Dulu Media Massa itu powerful, dengan kekuatan beritanya bisa mengritik, memframing bahkan bisa menghancurkan reputasi dan nama siapapun. Tapi media juga bisa mempopulerkan orang, membangun reputasi, hingga memuja muja atau Glamourising seseorang atau apapun. Media Massa adalah kekuatan penyeimbang dan pengontrol eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Bahkan masyarakatpun bisa dia garap tanpa mampu membalas pada media. Ibarat sebuah kekuasaan Media telah menjadi kekuatan yg bisa mengoreksi siapa saja tapi dirinya tidak bisa dikoreksi oleh kekuatan dari luar. Yang bisa mengontrol media hanyalah pemiliknya atau para pemasang iklan yang mempengaruhi hidup matinya media. Di luar itu semua bisa jadi sasaran interogasi dan agenda setting media. Sehingga media jadi kekuatan tersendiri sebagaimana power atau kekuasaan yang lain yang juga tends to corrupt.
Di era digital, terjadilah perubahan. Tatkala semua anggota publik bisa memiliki perangkat smartphone maka semua orang bisa jadi "wartawan". Semua orang bisa memiliki medianya sendiri. Dengan smartphone semua orang bisa jadi pengamat, komentator, hingga executor. Mereka itulah netizen yang jumlahnya tidak terbatas mengikuti jumlah penduduk yang aktif menggunakan smartphone.
Netizen adalah sekumpulan "warga internet" (citizen of the net), yang di dalamnya ada yang pasif maupun yang sangat aktif terlibat dalam komunitas maya. Mereka saling kontrol, saling mengisi dan saling berbagi informasi. Mereka berkomunikasi itu biasanya digerakkan oleh kepedulian dan solidaritas saat menghadapi suatu persoalan. Netizen bisa memproduksi pesan hingga cercaan yang memenuhi dunia maya. Merekalah yang menulis di Facebook, mengisi twitter, meramaikan instagram, WhatsApp dan lain lain. Merekalah yang menshare apa saja yang dianggap menarik. Netizen memang tudak tunggal, tidak monolitik, dia bisa terbelah bahkan terfrakmentasi mengikuti orientasi politik dan sosial. Tapi siapa yang banyak disitulah kebenaran post truth yang semu terbentuk. Kendati netizen itu tidak satu, tapi tetap mereka adalah kekuatan besar, bahkan sangat besar.
Netizen itu bergerak tanpa aba aba, tapi bisa menyerang, membuli siapa saja yg dianggap melanggar norma. Netizen adalah makhluk digital yang wujudnya tidak jelas, tapi keberadaannya, dan kekuatannya nyata. Netizen memiliki logika sendiri dan tidak takut pada siapapun. Siapapun dan apapun yang mengusik mereka, mengusik kebenaran mereka, "mengusik" tokoh yang mereka puja secara tidak pantas, maka pelaku bisa "dihabisi", dikeroyok oleh pasukan yang mirip legenda pewayangan, ajian "sosro birowo" milik prabu Salyo, yang jumlahnya makin banyak saat dihadapi musuh dengan kekerasan, itulah netizen. Jumlah mereka yang banyak dan selalu ada itu, seakan tidak pernah tidur. Mata digitalnya ada dimana-mana, kaya akan data dan jejak fakta.
Dulu orang dan lembaga yang powerful, berkuasa, maupun yang sok berkuasa, apakah itu elite politik, pemilik media hingga para pengelolanya, sulit tersentuh kejuatan apapun. Sekarang di era transparansi dan partisipasi ini, mereka bisa jadi bagan bulan bulanan dan bulian komunikasi yang dilakukan oleh netizen.
Netizen bisa menggempur lewat opini, menyerang lewat meme, menusuk lewat informasi, hingga menghack dan melumpuhkan aplikasi. Majalah Tempo sempat jadi sasaran netizen yang tidak terima dengan cover majalah itu yang menggambarkan bayangan presiden sebagai pinokio. Pemberitaan yang dianggap tak etis itu berakibat serangan netizen pada aplikasi Tempo untuk berlangganan maupun untuk membaca langsung down. Hilang dari playstore.
Sekarang media massa harus hati hati. Jika mereka berperilaku melupakan etika dan melukai perasaan bersama netizen, tidak mustahil mereka akan jadi sasaran "amuk" komunikasi warga net yang aktif menjaga "moralitas" maya.
Kalau suatu media mainstream karena memiliki historia sejarah kebesaran masa lalu, kemudian merasa mampu lewat pemberitaannya melawan mereka netizen yang sebagian paling aktif sering juga disebut sebagai buzzer, maka genderang perang justru bisa membunuh media yang bersangkutan. Kekuatan besar netizen, hingga pengaruhnya yang bisa membuat gerakan uninstall media yang dianggap mencederai mereka, serangan netizen bisa fatal dan mampu menjadikan kuburan bagi media media konvensional yang nekad menghadapi kekuatan netizen.
Orang-orang media konvensional harus sadar bahwa dunia telah berubah. Masyarakat yang dulu disebut audience, sekarang telah menjelma menjadi netizen yang bisa membuat berita sendiri, memiliki media sendiri. Memiliki pandangan sendiri, hingga kebenaran sendiri.
Dulu media itu eksklusif. Hanya yang menguasai kertas koran yang bisa nulis isinya, hanya yang muncul di TV dan Radio yang bisa pengaruhi orang banyak. Sekarang smartphone adalah media yang dimiliki semua orang. Smartphone menghantarkan pemiliknya muncul di smarphone milik orang lain. Mass Communication yang dulunya powerful, sekarang tergusur oleh Mass Self Communication. Pesan komunikasi tidak lagi dikuasai dan disebarkan segelintir orang, di ruang ruang redaksi, melainkan sekarang dikuasai banyak orang dan disebarkan lewat orang per orang. Person to person, self to self. Itulah fenomena Mass self Communication di era 4.0 ini
Masyarakat adalah sumber hidup media, karena merekalah audiens media. Tapi masyarakat itu telah metamorfosis menjadi netizen yang tidak hanya jadi audiens pasif tapi sangat aktif bahkan sekaligus juga jadi pesaing dalam economy of attention, mereka punya media, dan mereka juga memproduksi pesan, yang bisa mengroyok, menggiring opini, memviralkan "keburukan" media yang dianggap bermasalah, hingga sekaligus ajakan uninstall atau unsubscribe media yang mencoba melawan netizen.
Dengan kondisi seperti sekarang, media massa tidak bisa lagi jumawa seenaknya sendiri. Kalau mereka dalam pemberitaannya dianggap mencederai orang banyak atau netizen, maka tak mustakhil media akan dihajar bahkan bisa ditenggelamkan oleh aktivitas dan sensitivitas netizen.
Peringatan untuk media manapun agar lebih ketat memberlakukan etika, check and recheck hingga berkomitmen pada objektivitas, yang faktual, imparsial, balance dan netral. Media tidak lagi bisa main main. Di era 4.0 media tidak lagi powerful, dan untouchable. Mereka senantiasa diawasi oleh netizen yang siap memberi sanksi dan mengeksekusi jika dipandang bertentangan dengan kebenaran digital dan rasa keadilan.
Tidak bisa tidak, media konvensional harus membaca dan menghargai gerak dan kehendak netizen. Media harus menghindari bertabrakan dengan logika kebenaran dan suara hati netizen. Mereka, netizen itu bukan lawan media konvensional. Kalau media harus berhadapan dengan netizen, sama saja dengan mempertarungkan antara taksi konvensional melawan taksi online seperti Grab Car dan Go Car. Sama halnya pertarungan Travel konvensional Thomas Cook melawan AirBnB dan Traveloka.
Henry Subiakto
Minggu, 06 Oktober 2019
Kamis, 12 September 2019
HABIBIE, ORANG BAIK YANG "DIBENCI". Oleh :Prof Henry Subiakto
Menjelang Indonesia melangsungkan Sidang Umum MPR Maret tahun 1998, dan mengalami reformasi Mei 1998, banyak elit politik dan pejabat negara kasak kusuk tidak suka dengan pak Habibie.
Di antara mereka yang tidak suka itu, membuat gerakan klandestein, gerakan bawah tanah mengkritisi bahkan berseberangan dengan kekuasaan Suharto, atau kekuasaan Orde Baru. Salah satu alasannya Suharto dinilai terlalu percaya dan terlalu dekat dengan BJ Habibie.
Habibie dianggap diberi kekuasaan terlalu besar oleh Suharto. 7 Perusahaan strategis ada di tangan Habibie. Selain jabatan yang sudah lama sebagai Menristek, kepala BPPT, ketua ICMI, Pembina Golkar, hingga akhirnya dipilih Suharto menjadi Wapres yang mendampingi dirinya di Sidang Umum MPR 1998.
Banyak orang iri dengan jabatan Habibie yang berderet. Dari yang sekedar mempertanyakan apa Habibie bisa dan punya waktu untuk bekerja dengan begitu banyak jabatan. Sampai rumor-rumor yang mempertanyakan kenapa Soeharto begitu "tunduk" mengikuti keinginan "anak emas"nya ini? Sampai sampai Soeharto dianggap lebih memilih "dekat" dan percaya Habibie dengan ICMI nya dari pada dekat dengan tentara dan kaum nasionalis.
Saat itu muncul gerakan politik yang mengarah anti Suharto dan Habibie dengan Ikatan Cedekiawan Muslimnya. Gerakan klandestein itu tak hanya dilakukan oleh politisi dan aktivis sipil nasionalis, tapi juga mantan jenderal dan tentara. Mereka mulai tidak suka dengan penguasa Orde Baru yang begitu lekat dengan Habibie yang notabene membawa bendera Ikatan Cendekiawan Muslim.
Saat terjadi gerakan reformasi Mei 1998 hingga Jakarta rusuh dan Soeharto menyatakan berhenti di tanggal 21 Mei. Praktis kekuasaan Soeharto beralih ke Habibie. Gerakan demo besar hingga kerusuhan yang membakar Jakarta telah mendesak presiden Soeharto mengundurkan diri atau berhenti dari jabatan presiden, dan praktis wakil presiden naik menjadi presiden itulah Habibie
Mahasiswa bersorak, Orde Baru tumbang, Habibie jadi Presiden ketiga. Indonesia memasuki era baru, era demokrasi, era presiden sipil. Saat itu walau presiden Habibie berhasil mengendalikan krisis politik dan krisis ekonomi dalam waktu singkat, tapi apresiasi padanya belum muncul. Padahal waktu itu rupiah sempat terpuruk hingga 17 ribu per dolar Amerika. Habibie berhasil menaikkan kembali hingga 8. Ribu per dolar Amerika dan stabil.
Tapi demo demo tidak berhenti. Ejekan pada Habibie sebagai presiden tidak berwibawa sering muncul dalam narasi narasi politik di berbagai tempat. Meme atau karikatur pak Habibie digambarkan sebagai presiden berwajah kekanak kanakan dengan mata melotot sering muncul dan dibawa oleh pendemo saat itu.
Puncaknya Sidang Umum MPR 1999 presiden Habibie ditolak Pertanggung Jawabannya oleh MPR. Sedangkan di luar gedung DPR MPR, Jakarta diwarnai dengan demo demo Mahasiswa yg menolak Habibie sebagai presiden, dan tuntutan Soeharto diadili. Pergolakan politik itu sampai memunculkan kasus Semanggi 1 dan Semanggi 2 yang membawa korban beberapa mahasiswa tewas.
Tekanan dan sentimen pada Habibie terjadi juga di level elite, banyak kepentingan bagi elite oportunis ingin menggusur pak Habibie. Hingga akhirnya pak Habibie tercatat sebagai Presiden Indonesia tersingkat. Walau beliau dikenal sebagai orang brilian, teknokrat yang handal dan jenius, tapi sebagai penguasa politik Habibie hanya bertahan setahun lima bulan menjabat presiden. Padahal beliau melakukan banyak hal selama setahun itu. Habibie lah yang menghasilkan banyak UU di tahun 1999 yang isinya landasan demokratisasi Negeri ini. Boleh dikatakan Presiden Habibie-lah yang membangun infrastruktur demokrasi, mengubah sistem otoriter Orde Baru menjadi sistem yang demokratis. Tapi Habibie pula yang pertama menjadi korban ganasnya politik bebas dan demokratis. Tak hanya dicela dan dihina saat berkuasa, tapi hasil rekayasa teknologinyapun sempat tak dihargai. Habibie dituduh bagian dari Orde Baru, kelanjutan Soeharto, sehingga banyak unsur masyarakat saat itu menolaknya berkuasa. Padahal Soeharto dan keluarga Cendana justru sejak Habibie jadi Presiden hingga lengser, tidak diterima oleh keluarga itu. Soeharto tidak mau ketemu Habibie. Habibie dimusuhi diperlakukan sebagai "pengkhianat" Cendana.
HABIBIE MENJADI TELADAN
Selepas Habibie tidak menjadi presiden karena tidak mengajukan diri, di Sidang Umum 1999, Habibie lebih banyak disibukkan dengan urusan pengabdian pada ilmu pengetahuan, teknologi dan keluarga. Sebagai mantan presiden Habibie menjunjung etika. Dia tidak lagi ikut politik praktis. Habibie tidak pernah mengeritik Pemerintah atau Presiden penggantinya. Etika moral demokrasi dia pegang. Habibie tidak pernah mengumbar pernyataan yang kontroversi atau menyerang pemerintah. Dia mengikuti tradisi para pemimpin dunia dari negara negara Barat yang maju, bahwa para mantan presiden itu tidak elok bicara menyoroti pemerintahan sesudahnya.
Karena keteladanan pak Habibie, justru rakyat simpati kepadanya. Orang mulai banyak melihat kebaikan kebaikan pak Habibie. Apresiasi terhadap karyanya kembali mengemuka. Kerinduan pada sikapnya yang demokratis mulai muncul dimana mana. Apalagi secara romantis pak Habibie juga bisa menjadi teladan tentang perjuangan dan cintanya pada istri tercinta ibu Ainun. Walhasil pak Habibie menjadi tokoh terhormat dan teladan bagi kita semua. Hujatan hujatan seperti saat dia berkuasa ataupun saat Timor Timur lepas dari Indonesia karena kebijakannya menyetujui referendum 1999, tidak ada lagi, terhapus oleh pujian dan kekaguman kebaikan kebaikannya selama mengabdi Indonesia hingga di masa tua beliau. Bahkan presiden Jokowi maupun SBY, Bu Mega dan GusDur, menaruh hormat kepada presiden ke 3 Habibie. Habibie menjadi tokoh yang nyaris sempurna bagi panutan bangsa. Kalau ada hal penting beliau datang dan memberikan masukan langsung ke presiden. Habibie tak pernah "mempermalukan" penerusnya. Habibie adalah teladan bagi negarawan, tapi Habibie juga teladan bagi ilmuwan. Bahkan bagi para suami, ayah dan kakek, sosok Habibie adalah panutan.
Namun, kita telah kehilangan sosok teladan itu. Allah Sang Khaliq memanggilnya di usia 83 tahun. Innalillahi wainna ilaihi rojiun. Selamat jalan pak Habibie. Selamat jalan pahlawanku. Selamat jalan teladanku dan idolaku. Kami Bangsa Indonesia tidak akan melupakanmu. Hari ini kami berduka mengantar kepergianmu, kami hanya bisa berdoa semoga arwahmu diterima disisiNya dan dikumpulkan dengan wanita yang kau cinta, ibu Ainun di JannahNya, amin. Alfatehah.
Henry Subiakto.
Di antara mereka yang tidak suka itu, membuat gerakan klandestein, gerakan bawah tanah mengkritisi bahkan berseberangan dengan kekuasaan Suharto, atau kekuasaan Orde Baru. Salah satu alasannya Suharto dinilai terlalu percaya dan terlalu dekat dengan BJ Habibie.
Habibie dianggap diberi kekuasaan terlalu besar oleh Suharto. 7 Perusahaan strategis ada di tangan Habibie. Selain jabatan yang sudah lama sebagai Menristek, kepala BPPT, ketua ICMI, Pembina Golkar, hingga akhirnya dipilih Suharto menjadi Wapres yang mendampingi dirinya di Sidang Umum MPR 1998.
Banyak orang iri dengan jabatan Habibie yang berderet. Dari yang sekedar mempertanyakan apa Habibie bisa dan punya waktu untuk bekerja dengan begitu banyak jabatan. Sampai rumor-rumor yang mempertanyakan kenapa Soeharto begitu "tunduk" mengikuti keinginan "anak emas"nya ini? Sampai sampai Soeharto dianggap lebih memilih "dekat" dan percaya Habibie dengan ICMI nya dari pada dekat dengan tentara dan kaum nasionalis.
Saat itu muncul gerakan politik yang mengarah anti Suharto dan Habibie dengan Ikatan Cedekiawan Muslimnya. Gerakan klandestein itu tak hanya dilakukan oleh politisi dan aktivis sipil nasionalis, tapi juga mantan jenderal dan tentara. Mereka mulai tidak suka dengan penguasa Orde Baru yang begitu lekat dengan Habibie yang notabene membawa bendera Ikatan Cendekiawan Muslim.
Saat terjadi gerakan reformasi Mei 1998 hingga Jakarta rusuh dan Soeharto menyatakan berhenti di tanggal 21 Mei. Praktis kekuasaan Soeharto beralih ke Habibie. Gerakan demo besar hingga kerusuhan yang membakar Jakarta telah mendesak presiden Soeharto mengundurkan diri atau berhenti dari jabatan presiden, dan praktis wakil presiden naik menjadi presiden itulah Habibie
Mahasiswa bersorak, Orde Baru tumbang, Habibie jadi Presiden ketiga. Indonesia memasuki era baru, era demokrasi, era presiden sipil. Saat itu walau presiden Habibie berhasil mengendalikan krisis politik dan krisis ekonomi dalam waktu singkat, tapi apresiasi padanya belum muncul. Padahal waktu itu rupiah sempat terpuruk hingga 17 ribu per dolar Amerika. Habibie berhasil menaikkan kembali hingga 8. Ribu per dolar Amerika dan stabil.
Tapi demo demo tidak berhenti. Ejekan pada Habibie sebagai presiden tidak berwibawa sering muncul dalam narasi narasi politik di berbagai tempat. Meme atau karikatur pak Habibie digambarkan sebagai presiden berwajah kekanak kanakan dengan mata melotot sering muncul dan dibawa oleh pendemo saat itu.
Puncaknya Sidang Umum MPR 1999 presiden Habibie ditolak Pertanggung Jawabannya oleh MPR. Sedangkan di luar gedung DPR MPR, Jakarta diwarnai dengan demo demo Mahasiswa yg menolak Habibie sebagai presiden, dan tuntutan Soeharto diadili. Pergolakan politik itu sampai memunculkan kasus Semanggi 1 dan Semanggi 2 yang membawa korban beberapa mahasiswa tewas.
Tekanan dan sentimen pada Habibie terjadi juga di level elite, banyak kepentingan bagi elite oportunis ingin menggusur pak Habibie. Hingga akhirnya pak Habibie tercatat sebagai Presiden Indonesia tersingkat. Walau beliau dikenal sebagai orang brilian, teknokrat yang handal dan jenius, tapi sebagai penguasa politik Habibie hanya bertahan setahun lima bulan menjabat presiden. Padahal beliau melakukan banyak hal selama setahun itu. Habibie lah yang menghasilkan banyak UU di tahun 1999 yang isinya landasan demokratisasi Negeri ini. Boleh dikatakan Presiden Habibie-lah yang membangun infrastruktur demokrasi, mengubah sistem otoriter Orde Baru menjadi sistem yang demokratis. Tapi Habibie pula yang pertama menjadi korban ganasnya politik bebas dan demokratis. Tak hanya dicela dan dihina saat berkuasa, tapi hasil rekayasa teknologinyapun sempat tak dihargai. Habibie dituduh bagian dari Orde Baru, kelanjutan Soeharto, sehingga banyak unsur masyarakat saat itu menolaknya berkuasa. Padahal Soeharto dan keluarga Cendana justru sejak Habibie jadi Presiden hingga lengser, tidak diterima oleh keluarga itu. Soeharto tidak mau ketemu Habibie. Habibie dimusuhi diperlakukan sebagai "pengkhianat" Cendana.
HABIBIE MENJADI TELADAN
Selepas Habibie tidak menjadi presiden karena tidak mengajukan diri, di Sidang Umum 1999, Habibie lebih banyak disibukkan dengan urusan pengabdian pada ilmu pengetahuan, teknologi dan keluarga. Sebagai mantan presiden Habibie menjunjung etika. Dia tidak lagi ikut politik praktis. Habibie tidak pernah mengeritik Pemerintah atau Presiden penggantinya. Etika moral demokrasi dia pegang. Habibie tidak pernah mengumbar pernyataan yang kontroversi atau menyerang pemerintah. Dia mengikuti tradisi para pemimpin dunia dari negara negara Barat yang maju, bahwa para mantan presiden itu tidak elok bicara menyoroti pemerintahan sesudahnya.
Karena keteladanan pak Habibie, justru rakyat simpati kepadanya. Orang mulai banyak melihat kebaikan kebaikan pak Habibie. Apresiasi terhadap karyanya kembali mengemuka. Kerinduan pada sikapnya yang demokratis mulai muncul dimana mana. Apalagi secara romantis pak Habibie juga bisa menjadi teladan tentang perjuangan dan cintanya pada istri tercinta ibu Ainun. Walhasil pak Habibie menjadi tokoh terhormat dan teladan bagi kita semua. Hujatan hujatan seperti saat dia berkuasa ataupun saat Timor Timur lepas dari Indonesia karena kebijakannya menyetujui referendum 1999, tidak ada lagi, terhapus oleh pujian dan kekaguman kebaikan kebaikannya selama mengabdi Indonesia hingga di masa tua beliau. Bahkan presiden Jokowi maupun SBY, Bu Mega dan GusDur, menaruh hormat kepada presiden ke 3 Habibie. Habibie menjadi tokoh yang nyaris sempurna bagi panutan bangsa. Kalau ada hal penting beliau datang dan memberikan masukan langsung ke presiden. Habibie tak pernah "mempermalukan" penerusnya. Habibie adalah teladan bagi negarawan, tapi Habibie juga teladan bagi ilmuwan. Bahkan bagi para suami, ayah dan kakek, sosok Habibie adalah panutan.
Namun, kita telah kehilangan sosok teladan itu. Allah Sang Khaliq memanggilnya di usia 83 tahun. Innalillahi wainna ilaihi rojiun. Selamat jalan pak Habibie. Selamat jalan pahlawanku. Selamat jalan teladanku dan idolaku. Kami Bangsa Indonesia tidak akan melupakanmu. Hari ini kami berduka mengantar kepergianmu, kami hanya bisa berdoa semoga arwahmu diterima disisiNya dan dikumpulkan dengan wanita yang kau cinta, ibu Ainun di JannahNya, amin. Alfatehah.
Henry Subiakto.
Kamis, 16 Mei 2019
PEMAIN DAN SUPORTER JANGAN JADI WASIT Oleh : Henri Subiakto
Sering
kita dengar ada tuduhan, wasit jadi pemain. Wasitnya dituduh curang karena ikut
membantu pemain tuan rumah. Tapi repotnya yang
nuduh itu adalah pemain lain, yang
secara nyata malah ingin merebut peran wasit. Bahkan memaksa semua pihak untuk
membenarkan, mengikuti dan mengakui keputusannya yang merebut peran sebagai
wasit tadi.
Ngomong
curang, ngomong ada ketidakadilan, tapi teriaknya sambil bermain dan didukung
para supporter yang fanatik, sebagaimana halnya suporter
Hooligans. Ngritik, teriak, memberi koreksi
itu boleh saja, tapi jangan sampai lalu ambil atau merebut sempritan
milik wasit, kemudian mengatakan penilaiannyalah yang paling benar. Kalau
sudah seperti itu lalu apakah kita semua layak percaya dan mengikuti pemain
yang "praat priit- praat priit" menyembunyikan sempritan wasit dengan
dukungan suporter Hooligans tersebut?
Harusnya
ada tidaknya kecurangan, ketidakadilan dan lain lain itu yang menilai, atau menentukan,
bukan pemain ataupun supporter, tapi diserahkan
pada wasit hakim yang
profesional atau pengawas yang
independen, yang proses penjuriannya
dilakukan secara terbuka, diawasi oleh semua pihak dengan prosedur aturan yang ketat.
Lalu
siapa lagi yang
harus jadi wasit dalam sebuah pertandingan kalau bukan dari kalangan
profesional yang
independen dan dipilih sesuai kesepakatan. Jangan sampai pemain dan supporter
berusaha memainkan sempritan masing masing seakan pada jadi wasit. Kalau wasit
dianggap curang, laporkan ke pengawas pertandingan, biar diadili secara
terbuka.
Kita
tahu, semua manusia itu subyektif, tapi para wasit bisa menjadi obyektif saat
mereka diatur dengan aturan dan prosedur yang
ketat serta diawasi baik sisi etika maupun perilakunya. Sebagaimana kita ketahui
KPU, Bawaslu, DKPP, MK dan lain lain itu diatur dengan prosedur aturan yang ketat, diawasi secara
ketat, dipilih lewat proses yang ketat, semua berdasar UU, sehingga disitulah
mereka bisa menjadi lebih objektif, dibanding para pemain, para supporter, atau
rakyat biasa yang
bertindak tanpa aturan.
Walhasil
adu data, adu fakta, adu saksi, dan argumentasi di Pengadilan MK yang terbuka, tentu jauh
lebih baik daripada adu massa, adu otot, dan adu kenekadan.
Harus
kita dukung aparat yang mencegah, dan menegakkan aturan agar suporter jangan
sampai ikut masuk ke lapangan lalu mau memaksakan bertindak sebagai wasit.
Kalau hal itu sampai dibiarkan, maka akan rusak pertandingannya. Atau malah akan terjadi tawuran antar
supporter dan supporter yang
masuk lapangan digebuki Aparat keamanan.
Yuk
kita jaga pertandingan Pilpres ini secara cerdas dan tidak emosional. Biarkan
pertandingan ini ibarat Piala Champion, walau para suporter itu sangat fanatik,
tapi mereka tetap menghormati aturan permainan dan penyelenggara. Insya Allah
pertandingan akan nampak cantik, menarik
dan mampu melibatkan emosi pendukung, tapi selesai dengan damai, dan segera
mempersiapkan seri pertandingan berikutnya. Mudah mudahan kontestasi Pilpres
ini juga berakhir indah sebagaimana piala Champion yang semua pihak bisa
menerima apapun hasil pertandingannya.
Henri Subiakto
Langganan:
Postingan (Atom)