Jumat, 02 Maret 2018

BENCI DONALD TRUMP, TAPI IKUTI CARANYA? Oleh : Henry Subiakto


Partai Pembebasan Austria (FPO), adalah partai ekstrim Kanan yang didirikan oleh mantan anggota Nazi di tahun 1955. Partai kecil di Austria tersebut, tiba-tiba membesar dan sukses di Pemilu Austria 2017, setelah mengusung kampanye dengan ide-ide populis yaitu anti Imigran, anti Islam, anti globalisasi, dan anti Uni Eropa.
Dalam berbagai kesempatan Partai ini menuntut agar imigran dilarang masuk Austria (padahal sebelumnya 2016 ratusan ribu imigran masuk dari Suriah). Partai ekstrim ini juga menuntut larangan penggunaan cadar dan simbol-simbol Islam di negeri itu.
Kampanye ekstrim ini ternyata justru sukses. Mendapatkan 52 kursi parlemen dan membuat partai ini digandeng berkoalisi dengan Partai Rakyat. Walhasil Hein Christian Strache, tokoh nasionalis kanan dari FPO terpilih sebagai wakil Perdana Menteri Austria, mendampingi PM Sabastian Kurz.
Ini contoh satu lagi penggunaan isu isu SARA dalam kampanye Pemilu yang ternyata justru berhasil mengangkat partai “kecil” masuk Pemerintahan. Ini adalah bukti bahwa diakui atau tidak di masyarakat majupun, kebencian berdasar perbedaan SARA itu ada di kepala dan hati masyarakatnya, apalagi di masyarakat negara berkembang.
Ketidaksukaan atas perbedaan SARA yang terpendam di masyarakat inilah yang justru sekarang dipupuk dan dimanfaatkan dalam politik modern oleh para politisi kerdil pencari kekuasaan. Politik identitas digunakan dan disebarkan lewat propaganda yang mendorong  partisipasi publik untuk saling membenci di media sosial.
Hasilnya banyak tokoh radikal yang Rasis dari partai Kanan sukses di pemilihan politik. Ada Trump yang menjadi prediden di AS, ada Christian Strache yang menjadi wakil PM di Austria, ada Marine Le Pen yang menghebohkan Perancis, ada Frauke Petry di German yang hampir mengalahkan Markel dll.
Di era Post Truth sekarang ini, politik dan komunikasi politik memang diwarnai oleh sikap emosional sebagian besar masyarakat. Mereka menyukai dan hanya mau menerima informasi dan pemimpin yang memiliki kesamaan emosi, kepercayaan, atau SARA. Objektivitas, netralitas, perlakuan kesamaan, dan toleransi pada mereka yang berbeda acapkali ditolak karena tidak sesuai dengan kecenderungan emosi dan kepercayaan mereka. Pola mendahulukan emosi, mengabaikan fakta dan kebenaran ini, terimplementasi di ruang media sosial.
FB, twitter, instagram, Line hingga WA menjadi wahana tempat mengekspresikan politik identitas yang justru memunculkan pengelompokkan dan pembelahan masyarakat yang saling “membenci”.  Informasi berupa hate speech hingga hoax marak di medsos. Sampai sampai pemilik FB, IG dan WA, Mark Zukercberg meminta maaf, karena perusahaan aplikasi miliknya diakui telah merongrong demokrasi, dan membuat masyarakat di berbagai negara terbelah hingga sering memicu konflik, pertikaian dan permusuhan.
Secara algoritma, teknologi media sosial mendekatkan orang-orang yang sepaham menjadi kelompok sepikiran yang saling membenarkan. Echo chambers atau ruang gema terbentuk karena fasilitas teknologi dan faktor psikologi, bahwa individu itu memilih teman dan informasi yang memiliki orientasi yang sama. Mereka ada di echo chambers, berkomunikasi dengan orang-orang sepikiran. Walhasil merasa benar karena sikapnya di dukung oleh orang lain yang sepikiran. Pengelonpokkan dan pembelahan masyarakatpun makin menjadi jadi.
Lalu masihkah kita akan terus mendukung suksesnya para politisi yang membawa nilai-nilai pemecah belah bangsa berdasarkan identitas SARA? Kalau iya berarti Kita tidak beda dengan Donald Trump, Marine Le Pen hingga Christian Strache Dll. Mereka sukses menjadi besar di negaranya karena mengobarkan politik rasis. Mengeksploitasi fanatisme pada identitas dan kepercayaan mereka, dan dengan tidak menghormati yang berbeda. Ironi memang, di satu sisi kita tidak menyukai Donald Trump, tapi di sisi lain termyata malah mengikuti cara caranya.

Prof. Henry Subiakto


UNTUK SAHABAT SAHABATKU



Mengapa orang semakin bertambah umur semakin tua, semakin mudah bangun lebih malam, sehingga bisa tahajud atau sholat fajar. Minimal subuh dengan tepat.
Karena sesungguhnya kasih sayang Allah kepada hambanya, melelebihi kasih sayang ibu kepada anaknya (Hadis Bukhori Muslim)
Semua yang sudah terjaga atau sulit tidur sesungguhnya sedang diberi kesempatan untuk bertobat, berdoa dan bersyukur oleh Allah. Bahkan orang yang lagi sakitpun sesungguhnya sedang dikurangi dosa-dosanya oleh Allah. Persoalannya apa kasih sayang Allah yangg tiada tara itu sudah kita manfaatkan?
Sayangnya di antara kita masih ada yang merasa beriman Bahkan mungkin merasa lebih dari yang lain tapi tiap hari hanya kecewa dengan keadaan, menyalahkan keadaan, dan membenci keadaan. Mereka seakan lupa terhadap rasa bersyukur dan lupa pada kasih sayang Allah yang tiada tara yang terus dilimpahkan pada hambaNya. Kekecewaan dan melupakan syukur itu sering hanya dikarenakan pikirannya dipenuhi informasi yang buruk yang belum tentu benar.
Padahal semua keadaan ini harus kita syukuri, walau Keadaan buruk sekalipun. Karena kalau sudah menjadi ketetapan Allah harus kita yakini sebagai yang terbaik. Yang selalu ada hikmah yang harus kita syukuri. Apalagi kondisi yang relatif aman dan damai. Maka syukurilah dengan kerja keras, selalu berupaya terbaik, dan berpengharapan yang baik pula.
Sesungguhnya Manusia haram bersuudzon, berprasangka buruk pada sesama manusia, apalagi suudzon kepada kehendak Allah SWT. Semoga kita termasuk orang yang selalu bersyukur dan tidak menyia nyiakan kasih sayang Allah.

Mutiara Pagi
Prof Henry Subiakto




TERIMA KASIH UNTUK PARA CUKONG PENYEDIA MAHAR PILKADA



Dalam politik, faktor kepentingan memang bisa membuat bergabungnya partai partai yang awalnya “berseberangan”, “bermusuhan”, kemudian tiba tiba mereka berbaikan, bersama sama mendukung pasangan tertentu. Kira kira kepentingan seperti apa yang membuat mereka harus bersatu, bergabung, dan memberi dukungan pada pasangan calon tertentu?
Tentu alasannya macam-macam. Bisa karena figur calon. Bisa karena pertimbangan ideologi. Bisa karena kuatnya lobi yang menjadikan tertarik. Bisa karena alasan untuk proyeksi ke depan. Bisa juga karena ada “mahar” yang membuat cair keadaan.
Semua hal itu tidak kasad mata, tidak terlihat. Publik hanya bisa melihat apa yang tampak di permukaan. Apalagi tentang keberadaan “Mahar politik” itu benar benar sulit dibuktikan. Juga tidak akan diakui oleh pelaku pelakunya. Tapi berdasar korban, terutama yang gagal, mereka membenarkan adanya “mahar” tersebut. Uang puluhan hingga ratusan milyar itu bukan selalu dari pribadi uang calon, tapi biasanya yang menyediakan dana untuk mahar politik tersebut adalah cukong atau bohir yang berkepentingan langsung dengan kebijakan sang pejabat nantinya.
Dana puluhan atau ratusan milyar dari cukong  untuk “membeli” rekomendasi dan dukungan partai bagi pasangan calon yang maju ini merupakan cikal bakal yang merusak. Ini persoalan hulu yang banyak memunculkan “kongkalingkong” hingga hilir. Hasilnya ya kolusi dan korupsi yang menjadi sulit diberantas.
Tapi efek positifnya adalah, situasi politik di Pilkada beberapa daerah menjadi cair. Yang awalnya berhadap hadapan harus menyatu kerjasama. Memang tidak ada musuh abadi dalam politik. Lawan bisa menjadi teman. Pembelahan politik menjadi tidak permanen. Cukong dan bohir politik, “bisa menyatukan” partai partai yang “bertikai”. Karena ada kekuatan “uang” mereka menjadi bergadengan tangan berkat “kebaikan” dan “murah hati” dari para cukong yang mengeluarkan dana mendukung tokoh tokoh tertentu.
Bahkan tak jarang, konglomerat itu ada di dua kaki, mendukung dan membiayai siapapun yang maju. Jadi siapapun yang menang, tetap menguntungkan mereka.
Sekarang tinggalah para haters dan lovers yang kebingungan. Biasa mencela, dan menebar kebencian pada pihak lawan. Sekarang kebingungan, lawannya ada di satu kapal. Garis musuh jadi tidak jelas. Penglompokkan berubah. Meme dan kata kata serangan jadi tidak relevan. Politik jadi tak sepanas seperti Pilkada DKI Jakarta. Siapa yang pantas kita ucapi terima kasih dengan keadaan ini? Politisi? Atau para Cukong yang “dermawan” itu?

Henry Subiakto