Selasa, 15 Mei 2012

STATE OF THE ART POSTMODERN THEORY Oleh: Henry Subiakto


PENGERTIAN DAN KLASIFIKASI
Sebelum mengungkap perkembangan teori sosial postmodern, pertama yang harus dilakukan adalah membedakan terlebih dahulu antara istilah postmodernity, post modernism, dan teori sosial post modern.  Post modernity mengacu pada periode historis yang umumnya dilihat sebagai sejarah baru menyusul era modern. Postmodernism mengacu pada produk kultural (di bidang kesenian, film, arsitektur, dan sebagainya) yang berbeda dengan produk kultural modern. Sedangkan teori sosial postmodern mengacu pada cara berpikir yang berbeda dari teori sosial modern.1
Kalau menggunakan istilah Richard Hernstein dan Chaerles Murray dalam buku The Bell Curve (1994),  teori postmodern  pada  dasarnya mengkritisi ilmu pengetahuan modern yang dianggap tidak memadai lagi. Teoritisi postmodern cenderung menolak perspektif teoritis modern, termasuk grand narasi yang dianut sebagian besar ilmuwan sejak renaissance. Menurut teoritisi postmodern, dunia sekarang sudah sedemikian berbeda, sehingga memerlukan cara berpikir yang sama sekali baru.
Rekha Mirchandani dalam tulisannya di jurnal Sociological Theory, Maret 2005, dengan judul Postmodernism and Sosiology: From The Epistimological to the Empirical, mencoba mengklasifikasi perkembangan postmodernisme ketika bertemu dengan sosiologi. Mirchandani membaginya dalam dua fase.2  Pertama adalah fase atas cabaran kalangan postmodernis pada epistimologi ilmu pengetahuan. Kemudian fase kedua adalah perkembangan teori postmodernisme secara empiris. Pada fase pertama, postmodernis sebagai gerakan epistimologi, ditandai dengan pemikiran para teoritisi yang mengangkat persoalan, atau mengkritik ilmu pengetahuan modern yang dibangun atas dasar asumsi-asumsi ilmu pengetahuan alam, dan asumsi adanya kebenaran universal. Sedangkan fase kedua, perkembangan teori postmodernisme secara empiris, adalah tahapan ketika beberapa teoritisi postmodernis berusaha melakukan perubahan pemikiran, yaitu menginterogasi kembali keberadaan konsep-konsep teori sosiologi yang klasik.3  Jadi untuk fase yang kedua ini, teori postmodernis sudah masuk ke ranah pembongkaran konsep-konsep sosiologi, dan berkait dengan persoalan-persoalan pada tataran empiris.
Tulisan ini akan menggunakan konsepsi Mirchandani memilah atau melakukan klasifikasi atas dua perkembangan tersebut, tetapi penulis tidak membaginya semata-mata hanya berdasarkan konsep Mirchandani yang membagi perkembangan fase epistimologi ke empiris, tetapi juga melengkapi dengan memperhitungkan pembagian perkembangan atau periodesasi para teoretisi postmodernis berdasarkan sarjana lain, terutama George Ritzer baik dalam buku The Postmodern Social Theory (2003) maupun Ritzer bersama Goodman dalam Modern Social Theory (2003). Karena itu dalam tulisan ini, pengelompokkannya sama dengan Mirchandani, yaitu epistimologi dan empiris, tetapi ditambah dengan kelompok ketiga, yaitu para filosof peletak dasar pemikiran kritis terhadap ilmu pengetahuan, namun mereka tidak menyebut dirinya sebagai pemikir post modernis.
Jadi, dalam tulisan ini akan dikemukakan tiga kelompok teoretisi postmodernis, yaitu teoritisi utama postmodern yang pemikirannya mengkritik asumsi dasar ilmu pengetahuan atau epistimologi. Teoritisi kedua, adalah para teoritisi lanjutan yang memperkaya postmodern, yang mengembangkan postmodern secara empiris. Sedangkan kelompok teoritisi ketiga, adalah para filosof awal yang pemikirannya mempengaruhi atau meletakkan dasar pemikiran postmodernis, tetapi mereka tidak pernah dirinya mengklaim sebagai teoretisi postmodern.
Yang masuk teoritisi utama  postmodern kelompok pertama, adalah mereka yang dalam pemikirannya selain menentang narasi besar (epistimologi), juga sudah menggunakan istilah postmodern untuk menandai pemikirannya. Teoritisi tersebut antara lain Michel Foucault, Jean Baudrillard, Jacques Lacan, Jaques Derrida, Jean Francois Lyotard, Frederick Jameson,  Richard Rorty dan Daniel Bell.
Teoritisi  yang kedua adalah kelompok pemikir atau para sarjana yang mengembangkan atau memperkaya kajian postmodern secara empiris.  Mereka antara lain adalah Foster, Umberto Eco, Gilles Lipovetsky,  Featherstone, Angela Mc Robbie, Cornel West, Mark Poster,  Henry Jenkins, Gayatri Spivak, dan sebagainya.
Teoritisi ketiga adalah mereka yang sejak lama mengkritik atau kritis terhadap prinsip-prinsip ilmu pengetahuan modern dan meletakkan dasar pemikiran postmodern, hingga mempengaruhi teoritisi postmodernis berikutnya, tetapi mereka tidak pernah mengklaim dirinya sebagai penganut postmodern.  Mereka yang masuk sebagai pelopor ini antara lain Friedrich Nietzsche, Sigmund Freud, Charles Wright Mills, dan Thomas S. Kuhn.

PEMIKIR UTAMA POST MODERNIS (EPISTIMOLOGY)
Michel Foucault (1926-1984)
Teoritisi yang masuk sebagai pemikir Utama Postmodern adalah mereka yang dalam pemikirannya selain menentang narasi besar, juga sudah menggunakan istilah post modern untuk menandai pemikirannya. Salah satu yang bisa dikatagorikan itu adalah Michel Foucault, teoritisi Perancis yang merupakan tokoh penting poststrukturalis sekaligus juga postmodernis. Dalam buku The Order of Things (1964-65), Foucault mengakui,  bahwa Nietzsce adalah pendiri filsafat skeptis  yang unik, yang oleh masyarakat masa kini disebut postmodernisme.4  Sementara dalam buku yang lain Discipline and Punish, The Birth of the Prison (1979), Foucault  menganggap kekuasaan tidak hanya dimiliki oleh Negara, beberapa kelompok memiliki jenis kekuasaan tertentu. Melalui wacana (discourse) mereka mengontrol pemikiran, keyakinan dan tindakan individu lain. Discourse ini menjadi key word yang dibahas dan ditawarkan dalam pemikiran Foucault. 
Menurutnya masyarakat menjadi subyek-subyek yang diciptakan oleh sistem dan jaringan kekuasaan yang biasanya tidak disadari sama sekali oleh sang subyek. Menurut Foucault, kekuasaan menciptakan pengetahuan, pengetahuan dan kekuasaan saling mempengaruhi secara langsung satu sama lain.  Metafor utama Foucault adalah bahwa masyarakat itu mirip “Panoptikon”, suatu penjara dimana semua orang di dalamnya bisa diawasi terus menerus5.  Filsafat Foucault jelas tampak relevan bagi zaman informasi sekarang ini, dimana pengetahuan dan kekuasaan kedua-duanya sama-sama belaka.
Dalam tema yang lebih spesifik geneologi kekuasaan, Foucault mengupas bahwa kekuasaan dan ilmu pengetahuan secara langsung berdampak pada yang lain. Tidak ada hubungan kekuasaan tanpa pembentukan bidang ilmu pengetahuan, sebaliknya, pada saat yang sama, tidak ada ilmu pengetahuan yang  tidak mengisyaratkan dan merupakan hubungan kekuasaan6.
Foucault, dalam Discipline and Punish, The Birth of The Prison (1979), di dalamnya membahas tentang wacana (discourse). Wacana dapat dideteksi secara sistematis sebagai suatu ide, opini, konsep, dan pandangan hidup, yang dibentuk dalam suatu konteks tertentu, sehingga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak tertentu. Wacana tertentu menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu yang menimbulkan efek kuasa. Kekuasaan dalam pandangan Foucoult disalurkan melalui hubungan sosial, dimana katagorisasi perilaku sebagai baik atau buruk diproduksi, yang pada akhirnya dipakai sebagai pengendali perilaku. Jadi khalayak ditundukkan bukan dengan cara kontrol yang bersifat langsung dan fisik, tetapi dengan wacana dan mekanisme, berupa prosedur, aturan, tatacara dan sebagainya.
Menurut Foucault masih dalam ”Discipline and Punish, The Birth of The Prison (1979), kapitalisme mempunyai kecenderungan mengontrol negara tetapi dengan cara yang halus, yaitu dengan cara mengontrol pengetahuan, wacana dan membuat definisi apa-apa yang dianggap baik dan benar. Misalnya menggunakan etika yang dianggap baik, sistem pemerintahan yang baik dan sebagainya. Mode baru penahklukan ini adalah, orang ditetapkan sebagai objek pengetahuan, objek wacana ilmiah. Pendirian kuncinya adalah ilmu pengetahuan manusia modern mempunyai akarnya disini.7 Dalam hal ini kapitalisme untuk kepentingan kapitalisme itu sendiri acapkali menggunakan  term demokrasi, seakan memenuhi kebutuhan untuk  apa yang dianggap terbaik. Namun di lain waktu  kapitalisme bisa anti demokrasi, sepanjang hal itu memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Bahkan menurut Foucault yang demokrasi kapitalis pada kenyataannya totalitarian.
Selain The Order of Things, dan Discipline and Punish (1979), Foucault juga terkenal sebagai penulis yang cukup produktif, bukunya yang terkenal antara lain The Archaeology of Knowledge and the Discourse on Language (1969), The Birth of The Clinic (1975),  dan Hystory of Sexuality (1980)  di samping tulisannya di berbagai Jurnal. Untuk lebih memperdalam pemahaman tentang Michel Foucault dapat pula diakses di internet yaitu di "http://en.wikipedia.org/wiki/Michel_Foucault".
Foucault bersama Lyotard dan Baudrillard (kadang bersama Rorty dan Derrida) oleh Mirchandani dikatagorikan sebagai pemikir epistimologi postmodern yang bertentangan, atau berbeda dengan epistimologi modern8. Prinsip-prinsip ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh Foucault, Lyotard, dan Baudrillard menentang narasi besar dan skeptis terhadap ilmu pengetahuan modern. Foucault mengadopsi pemikiran Nietzsche tentang adanya hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan. Tetapi menurut Mirchandani, pemikiran epistimologi posmodern ketika dihadapkan dengan sosiologi, melakukan kritik khususnya dalam hal membangun ilmu pengetahuan, yaitu sosiologi dianggap terikat dengan asumsi ilmu alam. Epistimologi postmodern juga mengkritik representasi penggunaan bahasa yang digunakan untuk menjelaskan ilmu pengetahuan, seakan bahasa itu bersifat netral. Postmodern juga keberatan dengan asumsi adanya kebenaran universal. Sedangkan kalangan sosiologi mengkritik pemikir epistimologi postmodern  dianggap nihilisme, tidak memberikan solusi, dan malah juga dikatakan tidak ada ide yang baru.9 Perlu diingat, bahwa konsep postmodern sebagian besar bukan produk para sosiolog, (Lyotard, Derrida, Jameson bukan sosiolog), makanya  menjadi menarik ketika dibahas pertemuannya dengan para teoritisi sosiologi oleh Mircandani.



Jean Baudrillard  (1929 -         )
Teoritisi postmodern lain dari Eropa yang juga terkenal adalah Jean Baudrillard. Pemikir kelahiran Reim, Perancis 29 Juli 1929 ini dikenal sebagai tokoh yang identik dengan postmodernism dan post structuralism.10  Ia menuliskan karyanya paling awal pada tahun 1960-an dengan berorientasi pada modernisme dan kritik terhadap Marxian. Hingga tahun 1980-an ia belum menggunakan istilah post modernism. Baru pada tahun 1983, Baudrillard dalam buku Simulation, melukiskan secara tegas kehidupan post modern ditandai dengan simulasi. Proses simulasi mengarah pada penciptaan simulacra atau  reproduksi objek dan atau peristiwa. Menurutnya terjadi kekaburan antara tanda dan realitas, sehingga semakin sukar mengenali yang asli dengan yang tiruan.  Baudrillard mencontohkan larutnya TV ke dalam kehidupan, dan larutnya kehidupan ke dalam TV. Antara yang nyata dengan yang tidak nyata bercampur aduk sulit dibedakan. Akhirnya simulasilah yang mengambarkan sesuatu yang nyata, yang menjadi utama, dan berkuasa.
Baudrillard melukiskan kehidupan postmodern ini dengan istilah hiper reality, dimana media berhenti menjadi cermin realitas, tetapi justru menjadi realitas itu sendiri. Apa yang ada di media itulah yang diperlakukan sebagai realitas. Kebohongan dan distorsi yang dijajakan media kepada khalayak adalah hiper-realitas. Awalan “hiper” berarti lebih nyata ketimbang kenyataan. Baudrillard menggambarkan runtuhnya sekat antara kenyataan dengan simulasi. Ini termasuk media dengan kehidupan sosial, sehingga baginya televisi adalah dunia hiper realitas. Televisi mensimulasikan situasi kehidupan nyata, sangat kurang merepresentasikan dunia ketimbang menjalankan dunianya sendiri.11 Apa yang nyata disubordinasikan dan akhirnya dilarutkan sama sekali. Kini semakin mustahil untuk membedakan yang nyata dari yang sekadar tontonan. Dalam kehidupan nyata, kejadian-kejadian nyata semakin mengambil ciri hiperriil. Warga negara modern tidak akan menjadi masyarakat unggul, melainkan hanya menjadi konsumen media di dalam dunia tanda-tanda yang tanpa penanda12.
Istilah simulacra dan hyper-reality merupakan keyword dari pemikiran Baudrillard dalam menggambarkan kehidupan postmodern dengan peran media massanya. Pemikiran Baudrillard  yang tajam itu kemudian dalam tradisi postmodern  dikenal sebagai teoritisi radikal. Komentar-komentarnya pada isu-isu internasional dinilai amat kritis, yang kadang bertentangan dengan opini umum masyarakat Barat. Misalnya komenter Baudrillard mengenai Perang Teluk, dan serangan Teroris pada 11 September 2001 di gedung WTC di New York, menunjukkan kekritisannya. Untuk kasus WTC di koran Perancis Le Monde dia mengatakan;13
"That we have dreamed of this event," that everybody without exception has dreamt of it, because everybody must dream of the destruction of any power hegemonic to that degree, — this is unacceptable for Western moral conscience, but it is still a fact, and one which is justly measured by the pathetic violence of all those discourses which attempt to erase it. It is almost they who did it, but we who wanted it. If one does not take that into account, the event lost all symbolic dimension to become a pure accident, an act purely arbitrary, the murderous fantasy of a few fanatics, who would need only to be suppressed. But we know very well that this is not so. Thus all those delirious, counter-phobic exorcisms: because evil is there, everywhere as an obscure object of desire. Without this deep complicity, the event would not have had such repercussions, and without doubt, terrorists know that in their symbolic strategy they can count on this unavowable complicity."

Selain Simulation, Baudrillard  juga menulis buku For Critique of the Political Economy of The Sign (1981). Selain itu ia juga menulis buku yang berjudul America (1988). Buku itu merupakan buah dari kunjungan dan pengamatan Baudrillard ke negara Paman Sam itu. Dalam buku America, Baudrillard memandang Amerika sebagai rumah masyarakat konsumen. Amerika adalah Hiperrealitas dan Simulakrum yang sempurna. Sedangkan Eropa dianggap sebagai saksi mata suatu trend tetap bekenaan dengan model Amerika. Bagi Baudrillard tidak ada masa lalu dan tidak ada kebenaran di Amerika. Ia hidup dalam simulakra yang terus menerus, dalam tanda sekarang yang tidak berkesudahan. Amerika adalah sebuah dunia citraan yang sederhana yang kelihatannya diciptakan di layar pikiran. Dimana kehidupan adalah sinema. Yang asli adalah sesuatu seperti Disneyland dan televisi.
Menurut Baudrillard (sebagaimana dikutip oleh Umberto Eco dan Huxtable), dikatakan  bahwa yang tidak riil (unriel), menjadi realitas …yang riil kini meniru imitasi. Misalnya, Disney World jelas jelas simulasi dan tidak riil, telah menjadi model bukan hanya untuk kota-kota selebrasi Disney, tetapi juga untuk banyak komunitas lain di Amerika Serikat. Seaside, Florida, Kentlands, Maryland, adalah contoh komunitas populer yang mencoba menyamai kota kecil artificial (ersatz) Amerika yang dibuat oleh Disney World.14
Sebenarnya Baudrillard sangat dipengaruhi perpektif Marxian yang menitik beratkan pada persoalan ekonomi. Hanya saja saat menulis The Mirror of Production (Baudrillard 1973/1975), Ia mencoba memutuskan hubungan yang radikal dengan Teori Marx dan Marxian, dengan malah melakukan kritik terhadap Marx. Menurut Baudrillard Marx dianggap justru menolong sistem kapitalis, membantu kelicikan para kapitalis. Marx melakukan kritik radikal tentang ekonomi politik, tetapi  masih dalam bentuk ekonomi politik. Baudrillard akhirnya tidak mempercayai Marx, termasuk konsep revolusi sosialnya. Popularitas pemikiran Baudrillard mengundang banyak sarjana untuk menulis tentang dirinya. Tercatat nama-nama seperti Mike Gane, Gary Genosko, Ben Agger, George Ritzer dan masih banyak yang lain.
Sebagian besar tertarik dan terpengaruh pemikiran Baudrillard. Bahkan Mirchandani (2005) memasukkan pemikiran Baudrillard sebagai teoritisi epistimologi postmodern bersama Foucault dan Lyotard15. Tapi walau demikian ada pula yang mengkritiknya. Karena Baudrillard menganggap kebenaran itu tidak ada, lalu sebenarnya  apa yang diperjuangkan oleh Baudrillard? Bukankah berarti dia bukan teoritisi, sebab teoritisi senantiasa mencoba mencari kebenaran, bukan sekadar bermain logika provokatif?.16 Demikian kritikan Mike Gane terhadap Baudrillard dalam buku Baudrillard Live:  Selected Interviews yang ditulis tahun 1993.
Demikian pula, karena Baudrillard menolak yang nyata (the real), menolak menggambarkan yang nyata atau merefleksikan yang nyata, maka dianggap mengembangkan teori anti sosial. Oleh karenanya Douglas Kelner menganggap kajian Baudrillard sebagai fiksi ilmiah, yang mengantisipasi masa depan dengan membesar-mbesarkan kecenderungan hari ini, dan memperingatkan sejak pagi mengenai apa yang bakal terjadi apabila kecenderungan hari ini berlanjut.17

Jacques Lacan  (1901-1999).
Teoritisi lain yang juga terkenal sebagai pemikir postmodernis adalah Jacques Lacan. Ia merupakan salah satu psikoanalisis Prancis yang memiliki kontribusi pemikiran pada murid dan pengikutnya. Lacan menganggap dirinya sebagai seorang psikoanalisis struktural, tapi dalam banyak hal ide-idenya justru mengawali berakhirnya strukturalisme dan munculnya post-strukturalisme, juga post modernis. Pemikiran Lacan ditulis dalam buku Ecrits: A Selection (1966/1977), Feminine Sexuality (1966/1977), The Four Fundamental Concept of Psycho-analysis (1973/1977) dan The Ethics of Psychoanalysis (1982/1992).
Sebagaimana diketahui salah satu prinsip utama strukturalisme adalah kematian subyek, tapi bagi Lacan sebagai seorang psikoanalisis hal demikian tidak mudah diterima.  Lacan menerima keyakinan strukturalis bahwa makna kata ditentukan oleh perbedaan kata, dalam batas tertentu subyek juga merupakan produk dari struktur tertentu. Menurutnya subyektivitas manusia tidak abadi dan natural, bahkan tidak dikonstruksi secara sosial. Lacan seringkali mengklaim bahwa ide-idenya adalah kembali pada Sigmund Freud. Pendekatan Lacanian telah memperkenalkan kembali persoalan dan konsep bahwa ilmu sosial secara keliru telah termarginalkan oleh pembentukan subyektivitas diri, pentingnya identifikasi yang imajiner. 
Teori-teori Lacan melukiskan tantangan bagi sosiologi modern yang berdasarkan pada ide agen-agen rasional. Interpretasi strukturalis Freud awalnya mengandung konsep subyek postmodern dan penjelasan kekuasaan sosial dan ilmu pengetahuan postmodern. Lacan memberikan catatan, bahwa alam dikonstruksi seperti sebuah bahasa. Meskipun psikoanalisis mengistimewakan biologi, namun Lacan menjelaskan bahwa bahasa dan budaya merupakan pusat alam bawah sadar. Individu merupakan sesuatu yang dibentuk dalam bahasa, lebih jauh bahasa merupakan pusat pembahasan psikoanalisis. Bagi Lacan bahasa selalu beroperasi dalam dua arena. Tugas psikoanalisis adalah menyelidiki penyebab komunikasi yang tidak sempurna dan itulah alam bawah sadar, itulah bahasa, yang menyebabkan kecacatan dalam komunikasi interpersonal. Dengan kekacauan ini regularitas bahasa bisa dipelajari dan diterapi.
Tiga konsep inti pemikiran Lacan adalah, yang imajiner, yang simbolik dan yang nyata. Tiga hal inilah key word pemikiran Jacques Lacan. Bagi Lacan, psikoanalisis sangat dikaitkan dengan ide-ide Saussure tentang bahasa. Yang imajiner (the imaginary) adalah tatanan ketika individu memahami dirinya sendiri sebagai hal menyeluruh dan subyek yang lengkap. Merupakan suatu ranah ketika ego rasional berkembang  melalui suatu indentifikasi dengan keseluruhan citraan hingga individu memahami dirinya sendiri. Namun menurut Lacan citraan itu adalah ilusi dan kepalsuan yang salah.
Sedangkan yang simbolik adalah struktur supra personal dari determinasi sosial yang sudah ada sebelumnya. Ia adalah ruang budaya dan bahasa. Kita lahir di dalamnya, dan ia memberikan kita nama, dan menceritakan apa ras, kelas, jenis kelamin, dan katagori sosial yang lain. Pada yang imaginer, ego-ego didefinisikan melalui identifikasi mereka. Pada yang simbolik subjek didefinisikan melalui individualitasnya, perbedaan mereka dari yang lain (the other). Yang lain adalah tatanan simbolik yang berada di luar kita dan mendahului kita dan bahkan menggambarkan satu-satunya tempat di mana subjek muncul.18 Jadi ada dua kecenderungan yang melewati ranah makna. Salah satunya, yang imaginer selalu cenderung membakukan yang simbolik ke dalam struktur makna yang stabil. Di sisi lain yang simbolik cenderung mengeluarkan yang imaginer dan membubarkannya ke dalam permainan yang berbeda tanpa makna.19 Tiada satupun yang benar-benar muncul karena ada tatanan yang ketiga, yang disebut Lacan (1986/1992) dengan yang nyata (the real). Yang nyata membangun yang simbolik dan yang imajiner. Ia memaksa yang imaginer mencari ekspresi yang mustahil dalam yang simbolik, dan ia memaksa yang simbolik menggunakan yang imaginer sebagai intinya dan secara intrinsik mengkonstruksi elemen yang tidak berarti itu di sekitar identifikasi yang imajiner. 20
Dalam anjurannya untuk kembali kepada Feud, Lacan menyatakan bahwa perbedaan antara yang simbolik, sebagai tatanan bahasa, dan yang imajiner sebagai sesuatu yang dicitrakan oleh hubungan interpersonal ganda, telah terdapat dalam pemikiran Freud secara implisit.  Analisis pasca Freudian justru memusatkan perhatian pada yang imajiner. Akibatnya praktik psikoanalisis gagal memahami prinsip-prinsip dasar psikoanalisis, yang terletak pada yang simbolik. Ini menurut Lacan menyebabkan psikoanalisis di dalam praktiknya, mustahil bisa membedakan antara yang esensial dengan ciri-ciri bersifat kontingen, sehingga yang terjadi adalah konservatisme yang menghalangi inovasi, serta ritualistik teknik yang dipahami secara keliru oleh para praktisinya.21
Dikemukakannya segi yang simbolik itu, memungkinkan Lacan membedakan antara ego yang diciptakan oleh serangkaian identifikasi imajiner, dan subjek yang dipandang merupakan hasil dari efek bahasa terhadap manusia. Bahasa menjadikan manusia tahkluk pada penanda, dan ini merupakan bukti jelas betapa bahasa memfragmentasikan tubuh berdasarkan divisi-divisinya sendiri. Kehendak Freudian, subyek bukanlah suatu kekuatan berdasarkan instink tetapi memiliki tatanan logis, dan tak ada komponen biologis tertentu yang menjadi faktor di dalamnya.22     
Ide-ide Lacan berpengaruh besar dalam beberapa bidang kajian, termasuk sosiologi. Banyak muridnya seperti Yulia Kristeva, Irigay, dan Cixous sangat dipengaruhi oleh ide-ide Lacanian. Untuk memahami pemikiran Lacan selain membaca buku-bukunya, juga bisa dibaca tulisan tentang Lacan dari para teoritisi sosial seperti Mark Bracher (1997), Lacan Discourse and Social Change: Psychoanalitic Cultural Critism. Atau juga Russell Grigg, dalam buku Social Theory: A Guide to Central Thinkers,  dengan editor Peter Beilharz (1999) yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.

Jacques Derrida (1930-2004).  
Teoritisi post-strukturalis lain yang  sangat terkenal dan juga masuk dalam pemikir postmodern adalah Jacques Derrida. Ia adalah salah satu murid Foucault, tak jauh beda dengan gurunya yang ingin menulis sebuah sejarah kegilaan dengan pembahasan bahasa kewarasan (reason). Kalau strukturalisme semiotika menganggap individu dikendalikan oleh  struktur bahasa, maka dekonstruksi Derida menurunkan peran bahasa hanya sekedar ”tulisan” semata, yang tidak memaksa penggunanya. Bahkan institusi sosial-pun menurut Derida tak lebih hanya sebagai “teks” dan karena itu tak mampu memaksa orang. Disitulah Derrida melakukan dekonstruksi terhadap bahasa dan institusi sosial yang kesemuanya hanya diperlakukan sebagai teks. Istilah dekonstruksi (deconstruction) menjadi key word pemikiran dari Derrida, yang memperlakukan semua realitas sosial sebagai teks.
Menurut makna, kata mendekonstruksi berarti membongkar bagian-bagian dari suatu keseluruhan. Diskursus yang dominan di Perancis saat itu adalah strukturalisme, yang memperoleh sumber dari lingguistik, maka dengan memberi tekanan pada dekonstruksi memungkinkan Derrida terlibat dalam dialog dengan strukturalisme. Sekaligus tetap memisahkan diri darinya. 23
Derrida melihat bahasa tidak teratur dan tidak stabil. Konteks yang berlainan memberikan kata-kata dengan arti yang berlainan pula. Akibatnya sistem bahasa tak memiliki kekuatan memaksa terhadap orang.  Sasaran kritik yang dibongkar Derrida adalah paham logosentrisme yang telah mendominasi pemikiran Barat, yaitu pencarian sistem berpikir universal yang mengungkap apa yang benar, tepat, indah dan seterusnya. Menurut Derrida logosentrisme telah menutup ilmu pengetahuan manusia dan memberangus sejarah sejak era  tulisan Plato. Derrida mengkritik masyarakat pada umumnya yang diperbudak oleh logosentrisme. Sebagaimana ia ingin membebaskan teater dari kediktatoran penulis skenario, ia ingin melihat masyarakat terbebas dari gagasan semua penguasa intelektual yang telah menciptakan pemikiran dominan.  Dengan kata lain Derrida ingin melihat kita semua sebagai penulis yang merdeka. Ia menyimpulkan bahwa masa depan tak perlu ditunggu atau ditemukan kembali. Maksudnya kita tak akan menemukan masa depan di masa lalu, dan kita tak boleh berdiam pasif, menunggu nasib kita. Masa depan harus ditemukan, diciptakan, ditulis dalam apa yang kita kerjakan sekarang ini.
Dengan menghilangkan prasangka logosentrisme Barat dan otoritas intelektualnya, Derrida meninggalkan kita tanpa jawaban. Penyelidikan terhadap jawaban terhadap logis telah menjadi destruktif dan memperbudak. Menurut Derrida kita tetap dalam proses pembuatan, tetap dengan permainan dan dengan perbedaan. 24
Derrida bersama Rorty oleh Mirchandani dimasukkan sebagai teoritisi postmodernis yang pemikirannya termasuk bersifat epistimologis25, tetapi bukan yang utama (yang utama adalah Foucault, Baudrillard dan Lyotard). Dia dianggap ”masuk” dalam epistimologi postmodern karena pemikiran-pemikiran Derrida mencabar strukturalisme, anti logosentrisme Barat dan membongkar idiologi palussentrisme.
Pemikiran Derrida bisa diikuti dalam tulisan-tulisan yang cukup banyak karena termasuk pemikir yang produktif. Bukunya antara lain  Speech and Phenomena: And Other Essays on Hursel’s Theory of Sign (1973). Juga Of  Gramatology (1976), writing and Differenece (1978), Dissemination (1981), Positions (1981), Margin of Philosophy (1982), The Ear of The Other (1985) dan masih banyak tulisan lainnya mengenai Derrida yang bisa diakses melalui internet.

Jean Francois Lyotard ( 1928-1998).
Selain tokoh-tokoh yang sudah diaungkapkan di muka, ada salah satu pemikir  post-modern yang lain yang tak kalah pentingnya, yaitu Jean Francois Lyotard. Teori postmodern semakin jelas setelah Lyotard tahun 1979 menulis dalam bahasa Inggris dengan judul The Postmodern Condition. Sebagaimana tokoh-tokoh lain postmodern, Lyotard juga menolak gagasan  tentang narasi besar atau metanarative, makanya oleh Mirchandani ia juga dimasukkan sebagai pemikir epistimologi postmodernis.  Sejak awal Lyotard menganggap dirinya sebagai postmodernis, makanya seperti yang dilakukan Foucault, Lyotard juga mengutib Nietzsche, dalam bukunya The Grey Science (1882),  yang menganggap narasi besar peradaban Barat telah ambruk saat itu.
Sependapat dengan filsafat pesimistis Frederich Nietzsche, menurut Lyotard dasar-dasar esensialis dari semua grand narrative  tidak bisa dipercaya lagi. Secara umum semua narasi adalah permainan bahasa belaka.   Postmodern menurutnya adalah upaya memerangi totalitas, dan menghidupkan perbedaan. Postmodern menjadi wadah pertemuan berbagai perspektif teoretis yang berbeda-beda.26 Ilmu pengetahuan postmodern bukanlah semata-mata menjadi alat penguasa, tetapi memperhalus kepekaan kita terhadap pandangan yang berbeda dan memperkuat kemampuan kita untuk bertoleransi.
Inti pandangan Lyotard perihal postmodernism dikarakterisasikan dengan keunggulan narasi besar. Namun, kebanyakan proyek dari narasi besar gagal. Dia mencontohkan Nasionalisme Nazi dan Komunisme yang telah runtuh, Lyotard merasa kini saatnya menciptakan ”perang atas perspektif totalistik semacam itu. Penjelasan pemahaman Lyotard tentang narasi besar berdasarkan idenya mengenai hubungan antara narasi dan sains, tetapi keduanya dianggap seperti aliran Wittgenstein sebagai ”permainan bahasa”. Hubungan sosial dipahami seperti permainan yang memerlukan bahasa untuk bisa ambil bagian.  ”Permainan bahasa adalah relasi minimum yang diperlukan bagi keberadaan masyarakat”27.
 Narasi dan sains adalah bentuk ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan secara luas didefinisikan untuk memasukkan pernyataan-pernyataan denotatif seperti know how, knowing how to live, how to listen, dan lain-lain. Melalui narasi aturan aturan pragmatis yang merupakan ikatan yang menjaga kebersamaan masyarakat disebarkan. Ikatan tersebut diciptakan tidak hanya oleh makna narasi tetapi juga dengan aksi pendeklamasian mereka. Legitimasi atas narasi semacam itu bukan berasal dari sumber eksternal, tetapi berasal dari kenyataan sederhana bahwa mereka melakukan apa yang mesti dilakukan28.
Sains sebaliknya hanya menerima  pernyataan-pernyataan denotatif. Dalam arti kata, ia hanya ”nilai kebenaran” yang menentukan acceptability pernyataan-pernyataan sains. Tidak sama dengan narasi, sains bukan sebuah arah dan komponen bagian ikatan sosial. Bahkan ada perbedaan di sana-sini antara narasi dan sains, tidak bisa dipungkiri, bahwa keduanya adalah permainan bahasa, dan salah satunya memerlukan yang lain.
Meskipun narasi besar menimbulkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki,  Lyotard tidak memandang hal itu sesuatu yang jelek. Dengan kemunduran (the decline) narasi besar, legitimasi menjadi plural, lokal dan imanen akan selalu menjadi diskursus legitimasi. Lyotard berharap peran bagi sains postmodern tidak hanya memfokuskan pada performitifitas determinisme. Melainkan  melakukan apa yang disebut paralogy, atau meneliti dan menciptakan counterexamples, dalam arti lain, menciptakan sesuatu yang tidak dapat dipahami (unintellegible), mendukung suatu argumen berarti mencari sebuah paradoks dan melegitimasinya dengan aturan baru menurut permainan nalar (the games of reasoning) 29
            Paralogy dan counterexamples merupakan key word yang ditawarkan oleh Lyotard, yaitu Ilmu pengetahuan postmodern tidak menjadi alat penguasa, tetapi memperhalus kepekaan kita terhadap pandangan yang berbeda dan memperkuat kemampuan kita untuk bertoleransi di dalam kehidupan yang makin multikultur.

Fredric Jameson (1934-        )
Kalau sebagian besar teoritisi postmodern berasal dari Eropa (terutama Perancis), maka ada beberapa pemikir postmodern yang berasal dari Amerika Serikat, salah satunya adalah Fredric Jameson. Dia adalah teoritisi kelahiran Cleveland, Ohio, dan menyelesaikan program master dan doktornya di Yale University, artinya dia benar-benar murni lahir dan dididik di Amerika Serikat. Tahun 1984 Jameson menulis Postmodernism, or the Cultural Logic of Late Capitalism dalam Jurnal New Left Review 146 (July Aug 1984).30  Judul ini jelas menunjukkan pendirian Marxian dari pemikiran Jameson. Menurutnya, kapitalisme yang kini dalam fase “lanjutan” masih terus menjadi gambaran dominan dalam kehidupan sekarang, tetapi telah menimbulkan logika kultural baru yaitu postmodernism. Ia istilahkan dalam sub judul makalahnya dengan Postmodernism as Cultural Dominant.
Jameson menolak klaim yang dibuat kebanyakan pemikir postmodern (misalnya Lyotard dan Baudrillard) yang menyatakan teori Marxian adalah narasi besar par-exellence dan karena itu tak mempunyai tempat di dalam atau tak relevan dengan post-modernitas. Jameson ingin menyelamatkan teori Marxian, sekaligus berusaha menunjukkan, teori Marx menawarkan penjelasan teoretis terbaik tentang postmodernism. Menurut Jameson, perubahan struktur ekonomi telah tercermin dalam perubahan kultural. Ia menghubungkan kultur realis dengan kapitalisme pasar, kultur modernis dengan kapitalisme monopoli, dan kultur postmodernis dengan kapitalisme multinasional. Singkatnya, Jameson menyajikan suatu citra postmodernity di mana manusia terkatung-katung dan tak mampu memahami sistem kapitalis multinasional.
Pada waktu yang sama tahun 1983, dalam sebuah seminar di Inggris saat itu, ilmuwan Jerman Juergen Habermas mempertahankan pendapatnya tentang uncomplete project of modernity. Melalui makalah yang berjudul Modernity versus posmodenity, and Neo-conservative culture critism,  Habermas menganggap postmodernism tak lain merupakan proyek modernisme yang belum selesai (Asley 1990 dalam Crook 2001, 309).  Penilaian Habermas semacam itu amat logis, mengingat dia  pada dasarnya masuk dalam teoritisi modernisme, karenanya menurut Habermas postmodern  masih merupakan proyek modernisme juga, yaitu proyek modernisme yang belum selesai.
            Kembali kepada Fredric Jameson, teoritisi postmodernis dari Amerika ini tidak hanya menyelamatkan teori Marxis tapi juga berusaha keras menunjukkan dan menawarkan penjelasan teoritis mengenai postmodernism. Menurutnya, kerangka kerja Marxis masih sangat diperlukan untuk memahami kandungan historis yang baru, yang menuntut bukan sebuah modifikasi atas kerangka kerja Marxis, namun sebuah perluasan atas teori tersebut.31
            Menariknya, meskipun Jameson secara umum dipuji untuk wawasannya dalam kebudayaan postmodernisme, dia sering dikritik, khususnya justru oleh kaum Marxis, karena dianggap menawarkan analisis yang tidak mencukupi tentang dasar ekonomi dari dunia baru sekarang ini. Pada kenyataannya Fredric Jameson memang menghabiskan waktunya yang sangat sedikit dalam menganalisis dasar ekonomi tersebut, dan lebih mencurahkan perhatiannya pada logika budaya. 32
            Jameson menggunakan pemikiran Mandel (1975) atas tiga tahapan dalam sejarah kapitalisme. Tahap pertama, dianalisis oleh Marx, adalah kapitalisme pasar dan kemunculan pasar nasional yang disatukan. Tahap kedua dianalisis oleh Lenin, adalah fase imperialis, dengan kemunculan jaringan kapitalisme global. Tahap ketiga dilabeli oleh Ernest Mandel (yang diikuti oleh Jameson) sebagai kapitalisme akhir (late capitalism), melibatkan ”perluasan yang besar atas modal ke dalam wilayah-wilayah yang belum dikomodifikasikan sampai sekarang ini”.33  Istilah late capitalism menjadi key word bagi Jameson dalam mengungkapkan pemikirannya mengenai postmodernis.
Bagi Jameson, kunci kapitalisme akhir adalah karakter multinasionalnya, dan kenyataan bahwa  ia telah terus meningkatkan komodifikasi. Termasuk di dalamnya komodifikasi kebudayaan, bisnis trans-nasional, pembagian kerja internasional baru, produksi yang berpindah ke wilayah-wilayah dunia ketiga, pertumbuhan dalam perbankan dan bursa saham, dan jenis baru inter-relasi dalam media, komputerisasi dan otomatisasi.
            Jameson juga mengaitkan proses perkembangan ini dengan perubahan dalam tanda-tanda. Dalam tahap awal kapitalisme, tanda-tanda hadir dan memiliki hubungan yang tidak jelas dengan yang diwakili. Kemudian di era modernisme, tanda-tanda dipisahkan dari yang mereka wakili (kendati tidak lengkap menghapus dunia objektif yang diwakili). Kemudian hadirlah tahap berikutnya yaitu postmodernisme, yang dikarakterkan dengan ”pembalikan” dari kuantitas ke kualitas, sebuah reifikasi mempenetrasi tanda-tanda itu sendiri dan melepaskan petanda dari penanda. Pada masa postmodernis referensi dan kenyatn hilang secara bersamaan, dan bahkan makna petanda dipermasalahkan. Kita ditinggalkan dengan permainan penanda-penanda yang murni dan acak. Peranan murni dari penanda merupakan kepentingan yang sentral bagi Jameson, sebagaimana bagi Baudrillard yang amat mempengaruhi pemikiran Jameson. Pada kapitalisme akhirlah, meluasnya komodifikasi ke seluruh ranah kehidupan sosial dan pribadi, yang mentransformasikan yang nyata menjadi citra dan simulacrum.34
            Secara lebih umum, menurut Jameson, perubahan-perubahan dalam struktur ekonomi telah tercermin dalam perubahan budaya. Jadi ia mengasosiasikan kebudayan realis dengan kapitalisme pasar, kebudayaan modernis dengan model monopoli, dan kebudayaan postmodernis dengan kapitalisme multinasional. Hal demikian, seperti versi baru dari argumentasi Marx mengenai superstruktur dasar (base-superstruktur), dan banyak memunculkan kecaman karena Jameson mengambil posisi yang deterministik semacam ini. 35
            Produk-produk teknologi informasi (seperti video, kartun, termasuk komputer) bagi  Jameson dapat dilihat sebagai teks. Dan teks tersebut menggantikan karya seni, master piece seniman, dan lain-lain. Dengan datangnya teks tidak lagi ada aturan, tidak ada lagi mahakarya,  atau karya agung. Sebagai gantinya, segala yang kita tinggalkan adalah teks. Yang berbeda dengan karya-karya seni, teks tidak memiliki makna yang mendalam. Mencoba untuk menemukan makna-makna, untuk memberi tema pada teks, untuk menafsir mereka, hanya mengganggu arus esensial bagi produk itu sendiri.    
            Apa yang dilakukan Jameson dalam postmodern menurut Mirchandani (2005) lebih bersifat empiris dibandingkan epistimologi. Jameson bukan pemikir yang mempersoalkan dasar-dasar ilmu pengetahuan, tetapi dia dianggap lebih banyak beroperasi pada fase untuk melakukan perubahan pemikiran, yaitu menginterogasi kembali keberadaan konsep-konsep teori sosiologi yang klasik.36 Dalam hal ini Jameson membela teori Marx.  

Richard Rorty (1931 -         )
Pemikir postmodern dari Amerika Serikat selain  Fredric Jameson adalah Richard Rorty. Teoritisi ini dikenal sebagai filosof postmodernis Amerika Serikat terkemuka. Ia lahir di New York City, 4 Oktober 1931, dia memperoleh gelar Master dari University of Chicacgo, dan doktor di Yale University, sekolah yang sama dengan Jameson. Rorty sepakat dengan kritik Nietzschean  terhadap konsep-konsep metafisik seperti ”kebenaran”, identitas dan pengetahuan.  Rorty tidak setuju dengan gagasan bahwa ilmu pengetahuan sebagai representasi yang akurat, karenanya teori representasi umum menurutnya perlu ditinggalkan, karenanya ia mengajukan dekonstruksi teori representasi, khususnya dalam hal citra hakekat cermin. Itulah yang dia tulis dalam Philosophy and the Mirror of Nature (1979).
Dapat disimpulkan, menurut Rorty tidak ada epistimologi universal yang mungkin ada karena semua klaim kebenaran dibentuk di dalam diskursus. Tidak ada akses kepada kepada dunia objek independen yang bebas dari bahasa dan tidak ada sudut pandang yang digunakan untuk menilai klaim secara netral. Tidak ada landasan filosofis unversal bagi pemikiran atau tindakan manusia. Seluruh kebenaran terikat pada budaya. Konsep kebenaran tidak memiliki daya eksplanatoris, hanya sebagai suatu tingkat persetujuan sosial dari suatu tradisi budaya. Rorty merekomendasikan agar kita mencampakkan epistimologi, mengakui kebenaran sebagai bentuk dari penghargaan sosial. 36
Bagi Rorty, manusia menggunakan bahasa untuk menordinasikan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan. Disini rorty menciptakan pandangan Witthenstenian, bahwa bahasa adalah alaty yang digunakan oleh organisme manusia, dan pemisahan tanda dan bunyi yang diciptakan dengan yang kita buat akan terbukti menjadi taktik yang bermanfaat untuk memprediksi dan mengontrol perilakunya di masa datang. Dalam pandangannya, hubungan antara bahasa dengan seluruh jagad raya materi, merupakan hubungan kausalitas, dan bukan representasi atau ekspresi yang memadai. Rorty menurut Mirchandani masuk dalam katagori pemikir epistimologi postmidern.  

Daniel Bell  (1919-              )
Selain Jameson, dan Rorty, filosof postmodern dari Amerika yang lainnya adalah Daniel Bell, profesor emiritus dari Harvard University. Bell lahir 10 mei 1919 dan menjadi sosiolog setelah memperolah doktor di American Academic of Art and Science. Awalnya dia mengajar di Columbia Unversity, namun kemudian ia pindah ke Harvard sampai pensiun. Bell terkenal dalam bahasannya pada masyarakat post-industri. Ia berupaya mempersembahkan narasi untuk pembangunan, khususnya di Amerika Serikat, Jepang, Eropa Barat, bahkan (dulunya) Uni Soviet.
Bell membagi perubahan sosial dari praindustri, industrial, dan postindustri. Ada tiga jenis pemisahan dalam tiga jenis masyarakat ini. Sebagai contoh, dalam hubungannya dengan pekerjaan, masyarakat praindustrial didominasi oleh para petani, penambang, nelayan, dan para pekerja tanpa keahlian. Masyarakat industri didominasi oleh para pekerja dan ahli mesin berkeahlian minim. Sedang masyarakat postindustri didominasi para ilmuwan teknis dan profesional.
Dalam desain argumentasinya, masyarakat praindustrial diwarnai dengan ”permainan melawan alam”. Artinya orang-orang menyerap sesuatu dari alam, dalam bidang pertambangan, perikanan, kehutanan, dan pertanian. Masyarakat industrial memusatkan perhatiannya pada ”permainan melawan alam yang diolah di pabrik”. Yaitu masyarakat yang didominasi oleh mesin, dan membutuhkan koordinasi, jadwal, dan program yang mengatur segala sesuatu ke tingkat yang tinggi. Sedangkan masyarakat postindustri didominasi oleh pelayanan-pelayanan,  fokusnya adalah ”permainan antara person-ke person”, sebuah permainan yang sangat memanfaatkan perbedaan dalam pengetahuan. Yang dihargai bukanlah kekuatan otot semata, atau tenaga, namun informasi.37
   Pemikiran Bell nampaknya juga lebih berorientasi pada persoalan empiris. Menggunakan konsepsi Mirchandani Bell lebih tepat dikelompokkan bersama Jameson, karena pembahasannya bukan menyangkut persoalan epistimologi keilmuan, melainkan lebih banyak membahas konsep-konsep masyarakat pasca industrial. Kendati demikian pemikiran Daniel Bell termasuk sudah cukup lama. Ia menuliskan pemikirannya sudah pada tahun 1973 dengan judul The Coming of Post Industrial Society.

TEORITISI YANG MEMPERKAYA POSTMODERN  (EMPIRISME)
Awal 1980-an terminologi  postmodern menjadi semakin terkenal sebagai sebutan pada pandangan-pandangan yang kecewa terhadap penerimaan ide-ide  struktur dan dinamika modern. Namun para pemikir atau teoritisi yang masuk sebagai tokoh yang memperkaya teori postmodern ini, lebih banyak yang berfokus pada persoalan empiris, yang sudah masuk ke kajian sosiologi, atau bahkan kajian budaya, bukan epistimologi. Salah satunya adalah Foster, menulis The Anti-Aestetic tahun 1983,  yang mengungkap perdebatan mengenai aesthetic postmodern yang semakin membesar menjadi isu kultural dan sosial.38  Dalam jurnal  Theory, Culture,  & Society tahun 1983, terdapat tulisan yang topiknya membantu mendefinisikan tema postmodern, di dalam iklan, budaya konsumen, diet, perwujudan seksualitas dan olah raga.   
Teori postmodern dalam perkembangannya tidak hanya ada pada disiplin sosiologi semata, tetapi merambah ke kajian ilmu sosial yang lebih luas dan aplikatif baik di dunia seni maupun komunikasi. Terutama mengkaji postmodernism sebagai produk kultural (di bidang kesenian, film, arsitektur, dan sebagainya) yang berbeda dengan produk kultural modern. Hal itu sejalan dengan perkembangan Cultural Studies yang menjadi bahasan multidisiplin di universitas-universitas di Inggris, Amerika Serikat, daratan Eropa dan Australia. Dalam bahasan Cultural Studies tersebut, ada yang mengurai hubungan postmodernism dengan berbagai sarana konsumsi baru, kaitannya dengan media, film, feminisme dan kehidupan multikultural. Namun bagaimanapun juga dalam kajian postmodern empiris tersebut, nuansa kajian sosiologi masih kental sebagai dasar acuan para teoritisi.
Salah satunya muncul nama scholars, kelahiran Turin Italia, Umberto Eco, yang menulis buku Travel in Hyper-Reality (1987). Sebagaimana Baudrillard, Eco juga menggunakan konsep Hyper-Reality (dengan beberapa perbedaan) ketika menggambarkan kebudayaan Amerika yang ia kunjungi. Eco bertamasya melintasi seluruh daratan Amerika manakala ia sedang mencari tempat untuk menyelidiki perbatasan realisme, jiplakan ketimbang yang asli. Eco lebih tepat masuk kelompok empiris dibanding etimologis. Ada juga Gilles Lipovetsky yang menulis buku The empire of Fashion: Dressing Modern Democray (1987). Menurut Gilles, fashion adalah agen  primer dari gerakan spiral menuju individualisme dan konsildasi masyarakat liberal. Selain nama-nama teoretisi di atas, masih banyak teoritisi yang mengembangkan dan menulis tentang postmodern, seperti Featherstone yang di tahun 1988, membedakan antara sociology of postmodern  dengan postmodern sociology.39
Kemudian ada lagi Angela Mc Robbie, yang menulis tentang Feminisme, “Postmodernism and The ”Real Me”, dalam jurnal Postmodernism and Popular Culture 1985 yang kemudian dimuat dalam buku Media and Cultural Studies Key Works,  yang disusun oleh Meenakshi Gigi Durham & Daouglas M. Kellner tahun 2005. Dalam kajian multikulturalisme dan postmodern terdapat nama Cornel West yang menulis Race Matters (1994). West membahas masalah kaum kulit hitam Amerika dengan budaya postmodern, yang menurutnya mengalami “ancaman nihilistik bagi eksistensinya”.  Kemudian Mark Poster menulis Post Modern Virtualities tahun 1995. Dalam tulisan itu Poster membahas tentang Communications “Superhighway”,  problem-problem realitas, hingga narasi-narasi di Cyberspace.  Ada lagi Henry Jenkins tahun 2003 menulis tentang “Quentin Tarantino’s Stars Wars? Digital Cinema, Media Convergence and Participatory Culture”. 40 Tulisan ini membahas Transisi media massa yang menjadi media konvergensi dan memunculkan budaya partisipartoris.  Semua tulisan dan pemikiran di atas, kalau menggunakan perspektif Mirchandani, lebih bersifat pembahasan postmodern dari aspek empiris, kajiannya melebar ke seluruh aspek kehidupan yang berkait dengan postmodernitas.
Namun semua karya dan pemikiran postmodern itu menjadi semakin mengemuka karena ada penulis-penulis yang aktif mengungkapkan perkembangannya. Para ilmuwan sosial seperti Douglas Kellner, Stephen Crook, George Ritzer, Barry Smart, Ben Agger, Gayatri C. Spivak, Julia Kristeva, juga Ziaudin Sardar, Chris Barker, dan Dave Robinson dan masih banyak yang lain, merupakan sejumlah scholars dari dunia Barat yang intens membahas perkembangan teori-teori sosial  termasuk postmodernis dan cultural studies. Di Indonesia nama Yasraf Amir Piliang juga dikenal lekat dengan pemikiran postmodernis.  Jadinya perkembangan pemikiran dan studi postmodern bisa terekam dan terdokumentasi secara baik, dan menjadi bahan pembahasan bagi para sarjana.

PARA FILOSOF YANG MEMPENGARUHI
Kalau ditilik dari perkembangannya, terutama dari periodisasi waktu. Teori post modernisme pada dasarnya merupakan pengembangan dari pemikiran strukturalisme  dan post strukturalisme, dan sekaligus kritik terhadap modernisme. Beberapa tokoh yang bisa dimasukkan dalam katagori pemikir awal, adalah mereka yang sejak lama mengkritik atau kritis terhadap prinsip-prinsip ilmu pengetahuan modern.   Para pemikir awal ini tidak masuk dalam kelompok teoritisi posmodernis epistimologi, karena kendati mereka lebih banyak menyoroti tataran ilmu (epistimologi), tetapi para filosof ini tidak pernah menyatakan dirinya sebagai pemikir post modernis. Bahkan di antara mereka hidup sebelum istilah postmodernis dikenal. Para teoritisi besar peletak dasar pemikiran kritis terhadap ilmu pengetahuan tersebut, antara lain adalah sebagai berikut:



Friedrich Nietzsche (1844-1900).
Filofof kelahiran Jerman, yang bernama Friedrich Nietzsche  ini, dikenal sebagai tokoh yang pemikirannya berpengaruh terhadap teori postmodernism. Nietzsche  adalah anak seorang pastor Lutheran yang keras, namun sebagai ilmuwan ia kehilangan keyakinan Kristennya dan menjadi atheis.41
Dalam buku yang meneguhkan ateismenya, The World as Will and Idea (1818) Nietzhe beranggapan, masyarakat Eropa harus menghadapi fakta betapa nilai-nilai Kristen tak bisa diandalkan lagi. Siapapun yang tetap percaya kepada nilai-nilai itu berarti berdusta atau tidak autentik. Berbagai macam iman yang menggantikan Kristianitaspun sama-sama bangkrut, terutama pemujaan terhadap ilmu dan kemajuan.42
Nietzsche  menawarkan suatu ”anti sosiologi” yang memandang dekadensi, kemrosotan moral, dan berbagai kerusakan, merupakan sesuatu kesemrawutan yang dihasilkan oleh narasi besar modernisasi. Nietzsche menolak konsep proses rasionalitas dan rasionalisasi. Ia juga menolak ide tentang pengetahuan murni, karena nalar dan kebenaran tidak lebih sekadar sarana yang digunakan oleh ras dan species tertentu untuk kepentingan pembenaran.  Pemanfaatan itu sendirilah yang menjadi kebenaran.43 Bagi Nietzsche, kebenaran bukan sekumpulan fakta, karena hal itu hanya mungkin ada disebabkan adanya interpretasi, dan tidak ada batas bagaimana realitas itu diinterpretasikan. Kalau gagasan tentang kebenaran dianggap memiliki suatu sandaran historis, maka sebenarnya ia hanya merupakan konsekuensi dari kekuasaan, yang baginya interpretasi dipegang sebagai suatu kebenaran. Menurut Nietzsche, Socrates, Katolikisme, Protestanisme, dan Pencerahan telah memberikan andil pada moralitas budak dan membantu menyebarkannya secara luas. Diilhami sesuatu yang tidak pasti, mentalitas budak menimbulkan tindakan keputus-asaan, dan fanatik yang membahayakan.44 Walhasil, Nietzsche menolak filsafat pencerahan sebagai nalar dan kemajuan universal. Pemikiran Nietzsche ini mempengaruhi pemikir teoritisi postmodern utama seperti Michel Foucault, yaitu konsep difusi kekuasaan ”mikro-fisik”, Derida mengenai serangannya pada hegemoni budaya, dan Baudrillard ketika mengembangkan konsep simulasi.45  Mempelajari pemikiran Nietzsche bisa membaca karya-karyanya  yang sudah ditulis dalam bahasa Inggris seperti The Gay Science (1887/1974), Basic Writing of Nietzsche (1992), atau juga tulisan David Robinson, Nietzsche and Postmodernism (1999) dan Freiderich Nietzsche yang ditulis oleh Paul Raymond Harrison (2001).

Sigmund Freud (1856-1939).
Pemikir besar lain yang juga mengilhami teori postmodern adalah Sigmund Freud. Ide-ide Freud diakui memiliki relevansi secara positif dan negatif terhadap perkembangan poststrukturalisme dan postmodernisme.  Dalam beberapa pemahaman, Freud adalah strukturalis yang memperkenalkan persoalan-persoalan psikologis tentang proses proses alam bawah sadar.  Itu ia contohkan ketika membahas mimpi dan ucapan seseorang yang sedang mengalami histeria. Ucapan tanpa sadar dan mimpi itu tak lain merupakan suatu ekspresi yang ditekan oleh manusia. Logika psikoanalisis adalah, penutur memperoleh kenikmatan atas histeria itu.  Dengan mengeluarkan ide yang tertekan. Namun dalam proses tersebut penutur juga mengacaukan makna yang diucapkan. Jadi kata-kata yang dikeluarkan dalam histeria harus ditafsirkan sebagai gejala pokok bahkan realitas bawah sadarnya. Karena itu menurut Freud penyebab neurosis seperti histeria itu bersifat psikologis, bukan bersifat fisiologis seperti diyakini orang sebelumnya. Dan terapinya memerlukan percakapan terus menerus tentang sebab yang sebenarnya. Baginya faktor seksual atau faktor libido sebagai akar penyebab neurosis.
Freud menghasilkan banyak teori yang dalam banyak hal sangat modern. Feud percaya ada karakteristik manusia yang esensial. Bahkan dia menganut dalam banyak hal tempat, perspektif yang  deterministik, saintifik dan positivistik.   Dan dalam pelbagai cara, dia menggunakan pandangan totalistik tentang perkembangan masa kanak-kanak. Tentu saja ini ditentang para penganut postmodern, tapi bagaimanapun teori teori Freud merupakan isntrument untuk memahami perkembangan post strukturalisme. Dan banyak tema-tema postmodernisme dapat dijumpai dalam kajian Freud.46
Diantara Ide yang dikembangkan Freud yang membuktikan relevansinya dengan postmodernis adalah suatu pandangan bahwa masyarakat modern gagal memenuhi janji-janjinya, dan mustahil menawarkan representasi realitas yang tidak terdistorsi.47
Teori-teori Freud merupakan instrumen untuk memahami perkembangan poststrukturalisme dan postmodernisme. Ide Freud yang menganggap masyarakat modern gagal dalam memenuhi janji-janjinya, dan mustahil menawarkan representasi realitas yang tidak terdistorsi, sangat relevan dengan prinsip postmodern. Buku Freud, Studies on Hysteria (1895) banyak mengungkap teori psikoanalisisnya yang mengenalkan penyembuhan lewat bicara (taking cure). Karya karya lain adalah Totem and taboo (1913), Group Psychology and The Analysis of The Ego (1921), The Future of an Illusion (1927) dan Civilization and Its Discontents (1930). Sementara banyak teoritisi sosial menulis tentang pemikiran Freud, antara lain Douglas Kirsner, dalam buku Social Theory: A Guide to Central Thinkers,  dengan editor Peter Beilharz (1999).

Charles Wright Mills (1916- 1962)
Sebenarnya orang yang pertama kali menggunakan istilah postmodern secara ilmiah untuk mengkritik teori-teori besar adalah teoritisi sosial Charles Wright Mills dalam buku The Sociological Imagination (1959). Mills menggunakan istilah postmodern untuk melukiskan era paska pencerahan. ”Kita berada di penghujung abad modern, ...abad modern digantikan oleh periode post modernity”. Demikian Mills ketika mengkritik keras teori besar (grand theory) modern dalam sosiologi, terutama yang dipraktikan oleh Talcott Parsons. Mills menginginkan sosiologi yang besar menghubungkan masalah pribadi yang khusus. Mills yang terkenal sebagai teoritisi yang dinamis dan banyak bertentangan dengan berbagai tokoh ini menurut George Ritzer, kendati ia menggunakan istilah postmodern namun dimasukkan oleh Ritzer sebagai seorang modernis daripada postmodernis.48 Namun kalau dilihat dari semangatnya menentang grand theory, Mills  bersama  teritisi sebelumnya yaitu Nietzsche, Freud, dan Kuhn, merupakan para pemikir gelombang pertama yang membuka awal pemikiran kritis terhadap ilmu pengetahuan dan modernitas. Kalau menggunakan konsepsi Mirchandani ketiga pemikir awal ini lebih banyak masuk sebagai pemikir yang mempermasalahkan epistimologi ilmu pengetahan modernisme. Mereka masuk dalam kriteria ini karena pemikirannya memang sudah mengkritik pengetahuan modern terutama narasi besar ilmu sosial, tetapi nama maupun pemikiran mereka belum menyebut atau disebut sebagai pemikiran postmodern.

Thomas S. Kuhn (1922-2002).   
Selain Nietzsche, Freud, dan Mills tokoh ilmuwan yang juga sering disebut ikut membuka dan mendorong munculnya teori post modern adalah Thomas S. Kuhn (1922-2002).  Dalam buku The Structure of Scientific Revolutions (1962) telah memberikan tempat untuk terjadinya perang terbuka antara para pembela dan pengritik ilmu.49  Inilah awal kebangkitan teori postmodern yang berarti juga perang ilmu, mengenai bagaimana kalangan pengkritik ilmu (aliran postmodern) berhadapan dengan ilmuwan konstruksionis dapat dilihat pada publikasi Science Wars, dalam Jurnal Social Text 46-7 tahun 1996.  Menurut Kuhn, ilmu berkembang melalui siklus-siklus ilmu normal diikuti oleh revolusi yang kemudian diikuti lagi oleh ilmu normal dan diikuti lagi revolusi. Kuhn menganggap ilmu normal sebagai upaya dogmatis, termasuk teori-teori ilmiah modern, ataupun yang ada dalam buku-buku teks itupun sudah menjadi irrasional dan dogmatis. Menurut Kuhn ilmu normal sering menindas kebaruan-kebaruan fundamental karena hal-hal baru sering bersifat subversif terhadap komitmen-komitmen dasar ilmu normal, tapi ketika profesi tak lagi bisa mengelak dari anomali-anomali yang merongrong tradisi ilmiah yang sudah ada, maka  dimulailah investigasi di luar kelaziman.

RINGKASAN
            Membicarakan postmodernisme tak bisa melepaskan diri dari modernisme. Karena keduanya saling terkait sebagai sebuah konsep periodisasi yang mengacu kepada epos historis, sekaligus epistimologi teori sosial yang memiliki karakteristik masing-masing. Sebagai realitas empiris, keduanya adalah abstraksi yang longgar mendefinisikan parameter institusional bangunan sosial. Modernitas ditandai dengan munculnya kapitalisme dan sistem negara bangsa. Institusi modernitas diasosiasikan dengan proses sosial dan budaya individualisisasi, diferensiasi, komodifikasi, urbanisasi, rasonalisasi, birokratisasi dan pengawasan.
            Sebagai konsep epistimologi, perbedaan modernisme dan postmodernisme tidaklah jelas. Dikatakan, pengalaman hidup dengan modernisme melibatkan tahapan, perubahan, ambiquitas, risiko, keraguan, dan revisi kronis terhadap pengetahuan. Namun logika dunia fragmentaris, ambigu dan tidak menentu yang melibatkan refleksifitas tingkat tinggi juga menjadi tanda budaya postmodern. Titik berat kepada ketidakpastian, ironi dan khaburnya sekat budaya lebih menjadi tanda pascamodern. Modernisme sebagai suatu gerakan artistik dan filsafat menghilangkan perbedaan budaya tinggi , budaya pop dengan cara yang tidak dilakukan oleh pascamodern. Perbedaan lain,  para teoritisi menunjuk kepada runtuhnya perbedaan modern antara yang nyata dengan simulasi.
            Sebagai suatu pokok bahasan filosofis dan epistimologis, modernisme diasosiasikan dengan filsafat pencerahan, ilmu pengetahuan, kebenaran universal dan kemajuan. Sebaliknya filsafat pascamodern diasosiasikan dengan gugatan atas katagori-katagori ini. Bukan kedalaman namun permukaan. Bukan kebenaran melainkan banyak kebenaran.  Bukan obyektivitas melainkan solidaritas. Bukan universalisme melainkan rejim kebenaran yang spesifik secara historis (Foucault). Namun kalau Lyotard menyebut posisi filosofis ini dengan sebutan pascamodern. Foucault justru mempertanyakan perlunya mendukung atau menentang pencerahan. Rorty menyesal telah menggunakan istilah “pascamodern” karena filsafat pascapencerahan yang didukungnya dapat dilacak kembali sampai kepada Nietzsche.
            Perdebatan tentang modernisme dan postmodernisme seperti tiada hentinya. Para pendukungnya sering mengeluarkan puji-pujian, sedangkan lawannya  biasanya terjebak dalam apa yang bisa dideskripsikan sebagai kemarahan. Ada yang menganggap postmodernism sebagai “kegilaan”  atau merupakan “langit hitam omong kosong yang besar”. Bahkan ada yang mengatakan dengan  adanya diversitas atas teori-teori sosial postmodern, kegunaan dan validtas teori tersebut dipertanyakan.
            Teori postmodern dikritik karena kegagalannya berbuat sesuai dengan standard ilmiah modern, standard yang dihindari oleh post-modern. Dalam bahasa yang lebih formal, segala sesuatu yang dikatakan postmodernis oleh para penganut modernisme dianggap salah, idenya tidak dapat dibuktikan, khususnya dengan riset ilmiah. Kritik ini sendiri menggunakan asumsi model saintifik, eksistensi realitas, eksistensi pencarian, dan eksistensi kebenaran. Yang semua asumsi ini sejak awal memang sudah ditolak postmodernis.
            Karena post-modernis tidak dapat dilihat sebagai suatu tubuh ide-ide saintifik maka sebagian ilmuwan melihat  teori sosial postmodern sebagai ideologi. Jadi persoalannya bukan benar atau tidak, tetapi percaya atau tidak. Namun harus diingat orang yang percaya kepada seperangkat ide tidak punya dasar berargumen bahwa ide-ide mereka lebih baik, atau lebih buruk ketimbang ide lainnya.  Tapi karena tidak dibatasi norma-norma sains, postmodern menjadi bebas bermain-main dengan berbagai macam ide. Generalisasi luas yang dtawarkan sering tanpa kualifikasi menjadikan diskursus postmodern sulit diterima orangorang di luar perspektif itu. Ide-ide postmodern sering kabur dan abstrak, sehingga sering sulit jika harus dihubungkan dengan dunia sosial.  Teoritisi post modern sering kali melakukan kritik terhadap masyarakat modern, namun kritik-kritik itu dapat dipertanyakan validitasnya. Yang lebih parah,  teoritisi post modern sering mengkritik masyarakat tetapi kekurangan visi tentang bagaimana masyarakat itu seharusnya. Bahkan karena kebenaran menurut postmodern itu tidak tunggal, dan nilai-nilai yang diperjuangkan juga multikultur, maka postmodern justru sering dipandang tidak memperjuangkan apapun, melainkan sebagai gerakan nihilisme.




DAFTAR PUSTAKA
Agger, Ben, ”Teori Sosial Kritis, Kritik, Penerapan dan Implikasinya”, Kreasi
           Wacana ,Yogyakarta, 2004.

Baudrillard, Jean.,  "Nietzsche and the Machine,", in Negotiations, ed. Richard
            Beardsworth,  Elizabeth  Rottenberg, 2002

Baudrillard, Jean., Without Alibi,  trans. and (eds). Peggy,  Stanford, CA: Stanford
            University Press, 2002.

Barker, Chris, ”Cultural Studies, Teori dan Praktek”, Kreasi Wacana, Jogjakarta, 2004.

Beilharsz, Peter, ”Teori-Teori Sosial, Observasi Kritis terhadap Para Filosof Terkemuka”.
            Pustaka Pelajar, Jogjakarta. 2005.

Bracher, Mark, Jacques Lacan, . Diskursus dan Perubahan Sosial, Pengantar Kritik
          Budaya  Psikoanalisis,  Jalasutra,  Yogyakarta. 2004

Crook, Stephen, “Social Theory and The Postmodern”, in George Ritzer and Barry Smart
         (eds), Hand Book of Social Theory, Sage Publication, London, 2001

Durham, Meenakshi Gigi, and   Kellner, Douglas M,.   Media and Cultural Studies.
           Blackwell Publishing, Oxford, 2005.

Harvey, Robert, ed., Afterwords: Essays in Memory of Jean-François Lyotard,. Stony
           Brook, NY: Humanities Institute, 2000.

Hicks, Stephen R. C. Explaining Postmodernism: Skepticism and Socialism from
           Rousseau to Foucault., Scholargy Publishing, 2004

Jameson, Fredric., Postmodernism, or The Cultural Logic of Late Capitalism, edited by
            Meenakshi Gigi Durham & Douglas M Kellner, Media and Cultural Studies
            Keyworks, Revised Edition, Blacwell Publishing, Oxford, 2005.

Lyotard, Jacques Francois., Toward the Postmodern, ed. Robert Harvey and Mark S.
            Roberts,  New Jersey: Humanities Press, 1993.
 
Ritzer, George,  Teori Sosial Postmodern, Juxtapose Jogjakarta, 2005.

Ritzer, George, and Goodman, Doglas J,.  Teori Sosiologi Modern, Edisi keenam,
           Kencana,  Jakarta, 2004.

Ritzer, George, and Smart, Barry,  Hand Book of Social Theory, Sage Publication,
           London 2001.

Robinson, Dave,. Nietzsche and Postmodernism, Icon Book UK, Totem Books USA
           1999

Sardar, Ziauddin, Thomas Kuhn and The Science War, Icon Boks UK, & Totem Books
           USA, 2000.

Williams, James, “Lyotard: Towards a Postmodern Philosophy”.,Cambridge: Polity
           Press, 1998.


JURNAL:

Mirchandani, Rika, Postmodernism and Sosiology: From The Epistimological to the
           Empirical,  in  Jurnal Sociological Theory, Volume 23, No 1 March 2005


INTERNET:

"http://en.wikipedia.org/wiki/Lyotard"


"http://en.wikipedia.org/wiki/Michel Foucault"


1. Ritzer, George, and Goodman, Doglas J, 2004, Teori Sosiologi Modern, Edisi keenam, Kencana Jakarta. Hal: 629
2 . Mirchandani, Rika, Postmodernism and Sosiology: From The Epistimological to the Empirical, dalam Jurnal Sociological Theory, Volume 23, No 1 March 2005 hal: 85-110.
3  Ibid : 109
4 Faucault, The Order of Things, Alan Sheridan, London: Pantherson, 1970, hal 353-4, dalam  Robinson, Seri Postmodern, Nitzsche dan Postmodernisme, Jendela, 2002 Hal : 48.
5 Ritzer, George, and Goodman, Doglas J, Op.Cit: Hal 620.
6 Ritzer, George,.  Teori-Teori Postmodern, Kreasi Wacana,  Yogyakarta, 2005: hal 94.
7 Ritzer, George, and Goodman, Doglas J, Op.Cit: Hal: 619.
8 Machandani, Op.Cit. Hal: 96.
9 Ibid, Hal: 109.
11 Barker, Chris, Cultural Sudies, Teori dan Praktek, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004 ; Hal: 16.
12 Robinson, Dave, Seri Posmodern, Nietzsche dan Posmodernisme, Jendela Yogyakarta, 2002 : Hal : 44.
13 Lihat Komentar Baudrillard “On the 9/11 Attack” dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Jean_Baudrillard.
14 Ritzer, George, and Goodman, Doglas J, Op.Cit: Hal: 648
15 Mirchandani, Op.Cit 109.
16 Lihat bagaimana Gane memahami Baudrillard sebagai teoritisi sekaligus mengkritiknya, dalam Ritzer, Op.Cit hal 134.

17 Ibid. Hal 135.
18   Ritzer, Op.Cit: hal:
19   Ibid, hal : 229.
20  Ibid, hal: 230.
21 Grig, Rassell, Jacques Lacan, dalam Peter Beilharz, Teori-teori Sosial, Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka, Pustaka Pelajar, 2005: hal: 251.
22 Ibid, hal 251.
23  Hart, Kevin, Jacques Derrida, dalam Peter Beilhartz Teori-teori Sosial, Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka, Pustaka Pelajar, 2005: hal: 75.
24 Ritzer, Op.Cit, hal: 209.
25 Mirchandani, Op Cit 109.
26 Ritzer & Goodman, Op.Cit hal: 631
27 Lihat Lyotard, The Postmodern Condition,  1979/1984 : 15,  dalam Ritzer, Op.Cit: hal: 217 
28 Ibid 217
29 Ibid,  19
30 Jameson, Fredric., Postmodernism, or The Cultural Logic of Late Capitalism, edited by Meenakshi Gigi Durham & Douglas M Kellner, Media and Cultural Studies Keyworks, Revised Edition, 2005, Blacwell Publishing 482-518.
31 Ritzer, Op.Cit : hal 296
32 Ibid, hal: 296
33  Jameson, Op.Cit: hal: 484.
34  Barker, Op.Cit: Hal: 163
35 Ritzer, Op.Cit: hal: 300.
36  Mirchandani, Op.Cit: Hal 109.
36  Barker, Op.Cit: hal: 151
37  Ritzer, Op.Cit: hal: 291-292
38 Crook, Stephen,  Social Theory and The Postmodern,  in George Ritzer and Barry Smart (eds), Hand Book of Social Theory, Sage Publication, 2001 : hal 309.
39 Ibid, hal: 311.
40 Durham & Kelnerr, Op.Cit :

41  Robinson, Op.Cit : hal : 2
42  Ibid, hal: 5
43  Ritzer, Op.Cit hal 41
44 Ibid, hal 42.
45 Ibid hal 45
46 Ibid, hal: 48
47 Ibid, hal: 49
48 Ibid, hal: 32
49 Sardar, Ziauddin, Thomas Kuhn and The Science War, Icon Boks UK, & Totem Books USA, 2000; 6