Awal
Juli lalu saya sudah menganalisis bahwa cawapres Jokowi yang paling bisa
diterima partai-partai adalah KH Ma`ruf Amin. Analisis saya bukan karena
kebetulan saya mengenal beliau sejak musim Haji 2008, saat hampir sebulan kami
bersama di Wisma Indonesia di Aziziyah Mekkah.
Kiai Ma`ruf saat itu
Wantimpres, menjadi Naib Amirul Hajj, dan saya anggota yang tugasnya
mengarahkan Media Center Haji. Tapi memang kenyataannya tokoh ini bisa jadi
pemersatu umat.
Hari Rabu, tanggal 8
Agustus pagi kemarin saya dapat selamat dari "orang dalam" bahwa
senior sekaligus kolega saya, Prof Mahfud MD dikabarkan positif akan menjadi
cawapres Pak Jokowi.
Kamis pagi, untuk
konfirmasi, saya telepon teman lain yang dulu kuliah di UII yang sekarang
menjadi petinggi dan tim pendukung Pak Mahfud. Teman ini membenarkan bahwa Pak
Jokowi sudah memilih Mahfud dan tinggal sorenya deklarasi.
Saya sebenarnya
ragu-ragu, mana mungkin para ketum partai-partai itu menerima Pak Mahfud yang
jelas-jelas populer, pintar dan berpotensi menjadi Capres 2024. Tapi karena
yang memberi tahu orang-orang dalam, saya mencoba menekan logika saya.
Beberapa stasiun TV,
media dan medsos kemarin sudah yakin yang akan dideklarasikan, adalah pasangan
Jokowi-Mahfud. Namun detik-detik terakhir sebagaimana kita ketahui skenario itu
berubah. Jokowi mengumumkan pasangannya untuk maju adalah Prof. Dr KH Ma`ruf
Amin.
Jokowi yang sudah
bertemu Mahfud MD, sudah memintanya untuk menyiapkan baju dan lain-lain, sore
kemarin itu, harus menerima keberatan Cak Imin, Romi, dan Airlangga Hartarto.
PKB, PPP dan Golkar "mengancam" akan keluar dari koalisi jika Pak
Jokowi memilih Mahfud MD.
Tentu saja kalau ini
terjadi akan tidak bagus, karena mereka akan membuat poros ketiga bersama SBY
dan Partai Demokrat. Bisa memajukan Jenderal Gatot dan wakilnya dari mereka.
Belum lagi NU juga ikut tidak setuju dengan Mahfud MD.
Memang Cak Imin sejak
awal getol menolak profesor yang dekat dengan Gus Dur dan keluarganya ini. Cak
Imin tentu khawatir kalau Prof Mahfud jadi wapres, nantinya berpotensi akan
merebut PKB dari tangannya.
Kekhawatiran itu mampu
diperluas hingga PB NU dan partai lain. Bagi mereka tahun 2024 Mahfud MD dari
Wapres bisa maju capres. Itu berarti "mengancam" keinginan dan
kepentingan para ketua partai menjadi capres juga.
Akhirnya penolakan
inilah yang berhasil memperkuat posisi Kiai Ma`ruf. Karena diyakini Kiai Ma`ruf
tidak akan menjadi pesaing di 2024.
Pak Jokowi pun
mengalah, dan menerima KH Ma`ruf Amin. Pertimbangannya untuk menjaga soliditas
koalisi, menutup munculnya poros ketiga, sekaligus sebagai upaya menepis SARA.
Apalagi Kiai Ma`ruf juga seorang profesor doktor juga, Rois Am PB NU, pernah
jadi anggota DPR, pernah jadi Wantimpres, Komisaris Bank Syariah dan ketua MUI.
Artinya, beliau juga profesional.
Pak Mahfud memang
sempat menguat jadi bakal calon wapres, tapi bukan partai yang memperjuangkan,
melainkan relawan yang membawa dan menyodorkan Prof. Mahfud ke Jokowi. Para
relawan memilih Prof. Mahmud karena kualitas "track record" dan
penerimaan publik.
Persoalannya partai
partai merasa dilewati dengan proses ini, terutama PKB, PPP dan Golkar. Kalau
partai Nasdem mendukung Pak Mahfud. Itulah dinamikanya yang kemudian kemarin
sore Presiden Jokowi dihadapkan pada dilema yang harus dia pilih. Jadilah "drama
politik" menjelang Maghrib.
Sekarang dengan
pencalonan Jokowi-Ma`ruf, sembilan partai pendukung solid. Isu SARA menjadi
tidak relevan. Masa' ketua umum MUI mau diserang? kurang Islami.
Jokowi kali ini tak
hanya mendengar fatwa ulama, tapi malah menggandeng ulama untuk memimpin
negara. Dengan menggandeng Kiai Ma`ruf berarti Jokowi yang identik sebagai
tokoh nasionalis, telah menggandeng simbol umat Islam, termasuk tokoh utama
yang ikut mengeluarkan fatwa hingga memunculkan Gerakan 212.
Ini tak lain merupakan
upaya politik menolak SARA, sekaligus penyatuan umat yang terbelah, atau usaha
menghilangkan sekat politik identitas. Apa yang terjadi ini juga menjadi bukti
betapa parahnya politik berbasis SARA di Indonesia.
Diharapkan, dengan
hilangnya politik identitas, kontestasi Pilpres 2019-2024 lebih menitikberatkan
pada adu program dan kompetensi. Persoalannya sanggup dan siapkah mereka
menjadi demikian, setelah sekian lama biasa menggunakan politik identitas? Kita
lihat saja nanti.
Henry Subiakto