpres bersaing ketat, tapi saat salah satu terpilih, semua hadir menyatu atas nama kepentingan negara dan demokrasi.
Apakah tradisi baik seperti ini juga ada di Indonesia? Di negeri ini politik sering masuk sebagai persoalan personal. Perbedaan politik acapkali jadi konflik personal. Maka tak heran kalau tradisi menghadiri pelantikan presiden dan upacara resmi kenegaraan sering tidak dihadiri para mantan presiden.
Ada lagi tradisi demokrasi yang bagus di AS, yaitu mantan presiden itu tidak lagi tampil dalam wacana-wacana politik. Secara etis mantan presiden tidak akan mengkritik penggantinya. Kita tidak sulit menemukan kritikan George Bush pada Obama. Atau kritikan Bill Clinton pada Bush. Nanti Obamapun harus menghindari mengkritik Trump. Itu sudah menjadi etika tak tertulis.
Di Indonesia etika mantan presiden mundur dari kancah politik semacam itu disebut pak Harto sebagai "Lengser keprabon madeg pandito". Soeharto setelah lengser tdk mau berkomentar tentangan politik, apalagi kritik pada presiden penggantinya. Pak Habibie yang biasa hidup dalam budaya Jerman, juga tidak pernah mengkritik presiden. Gus Dur juga mencoba membangun tradisi itu. Walau Gus Dur diturunkan saat menjabat, tapi setelah lengser beliau tidak menyerang atau mengkritik penggantinya. Tapi tradisi itu apa berlanjut? Anda bisa melihat sendiri bagaimana bu Mega dan pak SBY beberapa tahun terakhir.
Kalau ingin membangun mentalitas etis warga bangsa ini, para pemimpin harus menjadi contoh. Para negarawan sebagai tokoh-tokoh demokrasi, sudah seharusnya memegang teguh etika dan mengembangkan sikap-sikap kenegarawanan. Justru tidak elok kalau para mantan presiden itu saling kritik atau saling serang dengan penggantinya hanya karena politik praktis sesaat.

Henry Subiakto