Founding
Father Republik ini ciptakan pasal 33 UUD 45 untuk lindungi kekayaan negeri ini
dari "Jarahan" asing dan kerakusan kapitalis. Passl 33 UUD : Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai negara. Menjadi shield law yang sulitkan kapitalis untuk
menguasainya. Di masa Sukarno, pasal itu diwujudkan dengan "Berdikari"
berdiri di atas kaki sendiri dengan menolak bantuan asing "Go to hell with
your aids". Kekayaan Alam yang menggiurkan membuat asing ingin masuk, tetapi selalu terpental
dengan semangat bangsa saat itu yg didasari UUD 45. Barat terutama AS, ingin
dongkel Sukarno, selain alasan politik didasari juga oleh keinginan eksploitasi
kekayaan alam Indonesia yang berlimpah. Maka mereka diam-diam mendukung
Soeharto untuk turunkan Sukarno,
skenario westernisasipun ikut membonceng gerakan pembangunan saat itu. Sejak
itu, dilakukanlah skenario mereduksi isi UUD 45 salah satunya pasal 33, istilah
"dikuasai oleh negara", dipelencengkan secara sistematis. Awalnya
istilah Kekayaan Alam "dikuasai oleh Negara" itu pengertiannya negara
punya otoritas meregulasi, beri izin, dan operasionalkan. Di masa Soeharto,
pengertian "dikuasai oleh negara", direduksi, negara hanya meregulasi
dan keluarkan izin, operasionalnya dipisah. Lewat pemikiran ekonom didikan
Barat, maka swasta dan asingpun bisa masuk sebagai operator tambang dan sektor-sektor lain yang tercakup di dalam pasal 33 UUD. Perusahaan
Negara, BUMN tak beda dengan swasta, harus bersaing dengan asing,
sama-sama cari profit, bukan lagi perpanjangan tangan negara. Sebagai regulator, negara adalah
otoritas yang keluarkan ijin, tetapi di masa reformasi ada reduksi lagi atas
pengertian "dikuasai oleh negara" ini. Awalnya Negara sebagai
regulator itu hanya pemerintah dan DPR, Reformasi munculkan "lembaga
independen" wakili publik, yaitu komisi-komisi negara. Komisi negara
dianggap sebagai wakil publik, sebuah
konsep baru yang lahir dari tradisi Barat yang berdasar falsafah indiviualisme.
Munculah Lembaga publik baru sebagai regulator berdasar UU yang kelahirannya di
masa reformasi banyak disupervisi LSM-LSM asing, Komisi negara sebagai regulator baru berwenang keluarkan
izin menggeser peran negara, contohnya terjadi pada kemunculan BP Migas dan
KPI.
Walhasil frase "dikuasi oleh negara" yang awalnya izin dikeluarkan
oleh pemerintah sebagai wujud negara, geser ke komisi yang wakili publik.
Seakan publik itu sama dengan rakyat,
lalu para aktivis menyuarakan aktivitasnya sebagai "wakil" publik
yang "independen" masuk ke Komisi-komisi negara.
Beda rakyat dengan publik? Rakyat itu kongkrit 240 juta,
wakilnya dipilih lewat Pemilu. Publik itu abstrak, siapapun bisa klaim sebagai
wakil publik. Rakyat disebut di UUD, publik berasal dari text
book Barat. Rakyat keseluruhan WNI, publik itu atomisasi atau individualisasi
rakyat. Dalam text Barat ada scarcity theory, anggap frekuensi itu public
domain milik publik yang terbatas, maka harus diurus lembaga yang wakili
publik. Pemuja teori Barat ingin di
negeri ini urusan frekuensi diserahkan pada lembaga wakil publik yaitu
KPI, Ini salah dan paksakan konsep
asing. Dalam konstitusi UUD 45 pasal 33, Bumi air dan kekayaan alam di dalamnya
dikuasai negara. Bukan oleh publik. Di UUD tidak ada istilah publik. Rakyat dan
negara itu konsep yang dipakai pendiri bangsa, sebagai landasan perjuangan.
Sedangkan istilah publik dipakai aktivis sebagai legitimasi mereka. Frekuensi
itu bagian dari "Bumi, air dan kekayaan yang terkandung didalamnya"
yang jelas-jelas dikuasai oleh negara, sekarang
mau menjadi milik publik?!
Negara itu jelas, yaitu
Pemerintah dan Rakyat. Dalam Keputusan MK, untuk rezim perizinan Negara
diwakili Pemerintah sebagai penyelenggara. Kalau publik itu abstrak, tidak
jelas, keberadaannya tergantung isu yang muncul, sehingga publik adalah bagian
masyarakat yang aktif dalam isu-isu tertentu. Rakyat itu seluruh WNI. Publik
itu lebih ditentukan mereka yang aktif. menurut pendekatan kritis, terjadi kooptasi elite
aktivis terhadap orang banyak atau rakyat. Mempengaruhi rakyat, harus garap 240 juta Warga Negara, tetapi mempengaruhi
publik, bisa cukup pengaruhi para aktivis dan media yang sering dianggap suara publik.
Lembaga asing dan funding internasional amat intens "garap" pemikiran
para aktivis lewat konsep-konsep di text book. Karena mereka jadi intinya publik terjadi percampurbauran antara persoalan hukum yang harusnya
bersumber pada konstitusi dengan teori Barat dari text yang bersumber dari
falsafah yang berbeda. Menjadi aneh saat publik yang hakekatnya
untuk mengawasi dan mengkritik, kok jadi
berkuasa seperti pemerintah, meregulasi dan memberi izin. Akhirnya tafsir pasal 33 UUD 45 yang dulunya memberi kewenangan pada negara, digerus dan
direduksi menjadi memberi kewenangan pada publik. Ini konsep Barat!
UUD 45 sebut
"Bumi, Air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara”,
termasuk frekuensi, sekarang frekuensi jadi milih publik? Hanya karena
literatur Barat, frekuensi jadi milik publik, bukan lagi menjadi milik negara
yang intinya rakyat dan pemerintah yang menjalankannya. Ini westernisasi UUD. Itu
pergeseran konsep paling dasar dari pasal kunci kontitusi kita atas pengaruh
literatur Barat dan pemikiran aktivis yg tercemar, Tak heran kalau setelah reformasi,
asing terutama Barat makin merajalela kuasai Bumi, Air dan kekayaan alam di
dalamnya. Bisa saja kita mengatakan, sekarang ini banyak oknum pemerintah yang
korup, sehingga layak kewenangannya
dipreteli diberikan ke lembaga baru. Kalau itu masalahnya, ganti saja
pemerintahnya, hukum oknum-oknumnya, tapi jangan hancurkan konsep negara,
kecuali kita tak peduli konstitusi. Lagi pula Komisi Negara diberi kewenangan
perizinan juga tidak menjamin lebih baik atau tidak korup, tapi itu jelas melanggar
UUD 45 pasal 33. Saatnya negeri ini kembangkan konsep demokrasi sendiri yang
berdasar konstitusi. Bukan ambil sistem asing yang hanya menguntungkan asing
pula. Untuk kita yang cinta Indonesia dan bangga dengan keindonesiaan, saatnya
kritis terhadap konsep yang berbau asing, jangan biarkan RI, menjadi Republik
Impor. Asing tak semuanya buruk, tapi kalau sudah melanggar UUD 45, tidak bisa
ditolerir, itu pasti pada akhirnya, hanya akan melemahkan negeri ini.
@HenrySubiakto | Januari 2014