Rabu, 22 April 2020

MENGHUKUM DOSEN YANG BERPENDAPAT

Hari ini  “saudaraku” Saiful Mahdi Ph.D dosen Universitas Syah Kuala Banda Aceh telah diputus bersalah oleh Majelis Hakim PN Banda Aceh. Dikatakan bahwa Saudara Saiful Mahdi, doktor alumni Cornell University Amerika Serikat dan S1 lulusan ITS Surabaya itu dinyatakan terbukti melakukan pencemaran nama baik dengan vonis 3 bulan penjara dan denda 10 juta rupiah subsider 1 bulan kurungan.

Kalau kita cermati kasus ini, putusan Hakim persis sama dengan tuntutan jaksa yang "hanya berani” menuntut 3 bulan penjara,  atau denda 10 juta, itu bisa dimaknai menunjukkan keragu-raguan pihak jaksa dalam menuntut. Karena kalau berdasar norma hukum yang dikenakan yaitu melanggar pasal 27 ayat 3 UU ITE sanksi hukumannya bisa sampai 4 tahun dan atau denda 750 juta. Artinya rumusan normanya cukup tinggi, jauh di atas tuntutan. Tapi kenyataannya tuntutan jaksa tak sampai  10%  dari ancaman pidana dalam pasal. Kenapa jaksa  menuntut ringan, besar kemungkinan setelah memperoleh bukti bukti dan keterangan ahli di persidangan,  jaksa merasa “tidak yakin” dengan kebenaran  penerapan hukum yang didakwakan. Tapi walaupun tidak terlalu yakin, jaksa juga tidak mungkin menihilkan atau membatalkan tuntutan. Karena persidangan sudah berjalan jauh,  hingga berkali kali persidangan dan jadi perhatian publik. Tidak mungkin dakwaan dicabut dan tuntutan ditiadakan. Yang dilakukan adalah meminimalisir tuntutan,  agar tim jaksa yang sudah membawa ke persidangan tidak kehilangan muka. Tapi terdakwa juga tidak dituntut terlalu jauh dari rasa keadilan dan kepastian hukum. Jadi penuntut umum mengambil jalan tengah, yaitu melakukan tuntutan minimalis, seringan mungkin.

Hal ini logis mengingat apa yang telah dilakukan saudara Dr. Saiful Mahdi memang bukan perbuatan pidana, bukan perbuatan mendistribusikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yg bermuatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik. Coba kita simak kembali saat Saiful Mahdi kecewa melihat proses penerimaan dosen sebagai ASN di Fakultas Teknik yang diterima menurut dia justru bukan pendaftar yang terbaik. Maka diapun  menyampaikan uneg unegnya, protes mengirimkan pesan ke WA group para dosen Syah Kuala, yg isinya sebagai berikut :

"Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Dapat kabar duka matinya akal sehat dalam jajaran pimpinan FT Unsyiah saat tes PNS kemarin. Bukti determinisme teknik itu sangat mudah dikorup?" “Gong Xi Fat Cai!!!"  “Kenapa ada fakultas yang pernah berjaya kemudian memble? Kenapa ada fakultas baru begitu membanggakan? karena meritokrasi berlaku sejak rekrutmen." “Hanya para medioker atau yang terjerat 'hutang' yang takut meritokrasi."

Saya tahu pendapat Saiful Mahdi bisa saja salah. Tapi Informasi elektronik yang dikirim Mahdi ke WhatsApp Group (WAG) itu jelas tidak berunsur defamasi (pencemaran nama baik). Mahdi hanya mencurahkan unek-uneknya melalui tulisan yang memiliki tujuan dan perhatian terhadap dunia akademis, ke dalam grup tertutup yang anggotanya semua para dosen atau akademisi.

Menjadi aneh, tatkala kampus sebagai contoh komunitas terdidik yang menjunjung demokrasi menjadi begitu sensitif terhadap kritik dari civitas akademikanya sendiri. Padahal kritik, hingga debat di dunia akademik itu hal yang biasa. Berbeda pendapat secara tajam itu biasa. Ketika ada pendapat yang menyinggung atau menyakitkan itu hal yang lumrah. Kalau ada pendapat yang keliru, tinggal diluruskan, beri penjelasan. Cukup diselesaikan dengan adu pendapat dan informasi. Bukan dibawa ke pengadilan pidana.

Apa yang dilakukan Mahdi, sebenarnya merupakan suatu bagian dari kebebasan berpendapat,  yang dijamin oleh pasal 28F UUD 1945. Isi pesan tersebut bukan penghinaan dan atau pencemaran nama baik.

Menurut norma aslinya di KUHP, suatu informasi dikatakan bermuatan Penghinaan dan atau pencemaran nama baik, jika memenuhi unsur adanya perbuatan menuduhkan sesuatu hal pada seseorang atau pribadi hakiki (naturlijk persoon), bukan pada organisasi, ataupun kelompok orang. Dalam frasa yang ditulis Mahdi tidak ada nama atau identitas yang jelas yang menunjuk diri pribadi seseorang. Frasa "jajaran pimpinan" yang ditulis Mahdi itu tidak mengarah pada seseorang, atau pribadi dengan identitas yang jelas.

Pasal 27 ayat 3 UU ITE itu bunyinya “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Dalam penjelasan pasal tersebut,  rumusan Penghinaan dan pencemaran nama baik itu pengertiannya mengacu pada delik pencemaran nama baik (pasal 310 KUHP) dan delik fitnah (pasal 311 KUHP).

Jadi unsurnya harus ada perbuatan yang disengaja menuduhkan suatu hal pada seseorang, dengan terang agar diketahui umum. Kalimat Saiful Mahdi itu jelas bukan menuduh, melainkan pendapat, atau pandangan pribadi dia terhadap suatu persoalan di Fakultas Teknik. Kalau menuduh, itu ada kalimat menunjuk pada seseorang yang dianggap melakukan perbuatan tercela. Dalam kalimat di atas tidak ada seseorang (pribadi) yang dituduh atau ditunjuk, apalagi difitnah. Kalau fitnah, pelaku sudah tahu, seseorang itu tidak melakukan perbuatan buruk,  tapi  pelaku tetap menuduhkan sesuatu yang bertentangan dengan yang diketahui. Kasus Dr. Saiful Mahdi tidak masuk dalam unsur KUHP pasal 310 maupun 311, juga tidak pula masuk melanggar UU ITE pasal 27 ayat (3).

Hukum itu tidak boleh meraba-raba, rumusan dan dasarnya harus jelas. Dalam perkara pidana tidak boleh pembuktian hanya berdasarkan perasaan. Misal berdasar perasaan, ini kayaknya saya yang diserang sama pak Saiful, enggak bisa seperti itu, nama identitas korban yang dituduh atau dicemarkan nama baiknya harus jelas. In criminimalibus probantiones bedent esse lucce clariores. Dalam perkara pidana, bukti bukti harus jelas atau lebih terang dari cahaya.

Apalagi kalau dilihat dari unsur lain yaitu “agar terang diketahui oleh umum” (310 KUHP). Dalam rumusan UU ITE, hal yang serupa terkait dengan perbuatan mendistribusikan/ atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik oleh umum/publik. Mengirim ke group dosen itu bukan umum dalam artian orang banyak yang terbuka. Kalau berniat, atau dengan sengaja agar diketahui umum, Saiful Mahdi harus dibuktikan ngirim pesan WA nya berkali kali, ke beberapa WA group. Atau mengirim ke media sosial yang terbuka, yang bisa diakses orang banyak. Faktanya kan tidak demikian, tapi Mahdi hanya kirim satu pesan WA ke group dosen yag tertutup. Justru kalau kemudian informasi elektronik itu nyebar kemana mana karena, diakui ada pihak yang ikut mengirimkan kembali ke pihak lain, atau mendistribusikannya. Dalam UU ITE yg menyebarkan itu justru yang terkena pasal mendistribusikan.

Belum lagi kalau mengikuti tradisi akademisi, seorang doktor, dosen yang aktif di kampus, pernah jadi ketua jurusan, dan senat universitas, apakah tidak punya hak menyampaikan keprihatinannya atau kritiknya di group dosen di kampusnya sendiri? Kalau itu dibolehkan atau berhak, makin jauh saja dari perbuatan pidana ITE. Ini penting sebab masyarakat biasa saja oleh UUD dibolehkan dan berhak berpendapat atau mengkritik, apalagi seorang akademisi di kampusnya. Unsur berhak,  tidak berhak, atau unsur melanggar norma itu adalah unsur utama penentu masuk tidaknya sebuah perbuatan transaksi elektronik ke dalam perbuatan pidana. Mengkritik atau berpendapat, itu bukan perbuatan melawan hukum. Tapi hak warga negara.

Sebenarnya duduk masalahnya jelas, saya sebagai saksi ahli yang terlibat dan tahu bagaimana  UU ITE itu dirumuskan, dan direvisi, sudah menjelaskan di muka persidangan. Saya sudah jelaskan tentang rumusan dan unsur unsur pasal yang dituduhkan. Dan kesimpulannya juga jelas perbuatan saudara Saiful Mahdi tidak memenuhi unsur pelanggaran pasal 27 ayat (3) jo pasal 45 ayat (3).

Sayangnya majelis hakim mengabaikan penjelasan kami, dan tidak pula memperhitungkan mengapa jaksa menuntut sangat jauh dari norma sanksi yang ada di UU. Hakim memutus Saiful Mahdi bersalah dengan hukuman 3 bulan penjara atau denda 10 juta subsider kurungan sebulan. Hukuman yang dijatuhkan hakim sama persis dengan Tuntutan jaksa.

Sebenarnya dengan menerima keputusan itu lalu membayar denda 10 juta, kasus sudah selesai.  Case closed. Tapi tentu pihak saudara Saiful Mahdi tidak bisa menerima begitu saja. Kalau menerima, berarti membenarkan bahwa mengkritik itu perbuatan salah dan pidana. Artinya pengadilan terhadap pendapat atau kritik ini akan jadi preseden buruk bagi dunia hukum Indonesia. Seakan orang mengkritik kebijakan kampus itu tidak boleh, mengkritik itu perbuatan kriminal yang bisa dipidana. Kalau putusan ini diterima, akan membenarkan bahwa pasal 28 UUD 45 bisa dikalahkan oleh UU ITE, padahal tidak demikian. Ini hanya persoalan interpretasi yang salah terhadap penerapan UU.

Walau sebenarnya dengan putusan itu cukup ringan, saya secara pribadi mendukung pihak Pak Saiful Mahdi  untuk banding terhadap keputusan ini. Tujuannya bukan untuk kepentingan pribadi siapapun, toh dengan keputusan itu pak Saiful juga tidak ditahan, tapi ini untuk menegakkan kebenaran dan nama baik Indonesia. Jangan biarkan demokrasi Indonesia tercoreng dengan keputusan Pengadilan Negeri Banda Aceh yang mengadili kritik seorang akademisi terhadap situasi kampusnya. Mudah-mudahan para hakim di Pengadilan Tinggi lebih bisa melihat dengan jeli penerapan hukum pasal 27 ayat (3) UU ITE secara benar sesuai maksud ketika UU itu dibuat. Amin.

Untuk tulisan ini, saya berharap bisa viral atau minimal menyebar luas, agar bisa menjadi koreksi dan pemikiran. Bahwa sekarang ada persoalan di kalangan akademisi yang makin sensitif dan haus menghukum koleganya sendiri yang dianggap “tidak menyenangkan”. Serta ada persoalan di penegak hukum dan pengadil kita, yang enggan mendalami dan memahami aturn secara detail, khususnya dalam hal ini di Banda Aceh. Semoga tulisan ini bisa menjadi penanda, pengingat dan koreksi terhadap persoalan yang tidak membanggakan ini. Amin YRA.

(Prof. Dr. Henri Subiakto, SH, MA)