Banyak ahli meyakini, teknologi komunikasi adalah determinan kehidupan
sosial. Bagaimana orang berinteraksi,
bentuk organisasi sosial, hingga sejarah kehidupan manusia ditentukan oleh
teknologi komunikasi yang digunakan. Tercatat dalam sejarah perkembangan manusia, teknologi komunikasi
berperan penting dalam perubahan sosial. Everett M Rogers (1986) mengatakan, penemuan
tulisan (writing) telah menyebabkan
perkembangan teknologi cetak menjadi sangat pesat. Sementara penemuan teknologi telekomunikasi
dan komputer telah membawa pengaruh besar terhadap kemajuan teknologi
interaktif (McQuail, 2005: 102).
Dalam pandangan teori determinisme
teknologi, kehidupan masyarakat tergantung pada mesin-mesin teknologi
komunikasi yang ditemukan. Menurut Harold Adam Innis, sejarawan ekonomi dari
Toronto School, tokoh technological
determinism theory, setiap teknologi komunikasi yang dominan
digunakan masyarakat, memiliki bias dalam hal pengaruhnya terhadap bentuk
masyarakat itu sendiri (Mc Quail, 2005: 103). Teori tersebut menjelaskan bahwa
rangkaian penemuan dan aplikasi teknologi komunikasi telah mempengaruhi
perubahan-perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Sedangkan Wanda
J. Orlikowski (2009) mengungkapkan teori yang hampir sama, yaitu “socio materiality”. Dikatakannya, manusia
dan teknologi komunikasi itu sudah menyatu, saling berinteraksi dan mempengaruhi
satu dengan yang lain. Manusia menemukan dan mengembangkan teknologi komunikasi,
lalu melengkapinya dengan fitur fitur, ketika kemudian digunakan, aktivitas
manusia-pun berubah, perubahan itu membutuhkan perbaikan dan pengembangan
tekonologi yg baru, begitu seterusnya. Susan Greenfields, dalam Mind Change, How
Digital Technologies are leaving their mark on our brains mengatakan,
otak manusia pada dasarnya menyesuaikan dengan lingkungan teknologi yang
digunakan. Logika ini sesuai dengan teori
Darwin, bahwa makhluk hidup itu
berevolusi menyesuaikan diri dengan lingkungan, dan teknologi telah menjadi
lingkungan yang berpengaruh. Teknologi
digital yang canggih tidak membuat otak menjadi malas atau tidak bekerja, tapi
justru memunculkan potensi kreativitas dan kecerdasan yang sebelumnya
tersembunyi (Greenfields, 2015).
Lebih dua dekade lalu, Daniel Dakhidae dalam disertasinya di Cornell University Amerika Serikat mencatat,
implikasi inovasi teknologi cetak telah mempengaruhi ekspansi bisnis media cetak
menjadi kian besar dan membutuhkan manajemen yang lebih profesional. Berkat penggunaan
komputer dan mesin cetak modern, terjadi intensifikasi kerja jurnalistik, yang
mendorong ekspansi atau ekstensifikasi
bisnis bidang lain. Penggunaan teknologi baru tidak hanya memunculkan
efisiensi, tapi juga memunculkan transformasi kapital. Teknologi bukanlah
sekadar sarana, namun menjadi jantung persoalan, yang mengubah bentuk produksi
komoditas yang sederhana menjadi bentuk produksi yang sangat maju. Istilahnya, ”to have more, to be more in order tobe more” (Dakhidae, 1991 :143). Terbukti teknologi telah mendorong terjadinya
konsentrasi industrial menjadi industri baru (Dakhidae: 534). Maksudnya perkembangan konglomerasi media yang
massif di era 1980-1990an, tak lepas dari pengaruh adopsi teknologi komputer
dalam industri media.
Jauh sebelum itu, di abad 15 juga terjadi perubahan sosial yang luar biasa
dikarenakan penemuan teknologi mesin cetak. Johanes Gutenberg 1446 menemukan
mesin cetak press di Meinz Jerman. Akibatnya tidak main main. Kekuatan duplikasi
mesin cetak Gutenberg mampu menyebar luaskan dan meningkatkan tingkat melek
huruf secara dramatis (Vivian 2008: 10). Seratus tahun setelah penemuan mesin
cetak, Eropa mengalami revolusi pencerahan pemikiran, buku dan koran
bermunculan dan tersebar. Bahkan agamapun ”dikoreksi”. Awalnya kitab suci Bible jumlahnya terbatas. Dalam
Katholik, Bible hanya boleh dibaca
oleh para pemimpin agama saat itu, namun setelah ada mesin cetak, jumlahnya meningkat
pesat. Pengakses Bible menjadi lebih
terbuka. Muncul Martin Luther dari Jerman mempelopori protes dan reformasi. Lahirlah
Kristen Protestan. Artinya perubahan besar di Eropa waktu itu tidak bisa
diingkari merupakan akibat hadirnya teknologi komunikasi yang baru.
Konvegensi
Teknologi Digital
Fenomena yang sama, terjadi juga
pada perkembangan teknologi komunikasi digital dewasa ini. Penggunaan gadget atau smartphone yang canggih, telah
mengkonvergensikan telekomunikasi, internet, dan penyiaran. Teknologi digital mempengaruhi
perubahan intensitas sosial tatap muka secara langsung. Banyak pergeseran bentuk interaksi sosial,
dari yang kongkrit menjadi virtual. Sekarang,
orang menjadi begitu mudah get connected,
saling terhubungkan secara teknologi. Tidak ada lagi batasan jarak (space) dan waktu (time). Terjadi ”revolusi komunikasi” yang menyebabkan ”revolusi
sosial”. Aktivitas di cyber space, justru semakin membesar,
dan menjadi dominan. Sekarang aktivitas
di cyber space tak lagi dipandang virtual, tetapi sudah menjadi bagian
dari real life, karena punya konsekuensi
yang riel terhadap kehidupan di dunia fisik.
Adapun konvergensi teknologi didefinisikan oleh Pavlik dan McIntosh,
sebagai “the coming together of
computing, telecommunications, and media in a digital environment is known as
convergence” (Pavlik & McIntosh, 2004:19). Konvergensi digital juga diartikan menyatunya perusahaan
penyedia layanan, menyatunya alat penerima atau divice, dan menyatunya network
atau jaringan pada penyedia telekomunikasi, penyiaran dan internet.
Walaupun belum ada kesepakatan definis, namun inti konvergensi adalah
terjadinya transformasi teknologi komunikasi dari bentuk lama, ke bentuk baru
yang menyatu, dengan implikasi-implikasi yang baru pula. Konvergensi teknologi
komunikasi menyebabkan transformasi tidak hanya pada institusi komunikasi,
maupun kalangan kreatif atau profesional, tetapi juga pada industri, publik, bahkan
pemerintah atau negara. Perubahan teknologi komunikasi digital membawa perubahan
sosial yang luas, termasuk perubahan bentuk aktivitas ekonomi, model bisnis industri,
regulasi, hingga perubahan paradigma komunikasi.
Marshall McLuhan (1989) pernah mengatakan, teknologi adalah kepanjangan
dari indera manusia, “technology is the
extention of human minds.” Radio adalah kepanjangan telinga kita, the extention of ears. Kamera adalah
kepanjangan mata kita, the extention of
eyes. Maka saya berpendapat, teknologi smartphone
sekarang ini adalah the extention of our
life, or the extension of our
activities. Hampir semua aktivitas hidup manusia super modern sekarang, ada di jari-jari, life in fingers, di smartphone. Orang ”tidak
bisa” dipisahkan dari digital smartphone-nya, baik untuk aktivitas
sosial, ekonomi, politik, budaya, rekreasi dan lain lainnya.
Munculah tuntutan untuk berubah bagi masyarakat, industri, dan juga
pemerintah, seiring perkembangan teknologi digital. Namun tidak berarti teknologi digital akan menghapus penggunaan
teknologi konvensional atau ”tradisional”. Media seperti televisi, radio, surat
kabar, buku dan sebagainya, akan tetap
ada, tidak akan hilang atau mati. Hanya fungsinya berubah. Ibarat seperti lilin
yang tersaingi penemuan lampu listrik. Atau lukisan yang tersaingi teknologi
foto. Tetapi teknologi konvensional itu tidak mati atau tersapu, hanya berubah
fungsi, menjadi sesuatu bernilai seni. Menjadi bahan koleksi, untuk romantisme
masa lalu. Di masa depan, akan semakin banyak teknologi atau media konvensional
yang senasib dengan lilin, dan lukisan.
Ketika konvergensi teknologi komunikasi sudah dimanfaatkan secara luas,
maka tuntutan penyesuaian pada teknologi tersebut menjadi keharusan. Penyesuaian
itu meliputi perubahan regulasi, model bisnis, reposisi kelembagaan, kebijakan
negara, hingga kesiapan SDM dan masyarakat. Intinya transformasi teknologi
digital telah memunculkan bisnis model baru di berbagai sektor kehidupan, yang
berpotensi memunculkan ”benturan” dengan
model bisnis konvensional, atau yang lama.
Bagi dunia industri yang terkait teknologi komunikasi, implikasi dari
konvergensi digital bukan sekadar berubahnya sarana. Tapi
“It means
technology is not just a technology, It is transformed into hyper capital
with new business models”. Artinya
untuk negara besar seperti Indonesia, dengan kondisi ekonominya yang cukup baik
sekarang, ketika internet hadir, gelombang kapitalispun berebut masuk untuk
memodali start-up yang kelak akan
mendominasi jagat e-commerce
Indonesia (Yuswohadi, 2016). Begitu pula
perusahaan global berbasis aplikasi juga ‘menyerbu’ pasar negeri ini, bersama kekuatan hyper capital mereka. Masyarakat
sebagian besar mendukung karena merasakan manfaat teknologi komunikasi digital,
yang membawa efisiensi, kemudahan, dan meningkatkan kualitas hidup (Tim Unair,
2008 : 8-9). Secara konseptual,
kehadiran teknologi komunikasi digital, memunculkan kolaborasi fungsional
antara kekuatan kapitalis global (yang ada di belakang perusahaan berbasis
aplikasi), dengan masyarakat luas, yang memanfaatkan peluang teknologi aplikasi
tersebut, berhadapan dengan kapitalis menengah (lokal atau nasional) yang
sebelumnya menguasai bisnis konvensional.
Bergesernya Aktivitas ke Dunia Maya.
Kita
sekarang hidup di dunia yang teknologi dan pengaruhnya tidak pernah kita
bayangkan satu dekade sebelumnya. Aktivitas sosial, ekonomi, budaya, dan politik,
semakin banyak bergeser dari dunia fisik ke dunia siber (cyber life). Hampir setiap bulan, muncul fitur aplikasi baru, yang
penggunaannya berdampak pada aktivitas masyarakat. Dulu orang melakukan aktivitas komunikasi,
kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya, adanya di dunia fisik, sekarang bertransformasi
secara signifikan ke dunia cyber atau online. Kalangan muda net generation waktu mereka semakin dihabiskan
dalam aktivitas di dunia cyber. Tidak
sedikit yang beraktivitas online sampai
sepuluh jam sehari. Dunia cyber sudah
menjadi dunia nyata ”real life” bagi net generation. Generasi inilah yang disebut
sebagai digital natives (Prensky,
2001), generasi yang sejak kecil hidupnya sudah bersama teknologi digital,
dengan berkultur digital, yang serba cepat, ekspresif, dan cerdas. Berbeda
dengan generasi sebelumnya, yaitu digital
immigrants, tumbuh tidak bersama teknologi digital, tetapi baru mengenal
kemudian, dengan ”terpaksa” harus mengikuti perkembangan teknologi digital, atau
bermigrasi ke kultur digital.
Bagi digital native
kehidupan digital di ”sektor” pendidikan sudah amat berbeda dengan keadaan 15
tahun lalu. Sekarang Google sudah
meluncurkan fitur Google Scholar, yang
memungkinkan kita bisa mengakses
berbagai materi pelajaran teks dalam berbagai format publikasi. Di Google
Scolars terdapat jurnal jurnal online
dan publikasi ilmiah yang memudahkan siapa saja mencari literatur. Ada pula Microsoft Academic, yaitu mesin pencari
referensi penelitian dalam format publikasi. Dalam fitur itu orang bisa mencari
jurnal berdasarkan penulis, atau afiliasi tempat para peneliti bernaung. Ada
pula Library Genesis, situs penyedia
buku digital paling lengkap, dari berbagai jurusan, baik eksak maupun sosial,
dan dapat diakses secara gratis. Lalu ada pula media sosial yang saling
mempertukarkan hasil penelitian di kalangan akademisi terutama mahasiswa, yaitu
Academia. Dengan aplikasi ini setiap
pengguna bisa ngobrol membahas penelitian dan saling berbagi hasilnya.
Dengan
keberadaan situs dan aplikasi seperti di atas, apakah masih relevan kita
membangun perpustakaan fisik dengan bangunan yang luas? Apakah nantinya toko
buku dan perpustakaan akan semakin ”sepi”? Jangan-jangan mahasiswa kalau datang
ke perpustakaan bukan untuk mencari buku cetak, tetapi lebih sekadar mencari wifi gratis untuk searching buku digital di virtual
library? Terkait perkembangan tersebut, teknologi komunikasi digital
terbukti telah menciptakan kesempatan yang sama bagi siapapun, dimanapun
penggunanya berada, dalam mengakses informasi maupun aktivitas di dunia maya.
Dalam hal ini teknologi telah memberi kesempatan empowerment pada individu penggunanya, itulah yang disebut the world is flat (Friedman, 2005).
Survei tahunan Lembaga Riset Childwise di Inggris mencatat bahwa, kalangan muda sekarang rata
rata menggunakan internet selama 3 jam dalam sehari. Situs video sharing You Tube, Instagram, Snapchat, Facebook
dan Twitter merupakan tujuan paling
populer mereka (Laporan Tim internet Sehat, 27/01/2016). Sedangkan menurut Laporan Smartphone User Persona Report (SUPR) November 2015, para pengguna smartphone di Indonesia menghabiskan
waktu rata rata 2 jam 9 menit per hari untuk online. Aktivitasnya didominasi chating,
mengakses jejaring sosial, mengakses aplikasi, dan situs internet (SUPR, 2015).
Ada perubahan yang signifikan dengan kehadiran teknologi komunikasi
digital. Perubahan itu bukan hanya pada perilaku, tapi juga model industrinya. Pada
mulanya hanya ada dua macam industri berbasis frekuensi, yaitu Telekomunikasi
dan Penyiaran. Tahun 1990an internet mulai berkembang, muncullah internet
Service Provider. Belakangan tahun
2000an muncul industri informatika terbaru yang levelnya ada di atas tiga industri
sebelumnya, yang disebut layanan Over The
Top (OTT).
Bisnis Telekomunikasi dijalankan oleh Nasional Service Provider
(NSP). Perusahaan NSP adalah perusahaan penyedia infrastruktur telekomunikasi
sekaligus operator yang melayani jasa
telepon dan short message service
(SMS). Seperti PT Telkom, Telkomsel, Indosat, Exelcomindo, dan lainnya. Bentuk bisnis
kedua adalah Penyiaran. Bisnis penyiaran mengunakan frekuensi khusus untuk memancarkan siaran radio maupun
televisi. Penyiaran sering juga disebut telekomunikasi khusus (UU no 36 tahun
1999). Sedang menurut UU 32 tahun 2002 tentang
Penyiaran, ada 4 macam lembaga penyiaran, yaitu Lembaga Penyiaran Swasta,
Lembaga Penyiaran Publik, Lembaga Penyiaran Komunitas dan Lembaga Penyiaran Berlangganan.
Bentuk bisnis ketiga adalah Internet Service Provider
(ISP),
yaitu perusahaan penyedia layanan internet, seperti Speedy, Biznet, Im2 Indosat,
dan lainnya. ISP ini sebagian dimiliki oleh perusahaan NSP. Kemudian bentuk
bisnis keempat yang adalah layanan Over the
Top (OTT), yaitu layanan pengiriman content
menggunakan CDN (Content Distribution
Network) yang memungkinkan user
memperoleh manfaat internet yang sebenarnya, yang tidak disediakan NSP maupun
ISP.
Keberadaan
aplikasi Over the Top (OTT) menjadi
karakter digital life dewasa ini. Namun
kehadirannya sering dinilai sebagai “ancaman”. Perusahaan telekomunikasi atau NSP (National Service Provider), perusahaan ISP, media massa dan perusahaan
lain yang model bisnisnya masih konvensional sering merasa “terganggu” dengan
kehadiran OTT. Perusahaan OTT sering dinilai menjadi “benalu” yang merusak
model bisnis lama. Repotnya belum ada regulasi yang memadahi. Padahal OTT
sebagian besar perusahaan global yang dimiliki dan berasal dari negara asing.
Ada beberapa jenis OTT yang
bisa kita kenal berdasarkan fungsi kegunaannya. Pertama OTT Komunikasi, yaitu perusahaan aplikasi yang fungsi
utamanya layanan komunikasi secara online
berbasis internet dan real time bagi penggunanya. Contoh, WhatsApp, Line, Messenger, dan layanan
sejenis lainnya. Kedua OTT Content Media, perusahaan aplikasi untuk
mengakses content media, baik yang
berbentuk video, film, music, atau content
digital yang lain. Contoh OTT ini adalah You
Tube, Netflix, Sound Cloud dan aplikasi sejenis lainnya. Ketiga OTT Commerce, yaitu perusahaan aplikasi untuk layanan e-commerce, perdagangan online, atau bisnis-bisnis baru berbasis
online. Contoh, Pay Pal, Trivago, Airbnb, Grab, Uber, Lazada, OLX, Go-Jek, dan sejenisnya. Bentuk OTT e-commerce ini masih bisa dikelompokkan lagi sesuai sektor penggunaannya. Keempat OTT Social Media, yaitu bisnis aplikasi untuk bersosialisasi di
dunia maya seperti Face Book, Twitter,
Instagram, Path, Linkedin, Tumblr, Academia dan lain lain. Kelima
OTT Information Aggregator, yaitu
perusahaan aplikasi untuk layanan informasi, bank data atau panduan informasi
untuk user. Contoh Google Search, Google Map, Google Earth, Google
Scholar, Mozilla Fire Fox, Yahoo Search, Waze, Microsoft Academia dan perusahaan aplikasi sejenis.
Pembagian lima jenis OTT di atas, masih bisa diperdebatkan. Bisa
ditambah atau dikurangi sesuai perkembangan. Karena aplikasi OTT memang fleksibel,
longgar, jumlah dan jenisnya terus tumbuh secara kreatif, ke berbagai sector,
bahkan karakteristik layananya juga berkembang.
Era
Big Data dan Transparansi.
Big data atau smart
data adalah hasil observasi mesin OTT terhadap interaksi dan transaksi yang
dilakukan oleh seluruh user aplikasi internet.
Semakin banyak orang menggunakan atau mendownload
aplikasi yang bersangkutan, semakin banyak pula big data diperoleh dan disimpan dalam cloud mereka. Semakin aktif para user berinteraksi dan bertransaksi, maka semakin kaya big
data yang terkumpul. Setiap orang saat tersambung dengan aplikasi internet adalah
“data”. Kita semua adalah data. Perilaku kita yang tersambung dengan internet
adalah data. Interaksi dan transaksi
kita adalah data. Apa yang kita
hasilkan dan upload di internet juga data. Ada data
yg dibuat secara sadar, dan ada pula yang dibuat secara tidak sadar. Saat kita
membuka Face Book, Twitter, WhatsApp
atau lainnya, berarti kita sedang menstrasmisikan data lokasi, mobilitas, gadget
yang dipakai, hingga perilaku atau pola hidup yang terekam. Teknologi komunikasi digital memungkinkan semua aktivitas individu yang
terkoneksi ke sistem internet, menjadi big
data secara kualitatif dan kuantitatif, dengan ukuran petabytes (melebihi terabyte,
gigabytes dan megabytes).
Teknologi digital merekam semua
purchase detail, purchase record, dan payment
record. Kemudian memilah berdasar segmentasi demografi, aktivitas dan
transaksi, hingga kordinat dimana kita beraktivitas. Juga data mengenai
afiliasi jaringan, kemampuan membeli, pasar yang dicari, perilaku yang disukai,
hingga saluran dan informasi yang dipilih, kesemuanya ter-record dan terkumpul sebagai big
data. Big data juga berisi
kumpulan jutaan berita, video, dan foto, yang terus bertambah, dari hasil user generated content di internet. Walhasil big data adalah bahan baku untuk mengungkap apa saja yang sudah
terjadi, sekaligus bahan pengambilan keputusan secara lebih cepat dan tepat,
oleh organisasi politik, industri, lembaga pendidikan, perbankan, pemerintah,
hingga publik. Bahkan data hasil investigasi, atau bocoran sekalipun saat masuk
sistem internet, juga menjadi bagian dari big
data.
Dengan big data, banyak
pihak bisa searching mengenai track record atau reputasi seseorang. Bahkan
berita, ataupun fitnah yang ada dalam sistem internet, akan “permanen” menjadi
bagian dari big data. Tentu ini bisa
dipakai sebagai bahan komunikasi politik, investigasi hukum, hingga kepentingan
intelejen. Teknologi digital yang memunculkan big data, identik dengan fenomena
transparansi. Artinya di era teknologi digital ini, siapapun dia akan terekam
segala aktivitasnya sebagai big data.
Fenomena inilah yang kemudian memunculkan konsep pentingnya right to be forgotten, hak penghapusan
informasi palsu yang ada di internet. Sebuah konsep hak pribadi yang muncul di
Eropa tahun 2014 karena perkara antara Google Spain SL melawan Mario Costeja di
Pengadilan Uni Eropa, Court of Justice of
the Europian Unian (CJEU). Di situ CJEU memutuskan kewajiban perlindungan
data dalam publikasi dan hasil mesin pencari. Belakangan di Indonesia muncul
tuntutan perlunya dimasukkannya konsep ini dalam regulasi Rancangan Undang
Undang Perlindungan Data Pribadi. Sayangnya
dalam praktek sering terjadi kesulitan, bagaimana negara bisa melindungi data-data
pribadi warga negaranya kalau keberadaan server,
ataupun cloud computing yang
menyimpan data tersebut ada di luar kendali, atau di luar kedaulatan negara
yang bersangkutan.
Di era teknologi komunikasi digital,
data menjadi modal atau kekuatan penting, yang kemudian dikapitalisasi. Kapitalisasi
data berasal dari terkumpulnya data oleh OTT seperti Google, Face Book, Twitter dan lainnya dari ratusan juta, atau bahkan milyaran penggunanya di
seluruh dunia. Big data yang terkumpul tersebut bisa digunakan untuk dasar promosi
atau iklan micro targeting yang
sangat spesifik audience-nya, sesuai
target yang dituju, baik dari sisi lokasi, segmen, hingga waktu yang tepat
berdasar data histori para pengguna internet yang disasar. Google misalnya, sekarang adalah “perusahaan iklan” terbesar di
dunia, dengan produk yang bernama Google
AdSense. Tahun 2014 AdSense
meraup pendapatan $59 milyar atau 826 trilyun rupiah. Dengan memanfaatkan big data, Google AdSense mampu melakukan
micro targeting advertisement dan e-promotion yang lebih efisien dan tepat
sasaran. Cara kerja demikian tidak hanya dilakukan Google tapi juga Face Book dan OTT lain. Face Book yang 2014 sudah digunakan oleh
1.32 milyar penduduk dunia, telah meluncurkan fitur Pages untuk promosi dan iklan secara personal para pemilik akun.
Fitur Fan Page bisa dipasangi pesan, foto, atau iklan yang jika di-boosted akan tersebar ke berbagai akun
yang diinginkan. Target yang dituju bisa berdasar wilayah keberadaan pemilik
akun, demografi pemilik, gaya hidup, hingga yang paling spesifik missal yang
suka nge-like kuliner, nge-like postingan politik, dan lain lain.
Kesemuanya bisa dilakukan secara mudah dan murah, tinggal pencet di layar akun Face Book-nya dan mencantumkan nomer
kartu kredit, maka iklan akan tersebar sesuai kehendak personal si pemasang. Fenomena
ini tentu tantangan baru, atau “mengancam” model bisnis iklan media massa
konvensional. Porsi iklan media konvensional akan digrogoti secara signifikan. Sebagaimana kasus Grab dan Uber taxi mengerogoti pasar taksi
konvensional.
Data tidak hanya untuk iklan, tapi data identik dengan user. Semakin banyak user, semakin banyak data, begitu
sebaliknya. Banyak perusahaan OTT agresif mencari user dengan berbagai cara, termasuk subsidi, dan discount. Dengan user yang semakin banyak, jangkauan semakin luas, datapun semakin
banyak pula. Kuantitas dan kualitas user dan data, akan menarik crowd funding atau investor. Upaya meraup uang dari investor itulah salah satu tujuan
mengumpulkan user sebanyak banyaknya.
Sedangkan user akan semakin banyak tergantung kreativitas aplikasi yang
ditawarkan. Artinya intelektualitas para pembuat aplikasi akan memperoleh
apresiasi dengan banyaknya user. Jadi di era teknologi komunikasi digital
terjadi fenomena, intelektual akan menjadi magnit bagi kapital. Menggeser
fenomena sebelumnya, dimana yang menjadi magnit itu kapital , yang menarik
kalangan intelektual.
WhatsApp misalnya, ketika dirilis tahun 2009 oleh seorang
intelektual muda, yaitu Jan Koum, waktu itu modalnya hanya $ 250. Dua tahun
kemudian WhatsApp dapat suntikan dana
$ 80 juta dari Sequoia Capital. Tahun
2013 Sequa Capital menambah investasi
$ 50 juta. Akhirnya tahun 2014, WhatsApp
dibeli Face Book sebesar $ 19 milyar.
Bayangkan betapa kayanya Koum, pemuda kelahiran Ukraina ini sekarang menjadi
milyarder. Tetapi itulah harga sebuah kreativitas aplikasi OTT dengan user sebanyak 800 juta, yang berarti
jangkauan dan data penggunanya juga luar biasa. Tidak hanya WhatsApp yang dapat suntikan dana dari
investor, start-up company lain juga
memperoleh suntikan investasi dari para investor. Tahun 2015, Uber memiliki
nilai pasar $ 65 miliar, sementara Airbnb nilainya $ 25 miliar. Pasokan capital dalam jumlah besar terus mereka
terima. Dari kebutuhan dana operasional Uber 2015 sebesar $ 6.5 miliar, hampir
$ 5 miliarnya berasal dari suntikan investor. Begitu pula Airbnb, di tahun yang
sama, dari anggaran $ 2 miliar, $ 1.6 milar diantaranya juga berasal dari
suntikan modal baru dari investor. Tentu para pemodal itu berharap, nantinya
mereka akan meraup untung, terutama setelah perusahaan melakukan IPO.
Jadi OTT berteknologi big data
ini akan mempengaruhi secara signifikan pengambilan keputusan, promosi, iklan,
hingga model bisnis komunikasi. Martha Bennett dari University of Maryland, mengatakan
“big data technologies are
changing the world, everything from the internet of things to gathering both
more qualitative and more quantitative data will lead to better decision making
and inside” (Bennet, 2015).
Fenomena Wikileaks dan Panama Papers yang baru baru ini ramai
dibicarakan, juga merupakan bukti kekuatan data. Dengan teknologi komunikasi digital, menjadikan aktivitas pembuatan, pengumpulan, pencarian, hingga
pembocoran data menjadi begitu mudah. Siapapun bisa tersimpan dan ditelusuri
data pribadinya sepanjang transaksinya berbasis internet. Ini berarti kehadiran
teknologi digital telah menciptakan kultur transparansi. Aktivitas manusia
sepanjang terkoneksi dengan internet, akan ter-record dengan sendirinya, ataupun melalui feeding atau yang digenerate user yang lain. Komunikasi yang terjadi di masa lalu hingga
sekarang bisa diketahui dan dipakai untuk mempengaruhi masa depan. Disitulah
sifat komunikasi benar-benar continuous,
dan irreversible, tidak bisa dibalik.
Semua menjadi serba transparan. Repotnya tidak semua data yang berasal dari user generated content itu selalu
berdasar fakta. Dalam sistem komunikasi digital yang makin mudah dan setiap
orang bisa berpartisipasi ini, juga memunculkan fenomena anonimitas. Para pelaku komunikasi politik banyak yang menyembunyikan
identitas, atau anonimitas untuk menghindari tanggung jawab terhadap kebenaran
informasi yang disampaikan. Banyak orang memanfaatkan kebebasan, sehingga di
media sosial sulit dibedakan mana informasi yang benar, dan informasi hasil
rekayasa untuk tujuan propaganda (Subiakto, Ida, 2014: 25). Dalam praktek
terkait maraknya media sosial, sekarang dikenal adanya akun-akun buzzer di Tweetland, Face Book maupun media berita online. Akun-akun tersebut keberadaannya disokong atau dibiayai
untuk perang informasi dan opini. Ada yang tugasnya melakukan tweet-war, ada yang membuat berita di
situs tertentu, dan ada pula yang menyebarkan. Mereka bekerja-sama,
“merekayasa” berita, menyebarkan, dan menggiring opini. Pengalaman membuat
media dan manipulasi berita dikemukakan Ryan Holliday (2012) dalam buku “Trust Me I am lying: Confessions of An Media
Manipulator”. Ryan mengakui telah dibayar untuk memanipulasi informasi dan
berita di Amerika Serikat. Bersama teman-temannya dia membuat media online abal-abal, berita berita pesanan
itu di-upload dan disebarkan lewat
sosial media oleh buzzer yang sudah
disiapkan. Maka beredarlah berita rekayasa tersebut di viral media sosial untuk mempengaruhi opini publik. Itulah yang sekarang marak mewarnai komunikasi
politik di negeri ini. Data yang
berbasis fakta, bercampur dengan informasi hasil rekayasa, kesemuanya menjadi big data. Jadilah “becik ketitik olo ketoro”, keburukan akan begitu mudah ketahuan, dibongkar
dan disebar, tapi kalau kebaikan hanya tampak kecil.
Mudahnya setiap orang menghasilkan content
di media sosial, dibarengi kebebasan, partisipasi yang tinggi, dan fenomena anonimitas,
menyebabkan density of communication
tinggi dan split in participation
dalam beropini. Ada fenomena kebebasan yang cenderung liar di media sosial.
Sebagai public sphere media sosial dipenuhi
informasi yang beragam, banyak isi saling serang, baik dengan data dan fakta,
maupun rumor dan gossip. Para tokoh politik, para pemimpin acapkali menjadi objek
serangan komunikasi. Daniel Solove mengkhawatirkan masa depan reputasi di era
kebebasan berinternet sekarang ini. Reputasi akan hancur tatkala hukum tidak
mampu melindungi secara efektif privasi seseorang di era internet yang bebas
(Solove 2007: 4). Sekarang sejarah telah
berubah bersamaan dengan datangnya teknologi digital berbasis internet. Sehebat
apapun para pemimpin itu di era internet bebas, mereka akan “dihancurkan”
reputasinya oleh musuh atau pembecinya. Baik lewat data, rumor maupun gossip.
Hanya pemimpin yang sabar yang akan mampu bertahan. Rakyatpun juga harus sabar
menyaksikan pemimpinnya “diserang” dan “dihancurkan” reputasinya oleh sebagian
rakyat lain yang membencinya.
Catatan dari pembahasan ini, teknologi komunikasi digital telah memperkuat
prinsip demokrasi, kebebasan dan transparansi, tetapi sekaligus memunculkan persoalan
untuk reputasi siapapun. Negara dengan kekuatan regulasinya, dan kapitalis
dengan penguasaan infratruktur dan teknologinya, ternyata juga tidak mampu
mengontrol atau mengarahkan content
secara sempurna.
Technical Connectivity dan Social Connectivity
Perangkat teknologi komunikasi digital berbasis internet, secara
teknis memungkinkan para penggunanya menjadi saling terhubung atau get connected dengan pengguna smartphone lain di seluruh dunia. Terjadi technical
connectivity, yang kemudian terjadi pula social connectivity. Orang saling terhubung secara sosial karena gadget yang mereka gunakan. Sebelumnya
teknologi televisi memunculkan konsep “global
village’ (Mc Luhan, 1964). Sekarang teknologi smartphone memunculkan konsep “global
brain”. Global brain menurut Peter
Russell adalah worldwide community, yang
merupakan the distributed intelligence
emerging internet. Lebih jauh dikatakan, It is creating a collective
consciousness that is humanity’s only hope of saving its self from itself
(Russell, 2008). Konsep global brain, mirip pertumbuhan otak bayi
yang tumbuh menjadi manusia dewasa. Jumlah sel otak bayi tumbuh semakin banyak
hingga menjadi milyaran, dan menjadi semakin cerdas tatkala milyaran sel otak itu
semakin saling terhubung. Begitu pula penduduk dunia, saat teknologi komunikasi
mampu menghubungkan milyaran penduduknya, maka terwujudlah worldwide community yang juga
semakin cerdas. Punya kesadaran humanis secara kolektif, untuk saling
menyelamatkan, saling membantu, dan saling sharing
apapun yang bermanfaat. Itulah global
brain berkat teknologi internet.
Teknologi Komunikasi digital selain memunculkan konsep global brain, juga memunculkan pula
konsep “Mass Self Communication”. Media
sosial terbukti mampu menyebarkan pesan komunikasi kepada orang banyak atau massif, tetapi tidak serentak
sebagaimana terjadi dalam komunikasi massa. Komunikasi mengunakan media sosial,
pesan dan informasinya menyebar massif,
lewat viral yang merambat dari person to person, atau dari self to self. Komunikasi bentuk ini disebut “Mass Self Communication” (Castells, 2010). Dengan
teknologi komunikasi digital dan media sosial, dunia menjadi semakin terhubung.
Persoalan di suatu wilayah, bisa menjadi persoalan di negara lain. Atau the world the more global, the more national
matters. Persoalan-persoalan yang
terjadi di negara lain, atau global, muncul menjadi persoalan nasional.
Kembali
pada kehadiran teknologi komunikasi digital yang telah memunculkan technical connectivity sekaligus social connectivity, ternyata juga
mempengaruhi economical connectivity.
Fenomena economical connectivity ditandai
dengan terjadinya sharing economy, dan
access economy yang disebabkan terkoneksikannya
elemen-elemen masyakat ke dalam suatu kerjasama ekonomi karena difasilitasi aplikasi
OTT. Contoh sharing economy adalah
pemanfaatan kursi kursi kosong di kendaraan pribadi (carpooling) untuk berangkat dan pulang kerja, pemanfaatan
kamar-kamar kosong untuk membantu tamu yang butuh penginapan. Juga pemanfaatan
barang-barang bekas yang ada di rumah yang tidak terpakai untuk masyarakat lain
yang lebih membutuhkan. Teknologi OTT mempertemukan mereka yang membutuhkan,
dan mereka yang memiliki. Sebenarnya sharing
seperti ini bukan hal baru. Sejak lama orang punya kecenderungan berbagi dengan
kerabat, teman atau dengan orang yang dikenal untuk saling membantu. Teknologi OTT
memperbesar dan mempermudah fenomena ini. Itulah yang dilakukan Grab, Uber, Airbnb, OLX, Tokopedia,
Nebengers, dan sebagainya. Persoalan menjadi rumit saat yang dishare bukan hanya kursi kosong atau
kamar kosong milik pribadi yang menganggur, tetapi memang sengaja disediakan karena
ada peluang bisnis. Sebagian mereka sengaja menyediakan kamar baru dan kursi
kursi di mobil baru untuk mencari keuntungan. Jadilah bisnis baru berbasis connectivity lewat aplikasi OTT. Ini sebenarnya
bukan lagi sharing economy untuk
efisiensi sumber daya, tetapi menurut Profesor ekonomi dari Inggris, Giana
Eckhardt dan Fleura Bardhi, bentuk itu sudah menjadi access economy (Eckhardt & Bardhi, 2015). Kalau access
economy keberlanjutannya belum tentu semurah awal awal diluncurkannya
bisnis baru tersebut. Ada ketidak-transparanan
dalam menentukan surge pricing bisnis
baru ini, menyangkut seputar asuransi, pajak, ketenaga-kerjaan dan hak hak
masyarakat. Belum lagi dari subsidi atau discount
karena di belakangnya ada perhitungan lain yaitu algoritma dan bisnis big data (Katz, Vanessa, 2015).
Model bisnis lama yang dijalankan
oleh perusahaan di sektor masing masing di tingkat nasional bahkan lokal, misal
perusahaan taxi, perusahaan hotel dan penginapan, harus bersaing dan berhadapan
dengan “siapapun” baik pengusaha maupun masyarakat biasa yang memanfaatkan
kemudahan teknologi ini. Para pengusaha
konvensional dan karyawannya akan berhadapan dengan masyarakat yang menjalankan
sharing economic, maupun yang
membangun bisnis model baru berbasis aplikasi (access economy). Catatan
untuk model access economy ini selain
melibatkan partisipasi masyarakat, sebagian juga melibatkan kapitalis global
yang memiliki dan mendanai OTT Internasional. Maka terjadilah konflik
kepentingan yang kompleks, benturan persaingan di berbagai sektor ekonomi.
Apa
yang Harus Dilakukan?
Atas nama kepentingan nasional, in
the name of national interest, negara harus membuat regulasi, untuk
mengatur OTT. Negara bersama stake holder terkait harus menyiapkan
masyarakat secara luas, pemanfaatan teknologi digital untuk kepentingan
meningkatkan produktifitas dan kemaslahatan.. Negara dan stake holder industri informatika secara luas, memiliki tangung
jawab untuk mempersempit digital divide
di masyarakat. Karena kesenjangan penggunaan teknologi komunikasi digital akan
memperlebar kesenjangan ekonomi antar penduduk. Kecepatan kemajuan ekonomi dari
mereka yang menggunakan teknologi komunikasi digital akan signifikan berbeda dan
berpotensi semakin meninggalkan mereka yang laggard,
atau tidak memanfaatkan teknologi
digital. Semua pihak harus beradaptasi terhadap perkembangan teknologi digital
yang telah diikuti perubahan sosial seperti perubahan pola komunikasi,
perubahan bisnis model, perubahan sistem ekonomi masyarakat, hingga regulasi
yang mengaturnya.
Regulasi mutlak harus diterapkan kendati kehidupan mengalami perubahan
sangat pesat. Regulasi terhadap OTT harus dilakukan, termasuk adaptasi regulasi
pada sektor-sektor terdampak, seperti sektor transportasi, perdagangan,
perhotelan, travel biro, media penyiaran, dan lain-lain. Di setiap sektor harus
mengantisipasi perubahan serta penyesuaian dalam regulasi. Tujuannya agar penggunaan
teknologi komunikasi digital benar-benar membawa manfaat luas bagi masyarakat,
tapi tetap dalam koridor hukum. Penerapan teknologi yang memunculkan model
bisnis baru tidak boleh dibiarkan tumbuh liar dan liberal, tanpa regulasi, atau
menabrak aturan yang sudah ada. Regulasi dan kebijakan diarahkan untuk
memunculkan persaingan yang sehat dan efektif (to foster effective competition). Juga menghindari kegagalan pasar
(to avoid market failure). Atau
menghancurkan begitu saja pasar yang sudah ada, yang jelas jelas sudah menghidupi
begitu banyak rantai ekonomi masyarakat. Regulasi juga digunakan untuk
melindungi kepentingan konsumen (to
protect consumer interest). Tetapi tetap menjamin berkembang dan
meningkatnya akses teknologi dan layanannya (to increase access to technology and services).
Untuk itu, regulasi dan kebijakan yang dibuat harus bersifat fairness, adil untuk semuanya, atau
tidak memihak. Mengatur terciptanya transparency,
atau keterbukaan. Regulasi itu dibuat secara independent, tidak dipengaruhi oleh kekuatan tertentu. Berkualitas
untuk mengatur dan menyelesaikan masalah (quality)
secara tetap untuk jangka panjang (consistency).
Isi regulasi itu bisa dipertanggungjawabkan (accountability). Dan bisa digunakan atau diterapkan secara efektif
(effectiveness). Dengan demikian, perkembangan teknologi komunikasi
digital yang memunculkan perubahan sosial, model bisnis baru, pada dasarnya
tidak jadi masalah sepanjang tidak ada regulasi yang dilanggar. Tidak menentang
atau melawan regulasi yang akan dibuat, untuk memastikan maslahat bagi
masyarakat. Efisiensi dan perolehan profit karena teknologi adalah suatu hal
yang sah, sepanjang masih dipandang etis, dan tidak dicapai dengan membawa efek
detruktif untuk ekonomi masyarakat ataupun negara.
Persoalan perubahan karena teknologi komunikasi, dengan kemunculan OTT
dan model bisnis baru terjadi tidak hanya di negeri ini, tetapi juga di negara
negara lain. Beberapa di antaranya bisa kita lihat bench marking berikut. Di Uni
Eropa, misalnya, mereka sedang menyiapkan regulasi subject to license untuk OTT. Jadi OTT nantinya tidak bebas begitu
saja masuk suatu negara di Eropa. Beberapa perusahaan infrastruktur
telekomunikasi atau NSP di Eropa, diperbolehkan mempunyai kebijakan memblock iklan online di OTT yang melewati infrastruktur yang dimiliki Perusahaan tersebut.
Mereka mewajibkan adanya pembagian keuntungan antara OTT Global dengan
perusahaan infrastruktur yang dilewati atau digunakan OTT tersebut untuk
menayangkan iklan. Jadi negara negara Eropa akan menerapkan prinsip sharing keuntungan, tujuannya untuk
memelihara dan meningkatkan kualitas infrastruktur yang ada. Sementara di Amerika
Serikat, mereka memberlakukan prinsip “net
neutrality”, biaya sewa infrastruktur bagi penyedia content dilarang. Boleh dikata negeri super power itu, tidak banyak meregulasi yang bisa membebani OTT. Perusahaan
OTT yang notabene banyak berasal dari negeri tersebut, justru didorong untuk
berkembang bebas secara global. Tetapi ingat, bahwa di negara itu persoalan
infrastruktur memang sudah selesai dibangun puluhan tahun yang lalu, dan OTT
dianggap sebagai bagian evolusi teknologi. Agak berbeda kondisinya dengan
negara negara lain. Di Jerman dan Spanyol, Google
sebagai mesin pengumpul big data, diwajibkan
membayar pada setiap berita yang diterbitkan pada si empunya berita atau
content. Artinya OTT global wajib memberikan share keuntungan dari data, berita yang mereka dapat dari negara
Jerman. Kanada memberlakukan katagori exempt
broadcaster pada Netflix, sehinga OTT content ini bisa tersentuh regulasi,
sebagai penyiaran khusus. Di China beberapa OTT dilarang masuk, tetapi
mendorong OTT nasional tumbuh menggantikan OTT Global. Misal tidak ada Face Book di China, tetapi mereka punya Ren
Ren. China melarang Twitter
masuk, tetapi mereka punya Weibo.
Mereka juga punya OTT besar untuk ecommerce,
yaitu Alibaba yang sudah mendunia.
China juga memiliki OTT pesaing Google,
yaitu Baidu yang juga sudah banyak
digunakan di negara negara di luar China, termasuk di Indonesia.
Langkah untuk
Indonesia selain harus menyiapkan regulasi yang tepat, negara dan stake holder juga harus mendorong dan membangun
(build) OTT Nasional, agar bisa bersaing
dengan OTT Global. Negara tidak boleh lelah memfasilitasi OTT Nasional dengan insentif
dan kemudahan, sampai mereka bisa bersaing. OTT Global bisa dipertimbangkan
untuk dikenakan kebijakan berbayar dan dikenai pajak, agar OTT Nasional bisa
berkembang lebih murah. Di luar itu pemerintah dan industri nasional harus
terus meningkatkan SDM untuk developer
yang kreatif. Kalau perlu SDM Indonesia yang di pusat pusat ICT luar negeri
untuk ditarik kembali memperkuat dunia teknologi digital yang memang menjadi
penentu keberhasilan masa depan. Tetapi semua itu, membutuhkan perubahan mind
set, atau mind change, pada semua pihak. Tanpa berubahan mind set yang complay dengan tuntutan model bisnis
berbasis teknologi digital.
Pemerintah juga
perlu mendorong partnership antara NSP, ISP dan OTT Global untuk membangun ataupun perawatan
infrastruktur dan aplikasi yang ada di negeri ini. Partnerships diarahkan pula agar perusahaan NSP dan ISP dapat
melakukan income sharing, saling
membantu dalam penyelenggaraan iklan micro
targeting. Kita tidak perlu kebijakan memblokir iklan online di OTT sebagaimana kebijakan di Eropa, lebih baik
mengembangkan sinergi atau kerjasama saling menguntungkan. Termasuk juga perusahaan
NSP dan ISP bisa melakukan branding
di layanan OTT yang mereka fasilitasi.
DAFTAR PUSTAKA
Castells, Manuel, Communication Power, Oxford New York,
Oxford University Press, The
European Journal of Communication, 2010.
Dakidae, Daniel, The
State, The Rise of Capital and The Fall of Political Journalism Political
Economy of Indonesian News Industry,
A Dissertation, Cornell University, 1991
Dargue, Michael & Wadsworth, William, “Over the Top, Operator Threat and Opportunity”,
Cartesian Consultant, 2013.
Eckhardt, Giana,
& Bardhi, Fleura, “The Sharing
Economy isn’t about Sharing at All” Harvard
Business Review, Edition: January, 2015.
Friedman, Thomas L, “The World is Flat, A Brief History of the Twenty first Century”,
Farar,
Straus and Giroux, 2005.
Greenfield, Susan, Mind Change, How Digital Technologies are Leaving Their Mark on Our
Brains”,
Penguin Random House UK, 2015.
Katz, Vanessa, “Regulating
the Sharing Economy”, Berkeley Technology of Law Journal,
Vol.30/5 2015.
McLuhan, Marshall, Understanding Media, The
Extention of Man, Mc Graw Hill, Canada,
1964.
McQuail, Denis, Mass
Communication Theory, Fifth Edition, Sage Publication, London,
Thousand Oaks, New Delhi, 2005
Orlikowski, W.
J. ”The Sociomateriality of
Organisational Life : Considering Technology in
Management Research”, Cambridge
Journal of Economics 34 (2009) : 125-141.
Pavlik, John, & Shawn, McIntosh, Converging Media: An Introduction to Mass Communication,
USA Person, 2004.
Prensky, Marc, Digital
Natives, Digital Immigrants, On the Horizon, MCB University Press, Vol 9 No 5, October 2001.
Russell, Peter, Global
Brain, The Awakening Earth in a New
Century, Floris Books, 2008.
Solove, Daniel J. The Future of Reputation, Gossip, Rumor and Privacy on the internet,
New
Haven:
Yale UP, 2007.
Subiakto, Henri, dan Ida, Rahmah, “Komunikasi Politik, Media dan Demokrasi”,
Edisi Kedua,
Penerbit Kencana, Jakarta, 2014.
Smartphone User Persona Report.
Tim Unair, Laporan Penelitian Studi Analisis Isi Media
Konvergensi (Computer Based
Multimedia Communication)
Depkominfo, Jakarta, 2008.
Yuswohadi, “Sharing Economy dan Koperasi” Tabloid
Pendidikan Online, 28 Maret 2016.