Senin, 27 Maret 2017

CIRI CIRI PESAN HOAX Oleh : Henry Subiakto

Akhir akhir ini, hampir setiap ada issue (peristiwa) yang bisa dimanfaatkan untuk disinformasi mempengaruhi opini, maka muncullah hoax. Tatkala ada peristiwa yang menarik diketahui, tapi faktanya tidak atau belum lengkap (premature facts) padahal dalam kultur digital, masyarakat ingin mengetahui segala informasi dengan cepat. Maka banyak pihak melengkapi fakta yang belum lengkap itu dengan informasi spekulatif, hasil interpretasi, atau bahkan rekaan yang sesuai kecenderungan sikap atau kepentingan mereka. Hoax inilah yang muncul melengkapinya.
Hoax diproduksi untuk membenarkan misi, atau sikap, atau kepentingan dari para penyebar Hoax yamg menghalalkan kebohongan. Hoax begitu mudah diproduksi dan disebarkan karena perkembangan teknologi digital dan pemanfaatan media sosial serta kultur masyarakat yang suka getol ngeshare pesan tanpa dipikirkan mendalam. Korban hoax sering tidak sadar bahwa pikirannya sudah diarahkan oleh berbagai hoax yang terserap dalam jangka waktu lama.
Hoax bisa berupa berita dusta di sebuah situs. Berupa pesan menyesatkan yang disebarkan di WA, atau sosial media. Berupa foto hasil rekayasa atau editan. Berupa Meme yang menyesatkan. Bisa pula berupa berita benar dari sebuah link situs berkredibilitas tapi depannya ditempeli judul dan pengantar yang menipu.
Kalau diamati ciri ciri hoax adalah:
1. Sumber yang membuat tidak jelas sehingga tidak bisa dimintai tanggung jawab.
2. Pesannya sepihak, hanya membela atau menyerang saja.
3. Sering mencatut nama nama tokoh seakan berasal dari tokoh itu.
4. Memanfaatkan fanatisme dengan nilai-nilai idiologi atau agama untuk meyakinkan.
5. Judul atau tampilan provokatif.
6. Judul dengan isi atau link yang dibuka tidak cocok.
7. Nama media mirip dengan nama media terkenal.
8. Minta supaya dishare atau diviralkan.
Kalau ketemu pesan yang memenuhi sebagian ciri ciri seperti ini, jangan mudah percaya, dan jangan dishare, itu jelas mengindikasikan ciri ciri Hoax.
Henry Subiakto.

TOKOH

Setiap tokoh itu selalu memiliki dua karakter, yaitu karakter publik dan karakter privat. Karakter publik itu sifat sang tokoh menurut publik, misal kesolehannya, kemulyaannya, hingga akhlak kebaikan yang lain.
Karakter publik ini terlihat dari tampilannya di depan publik atau umum. Yaitu gambaran tokoh tersebut di benak orang banyak yang interaksinya tidak terlalu dekat, atau tidak langsung sehingga hanya melihat kulit luar, pakaian dan berbagai penampilan di panggung depan (Erfing Goffman : Front Stage).
Sedangkan karakter privat, adalah sifat asli sang tokoh yang hanya diketahui oleh orang orang dekatnya. Orang orang yang akrab, bahkan intim bergaul secara pribadi di panggung belakang (Back Stage kata Erving Goffman).
Seorang tokoh, bisa memiliki karakter publik dan karakter privatnya tidak sama atau tidak sesuai. Banyak tokoh yang karakter publiknya amat mulia dan mengagumkan, tapi ternyata dicibir oleh orang orang dekat, yang berinteraksi langsung dengan sang tokoh. Ini karena buruknya karakter privat sang tokoh di panggung belakang. Orang orang yang dekatlah yang bisa tahu tentang keburukan atau belangnya sang tokoh. Ada pula tokoh yang karakter privatnya sangat baik dihormati oleh lingkungan sekitar dan kerabatnya, tapi yang bersangkutan tidak menonjol di publik. Publik tidak kagum dan tidak memuja mujanya.
Ini semua karena peran media. Peran media komunikasi yang membangun the pictures in our heads tentang orang yang ditokohkan dan dikagumi secara luas (Lippmann). Kalau media termasuk media sosial mengekspose terus menerus tentang kiprah mulya, tampilan suci yang mengagumkan dari tokoh tersebut, maka karakter publik tokoh itupun akan moncer. Masyarakat luas akan memuja muja bahkan bisa rela melakukan apa saja untuk sang tokoh.
Tapi bisa beda 180 derajad dengan yang kenal secara pribadi. Terlebih kalau ada yang punya hubungan pribadi tersebut punya pengalaman nyata yang buruk, kemudian fakta buruk itu terungkap di publik, di media. Sisi gelap yang ada di back stage atau di panggung belakang itu terbingkar di publik, maka ributlah publik atau masyarakat luas, yang selama ini hanya bisa melihat dari jauh. Jadilah kontroversi, jadilah keributan, jadilah kekecewaan.
Disitulah kenapa kita harus hati hati menilai seorang tokoh, apalagi yang kita kagumi. Jangan hanya melihat dari tampilan fisik yang nampak di panggung depan. Contoh sudah banyak yang mengecewakan, katakalah dari Kanjeng Dimas Taat Pribadi, Gatot Brojomusti, atau yg lain.
Tokoh itu kadang kadang dipandang baik, bukan karena nyata nyata baik. Tapi karena Allah masih menutup aibnya. Ini berlaku juga bagi kita semua. Kita terlihat baik juga belum tentu benar benar baik, tapi karena ditutup aib kita oleh Allah. Maka jangankah kita merasa lebih baik dan merasa lebih suci dari yang lain. Padahal sebenarnya hanya karena Allah masih melindungi kita. Semoga semua ini menjadi pelajaran bagi kita untuk tidak bersikap secara berlebihan. Baik dalam hal suka atau benci pada seorang tokoh, jangan pula kaget jika tokoh idaman kita ternyata punya sisi amat gelap tak sesuai yg kita bayangkan.
Wasalam

Henry Subiakto | 01 februari 2017