Jumat, 30 Desember 2016

“Faham Imperialisme Yang memelintir UUD ’45 Dengan Dalih Demokratisasi” Oleh: Henri Subiakto



Founding Father Republik ini ciptakan pasal 33 UUD 45 untuk lindungi kekayaan negeri ini dari "Jarahan" asing dan kerakusan kapitalis. Passl 33 UUD :  Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara. Menjadi shield law yang sulitkan kapitalis untuk menguasainya. Di masa Sukarno, pasal itu diwujudkan dengan "Berdikari" berdiri di atas kaki sendiri dengan menolak bantuan asing "Go to hell with your aids". Kekayaan Alam yang menggiurkan membuat  asing ingin masuk, tetapi selalu terpental dengan semangat bangsa saat itu yg didasari UUD 45. Barat terutama AS, ingin dongkel Sukarno, selain alasan politik didasari juga oleh keinginan eksploitasi kekayaan alam Indonesia yang berlimpah. Maka mereka diam-diam mendukung Soeharto untuk  turunkan Sukarno, skenario westernisasipun ikut membonceng gerakan pembangunan saat itu. Sejak itu, dilakukanlah skenario mereduksi isi UUD 45 salah satunya pasal 33, istilah "dikuasai oleh negara", dipelencengkan secara sistematis. Awalnya istilah Kekayaan Alam "dikuasai oleh Negara" itu pengertiannya negara punya otoritas meregulasi, beri izin, dan operasionalkan. Di masa Soeharto, pengertian "dikuasai oleh negara", direduksi, negara hanya meregulasi dan keluarkan izin, operasionalnya dipisah. Lewat pemikiran ekonom didikan Barat, maka swasta dan asingpun bisa masuk sebagai operator tambang dan sektor-sektor  lain yang tercakup di dalam pasal 33 UUD. Perusahaan Negara,  BUMN tak beda dengan  swasta, harus bersaing dengan asing, sama-sama cari profit, bukan lagi perpanjangan tangan negara. Sebagai regulator, negara adalah otoritas yang keluarkan ijin, tetapi di masa reformasi ada reduksi lagi atas pengertian "dikuasai oleh negara" ini. Awalnya Negara sebagai regulator itu hanya pemerintah dan DPR,  Reformasi munculkan "lembaga independen" wakili publik, yaitu komisi-komisi negara. Komisi negara dianggap sebagai  wakil publik, sebuah konsep baru yang lahir dari tradisi Barat yang berdasar falsafah indiviualisme. Munculah Lembaga publik baru sebagai regulator berdasar UU yang kelahirannya di masa reformasi banyak disupervisi LSM-LSM asing, Komisi negara sebagai regulator baru berwenang keluarkan izin menggeser peran negara, contohnya terjadi pada kemunculan BP Migas dan KPI. Walhasil frase "dikuasi oleh negara" yang awalnya izin dikeluarkan oleh pemerintah sebagai wujud negara, geser ke komisi yang wakili publik. Seakan publik itu sama dengan  rakyat, lalu para aktivis menyuarakan aktivitasnya sebagai "wakil" publik yang "independen" masuk ke Komisi-komisi negara.
Beda rakyat dengan publik? Rakyat itu kongkrit 240 juta, wakilnya dipilih lewat Pemilu. Publik itu abstrak, siapapun bisa klaim sebagai wakil publik. Rakyat disebut di UUD, publik berasal dari text book Barat. Rakyat keseluruhan WNI, publik itu atomisasi atau individualisasi rakyat. Dalam text Barat ada scarcity theory, anggap frekuensi itu public domain milik publik yang terbatas, maka harus diurus lembaga yang wakili publik.  Pemuja teori Barat ingin di negeri ini urusan frekuensi diserahkan pada lembaga wakil publik yaitu KPI,  Ini salah dan paksakan konsep asing. Dalam konstitusi UUD 45 pasal 33, Bumi air dan kekayaan alam di dalamnya dikuasai negara. Bukan oleh publik. Di UUD tidak ada istilah publik. Rakyat dan negara itu konsep yang dipakai pendiri bangsa, sebagai landasan perjuangan. Sedangkan istilah publik dipakai aktivis sebagai legitimasi mereka. Frekuensi itu bagian dari "Bumi, air dan kekayaan yang terkandung didalamnya" yang jelas-jelas dikuasai oleh negara, sekarang  mau menjadi milik publik?!
Negara itu jelas, yaitu Pemerintah dan Rakyat. Dalam Keputusan MK, untuk rezim perizinan Negara diwakili Pemerintah sebagai penyelenggara. Kalau publik itu abstrak, tidak jelas, keberadaannya tergantung isu yang muncul, sehingga publik adalah bagian masyarakat yang aktif dalam isu-isu tertentu. Rakyat itu seluruh WNI. Publik itu lebih ditentukan mereka yang aktif.  menurut pendekatan kritis, terjadi kooptasi elite aktivis terhadap orang banyak atau rakyat. Mempengaruhi rakyat, harus  garap 240 juta Warga Negara, tetapi mempengaruhi publik, bisa cukup pengaruhi para aktivis dan media yang sering dianggap suara publik. Lembaga asing dan funding internasional amat intens "garap" pemikiran para aktivis lewat konsep-konsep di text book. Karena mereka jadi  intinya publik  terjadi  percampurbauran antara persoalan hukum yang harusnya bersumber pada konstitusi dengan teori Barat dari text yang bersumber dari falsafah yang berbeda. Menjadi aneh saat publik yang hakekatnya untuk mengawasi dan  mengkritik, kok jadi berkuasa seperti pemerintah, meregulasi dan  memberi izin. Akhirnya tafsir pasal 33 UUD  45 yang dulunya  memberi kewenangan pada negara, digerus dan direduksi menjadi memberi kewenangan pada publik. Ini konsep Barat!
UUD 45 sebut "Bumi, Air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara”, termasuk frekuensi, sekarang frekuensi jadi milih publik? Hanya karena literatur Barat, frekuensi jadi milik publik, bukan lagi menjadi milik negara yang intinya rakyat dan pemerintah yang menjalankannya. Ini westernisasi UUD. Itu pergeseran konsep paling dasar dari pasal kunci kontitusi kita atas pengaruh literatur Barat dan pemikiran aktivis yg tercemar, Tak heran kalau setelah reformasi, asing terutama Barat makin merajalela kuasai Bumi, Air dan kekayaan alam di dalamnya. Bisa saja kita mengatakan, sekarang ini banyak oknum pemerintah yang korup, sehingga  layak kewenangannya dipreteli diberikan ke lembaga baru. Kalau itu masalahnya, ganti saja pemerintahnya, hukum oknum-oknumnya, tapi jangan hancurkan konsep negara, kecuali kita tak peduli konstitusi. Lagi pula Komisi Negara diberi kewenangan perizinan juga tidak menjamin lebih baik atau tidak korup, tapi itu jelas melanggar UUD 45 pasal 33. Saatnya negeri ini kembangkan konsep demokrasi sendiri yang berdasar konstitusi. Bukan ambil sistem asing yang hanya menguntungkan asing pula. Untuk kita yang cinta Indonesia dan bangga dengan keindonesiaan, saatnya kritis terhadap konsep yang berbau asing, jangan biarkan RI, menjadi Republik Impor. Asing tak semuanya buruk, tapi kalau sudah melanggar UUD 45, tidak bisa ditolerir, itu pasti pada akhirnya, hanya akan melemahkan negeri ini.

@HenrySubiakto | Januari 2014


Sabtu, 24 Desember 2016

Kebebasan Berpendapat Tidak Berarti Bebas Menuduh atau Bebas Memalsukan Fakta.


Sebenarnya UUD 1945 pasal 28 khususnya 28 E telah menjamin kepada warga negara untuk berhak meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nurani. Ini adalah jaminan konstitusi terhadap kebebasan berpendapat.
Sesuai prinsip demokrasi orang berpendapat memang tidak bisa dihukum. Tidak bisa hanya karena pendapat dianggap salah, orang yang berpendapat itu lalu dihukum. Seburuk apapun dari suatu pendapat, atau tidak menyenangkan sekalipun itu bagian dari hak berpendapat.
Repotnya, banyak orang tidak bisa membedakan apa itu pendapat, dan apa itu penghinaan, pencemaran nama baik hingga fitnah. Banyak orang mencampuradukkannya. Ada orang memfitnah tapi berlindung, atau dilindungi seakan itu adalah kebebasan berpendapat. Mana ada di dunia ini orang bebas memfitnah.
Berpendapat atau beropini itu berarti menyampaikan sikap secara verbal terhadap sesuatu, berupa hasil evaluasi atau penilaian setuju tidak setuju, suka tidak suka, mendukung tidak mendukung, percaya tidak percaya, baik tidak baik, gagal atau berhasil, mengecewakan atau memuaskan, dll. itu semua adalah contoh opini.
Beda dengan perbuatan menghina. Penghinaan itu cukup luas mencakup yang lain, dari penghinaan ringan, penghinaan lewat mencemarkan nama baik, hingga fitnah. Orang dianggap melakukan penghinaan jika punya niat buruk menghancurkan nama baik seseorang, menjatuhkan kehormatan.
Salah satu bentuk penghinaan adalah pencemaran nama baik yaitu saat seseorang sudah menuduh seseorang melakukan suatu perbuatan, padahal orang tersebut tidak melakukannya. Kalau tuduhan buruk itu dibuktikan ternyata salah, pelaku sengaja memalsukan fakta atau membuat tuduhan tidak berdasar itulah fitnah.
Hati-hatilah dengan pencemaran nama baik dan fitnah, jangan memalsukan fakta atau menuduh orang tanpa dasar. Memfitnah dan mencemarkan nama baik diancam hukuman pidana. Sedangkan berpendapat itu bagian dari hak kita semua warga negara.
Mengatakan seseorang itu bodoh, atau goblok, walau menyakitkan itu bagian dari kebebasan berpendapat. Tapi menuduh seseorang menipu, mencuri itu bukan opini melainkan masuk ke ranah pencemaran nama baik, hingga fitnah jika yangg dituduhkan bukan sebuah fakta. Maka berhati-hati lah memilih kata-kata dan kalimat. Bedakan opini dan tuduhan.

Henry Subiakto

Kamis, 22 Desember 2016

MENGURANGI KECEPATAN MENUJU "KIAMAT


Kemana arah sejarah kehidupan manusia? Apakah sejarah itu berputar seperti roda, ada pola pengulangan? Atau apa sejarah itu ditentukan oleh tokoh-tokoh besar, dimana hitam putihnya kehidupan itu tergantung para tokoh?
Semua bisa benar, tetapi pada dasarnya sejarah itu menuju pada titik tertentu. Sebagaimana kehidupan juga menuju pada titik tertentu. Teori Marxis menunjukkan titik arah sejarah adalah revolusi proletariat, dimana kaum proletar yg tertindas melakukan revolusi mengambil alih penguasaan kapital dan asset assetnya dari tangan para kapitalis, lalu terjadi sama rata sama rasa. Komunisme muncul sebagai Pemenang. Tapi teori ini dianggap salah dan tidak terbukti.
Kemudian ada teori strutural lain, yang menganggap sejarah itu nuju titik tertentu tapi bukan revolusi proletar melainkan titik di mana masyarakat menjadi semakin bebas atau liberal, demokratis, dan menjunjung tinggi HAM. Demokrasi Kapitalis Barat menjadi pemenang pertarungan ideologi di akhir sejarah manusia. Inilah yg diyakini Fracis Fukuyama, dengan tesisnya The End of History (1992).
Para tokoh besar dalam hal ini hanya berperan mempercepat proses sejarah, atau menghambatnya menuju titik itu. Gus Dur, Amin Rais dan tokoh reformasi 98 yg lain misalnya, mereka hanya mempercepat proses demokratisasi di Indonesia. Sedangkan Sadam Husein, dia menghambat proses demokrasi di negaranya. Mereka hanya mempercepat atau menghambat, bukan yang menentukan arah sejarah. Salah satu penentu arah sejarah menuju titik kebebasan tersebut justru Teknologi Komunikasi dan nilai yang dibawanya. Teknologi Komunikasi telah menjadi determinan penentu orang menjadi lebih liberal, lebih bebas berekspresi, membutuhkan demokrasi hingga penghargaan perbedaan individu atau HAM.
Sekarang fenomena kebebasan seperti itu semakin terasa, lewat TIK semua orang bisa bicara apa saja, mengirimkan informasi apa saja yang diinginkan. Manusia begitu mudah mengkritik bahkan menghancurkan yang lain lewat gadget TIK nya. Kebebasan sedang menuju pada titik ekstrim. Bahkan moralitas banyak mengalami kemerosotan karena liberalisme model Barat yang menjunjung HAM.
Dalam perspektif agama, kehidupan manusia juga menuju pada titik tertentu yaitu entropi, kehancuran, kematian, kiamat. Tanda-tanda kiamat konon adalah kerusakan sosial, manusia bebas melakukan apa saja atas nama hak azasi. Pornografi marak, kebebasan sex dianggap hak, LGBT disamakan dengan keragaman, penghormatan pada orang tua menghilang, agama-agama langit tak dihormati, kemunafikan dipamerkan, manusia makin terjauh dari moralitas. Inilah keadaan tanda-tanda mendekati kiamat.
Keadaan bebas yang merusak itu salah satunya karena kebebasan dalam menggunakan TIK. Teknologi komunikasilah yang mendorong kondisi liberal seperti itu. Dalam kondisi semacam ini ada dua pandangan dalam melihat penggunaan Teknologi Komunikasi. Padangan pertama, adalah kaum liberalis yang menginginkan tidak diaturnya penggunaan Internet atau TIK.
Pandangan kedua adalah kalangan instrumentalis yang menginginkan teknologi internet atau TIK itu lebih diarahkan penggunaannya untuk sarana-sarana yang produktif, bukan kebebasan yang merusak.
Disitulah kemudian, terjadi pengkubuan dalam menggunakan dan mengatur internet. Kubu liberalis berprinsip net netrality, internet (TIK) tidak usah di atur atur, biarkan bebas, biar manusia yang menentukan pilihan penggunaannya.
Kubu kedua, internet itu dunia massa depan anak cucu kita, waktu dan aktivitas mereka akan di habiskan di dunia maya, sehingga harus diatur agar penggunaannya lebih produktif atau tidak banyak membawa kerusakan, disitulah lalu muncul UU ITE misalnya. Yang melarang penyebaran pornografi, judi, kebencian pada Agama, Fitnah atau pencemaran nama baik dsb.
Sekarang kemana kita harus bersikap? Mendukung kebebasan liberalisasi internet tanpa aturan, berarti mempercepat kerusakan sosial? Atau mendukung diterapkannya aturan di internet (penegakkan UU ITE) untuk mengurangi sisi negatif atau daya rusak internet, yang berarti mengurangi pula kecepatan menuju kiamat. Anda mendukung yang mana?

Henry Subiakto
 

Senin, 19 Desember 2016

Awas Media Manipulator!



Sekarang di sektor komunikasi, khususnya media online, terdapat orang-orang bayaran (professional communicator) yang kerjaannya membuat berita dengan memalsukan fakta dan meme-meme pendukung. Mereka dibayar untuk memproduksi pesan untuk mendistorsi dan memanipulasi informasi yang ada di masyarakat agar menciptakan opini publik bahkan gerakan politik sesuai pesanan aktor politik yang berkepentingan di belakang layar. Bahkan ditengarai dana asingpun banyak mengalir utk menciptakan keadaan tertentu sesuai kepentingan mereka.
Fakta-fakta palsu pesanan politik itu kemudian diberitakan serentak dan terus menerus di beberapa media online abal abal jaringan mereka, kemudian dishare oleh para buzzer yg sudah disiapkan sebagai pasukan siber.
Di Amerika Serikat komunikator profesional dibayar untuk bikin media abal-abal di internet untuk dishare dan dibenarkan oleh teman-teman buzzernya sudah cukup lama. Ryan Holiday menulis pengakuannya dalam buku "Trust me I am lying, The confession of an media manipulator" (2012). Pengalaman Ryan inilah yg kemudian dicontoh dan dikembangkan di Indonesia. Sekarang media dan akun abal-abal jadi marak, membiaskan informasi di media sosial.
Di masyarakat kita berita palsu yg sensasional, beserta meme buatan itu justru dianggap menarik dan disukai, bahkan dianggap fakta yg harus dishare. Banyak warga masyarakat tidak  peduli asal, sumber, kualitas apalagi kebenaran informasi yg mereka terima tersebut. Mereka yg punya sikap tidak kritis lalu begitu gemar ikut menyebarkan dan membagikan ke relasinya karena menganggap info-info palsu itu adalah A1. Sehingga informasi-informasi buruk yg tidak benar tersebut lalu menjadi words of mouth yg laris dan terus saja disebarkan.
Terjadilah Ten Ninety Communication, komunikasi 10 : 90. Dimana hasil penyebaran komunikasi itu, justru 90% dilakukan suka rela oleh masyarakat yg suka pada informasi palsu itu. Sedang pelaku komunikasi politik yg sesungguhnya hanya melakukan 10% saja. Tapi hasilnya bisa menjadi kekuatan besar karena didukung "ketidaktahuan" masyarakat yg ikut menyebarkannya. Lewat mass self communication, informasi palsu itu tersebar, bahkan juga dikonfirmasi atau diperkuat oleh media abal abal lain yg memiliki misi senada.
Hasilnya banyak informasi palsu dianggap sebagai kebenaran oleh publik. Saat informasi itu makin banyak dishare dan dibahas, maka orang-orang yg tidak sependapat, atau kritis pada kasus-kasus cenderung diam, karena menghindari "keributan". Lama-lama suara yang membenarkan informasi palsu tersebut bisa mendominasi media sosial. Karena mereka yang tidak setuju cenderung makin diam (silent). Mereka khawatir sedang menghadapi "suara mayoritas" (padahal tidak, itu hanya persepsi). Disitulah kemudian informasi palsu tersebut, tidak hanya dianggap sebagai suara mayoritas, tapi juga menjadi nilai-nilai yang meresap dan mempengaruhi sikap politik.
Itulah kekuatan propaganda komunikasi lewat media sosial yang menciptakan Spiral of Silence atau istilah Jermannya Die Schweigerspirale. Kurban2nya tidak sadar karena banyak yang isi propaganda tersebut sesuai dengan predisposisi atau kecenderungan sikap mereka sebelum diterpa informasi palsu itu.
Idealnya, memang harus ada counter propaganda yang mengungkap fakta-fakta. Sayangnya gerakan kebaikan sering "kalah" dengan yang negatif. Maka salah satu cara menangkalnya adalah, dengan tidak membiarkan kita menjadi korban propaganda politik yang akan memporak porandakan negeri ini. Saatnya setiap memperoleh informasi negatif, dicheck dulu siapa sumbernya? Terpercaya atau tidak? Kemudian dicheck isinya logis apa tidak? Apa isinya berbasis suudzon atau khusnudzon? Kalau justru mudzarotnya lebih banyak, sebaiknya tidak usah kita ikut-ikut ngeshare informasi yang isi dan sumbernya tidak jelas. Kecuali kita sendiri memang bagian dari orang-orang yang mengharapkan kekacuan dan kehancuran negeri ini. Tapi apakah niat kita seburuk itu? Saya yakin tidak.

Henry Subiakto


Selasa, 09 Agustus 2016

TRANSFORMASI TEKNOLOGI KOMUNIKASI DIGITAL SUDAH SIAPKAH KITA MENGHADAPINYA?



Banyak ahli meyakini, teknologi komunikasi adalah determinan kehidupan sosial.  Bagaimana orang berinteraksi, bentuk organisasi sosial, hingga sejarah kehidupan manusia ditentukan oleh teknologi komunikasi yang digunakan.  Tercatat dalam sejarah perkembangan manusia, teknologi komunikasi berperan penting dalam perubahan sosial.  Everett M Rogers (1986) mengatakan, penemuan tulisan (writing) telah menyebabkan perkembangan teknologi cetak menjadi sangat pesat.  Sementara penemuan teknologi telekomunikasi dan komputer telah membawa pengaruh besar terhadap kemajuan teknologi interaktif (McQuail, 2005: 102).
            Dalam pandangan teori determinisme teknologi, kehidupan masyarakat tergantung pada mesin-mesin teknologi komunikasi yang ditemukan. Menurut Harold Adam Innis, sejarawan ekonomi dari Toronto School, tokoh technological determinism theory,   setiap teknologi komunikasi yang dominan digunakan masyarakat, memiliki bias dalam hal pengaruhnya terhadap bentuk masyarakat itu sendiri (Mc Quail, 2005: 103). Teori tersebut menjelaskan bahwa rangkaian penemuan dan aplikasi teknologi komunikasi telah mempengaruhi perubahan-perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Sedangkan Wanda J. Orlikowski (2009) mengungkapkan teori yang hampir sama, yaitu “socio materiality”. Dikatakannya, manusia dan teknologi komunikasi itu sudah menyatu, saling berinteraksi dan mempengaruhi satu dengan yang lain. Manusia menemukan dan mengembangkan teknologi komunikasi, lalu melengkapinya dengan fitur fitur, ketika kemudian digunakan, aktivitas manusia-pun berubah, perubahan itu membutuhkan perbaikan dan pengembangan tekonologi yg baru, begitu seterusnya. Susan Greenfields, dalam Mind Change, How Digital Technologies are leaving their mark on our brains mengatakan, otak manusia pada dasarnya menyesuaikan dengan lingkungan teknologi yang digunakan. Logika ini sesuai dengan teori Darwin, bahwa makhluk hidup itu berevolusi menyesuaikan diri dengan lingkungan, dan teknologi telah menjadi lingkungan yang berpengaruh. Teknologi digital yang canggih tidak membuat otak menjadi malas atau tidak bekerja, tapi justru memunculkan potensi kreativitas dan kecerdasan yang sebelumnya tersembunyi (Greenfields, 2015).
Lebih dua dekade lalu, Daniel Dakhidae dalam disertasinya di Cornell University Amerika Serikat mencatat, implikasi inovasi teknologi cetak telah mempengaruhi ekspansi bisnis media cetak menjadi kian besar dan membutuhkan manajemen yang lebih profesional. Berkat penggunaan komputer dan mesin cetak modern, terjadi intensifikasi kerja jurnalistik, yang mendorong ekspansi atau ekstensifikasi  bisnis bidang lain. Penggunaan teknologi baru tidak hanya memunculkan efisiensi, tapi juga memunculkan transformasi kapital. Teknologi bukanlah sekadar sarana, namun menjadi jantung persoalan, yang mengubah bentuk produksi komoditas yang sederhana menjadi bentuk produksi yang sangat maju.  Istilahnya, ”to have more, to be more in order tobe more” (Dakhidae, 1991 :143).  Terbukti teknologi telah mendorong terjadinya konsentrasi industrial menjadi industri baru (Dakhidae: 534).  Maksudnya perkembangan konglomerasi media yang massif di era 1980-1990an, tak lepas dari pengaruh adopsi teknologi komputer dalam industri media.
Jauh sebelum itu, di abad 15 juga terjadi perubahan sosial yang luar biasa dikarenakan penemuan teknologi mesin cetak. Johanes Gutenberg 1446 menemukan mesin cetak press di Meinz Jerman.  Akibatnya tidak main main. Kekuatan duplikasi mesin cetak Gutenberg mampu menyebar luaskan dan meningkatkan tingkat melek huruf secara dramatis (Vivian 2008: 10). Seratus tahun setelah penemuan mesin cetak, Eropa mengalami revolusi pencerahan pemikiran, buku dan koran bermunculan dan tersebar. Bahkan agamapun ”dikoreksi”. Awalnya kitab suci Bible jumlahnya terbatas. Dalam Katholik, Bible hanya boleh dibaca oleh para pemimpin agama saat itu, namun setelah ada mesin cetak, jumlahnya meningkat pesat. Pengakses Bible menjadi lebih terbuka. Muncul Martin Luther dari Jerman mempelopori protes dan reformasi. Lahirlah Kristen Protestan. Artinya perubahan besar di Eropa waktu itu tidak bisa diingkari merupakan akibat hadirnya teknologi komunikasi yang baru.

Konvegensi Teknologi Digital
 Fenomena yang sama, terjadi juga pada perkembangan teknologi komunikasi digital dewasa ini. Penggunaan gadget atau smartphone yang canggih, telah mengkonvergensikan telekomunikasi, internet, dan penyiaran. Teknologi digital mempengaruhi perubahan intensitas sosial tatap muka secara langsung.  Banyak pergeseran bentuk interaksi sosial, dari yang kongkrit menjadi virtual. Sekarang, orang menjadi begitu mudah get connected, saling terhubungkan secara teknologi. Tidak ada lagi batasan jarak (space) dan waktu (time). Terjadi ”revolusi komunikasi” yang menyebabkan ”revolusi sosial”.  Aktivitas di cyber space, justru semakin membesar, dan menjadi dominan.  Sekarang aktivitas di cyber space tak lagi dipandang virtual, tetapi sudah menjadi bagian dari real life, karena punya konsekuensi yang riel terhadap kehidupan di dunia fisik.
Adapun konvergensi teknologi didefinisikan oleh Pavlik dan McIntosh, sebagai “the coming together of computing, telecommunications, and media in a digital environment is known as convergence” (Pavlik & McIntosh, 2004:19). Konvergensi digital juga diartikan menyatunya perusahaan penyedia layanan, menyatunya alat penerima atau divice, dan menyatunya network atau jaringan pada penyedia telekomunikasi, penyiaran dan internet. 
Walaupun belum ada kesepakatan definis, namun inti konvergensi adalah terjadinya transformasi teknologi komunikasi dari bentuk lama, ke bentuk baru yang menyatu, dengan implikasi-implikasi yang baru pula. Konvergensi teknologi komunikasi menyebabkan transformasi tidak hanya pada institusi komunikasi, maupun kalangan kreatif atau profesional,  tetapi juga pada industri, publik, bahkan pemerintah atau negara. Perubahan teknologi komunikasi digital membawa perubahan sosial yang luas, termasuk perubahan bentuk aktivitas ekonomi, model bisnis industri, regulasi, hingga perubahan paradigma komunikasi.
Marshall McLuhan (1989) pernah mengatakan, teknologi adalah kepanjangan dari indera manusia, “technology is the extention of human minds.” Radio adalah kepanjangan telinga kita, the extention of ears. Kamera adalah kepanjangan mata kita, the extention of eyes. Maka saya berpendapat, teknologi  smartphone sekarang ini adalah the extention of our life, or the extension of our activities. Hampir semua aktivitas hidup manusia  super modern sekarang, ada di jari-jari, life in fingers, di smartphone.  Orang ”tidak bisa”  dipisahkan dari digital smartphone-nya, baik untuk aktivitas sosial, ekonomi, politik, budaya, rekreasi dan lain lainnya.
Munculah tuntutan untuk berubah bagi masyarakat, industri, dan juga pemerintah, seiring perkembangan teknologi digital. Namun tidak berarti  teknologi digital akan menghapus penggunaan teknologi konvensional atau ”tradisional”. Media seperti televisi, radio, surat kabar, buku  dan sebagainya, akan tetap ada, tidak akan hilang atau mati. Hanya fungsinya berubah. Ibarat seperti lilin yang tersaingi penemuan lampu listrik. Atau lukisan yang tersaingi teknologi foto. Tetapi teknologi konvensional itu tidak mati atau tersapu, hanya berubah fungsi, menjadi sesuatu bernilai seni. Menjadi bahan koleksi, untuk romantisme masa lalu. Di masa depan, akan semakin banyak teknologi atau media konvensional yang senasib dengan lilin, dan lukisan.
Ketika konvergensi teknologi komunikasi sudah dimanfaatkan secara luas, maka tuntutan penyesuaian pada teknologi tersebut menjadi keharusan. Penyesuaian itu meliputi perubahan regulasi, model bisnis, reposisi kelembagaan, kebijakan negara, hingga kesiapan SDM dan masyarakat. Intinya transformasi teknologi digital telah memunculkan bisnis model baru di berbagai sektor kehidupan, yang berpotensi memunculkan  ”benturan” dengan model bisnis konvensional, atau yang lama.
Bagi dunia industri yang terkait teknologi komunikasi, implikasi dari konvergensi digital bukan sekadar berubahnya sarana. Tapi “It means technology is not just a technology, It is transformed into hyper capital with new business models”. Artinya untuk negara besar seperti Indonesia, dengan kondisi ekonominya yang cukup baik sekarang, ketika internet hadir, gelombang kapitalispun berebut masuk untuk memodali start-up yang kelak akan mendominasi jagat e-commerce Indonesia (Yuswohadi, 2016).  Begitu pula perusahaan global berbasis aplikasi juga ‘menyerbu’ pasar negeri ini, bersama kekuatan hyper capital mereka. Masyarakat sebagian besar mendukung karena merasakan manfaat teknologi komunikasi digital, yang membawa efisiensi, kemudahan, dan meningkatkan kualitas hidup (Tim Unair, 2008 : 8-9).  Secara konseptual, kehadiran teknologi komunikasi digital, memunculkan kolaborasi fungsional antara kekuatan kapitalis global (yang ada di belakang perusahaan berbasis aplikasi), dengan masyarakat luas, yang memanfaatkan peluang teknologi aplikasi tersebut, berhadapan dengan kapitalis menengah (lokal atau nasional) yang sebelumnya menguasai bisnis konvensional.

Bergesernya Aktivitas ke Dunia Maya.
            Kita sekarang hidup di dunia yang teknologi dan pengaruhnya tidak pernah kita bayangkan satu dekade sebelumnya. Aktivitas sosial, ekonomi, budaya, dan politik, semakin banyak bergeser dari dunia fisik ke dunia siber (cyber life). Hampir setiap bulan, muncul fitur aplikasi baru, yang penggunaannya berdampak pada aktivitas masyarakat.  Dulu orang melakukan aktivitas komunikasi, kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya, adanya di dunia fisik, sekarang bertransformasi secara signifikan ke dunia cyber atau online. Kalangan muda net generation waktu mereka semakin dihabiskan dalam aktivitas di dunia cyber. Tidak sedikit yang beraktivitas online sampai sepuluh jam sehari. Dunia cyber sudah menjadi dunia nyata ”real life” bagi net generation. Generasi inilah yang disebut sebagai digital natives (Prensky, 2001), generasi yang sejak kecil hidupnya sudah bersama teknologi digital, dengan berkultur digital, yang serba cepat, ekspresif, dan cerdas. Berbeda dengan generasi sebelumnya, yaitu digital immigrants, tumbuh tidak bersama teknologi digital, tetapi baru mengenal kemudian, dengan ”terpaksa” harus mengikuti perkembangan teknologi digital, atau bermigrasi ke kultur digital.
Bagi digital native kehidupan digital di ”sektor” pendidikan sudah amat berbeda dengan keadaan 15 tahun lalu. Sekarang Google sudah meluncurkan fitur Google Scholar, yang memungkinkan kita bisa mengakses berbagai materi pelajaran teks dalam berbagai format publikasi. Di Google Scolars terdapat jurnal jurnal online dan publikasi ilmiah yang memudahkan siapa saja mencari literatur. Ada pula Microsoft Academic, yaitu mesin pencari referensi penelitian dalam format publikasi. Dalam fitur itu orang bisa mencari jurnal berdasarkan penulis, atau afiliasi tempat para peneliti bernaung. Ada pula Library Genesis, situs penyedia buku digital paling lengkap, dari berbagai jurusan, baik eksak maupun sosial, dan dapat diakses secara gratis. Lalu ada pula media sosial yang saling mempertukarkan hasil penelitian di kalangan akademisi terutama mahasiswa, yaitu Academia. Dengan aplikasi ini setiap pengguna bisa ngobrol membahas penelitian dan saling berbagi hasilnya.
            Dengan keberadaan situs dan aplikasi seperti di atas, apakah masih relevan kita membangun perpustakaan fisik dengan bangunan yang luas? Apakah nantinya toko buku dan perpustakaan akan semakin ”sepi”? Jangan-jangan mahasiswa kalau datang ke perpustakaan bukan untuk mencari buku cetak, tetapi lebih sekadar mencari wifi gratis untuk searching buku digital di virtual library? Terkait perkembangan tersebut, teknologi komunikasi digital terbukti telah menciptakan kesempatan yang sama bagi siapapun, dimanapun penggunanya berada, dalam mengakses informasi maupun aktivitas di dunia maya. Dalam hal ini teknologi telah memberi kesempatan empowerment pada individu penggunanya,  itulah yang disebut the world is flat (Friedman, 2005).
Survei tahunan Lembaga Riset Childwise di Inggris mencatat bahwa, kalangan muda sekarang rata rata menggunakan internet selama 3 jam dalam sehari. Situs video sharing You Tube, Instagram, Snapchat, Facebook dan Twitter merupakan tujuan paling populer mereka (Laporan Tim internet Sehat, 27/01/2016).  Sedangkan menurut Laporan Smartphone User Persona Report (SUPR) November 2015, para pengguna smartphone di Indonesia menghabiskan waktu rata rata 2 jam 9 menit per hari untuk online. Aktivitasnya didominasi chating, mengakses jejaring sosial, mengakses aplikasi, dan situs internet (SUPR, 2015).
Ada perubahan yang signifikan dengan kehadiran teknologi komunikasi digital. Perubahan itu bukan hanya pada perilaku, tapi juga model industrinya. Pada mulanya hanya ada dua macam industri berbasis frekuensi, yaitu Telekomunikasi dan Penyiaran. Tahun 1990an internet mulai berkembang,  muncullah internet Service Provider.  Belakangan tahun 2000an muncul industri informatika terbaru yang levelnya ada di atas tiga industri sebelumnya, yang disebut layanan Over The Top (OTT).
Bisnis Telekomunikasi dijalankan oleh Nasional Service Provider (NSP). Perusahaan NSP adalah perusahaan penyedia infrastruktur telekomunikasi sekaligus operator yang melayani jasa telepon dan short message service (SMS). Seperti PT Telkom, Telkomsel, Indosat, Exelcomindo, dan lainnya. Bentuk bisnis kedua adalah Penyiaran. Bisnis penyiaran mengunakan frekuensi  khusus untuk memancarkan siaran radio maupun televisi. Penyiaran sering juga disebut telekomunikasi khusus (UU no 36 tahun 1999). Sedang menurut UU 32 tahun 2002 tentang  Penyiaran, ada 4 macam lembaga penyiaran, yaitu Lembaga Penyiaran Swasta, Lembaga Penyiaran Publik, Lembaga Penyiaran Komunitas dan Lembaga Penyiaran Berlangganan.  Bentuk bisnis ketiga adalah Internet Service Provider (ISP), yaitu perusahaan penyedia layanan internet, seperti Speedy, Biznet, Im2 Indosat, dan lainnya. ISP ini sebagian dimiliki oleh perusahaan NSP. Kemudian bentuk bisnis keempat yang adalah layanan Over the Top (OTT), yaitu layanan pengiriman content menggunakan CDN (Content Distribution Network) yang memungkinkan user memperoleh manfaat internet yang sebenarnya, yang tidak disediakan NSP maupun ISP.
Keberadaan aplikasi Over the Top (OTT) menjadi karakter digital life dewasa ini. Namun kehadirannya sering dinilai sebagai “ancaman”. Perusahaan telekomunikasi atau NSP (National Service Provider), perusahaan ISP, media massa dan perusahaan lain yang model bisnisnya masih konvensional sering merasa “terganggu” dengan kehadiran OTT. Perusahaan OTT sering dinilai menjadi “benalu” yang merusak model bisnis lama. Repotnya belum ada regulasi yang memadahi. Padahal OTT sebagian besar perusahaan global yang dimiliki dan berasal dari negara asing.
    Ada beberapa jenis OTT yang bisa kita kenal berdasarkan fungsi kegunaannya. Pertama OTT Komunikasi, yaitu perusahaan aplikasi yang fungsi utamanya layanan komunikasi secara online berbasis internet dan real time bagi penggunanya. Contoh, WhatsApp, Line, Messenger, dan layanan sejenis lainnya. Kedua OTT Content Media, perusahaan aplikasi untuk mengakses content media, baik yang berbentuk video, film, music, atau content digital yang lain. Contoh OTT ini adalah You Tube, Netflix, Sound Cloud dan aplikasi sejenis lainnya. Ketiga OTT Commerce, yaitu perusahaan aplikasi untuk layanan e-commerce, perdagangan online, atau bisnis-bisnis baru berbasis online. Contoh, Pay Pal, Trivago, Airbnb, Grab, Uber, Lazada, OLX, Go-Jek, dan sejenisnya. Bentuk OTT e-commerce ini masih bisa dikelompokkan lagi sesuai sektor penggunaannya.      Keempat OTT Social Media, yaitu bisnis aplikasi untuk bersosialisasi di dunia maya seperti Face Book, Twitter, Instagram, Path, Linkedin, Tumblr, Academia dan lain lain.  Kelima OTT Information Aggregator, yaitu perusahaan aplikasi untuk layanan informasi, bank data atau panduan informasi untuk user. Contoh Google Search, Google Map, Google Earth, Google Scholar, Mozilla Fire Fox, Yahoo Search, Waze, Microsoft Academia dan perusahaan aplikasi sejenis.
Pembagian lima jenis OTT di atas, masih bisa diperdebatkan. Bisa ditambah atau dikurangi sesuai perkembangan. Karena aplikasi OTT memang fleksibel, longgar, jumlah dan jenisnya terus tumbuh secara kreatif, ke berbagai sector, bahkan karakteristik layananya juga berkembang.  

Era Big Data dan Transparansi.  
Big data atau smart data adalah hasil observasi mesin OTT terhadap interaksi dan transaksi yang dilakukan oleh seluruh user aplikasi internet. Semakin banyak orang menggunakan atau mendownload aplikasi yang bersangkutan, semakin banyak pula big data diperoleh dan disimpan dalam cloud mereka. Semakin aktif para user berinteraksi dan bertransaksi, maka semakin kaya  big data yang terkumpul. Setiap orang saat tersambung dengan aplikasi internet adalah “data”. Kita semua adalah data.  Perilaku kita yang tersambung dengan internet adalah data. Interaksi dan transaksi kita adalah data. Apa yang kita hasilkan dan upload di internet juga data.  Ada data yg dibuat secara sadar, dan ada pula yang dibuat secara tidak sadar. Saat kita membuka Face Book, Twitter, WhatsApp atau lainnya, berarti kita sedang menstrasmisikan data lokasi, mobilitas, gadget yang dipakai, hingga perilaku atau pola hidup yang terekam.  Teknologi komunikasi digital  memungkinkan semua aktivitas individu yang terkoneksi ke sistem internet, menjadi big data secara kualitatif dan kuantitatif, dengan ukuran petabytes (melebihi terabyte, gigabytes dan megabytes).
Teknologi digital merekam semua purchase detail, purchase record, dan payment record. Kemudian memilah berdasar segmentasi demografi, aktivitas dan transaksi, hingga kordinat dimana kita beraktivitas. Juga data mengenai afiliasi jaringan, kemampuan membeli, pasar yang dicari, perilaku yang disukai, hingga saluran dan informasi yang dipilih, kesemuanya ter-record dan terkumpul sebagai big data. Big data juga berisi kumpulan jutaan berita, video, dan foto, yang terus bertambah, dari hasil user generated content di internet. Walhasil big data adalah bahan baku untuk mengungkap apa saja yang sudah terjadi, sekaligus bahan pengambilan keputusan secara lebih cepat dan tepat, oleh organisasi politik, industri, lembaga pendidikan, perbankan, pemerintah, hingga publik. Bahkan data hasil investigasi, atau bocoran sekalipun saat masuk sistem internet, juga menjadi bagian dari big data.
Dengan big data, banyak pihak bisa searching mengenai track record atau reputasi seseorang. Bahkan berita, ataupun fitnah yang ada dalam sistem internet, akan “permanen” menjadi bagian dari big data. Tentu ini bisa dipakai sebagai bahan komunikasi politik, investigasi hukum, hingga kepentingan intelejen. Teknologi digital yang memunculkan big data, identik dengan fenomena transparansi. Artinya di era teknologi digital ini, siapapun dia akan terekam segala aktivitasnya sebagai big data. Fenomena inilah yang kemudian memunculkan konsep pentingnya right to be forgotten, hak penghapusan informasi palsu yang ada di internet. Sebuah konsep hak pribadi yang muncul di Eropa tahun 2014 karena perkara antara Google Spain SL melawan Mario Costeja di Pengadilan Uni Eropa, Court of Justice of the Europian Unian (CJEU). Di situ CJEU memutuskan kewajiban perlindungan data dalam publikasi dan hasil mesin pencari. Belakangan di Indonesia muncul tuntutan perlunya dimasukkannya konsep ini dalam regulasi Rancangan Undang Undang Perlindungan Data Pribadi.  Sayangnya dalam praktek sering terjadi kesulitan, bagaimana negara bisa melindungi data-data pribadi warga negaranya kalau keberadaan server, ataupun cloud computing yang menyimpan data tersebut ada di luar kendali, atau di luar kedaulatan negara yang bersangkutan.

  Di era teknologi komunikasi digital, data menjadi modal atau kekuatan penting, yang kemudian dikapitalisasi. Kapitalisasi data berasal dari terkumpulnya data oleh OTT seperti Google, Face Book, Twitter dan lainnya dari ratusan juta, atau bahkan milyaran penggunanya di seluruh dunia.  Big data yang terkumpul tersebut bisa digunakan untuk dasar promosi atau iklan micro targeting yang sangat spesifik audience-nya, sesuai target yang dituju, baik dari sisi lokasi, segmen, hingga waktu yang tepat berdasar data histori para pengguna internet yang disasar. Google misalnya, sekarang adalah “perusahaan iklan” terbesar di dunia, dengan produk yang bernama Google AdSense. Tahun 2014 AdSense meraup pendapatan $59 milyar atau 826 trilyun rupiah. Dengan memanfaatkan big data, Google AdSense mampu melakukan micro targeting advertisement dan e-promotion yang lebih efisien dan tepat sasaran. Cara kerja demikian tidak hanya dilakukan Google tapi juga Face Book dan OTT lain. Face Book yang 2014 sudah digunakan oleh 1.32 milyar penduduk dunia, telah meluncurkan fitur Pages untuk promosi dan iklan secara personal para pemilik akun. Fitur Fan Page bisa dipasangi pesan, foto, atau iklan yang jika di-boosted akan tersebar ke berbagai akun yang diinginkan. Target yang dituju bisa berdasar wilayah keberadaan pemilik akun, demografi pemilik, gaya hidup, hingga yang paling spesifik missal yang suka nge-like kuliner, nge-like postingan politik, dan lain lain. Kesemuanya bisa dilakukan secara mudah dan murah, tinggal pencet di layar akun Face Book-nya dan mencantumkan nomer kartu kredit, maka iklan akan tersebar sesuai kehendak personal si pemasang. Fenomena ini tentu tantangan baru, atau “mengancam” model bisnis iklan media massa konvensional. Porsi iklan media konvensional akan digrogoti secara signifikan.  Sebagaimana kasus Grab dan Uber taxi mengerogoti pasar taksi konvensional.
Data tidak hanya untuk iklan, tapi data identik dengan user. Semakin banyak user, semakin banyak data, begitu sebaliknya. Banyak perusahaan OTT agresif mencari user dengan berbagai cara, termasuk subsidi, dan discount. Dengan user yang semakin banyak, jangkauan semakin luas, datapun semakin banyak pula.  Kuantitas dan kualitas user dan data, akan menarik crowd funding atau investor. Upaya meraup uang dari investor itulah salah satu tujuan mengumpulkan user sebanyak banyaknya. Sedangkan user akan semakin banyak tergantung kreativitas aplikasi yang ditawarkan. Artinya intelektualitas para pembuat aplikasi akan memperoleh apresiasi dengan banyaknya user. Jadi di era teknologi komunikasi digital terjadi fenomena, intelektual akan menjadi magnit bagi kapital. Menggeser fenomena sebelumnya, dimana yang menjadi magnit itu kapital , yang menarik kalangan intelektual.
WhatsApp misalnya, ketika dirilis tahun 2009 oleh seorang intelektual muda, yaitu Jan Koum, waktu itu modalnya hanya $ 250. Dua tahun kemudian WhatsApp dapat suntikan dana $ 80 juta dari Sequoia Capital. Tahun 2013 Sequa Capital menambah investasi $ 50 juta. Akhirnya tahun 2014, WhatsApp dibeli Face Book sebesar $ 19 milyar. Bayangkan betapa kayanya Koum, pemuda kelahiran Ukraina ini sekarang menjadi milyarder. Tetapi itulah harga sebuah kreativitas aplikasi OTT dengan user sebanyak 800 juta, yang berarti jangkauan dan data penggunanya juga luar biasa. Tidak hanya WhatsApp yang dapat suntikan dana dari investor, start-up company lain juga memperoleh suntikan investasi dari para investor. Tahun 2015, Uber memiliki nilai pasar $ 65 miliar, sementara Airbnb nilainya $ 25 miliar. Pasokan capital dalam jumlah besar terus mereka terima. Dari kebutuhan dana operasional Uber 2015 sebesar $ 6.5 miliar, hampir $ 5 miliarnya berasal dari suntikan investor. Begitu pula Airbnb, di tahun yang sama, dari anggaran $ 2 miliar, $ 1.6 milar diantaranya juga berasal dari suntikan modal baru dari investor. Tentu para pemodal itu berharap, nantinya mereka akan meraup untung, terutama setelah perusahaan melakukan IPO.
Jadi OTT berteknologi big data ini akan mempengaruhi secara signifikan pengambilan keputusan, promosi, iklan, hingga model bisnis komunikasi. Martha Bennett dari University of Maryland, mengatakan  big data technologies are changing the world, everything from the internet of things to gathering both more qualitative and more quantitative data will lead to better decision making and inside” (Bennet, 2015).
Fenomena Wikileaks dan Panama Papers yang baru baru ini ramai dibicarakan, juga merupakan bukti kekuatan data.  Dengan teknologi komunikasi digital, menjadikan aktivitas  pembuatan, pengumpulan, pencarian, hingga pembocoran data menjadi begitu mudah. Siapapun bisa tersimpan dan ditelusuri data pribadinya sepanjang transaksinya berbasis internet. Ini berarti kehadiran teknologi digital telah menciptakan kultur transparansi. Aktivitas manusia sepanjang terkoneksi dengan internet, akan ter-record dengan sendirinya, ataupun melalui feeding atau yang digenerate user yang lain.  Komunikasi yang terjadi di masa lalu hingga sekarang bisa diketahui dan dipakai untuk mempengaruhi masa depan. Disitulah sifat komunikasi benar-benar continuous, dan irreversible, tidak bisa dibalik. Semua menjadi serba transparan. Repotnya tidak semua data yang berasal dari user generated content itu selalu berdasar fakta. Dalam sistem komunikasi digital yang makin mudah dan setiap orang bisa berpartisipasi ini, juga memunculkan fenomena anonimitas.  Para pelaku komunikasi politik banyak yang menyembunyikan identitas, atau anonimitas untuk menghindari tanggung jawab terhadap kebenaran informasi yang disampaikan. Banyak orang memanfaatkan kebebasan, sehingga di media sosial sulit dibedakan mana informasi yang benar, dan informasi hasil rekayasa untuk tujuan propaganda (Subiakto, Ida, 2014: 25). Dalam praktek terkait maraknya media sosial, sekarang dikenal adanya akun-akun buzzer di Tweetland, Face Book maupun media berita online. Akun-akun tersebut keberadaannya disokong atau dibiayai untuk perang informasi dan opini. Ada yang tugasnya melakukan tweet-war, ada yang membuat berita di situs tertentu, dan ada pula yang menyebarkan. Mereka bekerja-sama, “merekayasa” berita, menyebarkan, dan menggiring opini. Pengalaman membuat media dan manipulasi berita dikemukakan Ryan Holliday (2012) dalam buku “Trust Me I am lying: Confessions of An Media Manipulator”. Ryan mengakui telah dibayar untuk memanipulasi informasi dan berita di Amerika Serikat. Bersama teman-temannya dia membuat media online abal-abal, berita berita pesanan itu di-upload dan disebarkan lewat sosial media oleh buzzer yang sudah disiapkan. Maka beredarlah berita rekayasa tersebut di viral media sosial untuk mempengaruhi opini publik.  Itulah yang sekarang marak mewarnai komunikasi politik di negeri ini.  Data yang berbasis fakta, bercampur dengan informasi hasil rekayasa, kesemuanya menjadi big data. Jadilah “becik ketitik olo ketoro”, keburukan akan begitu mudah ketahuan, dibongkar dan disebar, tapi kalau kebaikan hanya tampak kecil.
Mudahnya setiap orang menghasilkan content di media sosial, dibarengi kebebasan, partisipasi yang tinggi, dan fenomena anonimitas, menyebabkan density of communication tinggi dan split in participation dalam beropini. Ada fenomena kebebasan yang cenderung liar di media sosial. Sebagai public sphere media sosial dipenuhi informasi yang beragam, banyak isi saling serang, baik dengan data dan fakta, maupun rumor dan gossip. Para tokoh politik, para pemimpin acapkali menjadi objek serangan komunikasi. Daniel Solove mengkhawatirkan masa depan reputasi di era kebebasan berinternet sekarang ini. Reputasi akan hancur tatkala hukum tidak mampu melindungi secara efektif privasi seseorang di era internet yang bebas (Solove 2007: 4).  Sekarang sejarah telah berubah bersamaan dengan datangnya teknologi digital berbasis internet. Sehebat apapun para pemimpin itu di era internet bebas, mereka akan “dihancurkan” reputasinya oleh musuh atau pembecinya. Baik lewat data, rumor maupun gossip. Hanya pemimpin yang sabar yang akan mampu bertahan. Rakyatpun juga harus sabar menyaksikan pemimpinnya “diserang” dan “dihancurkan” reputasinya oleh sebagian rakyat lain yang membencinya.
Catatan dari pembahasan ini, teknologi komunikasi digital telah memperkuat prinsip demokrasi, kebebasan dan transparansi, tetapi sekaligus memunculkan persoalan untuk reputasi siapapun. Negara dengan kekuatan regulasinya, dan kapitalis dengan penguasaan infratruktur dan teknologinya, ternyata juga tidak mampu mengontrol atau mengarahkan content secara sempurna.

Technical Connectivity dan Social Connectivity   
Perangkat teknologi komunikasi digital berbasis internet, secara teknis memungkinkan para penggunanya menjadi saling terhubung atau get connected dengan pengguna smartphone lain di seluruh dunia.  Terjadi technical connectivity, yang kemudian terjadi pula social connectivity. Orang saling terhubung secara sosial karena gadget yang mereka gunakan.  Sebelumnya teknologi televisi memunculkan konsep “global village’ (Mc Luhan, 1964). Sekarang teknologi smartphone memunculkan konsep “global brain”.  Global brain menurut Peter Russell adalah worldwide community, yang merupakan the distributed intelligence emerging internet. Lebih jauh dikatakan, It is creating a collective consciousness that is humanity’s only hope of saving its self from itself (Russell, 2008).  Konsep global brain, mirip pertumbuhan otak bayi yang tumbuh menjadi manusia dewasa. Jumlah sel otak bayi tumbuh semakin banyak hingga menjadi milyaran, dan menjadi semakin cerdas tatkala milyaran sel otak itu semakin saling terhubung. Begitu pula penduduk dunia, saat teknologi komunikasi mampu menghubungkan milyaran penduduknya, maka terwujudlah worldwide community yang juga semakin cerdas. Punya kesadaran humanis secara kolektif, untuk saling menyelamatkan, saling membantu, dan saling sharing apapun yang bermanfaat. Itulah global brain berkat teknologi internet.
Teknologi Komunikasi digital selain memunculkan konsep global brain, juga memunculkan pula konsep “Mass Self Communication”. Media sosial terbukti mampu menyebarkan pesan komunikasi kepada orang banyak atau massif, tetapi tidak serentak sebagaimana terjadi dalam komunikasi massa. Komunikasi mengunakan media sosial, pesan dan informasinya menyebar massif, lewat viral yang merambat dari person to person, atau dari self to self.  Komunikasi bentuk ini disebut “Mass Self Communication” (Castells, 2010). Dengan teknologi komunikasi digital dan media sosial, dunia menjadi semakin terhubung. Persoalan di suatu wilayah, bisa menjadi persoalan di negara lain. Atau the world the more global, the more national matters.  Persoalan-persoalan yang terjadi di negara lain, atau global, muncul menjadi persoalan nasional.
    Kembali pada kehadiran teknologi komunikasi digital yang telah memunculkan technical connectivity sekaligus social connectivity, ternyata juga mempengaruhi economical connectivity. Fenomena economical connectivity ditandai dengan terjadinya sharing economy, dan access economy yang disebabkan terkoneksikannya elemen-elemen masyakat ke dalam suatu kerjasama ekonomi karena difasilitasi aplikasi OTT. Contoh sharing economy adalah pemanfaatan kursi kursi kosong di kendaraan pribadi (carpooling) untuk berangkat dan pulang kerja, pemanfaatan kamar-kamar kosong untuk membantu tamu yang butuh penginapan. Juga pemanfaatan barang-barang bekas yang ada di rumah yang tidak terpakai untuk masyarakat lain yang lebih membutuhkan. Teknologi OTT mempertemukan mereka yang membutuhkan, dan mereka yang memiliki. Sebenarnya sharing seperti ini bukan hal baru. Sejak lama orang punya kecenderungan berbagi dengan kerabat, teman atau dengan orang yang dikenal untuk saling membantu. Teknologi OTT memperbesar dan mempermudah fenomena ini. Itulah yang dilakukan Grab, Uber, Airbnb, OLX, Tokopedia, Nebengers, dan sebagainya. Persoalan menjadi rumit saat yang dishare bukan hanya kursi kosong atau kamar kosong milik pribadi yang menganggur, tetapi memang sengaja disediakan karena ada peluang bisnis. Sebagian mereka sengaja menyediakan kamar baru dan kursi kursi di mobil baru untuk mencari keuntungan. Jadilah bisnis baru berbasis connectivity lewat aplikasi OTT. Ini sebenarnya bukan lagi sharing economy untuk efisiensi sumber daya, tetapi menurut Profesor ekonomi dari Inggris, Giana Eckhardt dan Fleura Bardhi, bentuk itu sudah menjadi access economy (Eckhardt & Bardhi, 2015).  Kalau access economy keberlanjutannya belum tentu semurah awal awal diluncurkannya bisnis baru tersebut.  Ada ketidak-transparanan dalam menentukan surge pricing bisnis baru ini, menyangkut seputar asuransi, pajak, ketenaga-kerjaan dan hak hak masyarakat. Belum lagi dari subsidi atau discount karena di belakangnya ada perhitungan lain yaitu algoritma dan bisnis big data (Katz, Vanessa, 2015).
 Model bisnis lama yang dijalankan oleh perusahaan di sektor masing masing di tingkat nasional bahkan lokal, misal perusahaan taxi, perusahaan hotel dan penginapan, harus bersaing dan berhadapan dengan “siapapun” baik pengusaha maupun masyarakat biasa yang memanfaatkan kemudahan teknologi ini.  Para pengusaha konvensional dan karyawannya akan berhadapan dengan masyarakat yang menjalankan sharing economic, maupun yang membangun bisnis model baru berbasis aplikasi (access economy).  Catatan untuk model access economy ini selain melibatkan partisipasi masyarakat, sebagian juga melibatkan kapitalis global yang memiliki dan mendanai OTT Internasional. Maka terjadilah konflik kepentingan yang kompleks, benturan persaingan di berbagai sektor ekonomi. 

Apa yang Harus Dilakukan?
Atas nama kepentingan nasional, in the name of national interest, negara harus membuat regulasi, untuk mengatur OTT.  Negara bersama stake holder terkait harus menyiapkan masyarakat secara luas, pemanfaatan teknologi digital untuk kepentingan meningkatkan produktifitas dan kemaslahatan.. Negara dan stake holder industri informatika secara luas, memiliki tangung jawab untuk mempersempit digital divide di masyarakat. Karena kesenjangan penggunaan teknologi komunikasi digital akan memperlebar kesenjangan ekonomi antar penduduk. Kecepatan kemajuan ekonomi dari mereka yang menggunakan teknologi komunikasi digital akan signifikan berbeda dan berpotensi semakin meninggalkan mereka yang laggard, atau tidak memanfaatkan teknologi digital. Semua pihak harus beradaptasi terhadap perkembangan teknologi digital yang telah diikuti perubahan sosial seperti perubahan pola komunikasi, perubahan bisnis model, perubahan sistem ekonomi masyarakat, hingga regulasi yang mengaturnya.  
Regulasi mutlak harus diterapkan kendati kehidupan mengalami perubahan sangat pesat. Regulasi terhadap OTT harus dilakukan, termasuk adaptasi regulasi pada sektor-sektor terdampak, seperti sektor transportasi, perdagangan, perhotelan, travel biro, media penyiaran, dan lain-lain. Di setiap sektor harus mengantisipasi perubahan serta penyesuaian dalam regulasi. Tujuannya agar penggunaan teknologi komunikasi digital benar-benar membawa manfaat luas bagi masyarakat, tapi tetap dalam koridor hukum. Penerapan teknologi yang memunculkan model bisnis baru tidak boleh dibiarkan tumbuh liar dan liberal, tanpa regulasi, atau menabrak aturan yang sudah ada. Regulasi dan kebijakan diarahkan untuk memunculkan persaingan yang sehat dan efektif (to foster effective competition). Juga menghindari kegagalan pasar (to avoid market failure). Atau menghancurkan begitu saja pasar yang sudah ada, yang jelas jelas sudah menghidupi begitu banyak rantai ekonomi masyarakat. Regulasi juga digunakan untuk melindungi kepentingan konsumen (to protect consumer interest). Tetapi tetap menjamin berkembang dan meningkatnya akses teknologi dan layanannya (to increase access to technology and services).
Untuk itu, regulasi dan kebijakan yang dibuat harus bersifat fairness, adil untuk semuanya, atau tidak memihak. Mengatur terciptanya transparency, atau keterbukaan. Regulasi itu dibuat secara independent, tidak dipengaruhi oleh kekuatan tertentu. Berkualitas untuk mengatur dan menyelesaikan masalah (quality) secara tetap untuk jangka panjang (consistency). Isi regulasi itu bisa dipertanggungjawabkan (accountability). Dan bisa digunakan atau diterapkan secara efektif (effectiveness).  Dengan demikian, perkembangan teknologi komunikasi digital yang memunculkan perubahan sosial, model bisnis baru, pada dasarnya tidak jadi masalah sepanjang tidak ada regulasi yang dilanggar. Tidak menentang atau melawan regulasi yang akan dibuat, untuk memastikan maslahat bagi masyarakat. Efisiensi dan perolehan profit karena teknologi adalah suatu hal yang sah, sepanjang masih dipandang etis, dan tidak dicapai dengan membawa efek detruktif untuk ekonomi masyarakat ataupun negara.
Persoalan perubahan karena teknologi komunikasi, dengan kemunculan OTT dan model bisnis baru terjadi tidak hanya di negeri ini, tetapi juga di negara negara lain. Beberapa di antaranya bisa kita lihat bench marking berikut.  Di Uni Eropa, misalnya, mereka sedang menyiapkan regulasi subject to license untuk OTT. Jadi OTT nantinya tidak bebas begitu saja masuk suatu negara di Eropa.  Beberapa perusahaan infrastruktur telekomunikasi atau NSP di Eropa, diperbolehkan mempunyai kebijakan memblock iklan online di OTT yang melewati infrastruktur yang dimiliki Perusahaan tersebut. Mereka mewajibkan adanya pembagian keuntungan antara OTT Global dengan perusahaan infrastruktur yang dilewati atau digunakan OTT tersebut untuk menayangkan iklan. Jadi negara negara Eropa akan menerapkan prinsip sharing keuntungan, tujuannya untuk memelihara dan meningkatkan kualitas infrastruktur yang ada. Sementara di Amerika Serikat, mereka memberlakukan prinsip “net neutrality”, biaya sewa infrastruktur bagi penyedia content dilarang. Boleh dikata negeri super power itu, tidak banyak meregulasi yang bisa membebani OTT. Perusahaan OTT yang notabene banyak berasal dari negeri tersebut, justru didorong untuk berkembang bebas secara global. Tetapi ingat, bahwa di negara itu persoalan infrastruktur memang sudah selesai dibangun puluhan tahun yang lalu, dan OTT dianggap sebagai bagian evolusi teknologi. Agak berbeda kondisinya dengan negara negara lain. Di Jerman dan Spanyol, Google sebagai mesin pengumpul big data, diwajibkan membayar pada setiap berita yang diterbitkan pada si empunya berita atau content. Artinya OTT global wajib memberikan share keuntungan dari data, berita yang mereka dapat dari negara Jerman. Kanada memberlakukan katagori exempt broadcaster pada Netflix, sehinga OTT content ini bisa tersentuh regulasi, sebagai penyiaran khusus. Di China beberapa OTT dilarang masuk, tetapi mendorong OTT nasional tumbuh menggantikan OTT Global. Misal tidak ada Face Book di China, tetapi mereka punya Ren Ren. China melarang Twitter masuk, tetapi mereka punya Weibo. Mereka juga punya OTT besar untuk ecommerce, yaitu Alibaba yang sudah mendunia. China juga memiliki OTT pesaing Google, yaitu Baidu yang juga sudah banyak digunakan di negara negara di luar China, termasuk di Indonesia.
Langkah untuk Indonesia selain harus menyiapkan regulasi yang tepat, negara dan stake holder juga harus mendorong dan membangun (build) OTT Nasional, agar bisa bersaing dengan OTT Global. Negara tidak boleh lelah memfasilitasi OTT Nasional dengan insentif dan kemudahan, sampai mereka bisa bersaing. OTT Global bisa dipertimbangkan untuk dikenakan kebijakan berbayar dan dikenai pajak, agar OTT Nasional bisa berkembang lebih murah. Di luar itu pemerintah dan industri nasional harus terus meningkatkan SDM untuk developer yang kreatif. Kalau perlu SDM Indonesia yang di pusat pusat ICT luar negeri untuk ditarik kembali memperkuat dunia teknologi digital yang memang menjadi penentu keberhasilan masa depan. Tetapi semua itu, membutuhkan perubahan mind set, atau mind change, pada semua pihak. Tanpa berubahan mind set yang complay dengan tuntutan model bisnis berbasis teknologi digital. 
Pemerintah juga perlu mendorong partnership antara NSP, ISP dan OTT Global untuk membangun ataupun perawatan infrastruktur dan aplikasi yang ada di negeri ini. Partnerships diarahkan pula agar perusahaan NSP dan ISP dapat melakukan income sharing, saling membantu dalam penyelenggaraan iklan micro targeting. Kita tidak perlu kebijakan memblokir iklan online di OTT sebagaimana kebijakan di Eropa, lebih baik mengembangkan sinergi atau kerjasama saling menguntungkan. Termasuk juga perusahaan NSP dan ISP bisa melakukan branding di layanan OTT yang mereka fasilitasi.

DAFTAR PUSTAKA

Castells, Manuel, Communication Power, Oxford New York, Oxford University Press, The
         European Journal of Communication, 2010.
Dakidae, Daniel, The State, The Rise of Capital and The Fall of Political Journalism Political
         Economy of Indonesian News Industry, A Dissertation, Cornell University, 1991
Dargue, Michael & Wadsworth, William, “Over the Top, Operator Threat and Opportunity”,
         Cartesian Consultant, 2013.
Eckhardt, Giana, & Bardhi, Fleura, “The Sharing Economy isn’t about Sharing at All” Harvard
          Business Review, Edition:  January, 2015.
Friedman, Thomas L, “The World is Flat, A Brief History of the Twenty first Century”, Farar,
          Straus and Giroux, 2005.
Greenfield, Susan, Mind Change, How Digital Technologies are Leaving Their Mark on Our
          Brains”, Penguin Random House UK, 2015.
Katz, Vanessa, “Regulating the Sharing Economy”, Berkeley Technology of Law Journal,
          Vol.30/5 2015.
McLuhan, Marshall, Understanding Media, The Extention of Man, Mc Graw Hill, Canada,
          1964.
McQuail, Denis, Mass Communication Theory, Fifth Edition, Sage Publication, London,
          Thousand Oaks, New Delhi, 2005
Orlikowski, W. J. ”The Sociomateriality of Organisational Life : Considering Technology in
          Management Research”, Cambridge Journal of Economics 34 (2009) : 125-141.
Pavlik, John, & Shawn, McIntosh, Converging Media: An Introduction to Mass Communication,
          USA Person, 2004.
Prensky, Marc, Digital Natives, Digital Immigrants, On the Horizon, MCB University Press,  Vol 9 No 5, October 2001.
Russell, Peter, Global Brain, The Awakening Earth in a New Century, Floris Books, 2008.
Solove, Daniel J. The Future of Reputation, Gossip, Rumor and Privacy on the internet, New
          Haven: Yale UP, 2007. 
Subiakto, Henri, dan Ida, Rahmah, “Komunikasi Politik, Media dan Demokrasi”, Edisi Kedua,
           Penerbit Kencana, Jakarta, 2014.
Smartphone User Persona Report (SUPR) 2015 for Indonesia. www.vserv.com unveiling the
            Smartphone User Persona Report.
Tim Unair, Laporan Penelitian Studi Analisis Isi Media Konvergensi (Computer Based
           Multimedia Communication) Depkominfo, Jakarta, 2008.
 Yuswohadi, “Sharing Economy dan Koperasi” Tabloid Pendidikan Online, 28 Maret 2016.
             www.tabloidpendidikan.com/ Koperasi-dan-ukm/sharing-economy-dan-koperasi.