Kamis, 06 Desember 2018

KENAPA PENYERANG PEKERJA DI PAPUA KITA SEBUT SEBAGAI KELOMPOK KRIMINAL BERSENJATA? Oleh : Henry Subiakto



Banyak warga Indonesia marah dan geram terhadap Kelompok Bersenjata di Papua yang telah menembak dan membunuh 19 pekerja PT Istaka Karya. Masyarakat tak hanya geram tapi bertanya, mengapa kelompok yang jelas-jelas melawan negara, hanya dinamakan "Kelompok Kriminal Bersenjata, kenapa tidak disebut "pemberontak" yang harus ditumpas tuntas?
Penamaan terhadap suatu gerakan yang berbau politis, harus ditangani dengan pertimbangan yang luas dan politis juga. Ada aspek hukum yang diperhatikan, tapi ada juga aspek komunikasi politik sebagai pertimbangan.
Pertanyaan kritisnya adalah, apakah kelompok ini menurut mereka bergerak memperjuangkan sesuatu, misal ingin merdeka, atau hanya sekedar kumpulan preman yang ingin mengacau dan cari uang semata?
Saya yakin mereka itu, kelompok pemberontak yang ingin merdeka. Bagian dari apa yang menamakan dirinya OPM (Organisasi Papua Merdeka). Pertanyaan berikut apa rakyat Papua tidak ingin merdeka? Saya yakin banyak yang dalam hati mereka ingin merdeka. Tapi banyak pula yang tidak. Menghilangkan rasa mereka ingin merdeka ini tidak mudah. Apalagi OPM ini sudah lama dan punya sejarah panjang, bahkan jaringan propagandanya di luar negeri juga luas.
Kalau seperti ini, apakah pemerintah dan rakyat Indonesia apa juga layak menyebut mereka para penyerang itu OPM atau pemberontak yang ingin merdeka?
Kalau kita ikut menyebut mereka OPM atau pemberontak yang ingin merdeka, pasti ada banyak konsekuensi. Berarti kita mengakui di Papua kesatuannya dengan Indonesia belum selesai. Masih ada gejolak perlawanan dari kelompok yang ingin merdeka. Hal ini bisa menjadi isu internasional yang tidak baik, karena negara-negara yang tidak suka atau tidak punya kepentingan dengan Indonesia justru bisa membantu atau membela "perjuangan" OPM  secara diplomatis di PBB. Seperti yang selama ini disuarakan negara-negara Melanesia yang ada di Pasifik Selatan seperti Vanuatu, Kepulauan Solomon, Fiji, Palau, Kiribati, dan lainnya. Mereka ini selalu mendukung Papua Merdeka.
Belum lagi kalau mereka, para pelaku penembakan kita sebut pemberontak OPM, justru nama OPM akan memunculkan simpati bahkan dukungan dari masyarakat Papua, terutama yg ingin merdeka.
Maka, negara perlu menggunakan teknik "Name Calling Device". Yaitu memberikan penjulukkan, mereka kita sebut "Kelompok Kriminal Bersenjata". Tak beda dengan penjahat jalanan yang ada di tiap negara. Jadi kasus kekerasan yang mereka lakukan skalanya adalah masalah nasional bahkan lokal. Bukan juga isu serius tentang pemberontakan apalagi penjajahan atas bangsa Papua.
Jaman Orba, teknik “Name Calling” ini juga dipakai untuk memberi nama kelompok Islam garis keras yang “berjuang" melawan pemerintah Suharto. Mereka yang menamakan diri sebagai "Komando Jihad" oleh pemerintah Orba hanya disebut sebagai GPK, Gerombolan Pengacau Keamanan. Malah gerakan "Islam fii Sabilillah" dari Talang Sari Lampung hanya disebut GPK Warsidi, sedang nama asli mereka yang berbau Islam yang bisa memunculkan simpati dan dukungan dari umat Islam, narasi negara tidak pernah menyebutnya.

Dengan demikian, rakyat atau kaum muslim tidak tertarik mendukung atau membela Gerakan Pengacau Keamanan, apalagi GPK Warsidi. Siapa mau simpati dengan Warsidi. Padahal mereka itu kalau terjadi sekarang bisa disebut kelompok mujahid yang ingin memperjuangkan penerapan hukum Islam dan negara Islam.
Nah untuk kasus Papua, teknik "Name Calling" dipakai juga, agar rakyat Papua tidak simpati atau mendukung Kelompok Kriminal ini. Mosok kelompok Kriminal pantas didukung kan tidak. Tapi memang ditambahi dengan kata-kata "Bersenjata", maksudnya penangannannya bisa melibatkan TNI. Karena kalau hanya kelompok kriminal itu urusan Polisi. Tapi saat ada tambahan "Bersenjata" maka TNI sah dan legal ikut di dalamnya untuk menangani, atau bahkan di depan.
Jadi menangani sebuah perkara sensitif, menyangkut gerakan politik terlebih separatis itu harus ditangani secara komprehensif, tidak bisa hanya melihat dari satu aspek. Lalu apa yang harus dilakukan pemerintah terhadap kasus Papua. Penanganannya adalah jelas, yaitu penegakkan hukum secara tegas. Kejar, tangkap atau hukum keras mereka. Ungkap latar belakang dan kekuatan yang memback up mereka. Tapi tentu juga memperhitungkan berbagai aspek sosial, politik, bahkan diplomasi Internasional. Menangani separatisme itu tidak  boleh gegabah dan emosional.
Kita tidak bisa setiap ada kekerasan, dibalas dengan cara kekerasan juga yaitu dengan operasi militer. Kalau operasi militer terlalu sering dilakukan, yang terjadi justru akan seperti  di Timor Timur. Persoalan negara, bercampur dengan dendam keluarga atau personal. Mereka di Timtim dulu dorongan melawan Indonesia tidak hanya karena ingin merdeka semata, tapi juga karena banyak masyarakat sakit hati, merasa dilanggar hak azasinya.
Hampir tiap keluarga besar punya dendam pribadi dengan operasi militer, karena anggota keluarga besar mereka ada yang terbunuh, hilang, cacat atau menjadi korban. Bagaimana kita tidak dendam kalau ayah, paman, atau anak kita ada yang mati atau hilang karena operasi militer? Itu yang banyak terjadi dan dirasakan oleh banyak keluarga orang Timtim korban operasi Militer saat itu.
Makanya operasi militer itu sebaiknya tidak jadi kebijakan utama. Diterapkan jika betul betul sangat perlu. Kalau terlalu sering melakukan operasi militer, akan memunculkan antipati yg meluas, di daerah atau masyarakat yg menjadi objek operasi militer itu. Operasi militer memang sesaat bisa membawa ketenangan, karena dibawah "ancaman", tapi setelah ancaman itu hilang, kebencian dan dendam bisa muncul dan bertahan lama. Pendekatan ekonomi, budaya, sosial dan politik, amat penting dilakukan secara cerdas dan strategis.
Nah celakanya di Timtim sudah kondisi seperti itu lalu diadakan referendum, ya pasti kalah. Ditambah asing seperti Australia ikut menjual mimpi dan membantu kemerdekaan Timtim. Ya lepas. Untuk Papua tidak boleh mengulang kesalahan penanganan Timor Timur.
Kita perlu mencontoh bagaimana UK memperlakukan Scotlandia yang dari dulu ingin merdeka, tapi gagal dengan strategi "Devolution" yang diterapkan pemerintah Inggris. Apa itu devolusion nanti kita bahas lain tulisan.

Terima kasih