Kamis, 26 Januari 2017

Surat Terbuka untuk Yang Terhormat bapak Al Muzamil Yusuf, Anggota DPR RI.

Saya merinding mendengar pernyataan bapak Al Muzamil Yusuf, anggota DPR RI bicara tentang Bendera Merah Putih yang ditulisi Kalimat Tauhid. Betapa tidak, pak Muzamil mengungkap tentang kemuliaan kalimat Tauhid yang selama ini kita sucikan.
Sebagai umat Islam saya setuju atas
kesucian dan keutamaan kalimat Tauhid "La illaha illallah Muhammad dza rosululloh". Kalimat Tauhid ini amat mulia dan suci dan harus kita hormati, mungkin semua umat Islam tidak ada yang meragukannya.
Namun untuk yang lain, maaf saya tidak setuju kalau berdasar logika kesucian kalimat Tauhid lalu orang dibenarkan saat ada yang membuat coretan atau tulisan pada bendera Merah Putih kita, Simbol Negara Indonesia.
Lafal tauhid mmg mulia, atau suci bagi kita umat Islam, tapi sesuatu yang suci apa lalu layak kalau ditulis di atas bendera negara RI? Bendera Merah Putih adalah simbol negara dan bangsa, dimana bangsa Indonesia itu terdiri dari berbagai agama. Apalagi jelas jelas membuat coretan di Bendera Merah Putih itu dilarang dlm UU no 24 th 2009 pasal 24.
Kalau alasannya Lafal Tauhid itu kita yakini sangat mulia, atau suci, sehingga saat dituliskan di Bendera itu dianggap tidak merendahkan bendera negara, ini masih memunculkan perdebatan. Bagaimana kalau kemudian lewat logika itu, apa dibenarkan kalau semua bendera Merah Putih lalu ditulisi kalimat Tauhid sebagai ungkapan kecintaan pada keyakinan kita? Atau diberi tulisan Allah apakah juga dibenarkan?
Bagi saya sesuatu yg suci, yang kita
muliakan tidak berarti boleh kita tempatkan sembarangan, yang jelas-jelas dilarang oleh UU. Ini persoalan penempatan yang tidak benar dan melanggar UU.
Kemudian bagimana kalau saudara-saudara kita sebangsa yang beragama Kristen dengan alasan yang sama, merasa juga dibolehkan memberi gambar salib, atau coretan kata-kata yang dianggap suci dari agamanya? Terus yang Budha juga melakukan hal yang sama? Atau yang ber Agama Hindu kasih tulisan "Om swasti astu" terus bagaimana? Mereka juga bisa beralasan, itu adalah kalimat suci bagi mereka.
Kalau hal pelanggaran hukum kita biarkan hanya karena alasan agama dan keyakinan kita masing masing, maka bisa rusak negara ini.
Kalau masalahnya adalah banyaknya kasus sebelumnya tentang corat coret bendera Merah Putih tapi dibiarkan, ya sekarang justru harus dijadikan momentum untuk penegakkan hukum. Bukan malah memberikan pembenar pada pelanggaran UU.
Mungkin dulu banyak yang tidak protes karena tidak tahu, atau tidak peduli. Sehingga kasus lama itu jadi tidak jelas, kapan, dimana, siapa pelakunya tidak jelas. Sekarang jadi menarik bagi publik karena terkait politik dan mengatas namakan agama. Bagi kami janganlah pula kejadian masa lalu seakan jadi pembenar. Lalu terjadilah Pembiaran UU dilanggar.
Menurut hemat saya, usut saja semua pelanggaran terhadap UU terkait bendera, DPR silahkan mendesak penegakan hukum tanpa pandang bulu. Tapi tentu saja untuk kasus yang masih ada bukti, saksi dan siapa siapa pelakunya, bukan sekadar foto-foto yang tidak jelas. Biarkan hukum berlaku, agar jadi pendidikan hukum bagi masyarakat.
Untuk itu, bagi penyelenggara negara hendaknya menggunakan logika berpikir yang senantiasa merujuk pada kepentingan NKRI berdasarka hukum nasional. Bukan dalil masing masing keyakinan agama kita. Demikian masukan saya sebagai Warga Negara yang kebetulan beragama Islam.
Wassalam

Henry Subiakto.

Senin, 23 Januari 2017

Etika Politik Para Mantan



Walau Donald Trump itu sangat kontroversi, dianggap rasis, dan tudingan-tudingan negatif lain. Tapi saat Trump dilantik di Washington, semua mantan presiden Amerika Serikat hadir, itulah tradisi demokrasi Amerika.
Para mantan presiden AS yang masih hidup hadir di pelantikan Trump. Tak peduli mereka dari partai lawan atau kawan. Ada Jimmy Carter yang sudah tua, ada George Bush, ada Cinton dengan Hillary, dan tentu ada Obama dengan Michell. Mereka hadir menghormati sang presiden baru Donald Trump. Mereka hadir menunjukkan kesatuan AS. Ini sudah menjadi tradisi lama mereka. Menjadi tradisi yang indah. Kendati di Pilpres bersaing ketat, tapi saat salah satu terpilih, semua hadir menyatu atas nama kepentingan negara dan demokrasi.
Apakah tradisi baik seperti ini juga ada di Indonesia? Di negeri ini politik sering masuk sebagai persoalan personal. Perbedaan politik acapkali jadi konflik personal. Maka tak heran kalau tradisi menghadiri pelantikan presiden dan upacara resmi kenegaraan sering tidak dihadiri para mantan presiden.
Ada lagi tradisi demokrasi yang bagus di AS, yaitu mantan presiden itu tidak lagi tampil dalam wacana-wacana politik. Secara etis mantan presiden tidak akan mengkritik penggantinya. Kita tidak sulit menemukan kritikan George Bush pada Obama. Atau kritikan Bill Clinton pada Bush. Nanti Obamapun harus menghindari mengkritik Trump. Itu sudah menjadi etika tak tertulis.
Di Indonesia etika mantan presiden mundur dari kancah politik semacam itu disebut pak Harto sebagai "Lengser keprabon madeg pandito". Soeharto setelah lengser tdk mau berkomentar tentangan politik, apalagi kritik pada presiden penggantinya. Pak Habibie yang biasa hidup dalam budaya Jerman, juga tidak pernah mengkritik presiden. Gus Dur juga mencoba membangun tradisi itu. Walau Gus Dur diturunkan saat menjabat, tapi setelah lengser beliau tidak menyerang atau mengkritik penggantinya. Tapi tradisi itu apa berlanjut? Anda bisa melihat sendiri bagaimana bu Mega dan pak SBY beberapa tahun terakhir.
Kalau ingin membangun mentalitas etis warga bangsa ini, para pemimpin harus menjadi contoh. Para negarawan sebagai tokoh-tokoh demokrasi, sudah seharusnya memegang teguh etika dan mengembangkan sikap-sikap kenegarawanan. Justru tidak elok kalau para mantan presiden itu saling kritik atau saling serang dengan penggantinya hanya karena politik praktis sesaat.

Henry Subiakto

Sabtu, 21 Januari 2017

Ironi Perintah Tuhan dan Perilaku kita Dalam Mencari Informasi.

Tuhan itu mencintai hal hal yang baik. Berperilaku dan berbicara pun diperintahkan yang baik baik. Bahkan Allah memerintahkan pada kita untuk memilih makanan yang baik baik. Kalau konsumsi perut saja diperintahkan memilih yang baik baik, bagaimana dengan konsumsi otak? Yaitu informasi dan berita?
Allah memerintahkan kita menghindar dari fitnah dan ghibah. Menghindari suudzon, atau berprasangka buruk. Bahkan suudzon itu dosa. Diperintahkan pula kita agar senantiasa tabayun. Jika datang suatu berita maka periksalah dengan teliti agar kita tidak salah bersikap (Al Hujrot ayat 6).
Semua itu agar otak kitapun juga memperoleh informasi yang baik, atau benar. Kalau otak kita dan pikiran kita mudah percaya dengan berita yag penyampainya tidak jelas, atau fasik, niscaya otak dan cara berpikir kitapun ikut fasik, membuat kerusakan.
Maka dalam hidup ini kita selalu diajarkan untuk sabar dan memilih yang baik baik. Bukan malah mencari hal hal buruk yang tak jelas dari mana muasalnya. Informasi dan beritapun selayaknya kita cari yang sumbernya jelas, bisa diklarifikasi atau tabayun, yang bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya. Kalau kita mengaku taat beragama tapi perilaku justru kebalikan dari yang diperintahkan, berarti sebenarnya kita semakin jauh dari ketaatan, mungkin hanya slogan, simbol atau baju saja yang seakan alim. Salam.

Henry Subiakto

Jumat, 13 Januari 2017

Bersikap Adil dan Acceptance terhadap mereka yang berbeda itu sulit

Negeri ini harus diakui semakin banyak memiliki Sumber Daya Manusia yang berkualitas, baik dari sisi akademik, intelektual, bahkan skill profesional. Yang masih lemah dari SDM kita adalah kemampuan sosial untuk berfikir out of the box. Kita masih sulit melepaskan diri dari frame of reference dan field of experience dalam berkehidupan sosial dan bernegara.Kedewasaan hidup secara sosial dalam keberagaman, walau pendidikannya tinggi, masih banyak di antara kita yang kejiwaannya belum "luwes", belum bisa "accept" menerima perbedaan. Acceptance itu tahapan tertinggi dari kehidupan plural berbineka. Berada di atas toleran. Kalau toleran itu "hanya" membiarkan tidak saling ganggu dengan yang berbeda. Acceptance bisa menerima perbedaan secara menyeluruh sebagai ciptaan Al Khalik. Dengan acceptance, kita bersedia menerima orang yang berbeda keyakinan atau SARA tidak hanya sebagai teman, tapi juga sahabat, saudara, keluarga, bahkan pemimpin. Keikhlasan menerima ini dengan berbagai alasan masih banyak ditolak. Biasanya tafsir terhadap agama dijadikan landasan penolakan. Pertanyaan kritis kenapa Tuhan menciptakan atau menakdirkan Indonesia ini warganya beragam? Seakan tenggelam dengan keyakinan pada tafsir masing-masing ajaran agama. Kenapa Allah menciptakan manusia beragam Suku, Agama, Ras dan Antar agama? Sering terkubur oleh keyakinan atas tafsir dan doktrin masing-masing agama.Jadi jangankan menerima atau acceptance, membiarkan perbedaan atau toleran saja bisa disalahkan. Mereka yang sudah toleran atau "acceptance" terhadap perbedaan tadi, justru malah disalahkan, tidak diterima, bahkan disamakan dengan orang yang berbeda. Walau seagama dan sesuku, karena "acceptance", dinilai tak beraqidah, munafiq dll, "diadili" berdasar frame of reference tafsir yang mereka bakukan.Inilah persoalan kedewasaan berkehidupan sosial kita. Walau Tuhan yang menciptakan perbedaan itu, tapi kita ciptaanNya malah tidak bisa menerima perbedaan itu sendiri dengan dalih berdasar pemahaman terhadap perintah Tuhan. Jadinya kita sering belum bisa bersikap "adil" terhadap ciptaan Allah yang berbeda beda. Lalu apa ya maksud Allah menciptakan manusia itu berbeda beda Suku, Agama, dan Ras? Apakah bukan utk menguji kita agar bisa bersikap Adil?

Henri Subiakto

Sabtu, 07 Januari 2017

DEKLARASI ANTI HOAX

Hari ini ada Deklarasi Anti Hoax di berbagai kota. Hoax memang sudah mewabah dimana mana. Ada yang memproduksi, ada yang sengaja menyebarkan, ada yang ikut asal ngeshare, dan ada yang begitu mudah percaya. Akibatnya, bagi korban hoax hidup penuh kecemasan, berpikir tidak rasional, penuh kebencian, dan mudah berkonflik dengan siapapun yang berbeda pandangan.
Hoax itu disinformasi yang bisa berupa "berita" yang berasal dari media abal abal. Berupa "meme" hasil rekayasa. Berupa "wisdom", informasi atau pengetahuan rekaan yang sumbernya tidak jelas tapi dishare2 lewat WA atau sosmed lain.
Hoax itu, bisa faktanya tidak ada. Faktanya ditambahi, atau dikurangi. Foto dan text yang tidak sesuai. Judul dan berita tidak sesuai. Foto lama dikesankan baru untuk mendukung isu yang sedang aktual. Foto dari luar negeri direkayasa dan diberi text seakan di dalam negeri. Tulisan yang nara sumbernya tidak jelas dan kebenarannya tidak bisa diklarifikasi. Secara umum hoax selalu menyerang atau memusuhi pihak tertentu dengan mengatasnamakan "kebaikan" atau "kebenaran". Tapi isinya sebagian besar menjual kecemasan.
Saatnya kita lebih kritis dan selektif menerima informasi. Jangan biarkan otak kita dicemari hoax. Dan jangan pula mencemari otak orang lain dengan ikut menyebarkan hoax.
Membiarkan Hoax berlalulalang di sosmed, berarti kita membiarkan "ketidakjujuran", membiarkan "kepalsuan". Membiarkan "kerusakan" dalam berpikir. Dan membiarkan "menghalalkan" segala cara dalam berkomunikasi. Bahkan membiarkan hoax bisa mengubah kepalsuan, lama lama dianggap sebagai "kebenaran". Say No to Hoax". Saring sebelum Sharing

Henry Subiakto

Senin, 02 Januari 2017

“Hal-Hal Yang Harus Dilakukan Media Untuk Mengungkap Kebenaran” Oleh : Henri Subiakto



Semua orang setuju, media dan wartawan itu harus menyampaikan KEBENARAN, Bahkan media wajib mengungkap kebenaran. Namun orang berselisih paham tentang apa itu "Kebenaran". karena setiap orang, setiap kelompok memiliki "kebenarannya" sendiri. Kebenaran itu sesuatu hal yang rumit, terkadang kontradiktif, bahkan tidak ada, karena semua individu itu subyektif, termasuk wartawan sekalipun. Untuk mengungkap kebenaran, media harus kembangkan prosedur, agar mengurangi subyektivitas individu-individu wartawannya. Prosedur ini amat penting, Prosedur itu metode objektiv menuju kebenaran fungsional. Kebenaran yang bisa diterima banyak pihak. Secara filosofis tidak ada kebenaran mutlak, tetapi kebenaran media adalah kebenaran fungsional yang bisa dijalankan day to day. Prosedur pertama adalah memilah sedari awal, fakta dan informasi keliru yang ikut bersamanya. Disinilah perlunya disiplin verifikasi. Kita bisa mengenali sesuatu dekat kebenaran, saat sumbernya dapat dipercaya, peneltiannya seksama, metodenya transparan. Kalau sumber itu terbukti pernah bohong, provokatif, walau pernyataannya menarik, media harus hati-hati  karena karakternya jauh dari kebenaaran. Media harus menghindarkan dari desas desus, pelintiran dan olok olok yang tidak penting, yang sering dilontarkan orang-orang yang berniat buruk. Prosedur berikut adalah, meliput peristiwa dengan tidak berat sebelah. Kalau ada info negatif, maka harus ada pengimbang, yaitu info yang positif. Media harus menjadi forum publik untuk kritik maupun dukungan, agar audience nya menjadi cerdas melihat banyak perspektif. Prosedur lain adalah bersifat netral terhadap fakta. Tidak mencemari fakta dengan opini, sikap politik dan prasangka pribadi wartawan. Tuntutan Netral adalah bagian dari pemahaman tentang kebenaran yang beragam. Biarkan publik yang menilanya sendiri, tetapi kalangan penganut attachment journalism menentang konsep netral bahkan menganggap media yang netral itu tidak etis. Kondisi dunia ini tidak adil, mengapa harus netral saat melihat ketidakadilan? Justru media harus berpihak pada yang lemah, Kata mereka.
Terjadinya penindasan hingga pembantian kalangan minoritas, itu bukan hanya karena ada orang jahat yang berbuat dzolim, tetapi ada peran media. Pembantaian, penindasan terjadi karena media tidak peduli dan sok netral, tidak bisa bedakan antara penjahat dan korban. menurut Journalism of Attachment, Media yang etis adalah media yang berpihak pada korban, pada yang teraniaya, yang lemah. Itulah pendapat Martin Bell, mantan wartawan BBC yang banyak meliput daerah konflik di berbagai Negara dan merupakan Tokoh Attachment Journalism. Sementara pendukung Jurnalisme Objektif yang netral mengritik keras pandangan Martin Bell yang mengharuskan media berpihak, Dikatakan oleh Mathew Kiran, kalau media berpihak, maka selangkah lagi sudah dekat dengan manipulasi fakta dan menjauh dari kebenaran. Kalau wartawan ingin membela atau simpati dengan para kurban, atau mereka yang lemah, jadilah aktivis HAM, bukan wartawan. Kalau wartawan ingin membentuk opini untuk kepentingan kelompok tertentu, maka jadilah politisi, bukan bekerja di media. Tugas media itu mengungkap fakta apa adanya, dari berbagai perspektif dan menghindari penghakiman dari pihak media.
Kalau muncul simpati atau opini, biarkan hal itu berasal dari konsekuensi pemaparan fakta yang objektif, bukan dari pemihakan media. Netral dan Balance harus menjadi harga mati, menuju kepada "kebenaran fungsional" yang namanya objektivitas. Agar bisa diterima semua pihak. Objektivitas berita juga menuntut faktualitas melalui disiplin verifikasi yang tidak boleh lelah, agar akurasi terjamin. Sayangnya, wartawan sekarang bukannya aktif verifikasi tapi memilih sibuk menambahi berita yang tengah berlangsung, dengan interpratasi. Karena siklus berita 24 jam, wartawan lebih banyak cari informasi baru dari pada mencoba independen mendapati dan verifikasi fakta baru. Kebutuhan kemudahan memproduksi berita yang banyak, juga menyebabkan media lebih akrab kepada narasumber yang mudah dihubungi. Kedekatan pada narasumber yang sesuai dengan kesukaan media, justru menjauhkan prinsip independensi terhadap sumber berita. Tak heran banyak narasumber tetap yang terus selalu muncul di media, karena kedekatan dan kemudahan. Yang memprihatinkan, banyak wartawan yang enggan belajar jurnalisme. Banyak wartawan merasa cukup belajar jurnalistik hanya dari meja redaksi, bukan dari buku dan bangku-bangku kuliah. Walhasil pemahaman tentang kebenaran dan objektivitas sering kali keliru, hanya karena mendasarkan pada intuisi semata. Bukan pengetahuan llmiah. Banyak wartawan merasa sudah benar, sudah netral bahkan merasa objektif, tetapi sebenarnya sedang terjebak dengan ketidak jujuran. Berapa banyak media yang merasa netral tetapi enggan melakukan verifikasi sehingga hanya menghasilkan liputan yang kosong, tidak sesuai fakta. Sering media memilih sumber, kemudian gunakan pernyataan sumber itu untuk membenarkan sikap medianya seakan objektif, padahal suatu bentuk penipuan. Seringnya kesalahan dan ketidakjujuran dilakukan sebagian media sebabkan rusaknya kredibilitas profesi wartawan. Inilah pentingnya standard jurnalistik dan etika kembali dipegang teguh kalangan media. Perkembangan internet sebenarnya telah memudahkan wartawan dalam berbagai pekerjaan mereka, Sayangnya dengan internet yang memberikan kemudahan akses, malah sering memunculkan kutipan dari internet tanpa investigasi dan verifikasi. Sekarang berita telah menjadi komoditas yang mudah diperoleh, dikemas ulang, dan di daur ulang. disebarkan kembali ke konsumen. Berita makin terkonsolidasi. Begitu sebuah kisah muncul, maka bergulirlah ke berbagai media dari segerombolan wartawan, terjadi keseragaman isu. Dewasa ini semakin banyak wartawan pasif, sebagai penerima, atau pengutip informasi di internet, ketimbang pengumpul berita. Walhasil berita media makin jauh dari realitas yang kompleks dan dinamis, sehingga opini publik yang muncul menjadi tidak berdasar info yang lengkap. Banyak Media mengabaikan etika Jurnalistik yang objektif, dengan berbagai alasan. padahal itu harus dijadikan pedoman bagi media yang beretika. Etika objektivitas memang sulit, tetapi seperti bintang di langit bagi nelayan. Tidak bisa dicapai, namun menjadi pemandu berlayar agar tak salah arah. 

Henri Subiakto | Maret 2013