Jumat, 30 Desember 2016

“Faham Imperialisme Yang memelintir UUD ’45 Dengan Dalih Demokratisasi” Oleh: Henri Subiakto



Founding Father Republik ini ciptakan pasal 33 UUD 45 untuk lindungi kekayaan negeri ini dari "Jarahan" asing dan kerakusan kapitalis. Passl 33 UUD :  Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara. Menjadi shield law yang sulitkan kapitalis untuk menguasainya. Di masa Sukarno, pasal itu diwujudkan dengan "Berdikari" berdiri di atas kaki sendiri dengan menolak bantuan asing "Go to hell with your aids". Kekayaan Alam yang menggiurkan membuat  asing ingin masuk, tetapi selalu terpental dengan semangat bangsa saat itu yg didasari UUD 45. Barat terutama AS, ingin dongkel Sukarno, selain alasan politik didasari juga oleh keinginan eksploitasi kekayaan alam Indonesia yang berlimpah. Maka mereka diam-diam mendukung Soeharto untuk  turunkan Sukarno, skenario westernisasipun ikut membonceng gerakan pembangunan saat itu. Sejak itu, dilakukanlah skenario mereduksi isi UUD 45 salah satunya pasal 33, istilah "dikuasai oleh negara", dipelencengkan secara sistematis. Awalnya istilah Kekayaan Alam "dikuasai oleh Negara" itu pengertiannya negara punya otoritas meregulasi, beri izin, dan operasionalkan. Di masa Soeharto, pengertian "dikuasai oleh negara", direduksi, negara hanya meregulasi dan keluarkan izin, operasionalnya dipisah. Lewat pemikiran ekonom didikan Barat, maka swasta dan asingpun bisa masuk sebagai operator tambang dan sektor-sektor  lain yang tercakup di dalam pasal 33 UUD. Perusahaan Negara,  BUMN tak beda dengan  swasta, harus bersaing dengan asing, sama-sama cari profit, bukan lagi perpanjangan tangan negara. Sebagai regulator, negara adalah otoritas yang keluarkan ijin, tetapi di masa reformasi ada reduksi lagi atas pengertian "dikuasai oleh negara" ini. Awalnya Negara sebagai regulator itu hanya pemerintah dan DPR,  Reformasi munculkan "lembaga independen" wakili publik, yaitu komisi-komisi negara. Komisi negara dianggap sebagai  wakil publik, sebuah konsep baru yang lahir dari tradisi Barat yang berdasar falsafah indiviualisme. Munculah Lembaga publik baru sebagai regulator berdasar UU yang kelahirannya di masa reformasi banyak disupervisi LSM-LSM asing, Komisi negara sebagai regulator baru berwenang keluarkan izin menggeser peran negara, contohnya terjadi pada kemunculan BP Migas dan KPI. Walhasil frase "dikuasi oleh negara" yang awalnya izin dikeluarkan oleh pemerintah sebagai wujud negara, geser ke komisi yang wakili publik. Seakan publik itu sama dengan  rakyat, lalu para aktivis menyuarakan aktivitasnya sebagai "wakil" publik yang "independen" masuk ke Komisi-komisi negara.
Beda rakyat dengan publik? Rakyat itu kongkrit 240 juta, wakilnya dipilih lewat Pemilu. Publik itu abstrak, siapapun bisa klaim sebagai wakil publik. Rakyat disebut di UUD, publik berasal dari text book Barat. Rakyat keseluruhan WNI, publik itu atomisasi atau individualisasi rakyat. Dalam text Barat ada scarcity theory, anggap frekuensi itu public domain milik publik yang terbatas, maka harus diurus lembaga yang wakili publik.  Pemuja teori Barat ingin di negeri ini urusan frekuensi diserahkan pada lembaga wakil publik yaitu KPI,  Ini salah dan paksakan konsep asing. Dalam konstitusi UUD 45 pasal 33, Bumi air dan kekayaan alam di dalamnya dikuasai negara. Bukan oleh publik. Di UUD tidak ada istilah publik. Rakyat dan negara itu konsep yang dipakai pendiri bangsa, sebagai landasan perjuangan. Sedangkan istilah publik dipakai aktivis sebagai legitimasi mereka. Frekuensi itu bagian dari "Bumi, air dan kekayaan yang terkandung didalamnya" yang jelas-jelas dikuasai oleh negara, sekarang  mau menjadi milik publik?!
Negara itu jelas, yaitu Pemerintah dan Rakyat. Dalam Keputusan MK, untuk rezim perizinan Negara diwakili Pemerintah sebagai penyelenggara. Kalau publik itu abstrak, tidak jelas, keberadaannya tergantung isu yang muncul, sehingga publik adalah bagian masyarakat yang aktif dalam isu-isu tertentu. Rakyat itu seluruh WNI. Publik itu lebih ditentukan mereka yang aktif.  menurut pendekatan kritis, terjadi kooptasi elite aktivis terhadap orang banyak atau rakyat. Mempengaruhi rakyat, harus  garap 240 juta Warga Negara, tetapi mempengaruhi publik, bisa cukup pengaruhi para aktivis dan media yang sering dianggap suara publik. Lembaga asing dan funding internasional amat intens "garap" pemikiran para aktivis lewat konsep-konsep di text book. Karena mereka jadi  intinya publik  terjadi  percampurbauran antara persoalan hukum yang harusnya bersumber pada konstitusi dengan teori Barat dari text yang bersumber dari falsafah yang berbeda. Menjadi aneh saat publik yang hakekatnya untuk mengawasi dan  mengkritik, kok jadi berkuasa seperti pemerintah, meregulasi dan  memberi izin. Akhirnya tafsir pasal 33 UUD  45 yang dulunya  memberi kewenangan pada negara, digerus dan direduksi menjadi memberi kewenangan pada publik. Ini konsep Barat!
UUD 45 sebut "Bumi, Air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara”, termasuk frekuensi, sekarang frekuensi jadi milih publik? Hanya karena literatur Barat, frekuensi jadi milik publik, bukan lagi menjadi milik negara yang intinya rakyat dan pemerintah yang menjalankannya. Ini westernisasi UUD. Itu pergeseran konsep paling dasar dari pasal kunci kontitusi kita atas pengaruh literatur Barat dan pemikiran aktivis yg tercemar, Tak heran kalau setelah reformasi, asing terutama Barat makin merajalela kuasai Bumi, Air dan kekayaan alam di dalamnya. Bisa saja kita mengatakan, sekarang ini banyak oknum pemerintah yang korup, sehingga  layak kewenangannya dipreteli diberikan ke lembaga baru. Kalau itu masalahnya, ganti saja pemerintahnya, hukum oknum-oknumnya, tapi jangan hancurkan konsep negara, kecuali kita tak peduli konstitusi. Lagi pula Komisi Negara diberi kewenangan perizinan juga tidak menjamin lebih baik atau tidak korup, tapi itu jelas melanggar UUD 45 pasal 33. Saatnya negeri ini kembangkan konsep demokrasi sendiri yang berdasar konstitusi. Bukan ambil sistem asing yang hanya menguntungkan asing pula. Untuk kita yang cinta Indonesia dan bangga dengan keindonesiaan, saatnya kritis terhadap konsep yang berbau asing, jangan biarkan RI, menjadi Republik Impor. Asing tak semuanya buruk, tapi kalau sudah melanggar UUD 45, tidak bisa ditolerir, itu pasti pada akhirnya, hanya akan melemahkan negeri ini.

@HenrySubiakto | Januari 2014


Sabtu, 24 Desember 2016

Kebebasan Berpendapat Tidak Berarti Bebas Menuduh atau Bebas Memalsukan Fakta.


Sebenarnya UUD 1945 pasal 28 khususnya 28 E telah menjamin kepada warga negara untuk berhak meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nurani. Ini adalah jaminan konstitusi terhadap kebebasan berpendapat.
Sesuai prinsip demokrasi orang berpendapat memang tidak bisa dihukum. Tidak bisa hanya karena pendapat dianggap salah, orang yang berpendapat itu lalu dihukum. Seburuk apapun dari suatu pendapat, atau tidak menyenangkan sekalipun itu bagian dari hak berpendapat.
Repotnya, banyak orang tidak bisa membedakan apa itu pendapat, dan apa itu penghinaan, pencemaran nama baik hingga fitnah. Banyak orang mencampuradukkannya. Ada orang memfitnah tapi berlindung, atau dilindungi seakan itu adalah kebebasan berpendapat. Mana ada di dunia ini orang bebas memfitnah.
Berpendapat atau beropini itu berarti menyampaikan sikap secara verbal terhadap sesuatu, berupa hasil evaluasi atau penilaian setuju tidak setuju, suka tidak suka, mendukung tidak mendukung, percaya tidak percaya, baik tidak baik, gagal atau berhasil, mengecewakan atau memuaskan, dll. itu semua adalah contoh opini.
Beda dengan perbuatan menghina. Penghinaan itu cukup luas mencakup yang lain, dari penghinaan ringan, penghinaan lewat mencemarkan nama baik, hingga fitnah. Orang dianggap melakukan penghinaan jika punya niat buruk menghancurkan nama baik seseorang, menjatuhkan kehormatan.
Salah satu bentuk penghinaan adalah pencemaran nama baik yaitu saat seseorang sudah menuduh seseorang melakukan suatu perbuatan, padahal orang tersebut tidak melakukannya. Kalau tuduhan buruk itu dibuktikan ternyata salah, pelaku sengaja memalsukan fakta atau membuat tuduhan tidak berdasar itulah fitnah.
Hati-hatilah dengan pencemaran nama baik dan fitnah, jangan memalsukan fakta atau menuduh orang tanpa dasar. Memfitnah dan mencemarkan nama baik diancam hukuman pidana. Sedangkan berpendapat itu bagian dari hak kita semua warga negara.
Mengatakan seseorang itu bodoh, atau goblok, walau menyakitkan itu bagian dari kebebasan berpendapat. Tapi menuduh seseorang menipu, mencuri itu bukan opini melainkan masuk ke ranah pencemaran nama baik, hingga fitnah jika yangg dituduhkan bukan sebuah fakta. Maka berhati-hati lah memilih kata-kata dan kalimat. Bedakan opini dan tuduhan.

Henry Subiakto

Kamis, 22 Desember 2016

MENGURANGI KECEPATAN MENUJU "KIAMAT


Kemana arah sejarah kehidupan manusia? Apakah sejarah itu berputar seperti roda, ada pola pengulangan? Atau apa sejarah itu ditentukan oleh tokoh-tokoh besar, dimana hitam putihnya kehidupan itu tergantung para tokoh?
Semua bisa benar, tetapi pada dasarnya sejarah itu menuju pada titik tertentu. Sebagaimana kehidupan juga menuju pada titik tertentu. Teori Marxis menunjukkan titik arah sejarah adalah revolusi proletariat, dimana kaum proletar yg tertindas melakukan revolusi mengambil alih penguasaan kapital dan asset assetnya dari tangan para kapitalis, lalu terjadi sama rata sama rasa. Komunisme muncul sebagai Pemenang. Tapi teori ini dianggap salah dan tidak terbukti.
Kemudian ada teori strutural lain, yang menganggap sejarah itu nuju titik tertentu tapi bukan revolusi proletar melainkan titik di mana masyarakat menjadi semakin bebas atau liberal, demokratis, dan menjunjung tinggi HAM. Demokrasi Kapitalis Barat menjadi pemenang pertarungan ideologi di akhir sejarah manusia. Inilah yg diyakini Fracis Fukuyama, dengan tesisnya The End of History (1992).
Para tokoh besar dalam hal ini hanya berperan mempercepat proses sejarah, atau menghambatnya menuju titik itu. Gus Dur, Amin Rais dan tokoh reformasi 98 yg lain misalnya, mereka hanya mempercepat proses demokratisasi di Indonesia. Sedangkan Sadam Husein, dia menghambat proses demokrasi di negaranya. Mereka hanya mempercepat atau menghambat, bukan yang menentukan arah sejarah. Salah satu penentu arah sejarah menuju titik kebebasan tersebut justru Teknologi Komunikasi dan nilai yang dibawanya. Teknologi Komunikasi telah menjadi determinan penentu orang menjadi lebih liberal, lebih bebas berekspresi, membutuhkan demokrasi hingga penghargaan perbedaan individu atau HAM.
Sekarang fenomena kebebasan seperti itu semakin terasa, lewat TIK semua orang bisa bicara apa saja, mengirimkan informasi apa saja yang diinginkan. Manusia begitu mudah mengkritik bahkan menghancurkan yang lain lewat gadget TIK nya. Kebebasan sedang menuju pada titik ekstrim. Bahkan moralitas banyak mengalami kemerosotan karena liberalisme model Barat yang menjunjung HAM.
Dalam perspektif agama, kehidupan manusia juga menuju pada titik tertentu yaitu entropi, kehancuran, kematian, kiamat. Tanda-tanda kiamat konon adalah kerusakan sosial, manusia bebas melakukan apa saja atas nama hak azasi. Pornografi marak, kebebasan sex dianggap hak, LGBT disamakan dengan keragaman, penghormatan pada orang tua menghilang, agama-agama langit tak dihormati, kemunafikan dipamerkan, manusia makin terjauh dari moralitas. Inilah keadaan tanda-tanda mendekati kiamat.
Keadaan bebas yang merusak itu salah satunya karena kebebasan dalam menggunakan TIK. Teknologi komunikasilah yang mendorong kondisi liberal seperti itu. Dalam kondisi semacam ini ada dua pandangan dalam melihat penggunaan Teknologi Komunikasi. Padangan pertama, adalah kaum liberalis yang menginginkan tidak diaturnya penggunaan Internet atau TIK.
Pandangan kedua adalah kalangan instrumentalis yang menginginkan teknologi internet atau TIK itu lebih diarahkan penggunaannya untuk sarana-sarana yang produktif, bukan kebebasan yang merusak.
Disitulah kemudian, terjadi pengkubuan dalam menggunakan dan mengatur internet. Kubu liberalis berprinsip net netrality, internet (TIK) tidak usah di atur atur, biarkan bebas, biar manusia yang menentukan pilihan penggunaannya.
Kubu kedua, internet itu dunia massa depan anak cucu kita, waktu dan aktivitas mereka akan di habiskan di dunia maya, sehingga harus diatur agar penggunaannya lebih produktif atau tidak banyak membawa kerusakan, disitulah lalu muncul UU ITE misalnya. Yang melarang penyebaran pornografi, judi, kebencian pada Agama, Fitnah atau pencemaran nama baik dsb.
Sekarang kemana kita harus bersikap? Mendukung kebebasan liberalisasi internet tanpa aturan, berarti mempercepat kerusakan sosial? Atau mendukung diterapkannya aturan di internet (penegakkan UU ITE) untuk mengurangi sisi negatif atau daya rusak internet, yang berarti mengurangi pula kecepatan menuju kiamat. Anda mendukung yang mana?

Henry Subiakto
 

Senin, 19 Desember 2016

Awas Media Manipulator!



Sekarang di sektor komunikasi, khususnya media online, terdapat orang-orang bayaran (professional communicator) yang kerjaannya membuat berita dengan memalsukan fakta dan meme-meme pendukung. Mereka dibayar untuk memproduksi pesan untuk mendistorsi dan memanipulasi informasi yang ada di masyarakat agar menciptakan opini publik bahkan gerakan politik sesuai pesanan aktor politik yang berkepentingan di belakang layar. Bahkan ditengarai dana asingpun banyak mengalir utk menciptakan keadaan tertentu sesuai kepentingan mereka.
Fakta-fakta palsu pesanan politik itu kemudian diberitakan serentak dan terus menerus di beberapa media online abal abal jaringan mereka, kemudian dishare oleh para buzzer yg sudah disiapkan sebagai pasukan siber.
Di Amerika Serikat komunikator profesional dibayar untuk bikin media abal-abal di internet untuk dishare dan dibenarkan oleh teman-teman buzzernya sudah cukup lama. Ryan Holiday menulis pengakuannya dalam buku "Trust me I am lying, The confession of an media manipulator" (2012). Pengalaman Ryan inilah yg kemudian dicontoh dan dikembangkan di Indonesia. Sekarang media dan akun abal-abal jadi marak, membiaskan informasi di media sosial.
Di masyarakat kita berita palsu yg sensasional, beserta meme buatan itu justru dianggap menarik dan disukai, bahkan dianggap fakta yg harus dishare. Banyak warga masyarakat tidak  peduli asal, sumber, kualitas apalagi kebenaran informasi yg mereka terima tersebut. Mereka yg punya sikap tidak kritis lalu begitu gemar ikut menyebarkan dan membagikan ke relasinya karena menganggap info-info palsu itu adalah A1. Sehingga informasi-informasi buruk yg tidak benar tersebut lalu menjadi words of mouth yg laris dan terus saja disebarkan.
Terjadilah Ten Ninety Communication, komunikasi 10 : 90. Dimana hasil penyebaran komunikasi itu, justru 90% dilakukan suka rela oleh masyarakat yg suka pada informasi palsu itu. Sedang pelaku komunikasi politik yg sesungguhnya hanya melakukan 10% saja. Tapi hasilnya bisa menjadi kekuatan besar karena didukung "ketidaktahuan" masyarakat yg ikut menyebarkannya. Lewat mass self communication, informasi palsu itu tersebar, bahkan juga dikonfirmasi atau diperkuat oleh media abal abal lain yg memiliki misi senada.
Hasilnya banyak informasi palsu dianggap sebagai kebenaran oleh publik. Saat informasi itu makin banyak dishare dan dibahas, maka orang-orang yg tidak sependapat, atau kritis pada kasus-kasus cenderung diam, karena menghindari "keributan". Lama-lama suara yang membenarkan informasi palsu tersebut bisa mendominasi media sosial. Karena mereka yang tidak setuju cenderung makin diam (silent). Mereka khawatir sedang menghadapi "suara mayoritas" (padahal tidak, itu hanya persepsi). Disitulah kemudian informasi palsu tersebut, tidak hanya dianggap sebagai suara mayoritas, tapi juga menjadi nilai-nilai yang meresap dan mempengaruhi sikap politik.
Itulah kekuatan propaganda komunikasi lewat media sosial yang menciptakan Spiral of Silence atau istilah Jermannya Die Schweigerspirale. Kurban2nya tidak sadar karena banyak yang isi propaganda tersebut sesuai dengan predisposisi atau kecenderungan sikap mereka sebelum diterpa informasi palsu itu.
Idealnya, memang harus ada counter propaganda yang mengungkap fakta-fakta. Sayangnya gerakan kebaikan sering "kalah" dengan yang negatif. Maka salah satu cara menangkalnya adalah, dengan tidak membiarkan kita menjadi korban propaganda politik yang akan memporak porandakan negeri ini. Saatnya setiap memperoleh informasi negatif, dicheck dulu siapa sumbernya? Terpercaya atau tidak? Kemudian dicheck isinya logis apa tidak? Apa isinya berbasis suudzon atau khusnudzon? Kalau justru mudzarotnya lebih banyak, sebaiknya tidak usah kita ikut-ikut ngeshare informasi yang isi dan sumbernya tidak jelas. Kecuali kita sendiri memang bagian dari orang-orang yang mengharapkan kekacuan dan kehancuran negeri ini. Tapi apakah niat kita seburuk itu? Saya yakin tidak.

Henry Subiakto