Kamis, 06 Desember 2018

KENAPA PENYERANG PEKERJA DI PAPUA KITA SEBUT SEBAGAI KELOMPOK KRIMINAL BERSENJATA? Oleh : Henry Subiakto



Banyak warga Indonesia marah dan geram terhadap Kelompok Bersenjata di Papua yang telah menembak dan membunuh 19 pekerja PT Istaka Karya. Masyarakat tak hanya geram tapi bertanya, mengapa kelompok yang jelas-jelas melawan negara, hanya dinamakan "Kelompok Kriminal Bersenjata, kenapa tidak disebut "pemberontak" yang harus ditumpas tuntas?
Penamaan terhadap suatu gerakan yang berbau politis, harus ditangani dengan pertimbangan yang luas dan politis juga. Ada aspek hukum yang diperhatikan, tapi ada juga aspek komunikasi politik sebagai pertimbangan.
Pertanyaan kritisnya adalah, apakah kelompok ini menurut mereka bergerak memperjuangkan sesuatu, misal ingin merdeka, atau hanya sekedar kumpulan preman yang ingin mengacau dan cari uang semata?
Saya yakin mereka itu, kelompok pemberontak yang ingin merdeka. Bagian dari apa yang menamakan dirinya OPM (Organisasi Papua Merdeka). Pertanyaan berikut apa rakyat Papua tidak ingin merdeka? Saya yakin banyak yang dalam hati mereka ingin merdeka. Tapi banyak pula yang tidak. Menghilangkan rasa mereka ingin merdeka ini tidak mudah. Apalagi OPM ini sudah lama dan punya sejarah panjang, bahkan jaringan propagandanya di luar negeri juga luas.
Kalau seperti ini, apakah pemerintah dan rakyat Indonesia apa juga layak menyebut mereka para penyerang itu OPM atau pemberontak yang ingin merdeka?
Kalau kita ikut menyebut mereka OPM atau pemberontak yang ingin merdeka, pasti ada banyak konsekuensi. Berarti kita mengakui di Papua kesatuannya dengan Indonesia belum selesai. Masih ada gejolak perlawanan dari kelompok yang ingin merdeka. Hal ini bisa menjadi isu internasional yang tidak baik, karena negara-negara yang tidak suka atau tidak punya kepentingan dengan Indonesia justru bisa membantu atau membela "perjuangan" OPM  secara diplomatis di PBB. Seperti yang selama ini disuarakan negara-negara Melanesia yang ada di Pasifik Selatan seperti Vanuatu, Kepulauan Solomon, Fiji, Palau, Kiribati, dan lainnya. Mereka ini selalu mendukung Papua Merdeka.
Belum lagi kalau mereka, para pelaku penembakan kita sebut pemberontak OPM, justru nama OPM akan memunculkan simpati bahkan dukungan dari masyarakat Papua, terutama yg ingin merdeka.
Maka, negara perlu menggunakan teknik "Name Calling Device". Yaitu memberikan penjulukkan, mereka kita sebut "Kelompok Kriminal Bersenjata". Tak beda dengan penjahat jalanan yang ada di tiap negara. Jadi kasus kekerasan yang mereka lakukan skalanya adalah masalah nasional bahkan lokal. Bukan juga isu serius tentang pemberontakan apalagi penjajahan atas bangsa Papua.
Jaman Orba, teknik “Name Calling” ini juga dipakai untuk memberi nama kelompok Islam garis keras yang “berjuang" melawan pemerintah Suharto. Mereka yang menamakan diri sebagai "Komando Jihad" oleh pemerintah Orba hanya disebut sebagai GPK, Gerombolan Pengacau Keamanan. Malah gerakan "Islam fii Sabilillah" dari Talang Sari Lampung hanya disebut GPK Warsidi, sedang nama asli mereka yang berbau Islam yang bisa memunculkan simpati dan dukungan dari umat Islam, narasi negara tidak pernah menyebutnya.

Dengan demikian, rakyat atau kaum muslim tidak tertarik mendukung atau membela Gerakan Pengacau Keamanan, apalagi GPK Warsidi. Siapa mau simpati dengan Warsidi. Padahal mereka itu kalau terjadi sekarang bisa disebut kelompok mujahid yang ingin memperjuangkan penerapan hukum Islam dan negara Islam.
Nah untuk kasus Papua, teknik "Name Calling" dipakai juga, agar rakyat Papua tidak simpati atau mendukung Kelompok Kriminal ini. Mosok kelompok Kriminal pantas didukung kan tidak. Tapi memang ditambahi dengan kata-kata "Bersenjata", maksudnya penangannannya bisa melibatkan TNI. Karena kalau hanya kelompok kriminal itu urusan Polisi. Tapi saat ada tambahan "Bersenjata" maka TNI sah dan legal ikut di dalamnya untuk menangani, atau bahkan di depan.
Jadi menangani sebuah perkara sensitif, menyangkut gerakan politik terlebih separatis itu harus ditangani secara komprehensif, tidak bisa hanya melihat dari satu aspek. Lalu apa yang harus dilakukan pemerintah terhadap kasus Papua. Penanganannya adalah jelas, yaitu penegakkan hukum secara tegas. Kejar, tangkap atau hukum keras mereka. Ungkap latar belakang dan kekuatan yang memback up mereka. Tapi tentu juga memperhitungkan berbagai aspek sosial, politik, bahkan diplomasi Internasional. Menangani separatisme itu tidak  boleh gegabah dan emosional.
Kita tidak bisa setiap ada kekerasan, dibalas dengan cara kekerasan juga yaitu dengan operasi militer. Kalau operasi militer terlalu sering dilakukan, yang terjadi justru akan seperti  di Timor Timur. Persoalan negara, bercampur dengan dendam keluarga atau personal. Mereka di Timtim dulu dorongan melawan Indonesia tidak hanya karena ingin merdeka semata, tapi juga karena banyak masyarakat sakit hati, merasa dilanggar hak azasinya.
Hampir tiap keluarga besar punya dendam pribadi dengan operasi militer, karena anggota keluarga besar mereka ada yang terbunuh, hilang, cacat atau menjadi korban. Bagaimana kita tidak dendam kalau ayah, paman, atau anak kita ada yang mati atau hilang karena operasi militer? Itu yang banyak terjadi dan dirasakan oleh banyak keluarga orang Timtim korban operasi Militer saat itu.
Makanya operasi militer itu sebaiknya tidak jadi kebijakan utama. Diterapkan jika betul betul sangat perlu. Kalau terlalu sering melakukan operasi militer, akan memunculkan antipati yg meluas, di daerah atau masyarakat yg menjadi objek operasi militer itu. Operasi militer memang sesaat bisa membawa ketenangan, karena dibawah "ancaman", tapi setelah ancaman itu hilang, kebencian dan dendam bisa muncul dan bertahan lama. Pendekatan ekonomi, budaya, sosial dan politik, amat penting dilakukan secara cerdas dan strategis.
Nah celakanya di Timtim sudah kondisi seperti itu lalu diadakan referendum, ya pasti kalah. Ditambah asing seperti Australia ikut menjual mimpi dan membantu kemerdekaan Timtim. Ya lepas. Untuk Papua tidak boleh mengulang kesalahan penanganan Timor Timur.
Kita perlu mencontoh bagaimana UK memperlakukan Scotlandia yang dari dulu ingin merdeka, tapi gagal dengan strategi "Devolution" yang diterapkan pemerintah Inggris. Apa itu devolusion nanti kita bahas lain tulisan.

Terima kasih

Rabu, 12 September 2018

POLITIK DUA KAKI DI PILPRES 2019 Oleh: Henry Subiakto


Sebenarnya Pilpres 2019 itu sudah setengah selesai. Sekarang Partai-partai lebih banyak yang fokus ke Pileg. Seakan mereka berkoalisi dan berseberangan, tapi sebenarnya mereka sedang bermain drama, untuk mencari simpati agar partainya dipilih di Pemilu Legislatif 2019. Untuk memahami politik, khususnya Pilpres yang saya katakan setengah selesai, kita harus berempati pada para ketua partai dan politisi senior.
Kalau kita jadi ketua Partai, atau jadi tokoh yang berpotensi nanti di tahun 2024 bisa maju Capres atau Cawapres (misal AHY, atau 10 Tokoh Dewan Syuro PKS, atau Ketua PAN) lebih milih tahun 2024 kembali nol nol, semua punya kesempatan yg sama untuk jadi capres cawapres, atau harus nunggu 10 atau bahkan 20 tahun lagi baru terbuka peluang partainya mengajukan capres cawapres?
Siapapun ketua partai itu, pasti ingin dirinya segera bisa dapat peluang menjadi capres atau cawapres secepatnya, yaitu 2024. Alasan ini yang sebulan lalu juga menjadi sebab kenapa Prof Mahfud MD yg populer dan dikenal berintegritas ditolak oleh ketua ketua partai pendukung pak Jokowi. Seperti Cak Imin, Gus Rommy dan pak Airlangga. Hingga memunculkan figur KH Ma'ruf Amin.  Tokoh sepuh yang bisa diterima tanpa dilihat sebagai ancaman di 2024. Beda dengan Prof Mahfud MD, kalau  pak Mahfud sampai jadi Wapres, berarti para ketua partai akan  merasa "terancam" saat ingin maju di Pilpres 2024. Prof Mahfud akan menjadi figur sangat kuat saat menjadi wapres.
Hal yang sama sebenarnya juga dirasakan bagi ketua PKS, PAN dan AHY dari Demokrat, terhadap Sandiaga Uno apabila  menang bersama Pak Prabowo. Sandi pasti juga akan dianggap seperti pak Mahfud MD ancaman juga. Mereka tentu juga lebih memilih Jokowi Ma'ruf yang menang Pilpres 2019, karena jika yang menang pasangan ini maka peluang akan terbuka lebar untuk semuanya. Pada tahun 2024 pak Jokowi sudah selesai tidak bisa maju lagi. Kiai Ma'ruf yang sudah sepuhpun juga selesai karena faktor usia. Maka partai partai punya kesempatan yang sama menyambut Pilpres 2024.
Tetapi kalau Prabowo Sandi yang menang di 2019, berapa puluh tahun ketua ketua partai dan AHY harus menunggu peluang di Pilpres untuk majukan diri?  Prabowo minimal pasti juga ingin 2 periode berarti 10 tahun, kalau tetap dengan Sandiaga Uno, berarti bisa nunggu 10 tahun lagi jadi praktis bisa 20 tahun setelah  Sandi maju capres.
Apakah AHY, para politisi PKS dan tokoh PAN bersabar menunggu sekian lama? Padahal kalau Jokowi Ma'ruf yang menang mereka hanya menunggu 5 tahun. Dan itu waktu yang sangat singkat serta pasti terjadi, artinya ada kepastian asal pasangan Jokowi Ma'ruf yg menang 2019.
Karena itu jangan heran jika partai partai itu seakan berkoalisi tapi sebenarnya mereka tidak  berharap penuh Prabowo Sandi yang menang. Kalau boleh jujur, mereka itu mendukung koalisi Prabowo  Sandi lebih untuk menyelamatkan partainya dari "kekecewaan" konstituen. Mendukung Prabowo Sandi berarti memelihara perasaan konstituen yang memang sikap politiknya tidak bisa nenerima kepemimpinan Presiden Jokowi, maka dilakukanlah mendukung oposisi untuk mencari simpati dan suara suara di Pemilu Legislatif.
Karena kalau ikut koalisi Jokowi Ma'ruf bagi PKS, PAN dan PD tidak menguntungkan. Selain konstituen pendukung Jokowi Ma'ruf itu ketat, diperebutkan 9 partai pendukung koalisi pemerintah, faktor kedua, sebagian besar konstituen mereka lebih banyak yang menjadi haters, yaitu yang kecewa atau tidak suka pada pemerintah. Mendukung Prabowo Sandi berarti memelihara hubungan yang selama ini sudah dibangun sejak 2014. Mendukung Prabowo Sandi berarti juga hanya memperebutkan konstituen (haters) bersama 4 parpol. Tentu relatif lebih ringan dibanding berebut dengan 9 parpol di kubu Jokowi. Itulah yang disebut efek Ekor Jas dukungan pada Presiden.
Makanya tak heran kalau ada partai yang nampak berdiri di dua kaki. Formal yang tercatat di KPU bisa beda dengan yang riel di lapangan. Untuk ini Partai Demokrat yg paling nampak. Formalnya mereka mendukung Prabowo
Sandi, tapi perilaku politik para politisinya justru berbeda.
Gubernur Papua, Enembe dari Demokrat misalnya, secara eksplisit mendukung Pak Jokowi. Tapi dia tidak ditegur atau diperingatkan oleh DPP Partai Demokrat. Gubernur NTB, Tuan Guru Bajang yang juga berasal dari Demokrat juga sama eksplisitnya mendukung Presiden Jokowi 2 Periode. Juga dibiarkan tanpa teguran. Pakde Karwo (Gubernur Jatim) dan Dedy Miswar (mantan Wakil Gubernur Jabar) juga dibiarkan. Bahkan Andi Arief wasekjen PD menuding Pak Prabowo sebagai Jenderal Karduspun juga tidak ditegur ataupun dikenakan sanksi. Padahal jelas-jelas merugikan pihak Prabowo Sandi? Inilah pernainan politik dua kaki tersebut.
Bagaimana dengan PKS? Walau PKS tidak sejelas partai Demokrat, tapi gerakannyapun tidak sepenuh hati full untuk membela kemenangan Prabowo Sandi. Tagar 2019 Ganti Presiden, terbukti tidak langsung digunakan mendukung Prabowo Sandi, melainkan malah dipakai untuk bargaining position. Mendesakkan adanya kontrak politik yang dibawa oleh Madani Alisera ke Prabowo Sandi. Ini menunjukkan juga ada agenda yang berbeda antara PKS dengan kepentingan kemenangan Prabowo Sandi. Besar kemungkinan ini untuk tawar menawar, atau bahkan menekan agar kursi Wagub DKI yang ditinggal Sandi segera diberikan kepada PKS. Atau ada tuntutan tuntutan yg lain.
Karena Bagaimanapun PKS tetap lebih untung untuk jangka panjang kalau Pilpres 2019 yang menang adalah Jokowi Ma'ruf, krn jika itu terjadi mereka juga punya kesempatan ngajukan capres atau cawapres di 2024. Sedang kalau yang menang Prabowo Sandi, PKS akan tetap dibawah bayang-bayang kebesaran Gerindra, dan harus menunggu minimal 10 tahun untuk bisa mengajukan capres atau cawapres dari partainya sendiri. Siapa yang tahan?
PAN sebenarnya sama dengan PKS dan PD, hanya PAN tidak memiliki calon Presiden atau Cawapres yang menonjol atau kuat, sehingga PAN lebih santai, tidak sekhawatir PD atau PKS. Tapi partai inipun lebih memikirkan Pileg dari pada Pilpres yang capres atau cawapresnya bukan kadernya yg maju sendiri. Beda dengan 2014 dimana yang maju cawapres adalah ketua umumnya, yaitu Hatta Rajasa. Sekarang Sandi memang diminta masuk PAN, tapi Sandi terlanjur imagenya adalah dari partai Gerindra. Apalagi Sandi adalah wakil ketua Gerindra,  dan sekarang walau disebut masuk PAN tidak pula kemudian Sandi menjadi pengurus PAN.

Permainan dua kaki oleh partai-partai pendukung Prabowo Sandi ini bukannya tidak diketahui. Pihak Gerindra tentu tahu, tapi tidak bisa  melakukan apapun kecuali tetap mengakomodir agar konstituen partai partai itu masih bersedia mendukung pasangan ini. Namun sikap itupun menyebabkan Gerindra enggan memasang orang di luar Partainya menduduki posisi kunci. Bukan hanya capres Prabowo dan cawapres Sandiaga Uno yg dari internal partai Gerindra. Tapi Ketua Tim Suksespun diambil juga dari petinggi Partai Gerindra, Jenderal Purn. Joko Santosa. Artinya ini sinyal Gerindra hanya percaya pada kadernya sendiri. Bahkan wagub DKI pun tidak rela diserahkan pada PKS, ada kemungkinan akan tetap diberikan kader Gerindra. Ini jelas berbeda dengan tahun 2014, saat itu Wapresnya dari PAN dan ketua tim suksesnya Prof. Mahfud MD yang bukan kader Gerindra.
Dengan kondisi seperti ini, Pilpres 2019 tidak akan seseru 2014, mungkin yang masih semangat justru para pendukungnya, sedang politisi utamanya tak seheboh tahun 2014, khususnya untuk partai di luar Gerindra, karena pemainnya lebih banyak konsentrasi untuk menyelamatkan Pemilu Legislatif yang digelar berbarengan. Bahkan pak Prabowo pun semangatnya tidak seperti 2014 yang all out bersama adiknya. Kali ini beliau nampak lebih hati hati khususnya dalam hal pembiayaan logistik. Sandi dipilih salah satunya faktor ini.
Para Gubernur di provinsi "besar" juga lebih berharap pada kemenangan Jokowi Ma'ruf, karena membuat mereka juga ikut berpeluang dengan mengkapitalisasi jabatannya sebagai Gubernur. Ini bukan hanya untuk Gubernur Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo dan Khofiffah, bahkan Anies Baswedanpun pasti lebih memilih kemenangan Jokowi Ma'ruf, yang berarti peluang juga di 2024. Jadi pertimbangan kepentingan mendukung Jokowi Ma'ruf itu sangat rasional. Walaupun demikian para politisi yang bermain di dua kaki tersebut memang tidak selamanya kelihatan, karena drama politik untuk mencari dukungan konstituen fanatik juga amat penting diyakinkan khususnya untuk mendulang suara di pileg.
Dengan analisis seperti ini, sekali lagi politik itu harus dilihat sebagai permainan drama di panggung depan, yang justru berbeda dengan realitas di panggung belakang. Back stage yang tak terlihat tentu terkait dengan upaya untuk mendapatkan sesuatu sesuai kepentingan para politisi. Hikmahnya, melihat proses politik itu kita harus santai, tidak usah dibawa hingga emosi atau perasaan terlalu mendalam, tapi harus dilihat secara rasional sebagai aktivitas of Art of posibilities.

Henry Subiakto
(Pengarang Buku, Komunikasi Politik, Media dan Demokrasi, Penerbit Prenada, 2014)

Jumat, 10 Agustus 2018

Menggandeng Kiai Ma'ruf, upaya hilangkan sekat politik identitas oleh: Henry Subiakto


Awal Juli lalu saya sudah menganalisis bahwa cawapres Jokowi yang paling bisa diterima partai-partai adalah KH Ma`ruf Amin. Analisis saya bukan karena kebetulan saya mengenal beliau sejak musim Haji 2008, saat hampir sebulan kami bersama di Wisma Indonesia di Aziziyah Mekkah.
Kiai Ma`ruf saat itu Wantimpres, menjadi Naib Amirul Hajj, dan saya anggota yang tugasnya mengarahkan Media Center Haji. Tapi memang kenyataannya tokoh ini bisa jadi pemersatu umat.
Hari Rabu, tanggal 8 Agustus pagi kemarin saya dapat selamat dari "orang dalam" bahwa senior sekaligus kolega saya, Prof Mahfud MD dikabarkan positif akan menjadi cawapres Pak Jokowi.
Kamis pagi, untuk konfirmasi, saya telepon teman lain yang dulu kuliah di UII yang sekarang menjadi petinggi dan tim pendukung Pak Mahfud. Teman ini membenarkan bahwa Pak Jokowi sudah memilih Mahfud dan tinggal sorenya deklarasi.
Saya sebenarnya ragu-ragu, mana mungkin para ketum partai-partai itu menerima Pak Mahfud yang jelas-jelas populer, pintar dan berpotensi menjadi Capres 2024. Tapi karena yang memberi tahu orang-orang dalam, saya mencoba menekan logika saya.
Beberapa stasiun TV, media dan medsos kemarin sudah yakin yang akan dideklarasikan, adalah pasangan Jokowi-Mahfud. Namun detik-detik terakhir sebagaimana kita ketahui skenario itu berubah. Jokowi mengumumkan pasangannya untuk maju adalah Prof. Dr KH Ma`ruf Amin.
Jokowi yang sudah bertemu Mahfud MD, sudah memintanya untuk menyiapkan baju dan lain-lain, sore kemarin itu, harus menerima keberatan Cak Imin, Romi, dan Airlangga Hartarto. PKB, PPP dan Golkar "mengancam" akan keluar dari koalisi jika Pak Jokowi memilih Mahfud MD.
Tentu saja kalau ini terjadi akan tidak bagus, karena mereka akan membuat poros ketiga bersama SBY dan Partai Demokrat. Bisa memajukan Jenderal Gatot dan wakilnya dari mereka. Belum lagi NU juga ikut tidak setuju dengan Mahfud MD.
Memang Cak Imin sejak awal getol menolak profesor yang dekat dengan Gus Dur dan keluarganya ini. Cak Imin tentu khawatir kalau Prof Mahfud jadi wapres, nantinya berpotensi akan merebut PKB dari tangannya.
Kekhawatiran itu mampu diperluas hingga PB NU dan partai lain. Bagi mereka tahun 2024 Mahfud MD dari Wapres bisa maju capres. Itu berarti "mengancam" keinginan dan kepentingan para ketua partai menjadi capres juga.
Akhirnya penolakan inilah yang berhasil memperkuat posisi Kiai Ma`ruf. Karena diyakini Kiai Ma`ruf tidak akan menjadi pesaing di 2024.
Pak Jokowi pun mengalah, dan menerima KH Ma`ruf Amin. Pertimbangannya untuk menjaga soliditas koalisi, menutup munculnya poros ketiga, sekaligus sebagai upaya menepis SARA. Apalagi Kiai Ma`ruf juga seorang profesor doktor juga, Rois Am PB NU, pernah jadi anggota DPR, pernah jadi Wantimpres, Komisaris Bank Syariah dan ketua MUI. Artinya, beliau juga profesional.

Pak Mahfud memang sempat menguat jadi bakal calon wapres, tapi bukan partai yang memperjuangkan, melainkan relawan yang membawa dan menyodorkan Prof. Mahfud ke Jokowi. Para relawan memilih Prof. Mahmud karena kualitas "track record" dan penerimaan publik.
Persoalannya partai partai merasa dilewati dengan proses ini, terutama PKB, PPP dan Golkar. Kalau partai Nasdem mendukung Pak Mahfud. Itulah dinamikanya yang kemudian kemarin sore Presiden Jokowi dihadapkan pada dilema yang harus dia pilih. Jadilah "drama politik" menjelang Maghrib.
Sekarang dengan pencalonan Jokowi-Ma`ruf, sembilan partai pendukung solid. Isu SARA menjadi tidak relevan. Masa' ketua umum MUI mau diserang? kurang Islami.
Jokowi kali ini tak hanya mendengar fatwa ulama, tapi malah menggandeng ulama untuk memimpin negara. Dengan menggandeng Kiai Ma`ruf berarti Jokowi yang identik sebagai tokoh nasionalis, telah menggandeng simbol umat Islam, termasuk tokoh utama yang ikut mengeluarkan fatwa hingga memunculkan Gerakan 212.
Ini tak lain merupakan upaya politik menolak SARA, sekaligus penyatuan umat yang terbelah, atau usaha menghilangkan sekat politik identitas. Apa yang terjadi ini juga menjadi bukti betapa parahnya politik berbasis SARA di Indonesia.
Diharapkan, dengan hilangnya politik identitas, kontestasi Pilpres 2019-2024 lebih menitikberatkan pada adu program dan kompetensi. Persoalannya sanggup dan siapkah mereka menjadi demikian, setelah sekian lama biasa menggunakan politik identitas? Kita lihat saja nanti.

Henry Subiakto

Selasa, 17 April 2018

SIKAP POLITIK ITU STUBBORN By : Henry Subiakto


Secara teoretis sikap politik orang itu cenderung Stubborn, kepala batu. Sulit untuk berubah atau dipersalahkan. Walau sudah seminggu terjadi perdebatan tentang kitab suci yang dinilai Fiksi oleh Rocky Gerung, ternyata hasilnya menjauh dari titik temu. Tetap saja isu kontroversi itu membelah publik sesuai opini dan sikap politik mereka selama ini. Sampai sampai ada yang untuk membenarkan  sikap politiknya, harus rela bahwa kitab suci dikatakan fiksipun bisa menerima dan membenarkan. Kalau biasanya mereka serba sensitif, mudah tersinggung jika doktrin agamanya dikritik orang, tiba tiba menjadi begitu toleran dalam pemikiran. Bahkan bisa memahami dan setuju dengan pemikiran liberal sekuler,  yang dilontarkan RG hanya karena yang menyampaikan itu selama ini dikenal opini opininya berasal dari satu kubu dalam sikap politik. Untuk membenarkan pemikiran tokoh sekubu itupun bahkan sampai mereka bersedia memanggil yang bersangkutan dengan gelar profesor supaya lebih pantas dipuja, dibenarkan, dan terkesan sangat ilmiah, walau sesungguhnya  si "ahli filsafat" yang mereka sanjung sanjung itu hanya berpendidikan S1, dan jelas jelas bukan profesor.
Bagi kalangan "ilmuwan" agnostik atau secara umum disebut sekuler, memang banyak yang menganggap kitab suci itu hasil imajinasi pikiran manusia. Bahkan bagi mereka, Tuhanpun dianggap tak lebih dari produk "delusi" dari banyak orang (baca buku God Delusion by Richard Dawkins). Sejak lama bagi kalangan atheis atau agnostik ini Agama dipandang sebagai doktrin yang tidak sesuai dengan "Science". Upaya ilmuwan  Barat menchallenge agama sudah ada sejak era Renaissance, sebagaimana dilakukan Charles Darwin, dengan teori evolusinya, hingga pengikutnya sekarang seperti Richards Dawkins di Inggris. (Baca Scott Gordon: The History and Philosophy of Social Science). Bahkan filosof besar Kal Marx pun menganggap agama itu sebagai fiksi untuk tujuan ketertundukan manusia menerima kelas sosial yang dominan. Kesadaran kelas dihambat dengan doktrin doktrin agama, sehingga Marx pun menuding agama sebagai "candu" yang mereduksi kesadaran kelas. Berbekal teori dan pemikiran sekuler  semacam itulah lalu muncul kesimpulan bahwa kitab suci adalah Fiksi. Karena banyak harapan yang belum terjadi dalam kitab suci. Jelas ini pemikiran yang salah dan tidak lengkap.
Anehnya kemudian pemikiran agnostik semacam inipun diamini dan dibela oleh banyak orang hanya karena yang bicara adalah orang satu kubu dalam sikap politik. Padahal bagi orang beragama, kitab suci itu jelas bukan fiksi, melainkan wahyu Tuhan. Tapi biarlah kalau sekarang mereka berpendapat seperti itu hanya untuk membenarkan sikap politik kubunya. Yang penting mereka sekarang jadi lebih terbuka dan toleran dengan pemikiran yg berbeda. Bahkan bisa menerima pemikiran yang akarnya atheisme. Ini kemajuan yang baik bagi demokrasi, walau belum tentu mereka sadari. Bagi saya, semoga sikap toleransi dan "sok ilmiah" tersebut bisa terus konsisten, terutama saat ada orang lain yang bersuara mengritik agama atau cara-cara mereka beragama. Sebaliknya bagi kelompok lain yang selama ini mendeklarasikan diri toleran, juga jangan tiba tiba menjadi "galak" dan suka main lapor. Kalau seperti itu lalu apa bedanya? Tetaplah adem, dan tidak perlu caci maki atau demo berjilid jilid.


Henry Subiakto



Senin, 09 April 2018

PERLUKAH PUASA MEDSOS UNTUK POLITIK? Oleh: Henry Subiakto


Semua pemilik akun di FB, pada dasarnya telah menyerahkan data pribadi dan data perseorangannya secara sukarela. Karena saat membuat akun telah "menyetujui" bahwa semua pesan komunikasi dan aktivitas pribadinya terekam dan teranalisis secara digital oleh Facebook. Jadi FB itu praktis menguasai data pribadi dan perseorangan dari 2 milyar lebih penduduk dunia yang punya akun di FB. Kumpulan data itulah yang dipakai FB dan pihak ketiga untuk bisnis mereka, terkait politik maupun ekonomi yang berbasis big data dan profiling.
Cambridge Analytica salah satu pihak ketiga, mengambil data dari FB untuk kepentingan politik kliennya di beberapa negara. Sebagai konsultan politik yang dibayar mahal, Cambridge menggunakan data FB untuk  aktivitas "Dark and Dirty Politics". Salah satunya menurut Chistopher Wylie (wistle blower skandal ini) dipakai utk memenangkan Donald Trump di AS th 2016)
Dengan mengolah 71 juta lebih data pribadi termasuk di dalamnya menyangkut kepribadian, kesukaan, hingga orientasi politik para calon pemilih ini "digarap" dalam waktu lama. Cara kerja Cambridge Analytic, dilandasi dengan asumsi bahwa untuk mengubah politik, harus diubah dulu "budayanya". Karena politik mengalir lewat budaya. Untuk mengubah budaya, pertama-tama harus diubah juga masyarakatnya. Untuk mengubah masyarakat, hancurkan dulu nilai nilai kearifan yang mengintegrasikan mereka, setelahnya jadikan masyarakat baru sesuai visi yang diinginkan.
Dilakukanlah operasi psikologi  (Psyops) untuk mempengaruhi emosi, mengaduk semangat identitas, memotivasi untuk mengalahkan lawan, dengan memberikan alasan objektif. Setiap target diperlakukan sebagai person politik berdasarkan psikologinya.
Setelah itu tim kreatif, designer, fotografer, videografer membuat content yang akan dikirim ke target atau calon pemilih, lewat berbagai saluran digital (medsos), tak hanya FB. Konten itu mencampurkan fakta dan opini, hoax, fake news, dan lain lain yang diarahkan sesuai visi mereka. Diciptakanlah situs, blog, akun, buzzer dan content apapun untuk membenarkan visi, sekaligus agar target mudah mengakses dan mengklik, hingga masuk dalam konstruksi yang dibangun secara psikologis. Jadi setiap target yang dipilih berdasar data itu, diperlakukan secara personal yang selalu "dibisiki", dikelilingi pesan pesan agar terbangun emosinya sesuai visi politik yang diarah.
Cara ini terbukti berhasil memenangkan Trump di AS, juga memenangkan pendukung Brexit di UK. Trump yang cenderung dinilai "Rasis" dan kasar, justru comply dengan "White Supremacy",  "First America" dan melihat diluar itu adalah ancaman. Mayoritas Kulit  putih AS dibangkitkan kesadaran identitas dan prasangkanya. Mereka dikembalikan untuk bermimpi serba super dengan ras kulit putih yang dominan. Hal itu dilakukan sembari menghancurkan lawan dengan berbagai hoax dan fitnah.  Maka Trump pun menang.
Apakah politik di Indonesia juga sudah ada yang menggunakan konsultasi Cambrigde Analitica? Ini pertanyaan serius yang perlu jawaban berdasar penyelidikan yang berwenang. Tapi berdasar besarnya kebocoran data pengguna FB dari Indonesia hanya sekitar sejuta, besar kemungkinan data ini hanya dipakai untuk politik di tingkat Propinsi atau Pilkada. Cuma dimana terjadinya, ini belum ada bukti yang jelas. Untuk kedepan Pilpres 2019 harus dijaga jangan sampai ada cara cara yang sama dengan yang terjadi di AS maupun UK. Bangsa Indonesia harus menolak dan melawan, penggunaan situs abal abal, hoax dan provokasi politik Identitas.
Kalau perlu kita anjurkan rakyat Indonesia untuk puasa medsos hingga Pilpres 2019, artinya dalam orientasi politik jangan menggunakan referensi dari medsos termasuk FB, yg memang rentan dari rekayasa pihak tertentu. Sebaiknya ambil informasi dari media konvensional yg objektif, sudah memiliki reputasi serta bisa dimintai pertanggung jawaban. Kalau mau lebih akurat bisa melihat kondisi nyata, apa yg tampak, apa yg dirasakan dan apa yg dialami. Medsos cukup diperlakukan sbg sarana berkumpul dan mencari hiburan, tapi bukan utk persoalan politik.
Apakah Anda setuju dan merasa bahwa di negeri ini, strategi Cambridge Analitica sebenarnya sudah ada tanda tandanya yg kita rasakan? Jika memang demikian kita memang harus menolaknya, sekaligus mengusutnya. Mari kita diskusi.


Henry Subiakto

Jumat, 02 Maret 2018

BENCI DONALD TRUMP, TAPI IKUTI CARANYA? Oleh : Henry Subiakto


Partai Pembebasan Austria (FPO), adalah partai ekstrim Kanan yang didirikan oleh mantan anggota Nazi di tahun 1955. Partai kecil di Austria tersebut, tiba-tiba membesar dan sukses di Pemilu Austria 2017, setelah mengusung kampanye dengan ide-ide populis yaitu anti Imigran, anti Islam, anti globalisasi, dan anti Uni Eropa.
Dalam berbagai kesempatan Partai ini menuntut agar imigran dilarang masuk Austria (padahal sebelumnya 2016 ratusan ribu imigran masuk dari Suriah). Partai ekstrim ini juga menuntut larangan penggunaan cadar dan simbol-simbol Islam di negeri itu.
Kampanye ekstrim ini ternyata justru sukses. Mendapatkan 52 kursi parlemen dan membuat partai ini digandeng berkoalisi dengan Partai Rakyat. Walhasil Hein Christian Strache, tokoh nasionalis kanan dari FPO terpilih sebagai wakil Perdana Menteri Austria, mendampingi PM Sabastian Kurz.
Ini contoh satu lagi penggunaan isu isu SARA dalam kampanye Pemilu yang ternyata justru berhasil mengangkat partai “kecil” masuk Pemerintahan. Ini adalah bukti bahwa diakui atau tidak di masyarakat majupun, kebencian berdasar perbedaan SARA itu ada di kepala dan hati masyarakatnya, apalagi di masyarakat negara berkembang.
Ketidaksukaan atas perbedaan SARA yang terpendam di masyarakat inilah yang justru sekarang dipupuk dan dimanfaatkan dalam politik modern oleh para politisi kerdil pencari kekuasaan. Politik identitas digunakan dan disebarkan lewat propaganda yang mendorong  partisipasi publik untuk saling membenci di media sosial.
Hasilnya banyak tokoh radikal yang Rasis dari partai Kanan sukses di pemilihan politik. Ada Trump yang menjadi prediden di AS, ada Christian Strache yang menjadi wakil PM di Austria, ada Marine Le Pen yang menghebohkan Perancis, ada Frauke Petry di German yang hampir mengalahkan Markel dll.
Di era Post Truth sekarang ini, politik dan komunikasi politik memang diwarnai oleh sikap emosional sebagian besar masyarakat. Mereka menyukai dan hanya mau menerima informasi dan pemimpin yang memiliki kesamaan emosi, kepercayaan, atau SARA. Objektivitas, netralitas, perlakuan kesamaan, dan toleransi pada mereka yang berbeda acapkali ditolak karena tidak sesuai dengan kecenderungan emosi dan kepercayaan mereka. Pola mendahulukan emosi, mengabaikan fakta dan kebenaran ini, terimplementasi di ruang media sosial.
FB, twitter, instagram, Line hingga WA menjadi wahana tempat mengekspresikan politik identitas yang justru memunculkan pengelompokkan dan pembelahan masyarakat yang saling “membenci”.  Informasi berupa hate speech hingga hoax marak di medsos. Sampai sampai pemilik FB, IG dan WA, Mark Zukercberg meminta maaf, karena perusahaan aplikasi miliknya diakui telah merongrong demokrasi, dan membuat masyarakat di berbagai negara terbelah hingga sering memicu konflik, pertikaian dan permusuhan.
Secara algoritma, teknologi media sosial mendekatkan orang-orang yang sepaham menjadi kelompok sepikiran yang saling membenarkan. Echo chambers atau ruang gema terbentuk karena fasilitas teknologi dan faktor psikologi, bahwa individu itu memilih teman dan informasi yang memiliki orientasi yang sama. Mereka ada di echo chambers, berkomunikasi dengan orang-orang sepikiran. Walhasil merasa benar karena sikapnya di dukung oleh orang lain yang sepikiran. Pengelonpokkan dan pembelahan masyarakatpun makin menjadi jadi.
Lalu masihkah kita akan terus mendukung suksesnya para politisi yang membawa nilai-nilai pemecah belah bangsa berdasarkan identitas SARA? Kalau iya berarti Kita tidak beda dengan Donald Trump, Marine Le Pen hingga Christian Strache Dll. Mereka sukses menjadi besar di negaranya karena mengobarkan politik rasis. Mengeksploitasi fanatisme pada identitas dan kepercayaan mereka, dan dengan tidak menghormati yang berbeda. Ironi memang, di satu sisi kita tidak menyukai Donald Trump, tapi di sisi lain termyata malah mengikuti cara caranya.

Prof. Henry Subiakto


UNTUK SAHABAT SAHABATKU



Mengapa orang semakin bertambah umur semakin tua, semakin mudah bangun lebih malam, sehingga bisa tahajud atau sholat fajar. Minimal subuh dengan tepat.
Karena sesungguhnya kasih sayang Allah kepada hambanya, melelebihi kasih sayang ibu kepada anaknya (Hadis Bukhori Muslim)
Semua yang sudah terjaga atau sulit tidur sesungguhnya sedang diberi kesempatan untuk bertobat, berdoa dan bersyukur oleh Allah. Bahkan orang yang lagi sakitpun sesungguhnya sedang dikurangi dosa-dosanya oleh Allah. Persoalannya apa kasih sayang Allah yangg tiada tara itu sudah kita manfaatkan?
Sayangnya di antara kita masih ada yang merasa beriman Bahkan mungkin merasa lebih dari yang lain tapi tiap hari hanya kecewa dengan keadaan, menyalahkan keadaan, dan membenci keadaan. Mereka seakan lupa terhadap rasa bersyukur dan lupa pada kasih sayang Allah yang tiada tara yang terus dilimpahkan pada hambaNya. Kekecewaan dan melupakan syukur itu sering hanya dikarenakan pikirannya dipenuhi informasi yang buruk yang belum tentu benar.
Padahal semua keadaan ini harus kita syukuri, walau Keadaan buruk sekalipun. Karena kalau sudah menjadi ketetapan Allah harus kita yakini sebagai yang terbaik. Yang selalu ada hikmah yang harus kita syukuri. Apalagi kondisi yang relatif aman dan damai. Maka syukurilah dengan kerja keras, selalu berupaya terbaik, dan berpengharapan yang baik pula.
Sesungguhnya Manusia haram bersuudzon, berprasangka buruk pada sesama manusia, apalagi suudzon kepada kehendak Allah SWT. Semoga kita termasuk orang yang selalu bersyukur dan tidak menyia nyiakan kasih sayang Allah.

Mutiara Pagi
Prof Henry Subiakto