Banyak warga Indonesia marah dan geram
terhadap Kelompok Bersenjata di Papua yang telah menembak dan membunuh 19
pekerja PT Istaka Karya. Masyarakat tak hanya geram tapi bertanya, mengapa
kelompok yang jelas-jelas melawan negara, hanya dinamakan "Kelompok
Kriminal Bersenjata, kenapa tidak disebut "pemberontak" yang harus
ditumpas tuntas?
Penamaan terhadap suatu gerakan yang
berbau politis, harus ditangani dengan pertimbangan yang luas dan politis juga.
Ada aspek hukum yang diperhatikan, tapi ada juga aspek komunikasi politik
sebagai pertimbangan.
Pertanyaan kritisnya adalah, apakah
kelompok ini menurut mereka bergerak memperjuangkan sesuatu, misal ingin
merdeka, atau hanya sekedar kumpulan preman yang ingin mengacau dan cari uang
semata?
Saya yakin mereka itu, kelompok
pemberontak yang ingin merdeka. Bagian dari apa yang menamakan dirinya OPM
(Organisasi Papua Merdeka). Pertanyaan berikut apa rakyat Papua tidak ingin
merdeka? Saya yakin banyak yang
dalam hati mereka ingin merdeka. Tapi banyak pula yang tidak. Menghilangkan
rasa mereka ingin merdeka ini tidak mudah. Apalagi OPM ini sudah lama dan punya
sejarah panjang, bahkan jaringan propagandanya di luar negeri juga luas.
Kalau seperti ini, apakah pemerintah dan
rakyat Indonesia apa juga layak menyebut mereka para penyerang itu OPM atau
pemberontak yang ingin merdeka?
Kalau kita ikut menyebut mereka OPM atau
pemberontak yang ingin merdeka, pasti ada banyak konsekuensi. Berarti kita
mengakui di Papua kesatuannya dengan Indonesia belum selesai. Masih ada gejolak
perlawanan dari kelompok yang ingin merdeka. Hal ini bisa menjadi isu
internasional yang tidak baik, karena negara-negara yang tidak suka atau tidak
punya kepentingan dengan Indonesia justru bisa membantu atau membela
"perjuangan" OPM secara
diplomatis di PBB. Seperti yang selama ini disuarakan negara-negara Melanesia
yang ada di Pasifik Selatan seperti Vanuatu, Kepulauan Solomon, Fiji, Palau,
Kiribati, dan lainnya. Mereka ini selalu mendukung Papua Merdeka.
Belum lagi kalau mereka, para pelaku
penembakan kita sebut pemberontak OPM, justru nama OPM akan memunculkan simpati
bahkan dukungan dari masyarakat Papua, terutama yg ingin merdeka.
Maka, negara perlu menggunakan teknik
"Name Calling Device". Yaitu memberikan penjulukkan, mereka kita
sebut "Kelompok Kriminal Bersenjata". Tak beda dengan penjahat
jalanan yang ada di tiap negara. Jadi kasus kekerasan yang mereka lakukan
skalanya adalah masalah nasional bahkan lokal. Bukan juga isu serius tentang
pemberontakan apalagi penjajahan atas bangsa Papua.
Jaman Orba, teknik “Name Calling” ini
juga dipakai untuk memberi nama kelompok Islam garis keras yang “berjuang"
melawan pemerintah Suharto. Mereka yang
menamakan diri sebagai "Komando Jihad" oleh pemerintah Orba hanya
disebut sebagai GPK, Gerombolan Pengacau Keamanan. Malah gerakan "Islam
fii Sabilillah" dari Talang Sari Lampung hanya disebut GPK Warsidi, sedang
nama asli mereka yang berbau Islam yang bisa memunculkan simpati dan dukungan
dari umat Islam, narasi negara tidak pernah menyebutnya.
Dengan demikian, rakyat atau kaum muslim
tidak tertarik mendukung atau membela Gerakan Pengacau Keamanan, apalagi GPK
Warsidi. Siapa mau simpati dengan Warsidi. Padahal mereka itu kalau terjadi
sekarang bisa disebut kelompok mujahid yang ingin memperjuangkan penerapan
hukum Islam dan negara Islam.
Nah untuk kasus Papua, teknik "Name
Calling" dipakai juga, agar rakyat Papua tidak simpati atau mendukung
Kelompok Kriminal ini. Mosok kelompok Kriminal pantas didukung kan tidak. Tapi
memang ditambahi dengan kata-kata "Bersenjata", maksudnya
penangannannya bisa melibatkan TNI. Karena kalau hanya kelompok kriminal itu
urusan Polisi. Tapi saat ada tambahan "Bersenjata" maka TNI sah dan
legal ikut di dalamnya untuk menangani, atau bahkan di depan.
Jadi menangani sebuah perkara sensitif,
menyangkut gerakan politik terlebih separatis itu harus ditangani secara
komprehensif, tidak bisa hanya melihat dari satu aspek. Lalu apa yang harus
dilakukan pemerintah terhadap kasus Papua. Penanganannya adalah jelas, yaitu
penegakkan hukum secara tegas. Kejar, tangkap atau hukum keras mereka. Ungkap
latar belakang dan kekuatan yang memback up mereka. Tapi tentu juga memperhitungkan
berbagai aspek sosial, politik, bahkan diplomasi Internasional. Menangani
separatisme itu tidak boleh gegabah dan
emosional.
Kita tidak bisa setiap ada kekerasan,
dibalas dengan cara kekerasan juga yaitu dengan operasi militer. Kalau operasi
militer terlalu sering dilakukan, yang terjadi justru akan seperti di Timor Timur. Persoalan negara, bercampur
dengan dendam keluarga atau personal. Mereka di Timtim dulu dorongan melawan
Indonesia tidak hanya karena ingin merdeka semata, tapi juga karena banyak
masyarakat sakit hati, merasa dilanggar hak azasinya.
Hampir tiap keluarga besar punya dendam
pribadi dengan operasi militer, karena anggota keluarga besar mereka ada yang
terbunuh, hilang, cacat atau menjadi korban. Bagaimana kita tidak dendam kalau
ayah, paman, atau anak kita ada yang mati atau hilang karena operasi militer?
Itu yang banyak terjadi dan dirasakan oleh banyak keluarga orang Timtim korban
operasi Militer saat itu.
Makanya operasi militer itu sebaiknya
tidak jadi kebijakan utama. Diterapkan jika betul betul sangat perlu. Kalau
terlalu sering melakukan operasi militer, akan memunculkan antipati yg meluas,
di daerah atau masyarakat yg menjadi objek operasi militer itu. Operasi militer
memang sesaat bisa membawa ketenangan, karena dibawah "ancaman", tapi
setelah ancaman itu hilang, kebencian dan dendam bisa muncul dan bertahan lama.
Pendekatan ekonomi, budaya, sosial dan politik, amat penting dilakukan secara
cerdas dan strategis.
Nah celakanya di Timtim sudah kondisi
seperti itu lalu diadakan referendum, ya pasti kalah. Ditambah asing seperti
Australia ikut menjual mimpi dan membantu kemerdekaan Timtim. Ya lepas. Untuk
Papua tidak boleh mengulang kesalahan penanganan Timor Timur.
Kita perlu mencontoh bagaimana UK
memperlakukan Scotlandia yang dari dulu ingin merdeka, tapi gagal dengan
strategi "Devolution" yang diterapkan pemerintah Inggris. Apa itu
devolusion nanti kita bahas lain tulisan.
Terima kasih