Saya merinding mendengar pernyataan bapak Al Muzamil Yusuf, anggota DPR RI
bicara tentang Bendera Merah Putih yang ditulisi Kalimat Tauhid. Betapa tidak,
pak Muzamil mengungkap tentang kemuliaan kalimat Tauhid yang selama ini kita
sucikan.
Sebagai umat Islam saya setuju atas
kesucian dan keutamaan kalimat Tauhid "La illaha illallah Muhammad dza
rosululloh". Kalimat Tauhid ini amat mulia dan suci dan harus kita
hormati, mungkin semua umat Islam tidak ada yang meragukannya.
Namun untuk yang lain, maaf saya tidak setuju kalau berdasar logika kesucian
kalimat Tauhid lalu orang dibenarkan saat ada yang membuat coretan atau tulisan
pada bendera Merah Putih kita, Simbol Negara Indonesia.
Lafal tauhid mmg mulia, atau suci bagi kita umat Islam, tapi sesuatu yang
suci apa lalu layak kalau ditulis di atas bendera negara RI? Bendera Merah
Putih adalah simbol negara dan bangsa, dimana bangsa Indonesia itu terdiri dari
berbagai agama. Apalagi jelas jelas membuat coretan di Bendera Merah Putih itu
dilarang dlm UU no 24 th 2009 pasal 24.
Kalau alasannya Lafal Tauhid itu kita yakini sangat mulia, atau suci,
sehingga saat dituliskan di Bendera itu dianggap tidak merendahkan bendera
negara, ini masih memunculkan perdebatan. Bagaimana kalau kemudian lewat logika
itu, apa dibenarkan kalau semua bendera Merah Putih lalu ditulisi kalimat
Tauhid sebagai ungkapan kecintaan pada keyakinan kita? Atau diberi tulisan
Allah apakah juga dibenarkan?
Bagi saya sesuatu yg suci, yang kita
muliakan tidak berarti boleh kita tempatkan sembarangan, yang jelas-jelas dilarang
oleh UU. Ini persoalan penempatan yang tidak benar dan melanggar UU.
Kemudian bagimana kalau saudara-saudara kita sebangsa yang beragama Kristen
dengan alasan yang sama, merasa juga dibolehkan memberi gambar salib, atau
coretan kata-kata yang dianggap suci dari agamanya? Terus yang Budha juga
melakukan hal yang sama? Atau yang ber Agama Hindu kasih tulisan "Om
swasti astu" terus bagaimana? Mereka juga bisa beralasan, itu adalah
kalimat suci bagi mereka.
Kalau hal pelanggaran hukum kita biarkan hanya karena alasan agama dan
keyakinan kita masing masing, maka bisa rusak negara ini.
Kalau masalahnya adalah banyaknya kasus sebelumnya tentang corat coret
bendera Merah Putih tapi dibiarkan, ya sekarang justru harus dijadikan momentum
untuk penegakkan hukum. Bukan malah memberikan pembenar pada pelanggaran UU.
Mungkin dulu banyak yang tidak protes karena tidak tahu, atau tidak peduli.
Sehingga kasus lama itu jadi tidak jelas, kapan, dimana, siapa pelakunya tidak
jelas. Sekarang jadi menarik bagi publik karena terkait politik dan mengatas
namakan agama. Bagi kami janganlah pula kejadian masa lalu seakan jadi
pembenar. Lalu terjadilah Pembiaran UU dilanggar.
Menurut hemat saya, usut saja semua pelanggaran terhadap UU terkait bendera,
DPR silahkan mendesak penegakan hukum tanpa pandang bulu. Tapi tentu saja untuk
kasus yang masih ada bukti, saksi dan siapa siapa pelakunya, bukan sekadar
foto-foto yang tidak jelas. Biarkan hukum berlaku, agar jadi pendidikan hukum
bagi masyarakat.
Untuk itu, bagi penyelenggara negara hendaknya menggunakan logika berpikir
yang senantiasa merujuk pada kepentingan NKRI berdasarka hukum nasional. Bukan
dalil masing masing keyakinan agama kita. Demikian masukan saya sebagai Warga
Negara yang kebetulan beragama Islam.
Wassalam
Henry Subiakto.
Kamis, 26 Januari 2017
Senin, 23 Januari 2017
Etika Politik Para Mantan
Walau Donald Trump itu sangat kontroversi, dianggap rasis, dan tudingan-tudingan negatif lain. Tapi saat Trump dilantik di Washington, semua mantan presiden Amerika Serikat hadir, itulah tradisi demokrasi Amerika.
Para mantan presiden AS yang masih hidup hadir di pelantikan Trump. Tak peduli mereka dari partai lawan atau kawan. Ada Jimmy Carter yang sudah tua, ada George Bush, ada Cinton dengan Hillary, dan tentu ada Obama dengan Michell. Mereka hadir menghormati sang presiden baru Donald Trump. Mereka hadir menunjukkan kesatuan AS. Ini sudah menjadi tradisi lama mereka. Menjadi tradisi yang indah. Kendati di Pilpres bersaing ketat, tapi saat salah satu terpilih, semua hadir menyatu atas nama kepentingan negara dan demokrasi.
Apakah tradisi baik seperti ini juga ada di Indonesia? Di negeri ini politik sering masuk sebagai persoalan personal. Perbedaan politik acapkali jadi konflik personal. Maka tak heran kalau tradisi menghadiri pelantikan presiden dan upacara resmi kenegaraan sering tidak dihadiri para mantan presiden.
Ada lagi tradisi demokrasi yang bagus di AS, yaitu mantan presiden itu tidak lagi tampil dalam wacana-wacana politik. Secara etis mantan presiden tidak akan mengkritik penggantinya. Kita tidak sulit menemukan kritikan George Bush pada Obama. Atau kritikan Bill Clinton pada Bush. Nanti Obamapun harus menghindari mengkritik Trump. Itu sudah menjadi etika tak tertulis.
Di Indonesia etika mantan presiden mundur dari kancah politik semacam itu disebut pak Harto sebagai "Lengser keprabon madeg pandito". Soeharto setelah lengser tdk mau berkomentar tentangan politik, apalagi kritik pada presiden penggantinya. Pak Habibie yang biasa hidup dalam budaya Jerman, juga tidak pernah mengkritik presiden. Gus Dur juga mencoba membangun tradisi itu. Walau Gus Dur diturunkan saat menjabat, tapi setelah lengser beliau tidak menyerang atau mengkritik penggantinya. Tapi tradisi itu apa berlanjut? Anda bisa melihat sendiri bagaimana bu Mega dan pak SBY beberapa tahun terakhir.
Kalau ingin membangun mentalitas etis warga bangsa ini, para pemimpin harus menjadi contoh. Para negarawan sebagai tokoh-tokoh demokrasi, sudah seharusnya memegang teguh etika dan mengembangkan sikap-sikap kenegarawanan. Justru tidak elok kalau para mantan presiden itu saling kritik atau saling serang dengan penggantinya hanya karena politik praktis sesaat.
Henry Subiakto
Sabtu, 21 Januari 2017
Ironi Perintah Tuhan dan Perilaku kita Dalam Mencari Informasi.
Tuhan itu mencintai hal hal yang baik. Berperilaku dan berbicara pun
diperintahkan yang baik baik. Bahkan Allah memerintahkan pada kita untuk
memilih makanan yang baik baik. Kalau konsumsi perut saja diperintahkan
memilih yang baik baik, bagaimana dengan konsumsi otak? Yaitu informasi
dan berita?
Allah memerintahkan kita menghindar dari fitnah dan ghibah. Menghindari suudzon, atau berprasangka buruk. Bahkan suudzon itu dosa. Diperintahkan pula kita agar senantiasa tabayun. Jika datang suatu berita maka periksalah dengan teliti agar kita tidak salah bersikap (Al Hujrot ayat 6).
Allah memerintahkan kita menghindar dari fitnah dan ghibah. Menghindari suudzon, atau berprasangka buruk. Bahkan suudzon itu dosa. Diperintahkan pula kita agar senantiasa tabayun. Jika datang suatu berita maka periksalah dengan teliti agar kita tidak salah bersikap (Al Hujrot ayat 6).
Semua itu
agar otak kitapun juga memperoleh informasi yang baik, atau benar. Kalau
otak kita dan pikiran kita mudah percaya dengan berita yag penyampainya
tidak jelas, atau fasik, niscaya otak dan cara berpikir kitapun ikut
fasik, membuat kerusakan.
Maka dalam hidup ini kita selalu diajarkan untuk sabar dan memilih yang baik baik. Bukan malah mencari hal hal buruk yang tak jelas dari mana muasalnya. Informasi dan beritapun selayaknya kita cari yang sumbernya jelas, bisa diklarifikasi atau tabayun, yang bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya. Kalau kita mengaku taat beragama tapi perilaku justru kebalikan dari yang diperintahkan, berarti sebenarnya kita semakin jauh dari ketaatan, mungkin hanya slogan, simbol atau baju saja yang seakan alim. Salam.
Henry Subiakto
Maka dalam hidup ini kita selalu diajarkan untuk sabar dan memilih yang baik baik. Bukan malah mencari hal hal buruk yang tak jelas dari mana muasalnya. Informasi dan beritapun selayaknya kita cari yang sumbernya jelas, bisa diklarifikasi atau tabayun, yang bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya. Kalau kita mengaku taat beragama tapi perilaku justru kebalikan dari yang diperintahkan, berarti sebenarnya kita semakin jauh dari ketaatan, mungkin hanya slogan, simbol atau baju saja yang seakan alim. Salam.
Henry Subiakto
Jumat, 13 Januari 2017
Bersikap Adil dan Acceptance terhadap mereka yang berbeda itu sulit
Negeri ini harus diakui semakin banyak memiliki Sumber Daya Manusia yang berkualitas, baik dari sisi akademik, intelektual, bahkan skill profesional. Yang masih lemah dari SDM kita adalah kemampuan sosial untuk berfikir out of the box. Kita masih sulit melepaskan diri dari frame of reference dan field of experience dalam berkehidupan sosial dan bernegara.Kedewasaan hidup secara sosial dalam keberagaman, walau pendidikannya tinggi, masih banyak di antara kita yang kejiwaannya belum "luwes", belum bisa "accept" menerima perbedaan. Acceptance itu tahapan tertinggi dari kehidupan plural berbineka. Berada di atas toleran. Kalau toleran itu "hanya" membiarkan tidak saling ganggu dengan yang berbeda. Acceptance bisa menerima perbedaan secara menyeluruh sebagai ciptaan Al Khalik. Dengan acceptance, kita bersedia menerima orang yang berbeda keyakinan atau SARA tidak hanya sebagai teman, tapi juga sahabat, saudara, keluarga, bahkan pemimpin. Keikhlasan menerima ini dengan berbagai alasan masih banyak ditolak. Biasanya tafsir terhadap agama dijadikan landasan penolakan. Pertanyaan kritis kenapa Tuhan menciptakan atau menakdirkan Indonesia ini warganya beragam? Seakan tenggelam dengan keyakinan pada tafsir masing-masing ajaran agama. Kenapa Allah menciptakan manusia beragam Suku, Agama, Ras dan Antar agama? Sering terkubur oleh keyakinan atas tafsir dan doktrin masing-masing agama.Jadi jangankan menerima atau acceptance, membiarkan perbedaan atau toleran saja bisa disalahkan. Mereka yang sudah toleran atau "acceptance" terhadap perbedaan tadi, justru malah disalahkan, tidak diterima, bahkan disamakan dengan orang yang berbeda. Walau seagama dan sesuku, karena "acceptance", dinilai tak beraqidah, munafiq dll, "diadili" berdasar frame of reference tafsir yang mereka bakukan.Inilah persoalan kedewasaan berkehidupan sosial kita. Walau Tuhan yang menciptakan perbedaan itu, tapi kita ciptaanNya malah tidak bisa menerima perbedaan itu sendiri dengan dalih berdasar pemahaman terhadap perintah Tuhan. Jadinya kita sering belum bisa bersikap "adil" terhadap ciptaan Allah yang berbeda beda. Lalu apa ya maksud Allah menciptakan manusia itu berbeda beda Suku, Agama, dan Ras? Apakah bukan utk menguji kita agar bisa bersikap Adil?
Henri Subiakto
Henri Subiakto
Sabtu, 07 Januari 2017
DEKLARASI ANTI HOAX
Hari ini ada Deklarasi Anti Hoax di
berbagai kota. Hoax memang sudah mewabah dimana mana. Ada yang
memproduksi, ada yang sengaja menyebarkan, ada yang ikut asal ngeshare, dan
ada yang begitu mudah percaya. Akibatnya, bagi korban hoax hidup penuh
kecemasan, berpikir tidak rasional, penuh kebencian, dan mudah
berkonflik dengan siapapun yang berbeda pandangan.
Hoax itu disinformasi yang bisa berupa "berita" yang berasal dari media abal abal. Berupa "meme" hasil rekayasa. Berupa "wisdom", informasi atau pengetahuan rekaan yang sumbernya tidak jelas tapi dishare2 lewat WA atau sosmed lain.
Hoax itu, bisa faktanya tidak ada. Faktanya ditambahi, atau dikurangi. Foto dan text yang tidak sesuai. Judul dan berita tidak sesuai. Foto lama dikesankan baru untuk mendukung isu yang sedang aktual. Foto dari luar negeri direkayasa dan diberi text seakan di dalam negeri. Tulisan yang nara sumbernya tidak jelas dan kebenarannya tidak bisa diklarifikasi. Secara umum hoax selalu menyerang atau memusuhi pihak tertentu dengan mengatasnamakan "kebaikan" atau "kebenaran". Tapi isinya sebagian besar menjual kecemasan.
Saatnya kita lebih kritis dan selektif menerima informasi. Jangan biarkan otak kita dicemari hoax. Dan jangan pula mencemari otak orang lain dengan ikut menyebarkan hoax.
Membiarkan Hoax berlalulalang di sosmed, berarti kita membiarkan "ketidakjujuran", membiarkan "kepalsuan". Membiarkan "kerusakan" dalam berpikir. Dan membiarkan "menghalalkan" segala cara dalam berkomunikasi. Bahkan membiarkan hoax bisa mengubah kepalsuan, lama lama dianggap sebagai "kebenaran". Say No to Hoax". Saring sebelum Sharing
Henry Subiakto
Hoax itu disinformasi yang bisa berupa "berita" yang berasal dari media abal abal. Berupa "meme" hasil rekayasa. Berupa "wisdom", informasi atau pengetahuan rekaan yang sumbernya tidak jelas tapi dishare2 lewat WA atau sosmed lain.
Hoax itu, bisa faktanya tidak ada. Faktanya ditambahi, atau dikurangi. Foto dan text yang tidak sesuai. Judul dan berita tidak sesuai. Foto lama dikesankan baru untuk mendukung isu yang sedang aktual. Foto dari luar negeri direkayasa dan diberi text seakan di dalam negeri. Tulisan yang nara sumbernya tidak jelas dan kebenarannya tidak bisa diklarifikasi. Secara umum hoax selalu menyerang atau memusuhi pihak tertentu dengan mengatasnamakan "kebaikan" atau "kebenaran". Tapi isinya sebagian besar menjual kecemasan.
Saatnya kita lebih kritis dan selektif menerima informasi. Jangan biarkan otak kita dicemari hoax. Dan jangan pula mencemari otak orang lain dengan ikut menyebarkan hoax.
Membiarkan Hoax berlalulalang di sosmed, berarti kita membiarkan "ketidakjujuran", membiarkan "kepalsuan". Membiarkan "kerusakan" dalam berpikir. Dan membiarkan "menghalalkan" segala cara dalam berkomunikasi. Bahkan membiarkan hoax bisa mengubah kepalsuan, lama lama dianggap sebagai "kebenaran". Say No to Hoax". Saring sebelum Sharing
Henry Subiakto
Senin, 02 Januari 2017
“Hal-Hal Yang Harus Dilakukan Media Untuk Mengungkap Kebenaran” Oleh : Henri Subiakto
Semua
orang setuju, media dan wartawan itu harus menyampaikan KEBENARAN, Bahkan media
wajib mengungkap kebenaran. Namun
orang berselisih paham tentang apa itu "Kebenaran". karena setiap
orang, setiap kelompok memiliki "kebenarannya" sendiri. Kebenaran
itu sesuatu hal yang rumit, terkadang kontradiktif, bahkan tidak ada, karena
semua individu itu subyektif, termasuk wartawan sekalipun. Untuk mengungkap
kebenaran, media harus kembangkan prosedur, agar mengurangi subyektivitas
individu-individu wartawannya. Prosedur ini amat penting, Prosedur itu metode
objektiv menuju kebenaran fungsional. Kebenaran yang bisa diterima banyak
pihak. Secara filosofis tidak ada kebenaran mutlak, tetapi kebenaran media
adalah kebenaran fungsional yang bisa dijalankan day to day. Prosedur pertama
adalah memilah sedari awal, fakta dan informasi keliru yang ikut bersamanya.
Disinilah perlunya disiplin verifikasi. Kita bisa mengenali sesuatu dekat
kebenaran, saat sumbernya dapat dipercaya, peneltiannya seksama, metodenya
transparan. Kalau sumber itu terbukti pernah bohong, provokatif, walau
pernyataannya menarik, media harus hati-hati
karena karakternya jauh dari kebenaaran. Media harus menghindarkan dari
desas desus, pelintiran dan olok olok yang tidak penting, yang sering
dilontarkan orang-orang yang berniat buruk. Prosedur berikut adalah, meliput
peristiwa dengan tidak berat sebelah. Kalau ada info negatif, maka harus ada pengimbang,
yaitu info yang positif. Media harus menjadi forum publik untuk kritik maupun
dukungan, agar audience nya menjadi cerdas melihat banyak perspektif. Prosedur
lain adalah bersifat netral terhadap fakta. Tidak mencemari fakta dengan opini,
sikap politik dan prasangka pribadi wartawan. Tuntutan Netral adalah bagian
dari pemahaman tentang kebenaran yang beragam. Biarkan publik yang menilanya
sendiri, tetapi kalangan penganut attachment journalism menentang konsep netral
bahkan menganggap media yang netral itu tidak etis. Kondisi dunia ini tidak
adil, mengapa harus netral saat melihat ketidakadilan? Justru media harus
berpihak pada yang lemah, Kata mereka.
Terjadinya penindasan hingga pembantian
kalangan minoritas, itu bukan hanya karena ada orang jahat yang berbuat dzolim,
tetapi ada peran media. Pembantaian, penindasan terjadi karena
media tidak peduli dan sok netral, tidak bisa bedakan antara penjahat dan
korban. menurut Journalism of Attachment, Media yang etis adalah media yang
berpihak pada korban, pada yang teraniaya, yang lemah. Itulah pendapat Martin
Bell, mantan wartawan BBC yang banyak meliput daerah konflik di berbagai Negara
dan merupakan Tokoh Attachment Journalism. Sementara pendukung Jurnalisme
Objektif yang netral mengritik keras pandangan Martin Bell yang mengharuskan
media berpihak, Dikatakan oleh Mathew Kiran, kalau media berpihak, maka
selangkah lagi sudah dekat dengan manipulasi fakta dan menjauh dari kebenaran.
Kalau wartawan ingin membela atau simpati dengan para kurban, atau mereka yang
lemah, jadilah aktivis HAM, bukan wartawan. Kalau wartawan ingin membentuk
opini untuk kepentingan kelompok tertentu, maka jadilah politisi, bukan bekerja
di media. Tugas media itu mengungkap fakta apa adanya, dari berbagai perspektif
dan menghindari penghakiman dari pihak media.
Kalau muncul simpati atau opini, biarkan hal itu berasal
dari konsekuensi pemaparan fakta yang objektif, bukan dari pemihakan media.
Netral dan Balance harus menjadi harga mati, menuju kepada "kebenaran
fungsional" yang namanya objektivitas. Agar bisa diterima semua pihak.
Objektivitas berita juga menuntut faktualitas melalui disiplin verifikasi yang
tidak boleh lelah, agar akurasi terjamin. Sayangnya, wartawan sekarang bukannya aktif verifikasi tapi
memilih sibuk menambahi berita yang tengah berlangsung, dengan interpratasi. Karena
siklus berita 24 jam, wartawan lebih banyak cari informasi baru dari pada
mencoba independen mendapati dan verifikasi fakta baru. Kebutuhan kemudahan
memproduksi berita yang banyak, juga menyebabkan media lebih akrab kepada
narasumber yang mudah dihubungi. Kedekatan pada narasumber yang sesuai dengan
kesukaan media, justru menjauhkan prinsip independensi terhadap sumber berita. Tak heran banyak narasumber tetap yang
terus selalu muncul di media, karena kedekatan dan kemudahan.
Yang memprihatinkan, banyak wartawan yang enggan belajar jurnalisme. Banyak
wartawan merasa cukup belajar jurnalistik hanya dari meja redaksi, bukan dari
buku dan bangku-bangku kuliah. Walhasil
pemahaman tentang kebenaran dan objektivitas sering kali keliru, hanya karena
mendasarkan pada intuisi semata. Bukan pengetahuan llmiah. Banyak
wartawan merasa sudah benar, sudah netral bahkan merasa objektif, tetapi
sebenarnya sedang terjebak dengan ketidak jujuran. Berapa banyak media yang merasa
netral tetapi enggan melakukan verifikasi sehingga hanya menghasilkan liputan
yang kosong, tidak sesuai fakta. Sering media memilih
sumber, kemudian gunakan pernyataan sumber itu untuk membenarkan sikap medianya
seakan objektif, padahal suatu bentuk penipuan. Seringnya kesalahan dan
ketidakjujuran dilakukan sebagian media sebabkan rusaknya kredibilitas profesi
wartawan. Inilah
pentingnya standard jurnalistik dan etika kembali dipegang teguh kalangan
media.
Perkembangan internet sebenarnya telah memudahkan wartawan dalam berbagai
pekerjaan mereka, Sayangnya dengan internet yang memberikan kemudahan akses,
malah sering memunculkan kutipan dari internet tanpa investigasi dan verifikasi.
Sekarang berita telah menjadi komoditas yang mudah diperoleh, dikemas ulang,
dan di daur ulang. disebarkan kembali ke konsumen. Berita makin terkonsolidasi. Begitu
sebuah kisah muncul, maka bergulirlah ke berbagai media dari segerombolan
wartawan, terjadi keseragaman isu. Dewasa ini semakin
banyak wartawan pasif, sebagai penerima, atau pengutip informasi di internet,
ketimbang pengumpul berita. Walhasil berita media makin jauh dari realitas yang
kompleks dan dinamis, sehingga opini publik yang muncul menjadi tidak berdasar
info yang lengkap. Banyak Media mengabaikan etika Jurnalistik yang objektif, dengan
berbagai alasan. padahal itu harus dijadikan pedoman bagi media yang beretika. Etika
objektivitas memang sulit, tetapi seperti bintang di langit bagi nelayan. Tidak
bisa dicapai, namun menjadi pemandu berlayar agar tak salah arah.
Henri Subiakto | Maret
2013
Langganan:
Postingan (Atom)