Partai Pembebasan Austria (FPO), adalah partai ekstrim Kanan yang didirikan oleh mantan anggota Nazi di tahun 1955. Partai kecil di Austria tersebut, tiba-tiba membesar dan sukses di Pemilu Austria 2017, setelah mengusung kampanye dengan ide-ide populis yaitu anti Imigran, anti Islam, anti globalisasi, dan anti Uni Eropa.
Dalam
berbagai kesempatan Partai ini menuntut agar imigran dilarang masuk Austria
(padahal sebelumnya 2016 ratusan ribu imigran masuk dari Suriah). Partai
ekstrim ini juga menuntut larangan penggunaan cadar dan simbol-simbol Islam di
negeri itu.
Kampanye
ekstrim ini ternyata justru sukses. Mendapatkan 52 kursi parlemen dan membuat
partai ini digandeng berkoalisi dengan Partai Rakyat. Walhasil Hein Christian
Strache, tokoh nasionalis kanan dari FPO terpilih sebagai wakil Perdana Menteri
Austria, mendampingi PM Sabastian Kurz.
Ini
contoh satu lagi penggunaan isu isu SARA dalam kampanye Pemilu yang ternyata
justru berhasil mengangkat partai “kecil” masuk Pemerintahan. Ini adalah bukti
bahwa diakui atau tidak di masyarakat majupun, kebencian berdasar perbedaan
SARA itu ada di kepala dan hati masyarakatnya, apalagi di masyarakat negara
berkembang.
Ketidaksukaan
atas perbedaan SARA yang terpendam di masyarakat inilah yang justru sekarang
dipupuk dan dimanfaatkan dalam politik modern oleh para politisi kerdil pencari
kekuasaan. Politik identitas digunakan dan disebarkan lewat propaganda yang
mendorong partisipasi publik untuk
saling membenci di media sosial.
Hasilnya
banyak tokoh radikal yang Rasis dari partai Kanan sukses di pemilihan politik.
Ada Trump yang menjadi prediden di AS, ada Christian Strache yang menjadi wakil
PM di Austria, ada Marine Le Pen yang menghebohkan Perancis, ada Frauke Petry
di German yang hampir mengalahkan Markel dll.
Di
era Post Truth sekarang ini, politik dan komunikasi politik memang diwarnai
oleh sikap emosional sebagian besar masyarakat. Mereka menyukai dan hanya mau
menerima informasi dan pemimpin yang memiliki kesamaan emosi, kepercayaan, atau
SARA. Objektivitas, netralitas, perlakuan kesamaan, dan toleransi pada mereka yang
berbeda acapkali ditolak karena tidak sesuai dengan kecenderungan emosi dan
kepercayaan mereka. Pola mendahulukan emosi, mengabaikan fakta dan kebenaran
ini, terimplementasi di ruang media sosial.
FB,
twitter, instagram, Line hingga WA menjadi wahana tempat mengekspresikan
politik identitas yang justru memunculkan pengelompokkan dan pembelahan
masyarakat yang saling “membenci”.
Informasi berupa hate speech hingga hoax marak di medsos. Sampai sampai
pemilik FB, IG dan WA, Mark Zukercberg meminta maaf, karena perusahaan aplikasi
miliknya diakui telah merongrong demokrasi, dan membuat masyarakat di berbagai
negara terbelah hingga sering memicu konflik, pertikaian dan permusuhan.
Secara
algoritma, teknologi media sosial mendekatkan orang-orang yang sepaham menjadi
kelompok sepikiran yang saling membenarkan. Echo chambers atau ruang gema
terbentuk karena fasilitas teknologi dan faktor psikologi, bahwa individu itu
memilih teman dan informasi yang memiliki orientasi yang sama. Mereka ada di
echo chambers, berkomunikasi dengan orang-orang sepikiran. Walhasil merasa
benar karena sikapnya di dukung oleh orang lain yang sepikiran. Pengelonpokkan
dan pembelahan masyarakatpun makin menjadi jadi.
Lalu
masihkah kita akan terus mendukung suksesnya para politisi yang membawa
nilai-nilai pemecah belah bangsa berdasarkan identitas SARA? Kalau iya berarti
Kita tidak beda dengan Donald Trump, Marine Le Pen hingga Christian Strache
Dll. Mereka sukses menjadi besar di negaranya karena mengobarkan politik rasis.
Mengeksploitasi fanatisme pada identitas dan kepercayaan mereka, dan dengan
tidak menghormati yang berbeda. Ironi memang, di satu sisi kita tidak menyukai
Donald Trump, tapi di sisi lain termyata malah mengikuti cara caranya.
Prof.
Henry Subiakto