Selasa, 24 April 2012

PROBLEMA WARTAWAN BERPOLITIK


Oleh: Henry Subiakto
(Dosen Pascasarjana Studi Media dan Komunikasi Unair)



Di era reformasi ini, salah satu pekerjaan yang paling “menggiurkan” adalah menjadi politisi. Dengan duduk di lembaga legislatif, atau eksekutif, dalam waktu relatif singkat, nasib, status, popularitas, dan kesejahteraan mereka bisa berubah drastis.  Kalau profesi atau pekerjaan lain banyak yang terpuruk oleh krisis, menjadi politisi justru tak jarang dijumpai cerita  keberhasilan.  Cerita fantastis tentang mobilitas vertikal para anggota parlemen, kepala daerah, dan elite politik, sering terdengar begitu menarik dan dramatis. Tak pelak banyak orang “bermimpi“  ingin menjadi politisi yang sukses.
Mahnit “manisnya“ kekuasaan politik di negeri ini memang luar biasa, sehingga tak heran banyak orang dari berbagai latar belakang ingin menjadi politisi, ikut partai dan pemilu. Tidak hanya para pengangguran, atau mereka yang gak jelas pekerjaannya yang tertarik. Profesi terhormat seperti pengacara, dosen, insinyur, guru, dokter, pemuka agama, akuntan, notaris, artis, dan wartawan-pun, tak sedikit yang tergiur ingin “mengadu nasib“ di dunia politik.
Seakan mereka melupakan kemuliaan profesinya. Lalu ikut larut dalam arus politik praktis yang dianggap lebih menjanjikan keuntungan. Bagi profesi yang tak berkait langsung dengan kekuasaan, mungkin tak begitu masalah. Sebab ikut partai politik memang hak setiap  warga negara. Undang-undang dan kode etik profesi apapun, tidak ada yang melarang anggotanya masuk parpol atau menjadi politisi.
Tapi bagi insan-insan media massa, para wartawan, sebenarnya ada problema tersendiri. Menjadi politisi untuk wartawan jelas-jelas melanggar etika paling dasar dari profesi jurnalis. Alasannya, wartawan merupakan profesi yang tugasnya melakukan kerja jurnalistik, yaitu mencari, mengumpulkan, dan menyampaikan berita.  Dalam  menjalankan tugasnya, kewajiban jurnalisme adalah mengungkap kebenaran, loyalitas pada publik,  disiplin verifikasi, menjaga independensi dari sumber berita, dan berlaku sebagai pemantau kekuasaan (Bill Kovacht, & Tom Rosenstiel, 2003: 6). Karena itu media disebut sebagai the fourth estate of democracy, pilar keempat demokrasi  melengkapi   eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Melalui penyampaian berita dan opini, media  melakukan fungsi kontrol dan kritik terhadap kekuasaan. Tujuannya  agar penguasa lebih hati-hati, bersih, cerdas dan bijaksana. Fungsi kontrol dan kritik inilah yang merupakan karateristik utama institusi media, sekaligus karakteristik kerja wartawan. Justru salah  secara konseptual, bila wartawan itu bekerja sama dengan penguasa, apalagi menjadi penguasa. Karena masing-masing memiliki fungsi yang berbeda. Penguasa menjalankan roda kekuasaan, sedangkan wartawan melalui medianya melakukan kontrol dan kritik, agar roda kekuasaan berjalan pada rel yang benar.
Orang masuk partai politik, tujuannya tentu mencari kekuasaan, baik itu di legislatif, maupun eksekutif, tak terkecuali wartawan. Lalu bagaimana dia bisa  melakukan kontrol dan kritik terhadap kekuasaan, jika dia sendiri menjadi bagian dari kekuasaan atau pemain dalam politik. Pasti terjadi conflict of interest. Makanya harus dihindari. Seorang wartawan yang masuk partai politik, hendaknya melepaskan profesinya sebagai jurnalis. Secara moral tidak mungkin dua profesi yang mempunyai fungsi berbeda dijalankan  secara bersama-sama. Karena sebagai politisi yang baik, dia harus memperjuangkan kepentingan partai, atau idiologi yang mendasarinya. Sedang sebagai wartawan yang baik, dia hendaknya bisa diterima dan dipercaya semua pihak, bukan hanya oleh partai yang didukung, atau orang seidiologi.
Dalam alam kapitalistik, memang fungsi media massa tidak sekadar memberikan informasi. Ada fungsi lain, seperti hiburan dan pendidikan. Namun filosofi keberadaan institusi media, senantiasa bermuara pada upaya melakukan civic empowerment. Yaitu memperkuat dan mendukung warga negara untuk menjadi independen, dan mampu memainkan peran demokratiknya secara signifikan.
Makanya amat memprihatinkan kalau banyak wartawan sampai berprofesi ganda, merangkap sebagai politisi. Apalagi media massanya digunakan sebagai alat politik untuk mencapai atau mendukung kekuasaan. Kalau ini terjadi, berarti mereka telah melakukan pembiasan terhadap hakekat fungsi media dalam sistem demokrasi.
  Memang tidak ada satupun pasal dalam Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang melarang. Namun, tidak berarti tindakan itu  etis. Harus dibedakan antara etika dengan kode etik. Etika merupakan filsafat yang melakukan kajian tentang moralitas.  Etika memberikan penekanan pada tindakan manusia, agar ada kesadaran moral, dan bersusila. Sedangkan kode etik, hanyalah  bagian kecil dari etika yang dirumuskan oleh organisasi profesi tertentu untuk membantu anggotanya memahami etika yang abstrak, supaya lebih kongkrit. Tapi tidak semua masalah etika  terumus dalam kode etik. Dan yang penting, sesuatu yang tidak diatur kode etik, bukan jaminan tindakan itu etis. Bagaimana dikatakan etis kalau seseorang melakukan dua fungsi yang bertentangan, hanya untuk kepentingan atau keuntungan pribadinya?
Media yang wartawannya berpolitik akan menghadapi problem netralitas. Dalam pemberitaan akan sering kesulitan memisahkan antara fakta dengan opini pribadi. Sadar maupun tidak sadar kepentingan politiknya akan berpengaruh terhadap mekanisme pemberitaan yang mereka lakukan. Bagaimana seorang wartawan yang berpolitik bisa mengambil jarak yang sama dengan nara sumber yang berasal dari teman satu partai atau pimpinan partainya, dibanding orang-orang dari partai lawan politiknya? Bagaimana bisa netral dalam ajang kompetisi politik, kalau dia sendiri bagian dari pemain?
 Memang ada pendapat, wartawan akan senantiasa berusaha netral karena ada tuntutan etika. Kalaupun hal itu dianggap bisa dilakukan, apakah kira-kira masyarakat akan percaya, mereka bisa netral?  Ingat, kredibilitas itu ditentukan oleh penerima. Simak pernyataan Lisa Schnellinger, dalam Free and Fair A Journalist’s Guide to Improved  Election Reporting in Emerging Democracies (2001:10) “the public willl measure the believeability of the news you report, and your actions will be under scrutiny as well.”  Masyarakat akan mengukur tingkat kepercayaannya pada berita yang anda laporkan dipengaruhi oleh aktivitas keseharian anda. Nah kalo aktivitas keseharian “grudak-gruduk” ikut partai, atau mencalonkan diri,  ya jangan diharap masyarakat percaya netralitasnya.
  Apalagi kalau kepentingan politik itu sampai dituangkan ke dalam kebijakan keredaksionalan, maka media yang demikian sudah partisan.  Tidak netral, dan tidak imbang. Pemberitaan yang secara by design tidak menyajikan seluruh points of view,  sesungguhnya telah membohongi dan merugikan publik.
 Jelas, media yang demikian telah melakukan pelangggaran etika yang berat. Terlebih jika dilakukan oleh media elektronik, seperti TV dan radio. Mereka bisa dikatagorikan melakukan “kejahatan”. Karena telah menyalahgunakan kepercayaan penggunaan frekuensi, yang merupakan public domein. Frekuensi adalah sumberdaya yang terbatas milik negara, milik rakyat, atau publik. Yang harus digunakan untuk kepentingan, kebutuhan, dan kesenangan publik. Stasiun penyiaran hanya kebetulan dipercaya menggunakannya. Tapi  kalau kemudian siarannya digunakan untuk menyokong kekuatan politik tertentu, jelas mengingkari publik yang beragam. Publik sebagai pemilik frekuensi berasal dari latar belakang yang memiliki beragam idiologi, suku, partai, maupun agama. Karenanya media penyiaran mutlak dituntut fairness.
Itulah yang mendasari mengapa FCC, komisi penyiaran AS pernah menetapkan “Fairness Doctrine” pada program berita. Yaitu segala pemberitaan yang menyangkut isu kontroversial harus berimbang, dan mengikuti azas imparsialitas. Bahkan hal demikian juga dituangkan dalam US Communication Act, Section 315, yang mengatakan; “broadcasters to provide equal access to the airways for political candidates during elections campaigns”.   Begitu pula ITC, komisi penyiaran TV di Inggris, dalam aturan terbarunya yang dikeluarkan September 2002, di section 3, juga memuat ketentuan tentang Impartiality.  Sebagian di antaranya mengatakan;  Impartiality does not means that broadcasters have to be absolutely neutral on every controversial issue, but they should deal even handedly with opposing points of view. Opinion should be clearly distinguished from fact.  Equal time must be given to each opposing point of view.
Persoalannya,  Indonesia memang  bukan Amerika atau Inggris. Di negeri ini jangankan pelanggaran etika, pelanggaran hukum yang jelas-jelas merugikan negara milyaran rupiah-pun  bisa aman tentram dan damai. Dan tidak ada yang merasa bersalah.

INTERNATIONAL PUBLIC RELATIONS DI ERA GLOBALISASI


Oleh:
Henry Subiakto*
Perkembangan teknologi telah mengubah dunia. Dulu tak ada orang membayangkan, dunia yang begitu luas akan menjadi desa global (global village). Tahun 1964 ketika Marshall Mc Luhan mengemukakan konsep barunya itu dalam buku Understanding Media, banyak orang yang sulit mengerti konsepsi global village tadi. Tapi sekarang, globalisasi memang benar-benar kenyataan. Penduduk Dunia saling berhubungan semakin erat hampir di semua aspek kehidupan. Dari bertukar informasi, budaya, perdagangan, investasi, pariwisata, hingga persoalan pribadi, ataupun aspek kehidupan lain.
Semakin nyata perkembangan teknologi komunikasi secara signifikan berimbas ke berbagai sektor, salah satunya dunia perdagangan. Sekarang perdagangan global mengalami peningkatan yang amat signifikan seiring perkembangan teknologi komunikasi. Sebagai ilustrasi, selama 1973 hingga 1995 telah terjadi lonjakan besar volume perdagangan dunia. Bagi negara berkembang misalnya, pada tahun itu perdagangan barang melonjak dari 6,6% menjadi 24,7%. Tapi yang lebih fantastis terjadi pada perdagangan valuta asing di dunia. Dari 1 milyar US perhari menjadi 1,2 trilyun US perhari (Craft, 2000). Sekarang omzet pasar uang dunia berlipat-lipat jauh lebih besar dari perdagangan ekspor impor barang. Tahun 1986 saja sudah 25 kali lipat dari perdagangan barang. Tahun 2000 diperkirakan sudah melebihi 100 kali lipat. Begitu pula jika diperbandingkan dengan dana yang dimiliki oleh lima Bank Sentral terbesar di dunia (Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Jepang dan Swiss). Pelaku pasar uang memiliki dana dua kali lebih besar dibanding cadangan devisa lima bank sentral itu (I Wibowo, Kompas, 3 Mei, 2002). Jadinya kondisi ekonomi dunia sekarang ini amat rapuh dipengaruhi oleh perilaku kapitalis pelaku pasar uang. Atau secara konseptual, the power of capital telah jauh melampaui the power of state dalam perekonomian global saat ini (Keliat, 1997, 25).
Banyak kajian menunjukkan, seringnya krisis ekonomi melanda berbagai negara di dunia akhir-akhir ini (Indonesia, Argentina, Kolombia yang terparah) dikarenakan liberalisasi ekonomi, khususnya perkembangan pasar modal dan pasar uang (Sachs & Radelet, 1998). Itu semua terjadi salah satunya karena perkembangan teknologi komunikasi yang semakin canggih. Dengan komunikasi dan informasi, pelaku pasar uang atau investor dapat memainkan peran globalnya secara meyakinkan, cepat dan efisien. Itulah yang oleh Kenichi Ohmae dalam The End of The Nation State, The Rise of Regional Economies (1995) dikatakan sebagai perubahan besar dunia, dari perekonomian barang ke perekonomian informasi yang tidak lagi mengenal batas negara.
William Greider dalam buku One World, Ready or Not, The Manic Logic of Global Capitalism (1999), menunjukkan peran teknologi informasi dalam perdagangan uang global. Dewasa ini betapa mudahnya uang berpindah dari satu tempat ke tempat lain hanya lewat gagang telepon atau internet. Uang tak lagi sekadar alat tukar, tapi sudah menjadi barang dagangan, sebagaimana barang di pasar. Yang dijual bukan berupa lembaran-lembaran atau pecahan, melainkan dalam bentuk bonds, stocks, commercial notes, dan sebagainya.
Para pelaku pasar uang dunia yang berpusat di New York, London dan Tokyo, dalam sebuah transaksi, sekali pencet tombol atau cursor, bisa bertransaksi lebih dari 100 juta dolar. Seperti yang dilakukan Rob Johnson, George Sorros, ataupun teman-teman seprofesinya. Dalam hitungan jam, bahkan menit berbagai peristiwa ekonomi, politik maupun sosial yang terjadi di dunia mereka pantau dan menjadi dasar analisis transaksi mereka.
Reaksi-reaksi terhadap berita pergeseran kebijakan, data mingguan situasi finansial dan ekonomi berbagai negara, bahkan berita yang tidak terkait dengan ekonomi (sunspot), dapat tersebar alam hitungan menit bahkan detik telah menyebabkan terjadinya aliran modal ataupun investasi yang masif antarmata uang di dunia.
George Soros dan pedagang “uang” lainnya konon sedunia jumlahnya tak lebih 200 ribu orang, di dalamnya ada 425 bilyuner, yang 274 di antaranya dari Amerika Serikat. Makanya pusat perdagangan uang terbesar juga ada di negeri Paman Sam ini. Aktivitas mereka begitu dahsyat mempengaruhi kehidupan ratusan juta manusia, dan kebangkrutan banyak negara. Kesemua permainan spekulasi mereka dilakukan atas dasar informasi, rumor dan analisisnya. Yang perlu dicatat di sini para pelaku pasar uang itu bekerja berdasarkan insting akumulasi kapital atau demi keuntungan semata. Tak ada nasionalisme, ataupun rasa kebangsaan bagi mereka. Investasi adalah sebuah pekerjaan sekaligus permainan yang tidak berkait dengan dari mana asal negaranya. Bisa saja suatu saat ia menanamkan sahamnya di negara mereka sendiri, tapi tatkala merasa terancam rugi, maka serta merta mereka akan memindahkannya ke negara lain yang lebih aman dan menguntungkan. Inilah yang dalam istilah ekonomi dikenal dengan teori Flying Geese, angsa terbang, dimana para investor itu tak ubahnya angsa yang terbang kesana kemari mencari tempat yang paling menyenangkan dan aman menurut dirinya.
 
1. Rumor Dan Informasi
Ada lagi kajian yang menunjukkan bahwa sekarang ini penggerak dunia investasi tidak lagi informasi, melainkan rumor atau isu (Widoatmojo, Kompas 23 Agustus 2002). Penyebabnya karena tidak tersedianya cukup informasi setiap saat. Padahal sesuai paradigma baru ekonomi, investasi di pasar modal merupakan sumber pendapatan utama bagi para investor pelaku pasar. Investasi di pasar modal dan pasar uang tersebut harus dinamis, harus bergerak setiap saat agar ada transaksi, dan ada keuntungan. Untuk itu diperlukan motor, yaitu rumor atau desas-desus. Yang terjadi sekarang ini, berbagai kalangan “memproduksi” rumor sendiri, dengan mendramatisir suatu peristiwa, atau membuat analisis yang “menakutkan”, tujuannya supaya ada gerakan melepas dan membeli saham dan valas. Inilah yang sering disebut insider trading (Widiatmodjo, Kompas, 23 Agustus 2002).
Begitulah yang pernah dilakukan George Soros ketika menghajar mata uang Inggris pada hari Black Wednesday tahun 1992. Ataupun juga tahun 1995 tatkala mengguncang ekonomi Mexico, dan tahun 1997 saat menghantam mata uang dan saham kawasan Asia. Yang salah satu korbannya, Indonesia. Jadi sekarang ini rumor dan informasi acapkali bercampur di dunia pasar uang, dengan maksud dan tujuan tertentu.
Munculnya rumor baik itu yang berkaitan dengan kondisi politik, ekonomi, maupun persoalan sosial, tidak hanya muncul dan berpengaruh terhadap perdagangan uang, tapi juga berbagai aspek lain. Pariwisata, maupun direct investment–pun amat terpengaruh oleh keberadaan berbagai rumor sumbang tentang suatu negara. Rumor tentang sebuah penyakit menular di Bali tahun 1990-an, serta merta memunculkan larangan traveling ke Indonesia oleh Pemerintah Jepang pada warganya. Rumor bahaya terorisme pasca bom Bali juga memunculkan Travel warning dari beberapa negara, sehingga menyebabkan banyak calon wisatawan asing tak berani datang ke negeri ini. Rumor akan rusuhnya sidang tahunan MPR tahun 2002 yang lalu pun sempat memerosotkan nilai rupiah dan saham-saham perusahaan Indonesia. Bahkan beberapa ekspatriat was-was berada di Jakarta. Itulah contoh-contoh dampak rumor.
Rumor atau desas-desus, atau kalau menurut orang awam disebut isu, sebenarnya muncul melalui beberapa kemungkinan. Pertama ada rumor yang terjadi karena memang diciptakan oleh orang atau kelompok orang tertentu dengan tujuan tertentu pula. Biasanya rumor yang demikian dilepas dengan tujuan memperoleh keuntungan finansial, atau tujuan politis untuk menjelekkan lawan politik hingga menjatuhkannya. Intentional rumor ini kalau sudah dikemukakan dia akan bergerak mengikuti proses komunikasi, diinterpretasi oleh penerima kemudian disampaikan pada yang lain. Pada tahapan berikut terjadi proses interpretasi ulang dan kemudian disampaikan lagi, terus diterima dan terjadi interpretasi lagi, sampai terjadi interpretasi berkali-kali oleh orang banyak, sesuai dengan jumlah yang terlibat jaringan komunikasi yang dilalui. Karena itu ujung-ujungnya, rumor yang berkembang bisa berbeda jauh dengan awal rumor ketika dilepaskan oleh sumbernya. Bahkan si pelepas rumor-pun tak bisa mengontrol jalannya rumor maupun isinya ketika ia sudah menyampaikannya ke publik.
Bentuk intentional rumor inilah yang banyak terjadi dalam aktivitas money trading, bisnis pariwisata, maupun dalam percaturan politik, termasuk di tingkat internasional. Rumor bisa berkembang karena kebutuhan yang tinggi terhadap informasi, namun tidak semuanya tersedia.
Bentuk yang kedua adalah unintentional rumor, atau isu yang terjadi secara tidak sengaja. Lagi-lagi ini karena kurangnya ketersediaan informasi yang cukup. Yang ada hanyalah premateur facts, informasi tentang fakta-fata yang tidak atau belum lengkap, padahal orang amat membutuhkan kelengkapan informasi tersebut. Maka terjadilah interpretasi untuk melengkapi atau menggabungkan berbagai informasi fakta yang terpisah ini menjadi informasi baru yang lebih lengkap. Hasil interpretasi itu acapkali dianggap sebagai sebuah informasi baru atau fakta baru yang sebenarnya belum tentu benar. Nah, proses interpretasi untuk melengkapi fakta –fakta yang masih prematur itulah awal mula terjadinya unintentional rumor. Betul-betul menjadi rumor ketika disampaikan pada orang lain, dan mengalami serangkaian interpretasi oleh orang-orang yang membicarakannya, itulah rumor yang muncul tak disengaja.
Rumor yang demikian sering terjadi karena iklim ketertutupan atas informasi yang ada, atau ketidakpahaman dan kurangnya keprofesionalan para pelaku komunikasi pada tuntutan informasi yang begitu tinggi. Karena tuntutan informasi tidak terpenuhi terjadilah pelengkapan secara interpretatif yang terkadang dipengaruhi oleh semangat prejudice pelaku komunikasi.
Namun ada juga rumor yang muncul karena ada orang yang mengetahui informasi kebenaran, sedangkan di luar tidak ada yang tahu. Kemudian orang yang mengetahui fakta itu, melepaskan informasi untuk menegakkan kebenaran tadi. Hanya saja iklim komunikasi yang tidak demokratis mengharuskan nara sumber sembunyi-sembunyi. Akibatnya karena tak jelas sumbernya, berkembanglah menjadi rumor, yang tidak jelas dan sulit dikonfirmasi.
Di berbagai negara asing di luar negeri, sedikitnya ketersediaan informasi tentang Indonesia menjadikan potensial munculnya rumor-rumor seperti contoh di atas. Dewasa ini memang era globalisasi, tapi tetap saja informasi lebih banyak dari negara maju. Informasi dari negara berkembang seperti Indonesia di tataran internasional amatlah sedikit, padahal jelas-jelas hal itu akan memunculkan bias komunikasi dan suburnya rumor tentang Indonesia.
Media massa sebagai penyedia informasi bagi berbagai kalangan juga sering terlibat dan mempunyai kontribusi terhadap pemunculan rumor. Terutama jika media hanya sedikit memberikan informasi terhadap suatu persoalan. Atau media sendiri melandaskan informasinya dari sumber yang salah. Terlebih lagi jika informasi yang disampaikan selain tak lengkap juga hanya dari aspek negatif, sehingga mendorong orang untuk menginterpretasi terhadap isi media tadi, dan hasil interpretasi itulah yang nantinya menjadi rumor.
Selain maraknya rumor, pentingnya ketersediaan informasi bagi perdagangan uang juga dapat dilihat dari fenomena perkembangan kantor berita. Salah satunya adalah Reuters, kantor berita ini menurut catatan tahun 1994 telah mengantongi pemasukan dari penyediaan informasi pada para pelaku pasar uang jauh melebihi pendapatan klasiknya sebagai pemasok berita untuk media massa. Pendapatan sebagai pemasok berita tahun itu hanya 27%. Sedang dari bisnis informasi di Money trading 73%. Itu berarti kiprah Reuters melalui unit usahanya Globex yang bekerjasama dengan Chicago Mercantile Exchange dan Marche e Tenne International De France lebih banyak melayani pasar uang dunia dibanding pemasok berita untuk media massa. Dan aktivitas kantor-kantor berita internasional, juga media-media global seperti itu amat signifikan mempengaruhi fluktuasi nilai uang dan saham dunia.
Paul Omerod, ekonom lulusan Cambridge dan Oxford yang pernah menulis buku ekonomi terlaris The Death of Economics (1994) dan Buterfly Economics (1998), mengungkapkan sudah tidak sesuainya ilmu ekonomi standard dengan perkembangan jaman. Menurut Omerod, di dalam teori ekonomi standard, diasumsikan setiap orang memiliki akses informasi yang sama, dan semuanya tahu apapun juga. Faktanya tidak demikian. Tidak semua orang pada saat bersamaan, tahu secara lengkap banyak hal. Ketika IMF mengatakan perekonomian Thailand baik-baik saja, mungkin ada yang bisa dibuat percaya. Akan tetapi ada sekelompok orang lewat jaringan informasinya sendiri, tahu bahwa ada sebuah bank yang diambang kebangkrutan. Walau secara makro keadaan ekonomi kuat, tapi perekonomian bisa dibuat ambruk oleh sekelompok kecil itu. Itu bisa terjadi jika kelompok kecil yang tahu informasi tadi melakukan penjualan saham dari perusahaan yang mereka ketahui akan bangkrut. Jika hal itu dilihat orang lain, maka orang lainpun akan bisa dibuat melakukan langkah serupa. Rentetan gerakan seperti itu akan melahirkan bencana seperti yang terjadi pada krisis keuangan Thailand, dan diikuti investor serupa di Indonesia, Korea Selatan dan negara lainnya (Kompas 8 September 2002 Hal 4).
Di pasar saham dan uang demikian pula. Membeli (buy) atau menjual (sell) saham, bukan semata karena nilai saham perusahaan itu masih berharga atau akan ambruk. Ada sejumlah warga masyarakat yang asyik mengikuti langkah orang lain, yang dikenal maupun tak dikenal. Bisa terjadi rentetan buy, buy, … buy. Begitu satu kelompok berteriak “Buy!” atau aksi sell. Jika bursa di New York anjlok atau naik, dalam hitungan jam bursa dunia turut anjlok drastis dalam seketika. Itu fakta dan terjadi, kata Omerod. (Kompas, 23 September). Ironisnya naik turunnya harga saham tidak selalu ada kaitannya dengan kinerja keuangan perusahaan yang bagus. Semuanya diawali dengan pemilikan informasi oleh kelompok kecil, kemudian aksi mereka menular pada pelaku lain.
Kondisi-kondisi seperti di atas mendorong kesadaran pentingnya informasi global, serta menuntut antisipasi pemerintahan di manapun untuk tidak semata-mata menjadi obyek globalisasi. Langkah-langkah antisipatif lembaga-lembaga pemerintahan menjadi mutlak diperlukan. Baik untuk menangkal rumor, maupun menyampaikan informasi yang memadahi, obyektif dan akurat mengenai kinerja pemerintah dan kondisi negaranya.
 
2. International Public Relations
Dewasa ini pemerintah berbagai negara tidak cukup hanya bekerja membangun dan menata ekonominya. Mereka dituntut pula mengkomunikasikan apa yang telah mereka lakukan, serta mengelola informasi tentang kondisi riil negaranya, supaya tidak terjadi bias di tataran informasi global. Berarti pemerintahan modern dengan jajaran birokrasinya, para pengambil keputusan dituntut being local while thinking and acting globally, sekaligus mampu melakukan komunikasi internasional dengan prinsip-prinsp public relations (Heath, 2001: 626).

Frank Jefkins dalam Essential of Public Relations (1999) mengatakan, negara di era globalisasi harus mampu melakukan international public relations. Yaitu antisipatif terhadap berbagai informasi dan citra negara tersebut di tengah eksistensinya di antara negara lain. Mereka harus proaktif, dan memperhatikan sistem arus informasi negara lain, terutama yang menjadi stakeholdersnya. Bahkan menurut Maureen Taylor, public relations dan public diplomacy sudah menjadi proses yang konvergen, yang menyatu karena tujuannya serupa, dengan menggunakan sarana yang serupa pula (Heath, 2001:.631).

Konvergensi public diplomacy dan public relations mensyaratkan bahwa semua komponen bangsa terutama pemerintah harus berpikir jauh ke depan, dan menyadari semua aspek itu saling berkait. Karenanya para pejabat nasional ketika memutuskan suatu kebijakan, harus senantiasa memperhitungkan kepentingan dan implikasi internasionalnya. Termasuk memperhitungkan bagaimana informasi kebijakan itu tersebar secara akurat pada publik nasional dan internasional.

Sementara bagi kalangan diplomat, dituntut harus senantiasa mengikuti secara seksama berbagai perkembangan di dalam negeri negaranya. Mereka harus memiliki informasi yang cukup, akurat, dan obyektiv, serta dengan berbagai bukti dan alasan yang meyakinkan. Selanjutnya para diplomat juga harus bisa berfungsi sebagai public relations untuk negaranya di tempat di mana dia berada. Itulah yang disebut sebagai total diplomacy, bahwa seluruh potensi bangsa harus bekerja secara sinergis untuk mengangkat citra di dunia internasional, sekaligus memperolaeh keuntungan dari pergaulan internasional yang dilakukan.

Karena itu diplomat-diplomat negara maju, seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis dan negara maju lain, senantiasa mempunyai kemampuan public relations yang handal. Bukan saja mampu membangun relasi yang baik terhadap media massa, masyarakat ,dan elite. Tapi juga amat handal membangun citra negaranya, sekaligus memantau berbagai peristiwa dengan analisisnya yang mereka laporkan secara daily basis ke negaranya. Mereka juga selalu membuat perencanaan dan koordinasi untuk meredam berbagai isu yang tidak menguntungkan.
Mereka yakin, di era yang disebut sebagai imagologi citra-lah yang menentukkan sikap, opini maupun perilaku terhadap sesuatu obyek. Suatu rumor atau informasi yang salah tidak sesuai fakta, jika terlanjur beredar dalam sistem informasi internasional, akan mempunyai dampak yang signifikan terhadap kurs mata uang, indeks harga saham, maupun aliran investasi, hingga kehadiran wisatawan. Itulah mengapa exporting public relations menjadi begitu penting pada jaman yang menurut Wilson Bryan Key (1997) disebut sebagai The age of Manipulation ini.
            Masalahnya sudah siapkah para diplomat, elite dan birokrasi Indonesia mengantisipasi semua itu? Yang jelas melakukan government public relations (GPR) harus dilakukan dalam dua dimensi, yaitu nasional dan internasional. Artinya untuk menghadapi kebebasan informasi dan globalisasi, suatu pemerintah harus memiliki manajemen yang jelas dalam mengelola informasi, baik di dalam negeri, maupun di luar negeri. Manajemen informasi dengan GPR di dalam negeri amat penting, mengingat berbagai informasi yang tersebar di mana-mana termasuk ke luar negeri, sumbernya lebih banyak berasal dari dalam negeri. Awal dari berbagai persoalan yang ada di luar negeri pada mulanya lebih banyak berasal dari persoalan di dalam negeri. Makanya perbaikan sistem pelayanan informasinya pun, harus diawali pelayanan informasi di dalam negeri terlebih dahulu. Baru setelah itu pelayanan informasi di luar negeri. 
 
3. Government Public Relations
Sebuah contoh teoritik tentang government public relations yang diterapkan secara empiris bisa dilihat dan pelajari dari apa yang sudah dilakukan negara maju seperti Amerika Serikat. Sebagaimana ditulis oleh Marguerite H. Sullivan, mantan public relations presiden Bush dalam buku A Responsible Press Office, An Insider’s Guide (2002), menunjukkan begitu pentingnya peran Kantor Penerangan dan Juru Bicara Pemerintah negara itu di era kebebasan informasi seperti sekarang ini.
“A popular government without popular information or the means of acquiring it is but prologue to a farce or tragedy or perhaps both”. Prenatal president James Madison 1822 tadi menjadi dasar pemikiran pentingnya informasi yang tersebar dengan sarana yang memadai bagi pemerintahan yang populair, tanpa itu hanya akan menjadi lelucon atau tragedi, atau malah keduanya. Begitu pula ucapan Presiden Abraham Lincoln tahun 1864 “ Let the people know the facts, and the country will be safe. Mereka bicara tentang bagaimana demokrasi seharusnya berjalan, dan itulah dasar sebuah pemerintahan yang baik.
Pemerintah Amerika Serikat menerapkan kebebasan informasi bersamaan dengan government public relations yang baik secara bersama-sama. Menurut Sullivan, pemerintah yang baik hanya bisa terjadi bila mereka mengambil keputusan berdasarkan informasi yang memadahi serta membuat penilaian yang independen. Hal demikian hanya bisa dicapai bila mereka memiliki informasi yang faktual dan terpercaya. Dan itu hanya bisa didapat dari pers yang bebas, yang berfungsi sebagai watchdog masyarakat atas pemerintah (Sullivan, 2002: 7). Dalam negara yang menjamin kebebasan pers dan informasi, pemerintahannya pun harus siap terhadap keadaan itu. Nah, disinilah peran dinas informasi pemerintah, sebagai pusat komunikasi dengan publik. Peran dinas informasi pemerintah adalah menjelaskan dampak program dan kebijakan pemerintah terhadap warganya. Institusi ini menyampaikan urusan dan rencana resmi pemerintah pada masyarakat sehingga mereka bisa memahami bagaimana berbagai masalah itu mempengaruhi kehidupan mereka.
“Pemerintah mempunyai begitu banyak informasi sehingga mereka perlu cara efektif untuk menyampaikannya pada publik, dan disinilah juru bicara pemerintah berperan” ujar Mike Mc Curry, Mantan juru Bicara Presiden Bill Clinton. “Juru bicara berfungsi layaknya reporter yang bekerja di dalam institusi pemerintah mengumpulkan informasi sebanyak mungkin untuk disebarkan ke masyarakat” (Sullivan, 2002: 8).
Secara teoretik Government public Relations, atau Humas pemerintah sebagai mana ditunjukkan dalam kerja dinas Informasi pemerintah AS, mempunyai peran ganda. Saat berurusan dengan media, mereka harus mendukung posisi pemerintah, menjelaskan manfaat langkah-langkah yang diambil pemerintah. Meralat informasi yang keliru serta berusaha serta berusaha menjelaskan sedemikian rupa informasi yang ada sehingga mudah dipahami. Di sisi lain mereka juga harus mendukung media, menyalurkan keperluan reporter untuk, misalnnya meliput berita tentang topik yang mungkin belum siap untuk dibahas oleh para pejabat. Dalam beberapa hal, seorang juru bicara tak jarang melakukan tugas seorang reporter, mengumpulkan informasi untuk pers dan menerjemahkan ucapan para pakar pemerintah ke media.

Salah satu kunci keberhasilan mewujudkan citra yang baik suatu pemerintahan maupun negara harus di mulai di dalam negeri terlebih dahulu. Keadaan dalam negeri yang baik, kemudian didukung oleh manajemen public relations yang baik pula, pasti akan berimbas pada penerimaan informasi yang memadai. Jika informasi itu cukup, maka publik dimanapun akan memiliki opini tentang realitas itu secara baik pula. Tapi jika publik tidak memiliki informasi yang cukup, mereka cenderung berpikir secara salah, dan emosional (Cutlip & Center, 2000: 236).

Karena itu tugas terpenting humas adalah memberikan informasi yang cukup sesuai kebutuhan publik. Pekerjaan humas bukan untuk memaksa publik memikirkan hal tertentu saja, what to think about seperti dalam propaganda. Tapi humas lebih menekankan kerjanya pada how to think about, bagaimana publik seharusnya berpikir, atau berkaitan dengan kualitas hasil pemikiran. Sebab itu keterbukaan, kelengkapan dan kejujuran serta jiwa besar untuk mengakui kesalahan dan bersedia melakukan perbaikan ke dalam amat penting untuk public relations dalam manajemen. Sebagaimana dikemukakan oleh Courtland L. Bovee dan John V. Thill “ Do tell the whole strory, opently, completely, and honestly, if you are at foult opologize ( Bovee & Thill, 1995 : 14).

Jadi di sini jelas, bahwa menciptakan citra yang baik, dimulai dengan kerja keras melakukan perbaikan ke dalam. Jika ini sudah dilakukan (walaupun mungkin masih ada kelamahan di sana sini), keseriusan dan komitmen yang sudah ditunjukkan dengan kerja keras itu dimanej dalam sistem pelayanan informasi di dalam maupun di luar negeri.

Pemerintah Amerika Serikat yang modern dan demokratis, telah lama menerapkan manajemen goverment public relations secara profesional. Mereka memiliki Dinas Penerangan atau Press Officer, yang juga bertindak sebagai juru bicara (spokeperson) pemerintah. Tiap departemen memiliki press officer yang berada di bawah kooordinasi Press officer Gedung Putih (Kepresidenan). Press officer ini memiliki akses langsung pada pejabat yang mereka wakili, memahami prinsip pejabat tersebut dan dapat langsung berhubungan tanpa melalui staf lain dalam keadaan apapun. Menurut Sullivan “ The spokesperson’s job requires balancing many relationships with government officials, with other top level government staff, with the press, and with the permanent bureaucracy” (Sullivan, 2002 : 13).

Keberadaan press officer ataupun spokeperson dalam konteks PR pemerintah amatlah penting. Mereka merupakan pejabat sekaligus dinas yang bertanggung jawab mengumpulkan informasi secara lengkap tentang berbagai isu yang akan di bahas dan disampaikan pada publik. Mereka berfungsi melakukan koordinasi sehingga semua komponen pemerintahan memiliki informasi yang cukup, rasional, dan jujur, serta menghindari munculnnya pernyataan yang saling bertentangan (conflicting statements).

Koordinasi informasi ini merupakan tugas dan wewenang yang paling penting bagi dinas penerangan pemerintah Amerika, tidak saja dengan departemen-departemen, tapi sampai pada kantor gubernur dan perwakilan pemerintah Amerika di luar negeri (Sullivan, 2002 Hal: 12). Kordinasi ini menyangkut banyak hal, dari persoalan materi kebijakan pemerintah yang dibahas, penentuan siapa yang berwenang memberikan keterangan pers, apakah harus ada konsultasi terlebih dahulu dengan pejabat terkait, sampai bentuk penyampaian informasinya. “Tanpa kordinasi, semuanya tak akan berjalan lancar,” ujar Susan King, mantan Asisstant Secretary for Public Affairs for U.S. Departements of Labor and Housing and Urban Development. Menurutnya yang akan terjadi “setiap orang seolah merasa perlu untuk berbicara dengan mengatas namakan atasannya”.

Kordinasi merupakan kunci sebagian besar dinas informasi pemerintah AS. Di Departemen Keuangan misalnya, kantor Humas Menteri Keuangan tiap minggu mengadakan pembicaraan telepon dengan kantor-kantor humas cabangnya berdasarkan topik yang dibahas. Jika yang dibahas penegakan hukum, maka yang terlibat pembicaraan adalah lima kantor penegakan hukum Keuangan AS. Dengan pembicaraan telepon ini, mereka dapat mengatur dan mengawasi isu-isu komunikasi penting yang muncul. Mereka juga bisa memiliki sistem respon yang cepat, kantor cabang dapat segera memberitahu kantor pusat bila muncul isu kontroversial.

Salah satu prasarat penting bagi petugas informasi atau penerangan pemerintah adalah harus memiliki kredibilitas. Dalam Bukunya The Government/Press Connection (1998), Stephen Hess menulis, bahwa petugas informasi harus berstamina tinggi, punya rasa ingin tahu, ingin membantu, kuat ingatannya, sopan, tenang, mengerti psikologi, mampu memperhitungkan dan menangani sesuatu secara mendetail. Mampu mempelajari fakta secara cepat dan dapat menangani hal-hal tak terduga, menjalankan tugas secara simultan, sanggup menerima interupsi terus menerus, dan bisa beraksi cepat. Mereka juga harus obyektif dengan wartawan, tak boleh menganakemaskan siapapun. Dan yang paling penting, harus memiliki etika dan integritas tinggi (Hess, 1998).

Sementara Sheila Teite, Mantan Sekretaris Pers mengatakan “Urusan media pemerintah takkan berjalan bila juru bicaranya tak dipercaya pers atau berada di luar jalur informasi dalam pemerintahan itu sendiri. Sedangkan Dee Dee Mayers, mantan juru bicara presiden Clinton mengatakan “Walau pekerjaan ini kadang menjengkelkan, sulit dan membuat frustrasi, kita wajib membantu pers untuk mendapatkan berita yang benar. Itulah inti demokrasi” (Sullivan, 2002 : 15).

Di Amerika Serikat rapat reguler antara juru bicara dengan rekan-rekannya di pemerintahan yang tak berhubungan dengan pers, serta antara juru bicara dengan staf penerangan pemerintah, biasanya berlangsung tiap hari, tak jarang beberapa kali sehari. Rapat ini sangat penting untuk menciptakan operasional yang lancar, yaitu saling membagi informasi, mengantisipasi berita dan melakukan persiapan untuk menanganinya. Berita yang diantisipasi itu tentu saja berita dari dalam maupun luar negeri.

Dengan asumsi wartawan itu begitu sibuk, da harus meliput banyak peristiwa, maka memberikan informasi dalam bentuk tertulis juga diperlukan agar membantu meringankan kerja jurnalistik mereka, disamping wawancara langsung. Membuat ringkasan materi dan membagikannya dalam bentuk tertulis atau online, berarti tidak mengandalkan kesediaan orang lain untuk mendengarkan pidato atau pernyataan dengan seksama. Dan itu juga membuat juru bicara punya kesempatan untuk mengulang pokok-pokok yang terpenting, ujar Meyers.

4. Layanan Informasi Untuk Publik
Ada beberapa bentuk komunikasi yang disediakan untuk pelayanan informasi untuk wartawan cetak, elektronik, maupun cyber media, juga termasuk masyarakat secara langsung. Bentuknya antara lain: Siaran pers (press release), pemberitahuan kepada media (media advisory), lembaran fakta atau latar belakang (fact sheet or backgrounder), gambar (visual), biografi, daftar pakar, media kit, daftar pertanyaan, pitch letter, siaran berita audio maupun visual, jalur telepon, konferensi ppers, wawancara, rapat dengan redaksi, rapat off the record, artikel untuk opini, naskah p[idato, tur untuk media, feature, internet, email, dan photo ops. Kesemuanya disediakan untuk membantu mempermudah kerja kalangan wartawan, dan masyarakat yang membutuhkan informasi.

Kenapa public relations dengan media dan masyarakat di dalam negeri menjadi amat penting? Karena hampir sebagian besar isu kontroversi itu di mulai atau berkait dengan kebijakan pemerintah di dalam negeri. Publik di luar negeri mengetahui berbagai hal itu lebih banyak berasal dari agen-agen informasi modern, baik itu media massa, kantor berita, ataupun cyber media di internet. Diplomat sebagai “an honest man sent abroad to lie for his country” seperti yang dikemukakan Sir Henry Wotton pada abad XVII sudah tidak tepat lagi. Globalisasi telah merubah cara pandang penyebaran informasi di luar negeri. Apakah publik di luar negeri akan percaya dengan perkataan seorang diplomat, sementara CNN menyiarkan berita yang amat kontras dengan perkataan itu?

Sekarang ini politik di luar negeri, maupun penyebaran informasi internasional mengenai suatu negara merupakan perpanjangan dari kondisi dan penyebaran informasi di dalam negeri. Sehebat apapun diplomat dan juru warta di luar negeri, kalau kondisi dalam negeri dan sistem informasinya tidak memadahi, niscaya penyebaran informasi di luar negeripun akan banyak yang mengalami distrorsi. Karena itu pembenahan dan pembangunamn sistem di dalam negeri mutlak harus dilakukan terlebih dahulu, baru kemudian penataan sistem luar negeri secara terintegratif.

Jika keadaan riil semakin membaik, dan pelayanan informasi di dalam negeri juga berjalan baik, maka opini publik tentang pemerintah dan negaranya pun cenderung favourable pula. Opini Publik, yang pada dasarnya kumpulan dari the pictures in people’s heads senantiasa dipengaruhi oleh realitas simbolik, dan realitas obyektif sosial. Realitas simbolik adalah gambaran tentang realitas yang ada di dunia simbol, di dunia wacana, di dalam isi media massa, dan perbincangan orang (Berger, 1979 : 13). Realitas simbolik inilah yang harus digarap oleh public relations melalui berbagai fungsinya, agar relevan atau tidak bias dari realitas yang sesungguhnya terjadi (realitas obyektiv). Namun opini publik juga diwarnai oleh orientasi langsung mereka pada apa yang benar-benar terjadi, yang mereka lihat dan mereka rasakan, atau dalam istilah Peter Berger disebut realitas obyektif sosial (Berger, 1979 : 13). Orang senantiasa mempersepsi sesuatu dari apa yang dia lihat dan rasakan, tapi juga dari apa yang mereka beroleh dari dari dunia simbol melalui proses komunikasi. Karena komunikasi menjadi begitu penting pengaruhnya terhadap opini publik.

Jika opini publik di dalam negeri fovourable, maka ini akan berdampak pula pada opini publik internasional.  Mengingat komunikasi internasional di era global ini telah memungkinkan munculnya komunikasi baru yang menembus batas yuridiksi suatu negara (borderless communication). Sebagaimana kita lihat, komunikasi internasional telah dipenuhi oleh bentuk komunikasi baru melalui penggunaan internet, e-mail, cyber media, VOIP, Blog, telepon internasional, migrasi penduduk, pertukaran pelajar, perusahaan multi nasional, jaringan NGO internasional, dan lain lain. Yang kesemuanya itu mempunyai potensi melakukan informal contact, yang bisa menyebarkan informasi tentang kondisi suatu negara menurut persepsi mereka.

Lalu bagaimana jadinya jika persepsi dan opini mereka tentang negaranya itu buruk, kemudian mereka sampaikan pada relasinya di berbagai negara, bukankah ini menjadi informal public relations yang negatif, yang kekuatannya bisa mengalahkan formal public relations yang dilakukan kantor-kantor resmi? Karena itu tidak-bisa tidak, kerja keras perbaikan berbagai hal di dalam negeri dan peningkatan pelayanan informasi di dalam negeri amatlah penting, sebelum ke langkah berikutnya untuk pelayanan informasi luar negeri.

Di departemen luar negeri Amerika Serikat, wakil menteri untuk public diplomacy and public affair, mengepalai devisi humas media dan komunikasi. Di bawah ini ada asisten menteri untuk hubungan masyarakat, yang berbicara atas nama menteri luar negeri dan mengawasi lima kantor dan mengkordinasikan bagian public affairs di semua Kedutaan Besar Amerika Serikat di berbagai negara.

Public affairs di Departemen Luar Negeri di Washington, tiap hari menyiarkan latar belakang materi, tuntunan media, dan tanya jawab yang bisa digunakan asisten menteri sebelum ia memberikan briefing harian di depan pers. Mereka membuat jadwal wawancara dengan berbagai media yang dilangsungkan di seluruh AS untuk para pejabat Deplu. Juga mengatur jadwal rapat dan pidato dan persiapan untuk menyambut para tamu dari luar negeri.

Untuk pelayanan ke luar negeri, mereka juga mengurus situs Deplu untuk disebarkan di dalam maupun di luar negeri. Menyiapkan digital video conferencing serta memproduksi siaran televisi interaktif melalui satelit. Untuk penyebaran informasi di luar negeri, Deplu dibantu oleh lembaga pemerintah yang bernama USIA (United State Information Agency). Lembaga ini mengkordinasikan penyebaran informasi internasional dan pendidikan. Tahun 2000 ada 200 tempat lebih cabang USIA di luar negeri, yang disebut dengan USIS (United State Information Service) tersebar di 140 negara. Lembaga ini kerjaannya memantau opini publik luar negeri dan menyajikan analisisnya serta umpan balik untuk pemerintah Federal Amerika.

USIA merupakan lembaga pelayanan informasi luar negeri yang independen dimana kerja mereka dilaporkan langsung kepada presiden. Di tiap kantor kedutaan Amerika Serikat, operasional USIS berada di bawah pejabat yang menangani public affairs. Sekarang lembaga ini mengoperasikan Worldnet, pelayanan televisi satelit 24 jam, dan berbagai pelayanan informasi dan program lain (Cutlip, Center, and Broom, 2000 : 493).

USIS bertugas menasehati Duta besar dan diplomat lain dalam hubungannya dengan penanganan isu-isu public relations yang berpengaruh terhadap kebijakan dan kepentingan AS serta hubungan diplomatik dengan negara dimana kantor itu berada . Mantan Persiden AS Jimmy Carter mengatakan Peranan USIA adalah membangun dua jembatan saling pengertian antara warga negara Amerika Serikat dengan warga negara lain di seluruh dunia (Cutlip, Center, & Broom, 2000: 493). USIA bertanggung jawab untuk meluruskan informasi dan melakukan counter terhadap propaganda yang bertentangan dengan realitas. Jadi lembaga ini dituntut menyajikan gambaran yang menyeluruh dan apa adanya (a full and fair picture) tentang Amerika Serikat. Dengan demikian diharapkan bangsa lain dapat memahami motif dan tujuan kebijakan luar negeri AS.

Ada dua tujuan utama bagi pemerintah Amerika diadakannya program hubungan masyarakat di luar negeri: (1) Meng-counter penyebaran propaganda yang dilakukan oleh musuh Amerika Serikat, sekaligus Memelihara pengertian yang baik dengan negara sahabat agar mereka memahami kebijakan Amerika. (2). Memberikan bantuan pengetahuan teknis kepada negara-negara sedang berkembang (Cutlip, Center & Broom, 2000 : 494).

Ketika pascaserangan teroris 11 September 2001, Amerika serikat akan melakukan pembalasan ke jaringan Al Qaeda di Afganistan. USIA bersama Deparlu (Usinfo State Government) menerbitkan buku tentang Jaringan Terroris, yang diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia, khususnya yang mempunyai penduduk mayoritas muslim, termasuk Indonesia. Buku itu disebarkan ke publik internasional, dan dibagikan pada mereka yang dianggap sebagai orang-orang aktif atau tokoh-tokoh masyarakat di seluruh dunia. Isinya tentang makna serangan 11 Sepetember terhadap gedung Twin Tower (WTC) di New York, dan apa itu jaringan Terorisme. Dengan membaca buku ini diharapkan orang bisa menerima alasan mengapa AS menyerang Al Qaeda dengan pemimpinnya Osama Bin Laden. Buku itu merupakan public relations Amerika Serikat untuk mencari dukungan dalam mengakhiri terorisme Global dengan cara Amerika Isi dari buku itu selain pemaparan kejahatan terorisme, justru lebih menyuarakan tokoh-tokoh muslim dunia yang mengecam tindakan penyerangan terhadap WTC. Dalam hal ini Amerika menggunakan teknik endorsement dari para tokoh Islam untuk mencari dukungan internasional atas aksinya melawan Al Qaeda.

Jadi intinya, di negara modern dan demokratis seperti AS, dalam membangun image di dunia internasional dan mencari dukungan opini publik, senantiasa dilakukan dengan public relations yang salah satunya adalah pelayanan informasi. Yang dilakukan bukan saja langsung di luar negeri, tapi justru di mulai di dalam negeri.  Citra sebuah Negara di luar negeri senantiasa tidak terlepas dari keadaan dalam negerinya. Kemampuan membangun image di luar negeri sangat  bergantung dengan keadaaan dan pelayanan informasi di dalam negeri. Tapi tidak berarti bahwa apa yang dilakukan di luar negeri tidak penting, melainkan keduanya harus dilakukan secara simultan, dan sinergik, dengan keberadaan lembaga yang bertanggung jawab terhadap manajemen informasi, sehingga menghasilkan outcome yang terbaik.

Untuk Indonesia, peran yang dimainkan oleh Public Affairs, Pess Officer dan USIS di Amerika Serikat sebagai bagian dari Government Public Relations bisa dilakukan oleh Departemen Komunikasi dengan Badan Informasi Publiknya. Sementara spokespersonnya bisa diperankan oleh Menkominfo, dan juru bicara kepresidenan, tapi dukungan operasional dan informasinya harus terintergrasi dari Departemen komunikasi. Jadi, nantinya ada bagian operasional yang melayani informasi di luar negeri, dan ada pula yang berperan sebagai Humas Pemerintah di dalam negeri. Tapi tentu saja semua konsep pemikiran tersebut dikaji terlebih dahulu dengan kondisi riil di lapangan.

Hampir sebagian besar negara maju menempatkan “komunikasi” sebagai sebuah fenomena yang amat penting. Biasanya mereka memiliki lembaga yang bertanggung jawab terhadap komunikasi, agar komunikasi antara rakyat dan pemerintah bisa berjalan lancar, termasuk pula dengan publik di luar negeri. Lembaga atau Dinas komunikasi bertanggung jawab menyeimbangkan dua kepentingan yang berbeda antara public’s right to know dengan how to make favourable image oleh pemerintah.


5.3.1 Sistem Pelayanan Informasi  Amerika Serikat

Pemerintah Amerika Serikat yang modern dan demokratis, telah lama menerapkan manajemen government public relations secara profesional. Mereka memiliki Dinas Penerangan atau Press Officer, yang juga bertindak sebagai juru bicara (spokesperson) pemerintah. Tiap departemen memiliki press officer yang berada di bawah kooordinasi Press officer Gedung Putih (Kepresidenan). Press officer ini memiliki akses langsung pada pejabat yang mereka wakili, memahami prinsip pejabat tersebut dan dapat langsung berhubungan tanpa melalui staf lain dalam keadaan apapun.

Keberadaan press officer ataupun spokesperson dalam konteks PR pemerintah amatlah penting. Mereka merupakan pejabat sekaligus dinas yang bertanggung jawab mengumpulkan informasi secara lengkap tentang berbagai isu yang akan dibahas dan disampaikan pada publik. Mereka berfungsi melakukan koordinasi sehingga semua komponen pemerintahan memiliki informasi yang cukup, rasional, dan jujur, serta menghindari munculnnya pernyataan yang saling bertentangan (conflicting statements).

Koordinasi informasi ini merupakan tugas dan wewenang yang paling penting bagi dinas penerangan pemerintah Amerika, tidak saja dengan departemen-departemen, tapi sampai pada kantor gubernur dan perwakilan pemerintah Amerika di luar negeri (Sullivan, 2002 Hal: 12). Kordinasi ini menyangkut banyak hal, dari persoalan materi kebijakan pemerintah yang dibahas, penentuan siapa yang berwenang memberikan keterangan pers, apakah harus ada konsultasi terlebih dahulu dengan pejabat terkait, sampai bentuk penyampaian informasinya. “Tanpa koordinasi, semuanya tak akan berjalan lancar,” ujar Susan King, mantan Asisstant Secretary for Public Affairs for U.S. Departements of Labor and Housing and Urban Development. Menurutnya yang akan terjadi “setiap orang seolah merasa perlu untuk berbicara dengan mengatas namakan atasannya”.

Koordinasi merupakan kunci sebagian besar dinas informasi pemerintah AS. Di Departemen Keuangan misalnya, kantor Humas Menteri Keuangan tiap minggu mengadakan pembicaraan telepon dengan kantor-kantor humas cabangnya berdasarkan topik yang dibahas. Jika yang dibahas penegakan hukum, maka yang terlibat pembicaraan adalah lima kantor penegakan hukum Keuangan AS.  Dengan pembicaraan telepon ini, mereka dapat mengatur dan mengawasi isu-isu komunikasi penting yang muncul. Mereka juga bisa memiliki sistem respon yang cepat, kantor cabang dapat segera memberitahu kantor pusat bila muncul isu kontroversial.

Salah satu prasarat penting bagi petugas informasi atau penerangan pemerintah adalah harus memiliki kredibilitas. Dalam Bukunya The Government/Press Connection (1998), Stephen Hess menulis, bahwa petugas informasi harus berstamina tinggi, punya rasa ingin tahu, ingin membantu, kuat ingatannya, sopan, tenang, mengerti psikologi, mampu memperhitungkan dan menangani sesuatu secara mendetail. Mampu mempelajari fakta secara cepat dan dapat menangani hal-hal tak terduga, menjalankan tugas secara simultan, sanggup menerima interupsi terus menerus, dan bisa beraksi cepat. Mereka juga harus obyektif dengan wartawan, tak boleh menganakemaskan siapapun. Dan yang paling penting, harus memiliki etika dan integritas tinggi (Hess, 1998).

Sementara Sheila Teite, Mantan Sekretaris Pers mengatakan “Urusan media pemerintah takkan berjalan bila juru bicaranya tak dipercaya pers atau berada di luar jalur informasi dalam pemerintahan itu sendiri. Sedangkan Dee Dee Mayers, mantan juru bicara presiden Clinton mengatakan “Walau pekerjaan ini kadang menjengkelkan, sulit dan membuat frustrasi, kita wajib membantu pers untuk mendapatkan berita yang benar. Itulah inti demokrasi.”

Di Amerika Serikat rapat reguler antara juru bicara dengan rekan-rekannya di pemerintahan yang tak berhubungan dengan pers, serta antara juru bicara dengan staf penerangan pemerintah, biasanya berlangsung tiap hari, tak jarang beberapa kali sehari. Rapat ini sangat penting untuk menciptakan operasional yang lancar, yaitu saling membagi informasi, mengantisipasi berita dan melakukan persiapan untuk menanganinya. Berita yang diantisipasi itu tentu saja berita dari dalam maupun luar negeri.

Dengan asumsi wartawan itu begitu sibuk, dan harus meliput banyak peristiwa, maka memberikan informasi dalam bentuk tertulis juga diperlukan agar membantu meringankan kerja jurnalistik mereka, disamping wawancara langsung. Membuat ringkasan materi dan membagikannya dalam bentuk tertulis atau online, berarti tidak mengandalkan kesediaan orang lain untuk mendengarkan pidato atau pernyataan dengan seksama. Dan itu juga membuat juru bicara punya kesempatan untuk mengulang pokok-pokok yang terpenting, ujar Meyers.

Untuk memperlancar persoalan komunikasi, Bagian Public Affairs dan Press Officer Pemerintah Amerika menyediakan beberapa sarana informasi untuk semua pihak, baik pemerintah dan para pejabat, maupun wartawan cetak, elektronik, cyber media, dan juga masyarakat secara langsung. Beberapa sarana komunikasi yang disediakan itu antara lain;
  1. Siaran pers (press release), yang dibuat layaknya artikel berita dan tak jarang dipakai sebagai teks berita oleh beberapa penerbitan.
  2. Pemberitahuan kepada Media (Media advisory), berupa jadwal acara-acara mendatang sehingga media dapat menentukan sendiri acara mana yang akan mereka liput.
  3. Lembaran fakta atau latar belakang (fact sheet or backgrounder), semacam siaran pers namun dalam bentuk yang lebih detail, mengungkap banyak fakta dan data statistik, tanpa banyak kutipan. Biasanya lembaran ini disertakan untuk melengkapi siaran pers.
  4. Gambar (visual), seperti foto, graphik, diagram dan peta, yang biasanya juga disertakan dalam siaran pers.
  5. Biografi, yang biasanya diberikan bersamaan dengan siaran pers. Berisi tentang data singkat karir atau prstasi dari orang yangmenduduki jabatan baru, atau orang yang akan pidato, berpartisipasi dalam suatu acara.
  6. Daftar para pakar, yang akan memperkuat pesan kalau mereka diwawancarai. Ini berisi no telepon dan alamat serta bidang kepakaran dan latar belakang kompetensinya.
  7. Kliping, merupakan kumpulan berita-berita. Biasanya pada saat bagian informasi membagikan media kit di dalamnya juga diisi kliping berita-berita yang baik. Supaya bisa menjadi referensi.
  8. Daftar pertanyaan, Umumnya berisi pertanyaan pertanyaan yang diajukan para pejabat ke wartawan untuk memancing minat mereka terhadap suatu topik. Kadangkala, ada pula daftar pertanyaan yang mungkin akan diajukan wartawan ke para pejabat.
  9. Paket untuk pers atau media kit. Berisi beberapa butir tema menyangkut satu topik.
  10. Pitch letter, berisi ringkasan ide cerita dalam suatu paragraf, menjelaskan kenapa publik bisa tertarik pada konse yang ditawarkan. Bentuk ini berisi hal-hal detail , nama, kemungkinan pembuatan foto, dan ringkasan konsep cerita.
  11. Teknologi satelit, yang memungkinkan news maker, biasanya para pejabat untuk mengadakan wawancara atau pertemuan, kemudian meneruskannya ke stasiun-stasiun televisi di seluruh penjuru negri. Dengan begitu, banyak media bisa dijangkau tanpa harus menyita waktu dan tenaga. Biasanya spesialis informasi merekam suatu acara kemudian menyalurkannya lewat satelit. Untuk melakukan hal ini dengan benar, dibutuhkan sebuah studio yang mampu menyalurkan gambar dan suara dan sekaligus memungkinkan reporter untuk bertanya melalui telepon sambil merekam jawaban resminya. Stasiun televisi yang bersangkutan diberitahu kapan satelitnya bisa digunakan dan bagaimana cara mengaksesnya.
  12. Aktualita radio, sebenarnya semacam rekaman audio pengumuman pejabat pemerintah yang dibuat seolah-olah seperti wawancara. Para pejabat AS melakukannya tiap hari, entah mereka mengirimkan rekamannya langsung ke wartawan atau memberikan nomor telepon ke mesin penjawab yang berisi pernyataan tersebut. Untuk melakukannya dengan benar. Dibutuhkan tape recorder berkualitas tinggi yang bisa disambungkan ke pesawat telepon. Materi audio ini bisa juga diberikan melalui situs internet untuk di-download. Jadinya bisa diakses di manapun, termasuk di luar negeri.
  13. Jalur telepon terpisah, yang bisa digunakan untuk merekam jadwal harian pejabat sebagai referensi media.
  14. Konfrensi pers, yang menjadi forum bagi para pejabat mengumumkan berita tentang suatu isu. Agar efektif dan terpercaya, beritanya diuasahakan selalu aktual dan riil.
  15. Wawancara, Adalah kesempatan bagi para pejabat untuk berbicara dengan wartawan, biasanya satu per satu, untuk menyampaikan ide mereka secara lebih mendalam ketimbang saat konfrensi pers.
  16. Rapat dengan redaksi, merupakan rapat para pembuat berita dengan para editor dan penulis kolom editorial dan opini, dan wartawan dari seksi berita untuk membahas suatu topik. Stasiun televisi dan televisi kabel besar juga melakukan hal serupa. Hal ini memberi kesempatan kepeda para pejabat pemerintah untuk menjelaskan ide mereka secara lebih mendalam agar media juga lebih memahami kebijakan pemerintah. Biasanya hal ini kemudian akan muncul jadi berita atau topik kolom editorial.
  17. Rapat off-the-record, dilakukan oleh para pembuat berita untuk menyampaikan pendapat mereka. Beberapa pejabat menulis di kolom mingguan untuk mengutarakan pendapat mereka langsung ke khalayak.
  18. Pidato, digunakan untuk mempromosikan kebijakan, mengumumkan program baru, menjelaskan posisi, dan membangun konsensus. Salinan pidato sering diberikan kepada pers terlebih dahulu sebelum pidato dilakukan. Salinannya kemudian diberikan juga ke jurnalis yang tak sempat hadir. Memuat naskah pidato ke internet juga efektif. Bila memungkinkan, saatmemberikan naskah pidato ke pers, tulislah ringkasannya di muka. Selalu jaga daftar media apa yang akan dikirimi materi ini.
  19. Tur media, dilakukan di luar ibu kota dan mengunjungi media tiap daerah. Dari tur media ini, kantor berita daerah bisa mengambil berita apa yang cocok untuk mereka dan menjelaskan kepada warga tentang pengaruh suatu kebijakan terhadap kehidupan mereka.
  20. Feature, berisi cerita di luar bentuk hard news. Spesialis informasi masyarakat tak akan hanya bergantung pada hard news untuk menyampaikan berita, namun juga tulisan di seksi feature atau seksi lain sebuah media cetaj.
  21. Internet, adalah sarana untuk berkomunikasi langsung dengan publik tanpa melalui media massa. Berkomunikasi dengan wartawan juga bisa lebih cepat dilakukan. Selain itu, sarana ini juga memungkinkan terjadinya komunikasi dua arah antara pejabat dengan publik. Dinas penerangan bisa membuat papan buletin elektronik di sini. Yang disajikan dalam internet antara lain: tulisan, foto, video, dan suara. Dinas penerangan pemerintah juga memanfaatkan internet untuk menyampaikan informasi-informasi dalam jumlah besar secara online. Baik untuk konsumsi di dalam maupun di luar negeri. Agar efektif, situsnya harus selalu di-update.
  22. E-mail, mencakup sejumlah alamat e-mail yang dijadikan group, sehingga hanya dengan menekan satu perintah, informasi bisa dengan mudahnya langsung di salurkan ke sejumlah pihak.
  23. Kesempatan foto atau “photo ops”, adalah saat pejabat diambil fotonya bersama orang lain dalam acara tertentu, misalnya dengan penerima penghargaan, yang kemudian dikirim untuk dipublikasikan ke koran di kota penerima penghargaan itu tinggal. Saat pengembilan foto, pastikan nama orang dan acara dalam foto ditulis jelas.
Semua informasi dari White House ini terbuka bagi media lokal, nasional maupun foreign press (Foreign Press Centre). Materi-materi di atas bisa jadi hanya menarik sebagian wartawan saja. Namun tetap saja itu semua penting bagi orang atau media yang membuutuhkannya. Dan salah satu tujuan public relations adalah membantu memudahkan kebutuhan informasi, sehingga mereka cenderung cooperatif dan mempunyai informasi yang cukup.

Di departemen luar negeri Amerika Serikat, wakil menteri untuk public diplomacy and public affair, mengepalai devisi humas media dan komunikasi. Di bawah ini ada asisten menteri untuk hubungan masyarakat , yang berbicara atas nama menteri luar negeri dan mengawasi lima kantor dan mengkoodinasikan bagian public affairs di semua Kedutaan Besar A.S. di berbagai negara.

Public affairs di Departemen luar negeri di Washington, tiap hari menyiarkan latar belakang materi, tuntunan media, dan tanya jawab yang bisa digunakan asisten menteri sebelum ia memberikan briefing harian di depan pers. Mereka membuat jadwal wawancara dengan berbagai media yang dilangsungkan di seluruh AS untuk para pejabat Deplu. Juga mengatur jadwal rapat dan pidato dan persiapan untuk menyambut para tamu dari luar negeri.

Untuk pelayanan ke luar negeri, mereka juga mengurus situs Deplu untuk disebarkan di dalam maupun di luar negeri. Menyiapkan digital video conferencing serta memproduksi siaran televisi interakstif melalui satelit. Untuk penyebaran informasi di luar negeri, Deplu dibantu oleh lembaga pemerintah yang bernama USIA (United State Information Agency). Lembaga ini mengkordinasikan penyebaran informasi internasional dan pendidikan. Dewasa ini ada 200 tempat lebih cabang USIA di luar negeri, yang disebut dengan USIS (United State Information Service) tersebar di 140 negara. Lembaga ini kerjaannya memantau opini publik luar negeri dan menyajikan analisisnya serta umpan balik untuk pemerintah Federal Amerika.

USIA merupakan lembaga pelayanan informasi luar negeri yang independen dimana kerja mereka dilaporkan langsung kepada presiden. Di tiap kantor kedutaan Amerika Serikat, operasional USIS berada di bawah pejabat yang menangani public affairs. Sekarang lembaga ini mengoperasikan Worldnet, pelayanan televisi satelit 24 jam, dan berbagai pelayanan informasi dan program lain (Cutlip, Center, and Broom, 2000 : 493).

USIA juga menerbitkan berbagai buku dan  penerbitan lain untuk menunjang penyebaran informasi tentang Amerika di luar negeri. Buku buku seperti “This is America”, American Government, ataupun juga buku-buku yang diterbitkan sesuai  dengan aktualitas yang sedang terjadi. Kadang tentang kebebasan pers di Amerika, tentang pemilu, tentang terrorisme dan lain lain.  Bulan Ramadhan 2002, bagian Informasi kedutaan Amerika di Jakarta mengedarkan beberapa film pendek tentang kehidupan umat muslim di Amerika Serikat ke beberapa televisi suasta di Indonesia. Tujuannya adalah menyebarkan informasi bahwa di  Amerikapun, orang Islam itu dijamin, bahkan mengalami perkembangan yang sangat pesat.

Di luar negeri USIS bertugas menasehati Duta besar dan diplomat lain dalam hubungannya dengan penanganan isu-isu public relations yang berpengaruh terhadap kebijakan dan kepentingan AS serta hubungan diplomatik dengan negara dimana kantor itu berada.  Mantan Persiden AS Jimmy Carter mengatakan “Peranan USIA adalah membangun dua jembatan saling pengertian antara warga negara Amerika Serikat dengan warga negara lain di seluruh dunia”   (Cutlip, Center, & Broom, 2000: 493).

Dalam fungsi kesehariannya USIA bertanggung jawab untuk meluruskan informasi dan melakukan counter terhadap propaganda yang bertentangan dengan realitas. Jadi lembaga ini dituntut menyajikan gambaran yang menyeluruh dan apa adanya (a full and fair picture) tentang Amerika Serikat. Dengan demikian diharapkan bangsa lain dapat memahami motif dan tujuan kebijakan luar negeri AS. Untuk penyebaran informasi ke seluruh dunia, selain menggunakan keberadaan kantor USIS, pemerintah Amerika juga memiliki lembaga penyiaran yaitu Voice of America (VOA). Walaupun memiliki standard pemberitaan yang obyektif, VOA tak lain merupakan salah satu alat  untuk menyebarkan informasi ke luar negeri.

Ada dua tujuan utama bagi pemerintah Amerika diadakannya program hubungan masyarakat di luar negeri: (1) Meng-counter penyebaran propaganda yang dilakukan oleh musuh Amerika Serikat, sekaligus Memelihara pengertian yang baik dengan negara sahabat agar mereka memahami kebijakan Amerika. (2). Memberikan bantuan pengetahuan teknis kepada negara-negara sedang berkembang (Cutlip, Center & Broom, 2000 : 494).

5.3.2. Sistem pelayanan Informasi Inggris
Di Inggris lain lagi. Setiap departemen di negara ini mempunyai bagian informasi, dan hubungan masyarakat, atau bagian berita. Mereka biasanya dipegang dan di bawah pengaturan petugas informasi yang profesional, yang bertanggung jawab pada semua aktivitas komunikasi departemen yang bersangkutan, baik melalui pemberitaan media massa maupun langsung ke publik. Mereka juga memberi masukan pada departemen mengenai reaksi publik terhadap isu tertentu.

Di pemerintahan Inggris ada banyak pegawai yang punya kemampuan bagus di bidang public relations dan dalam mengirim informasi mereka ini adalah orang-orang yang berpengalaman dan menguasai sistem interaksi antara pemerintah dan media massa. Media massa di Inggris terkenal punya banyak pengalaman dan cara bagaimana menyerang dan menyudutkan pemerintah. Pers di Inggris juga menyadari perannya seagai  salah satu pilar demokrasi dan bahkan tak jarang mampu meruntuhkan kewibawaan pemerintah.  Karena itu, ada kalanya pula beberapa pesan pemerintah tidak sampai. Dan hal demikian menjadi sesuatu yang amat penting karena menyangkut upaya mempertahankan popularitas pemerintah dan kekuasaannya yang sewaktu-waktu bisa jatuh karena mosi tidak percaya di parlemen. Itulah makanya government public relations begitu penting di Inggris. Tapi hal seperti ini tidak terjadi di Indonesia.  Sebab di Indonesia pergantian pemerintahan hanya bisa dilakukan lewat Pemilu.

Untuk mengefektifkan PR Pemerintah Di United Kingdom, seluruh bagian informasi yang ada di berbagai departemen, berkordinasi dengan Government Informations Service (GIS). Lembaga yang didirikan tahun 1950 ini bertanggung jawab terhadap manajemen informasi pemerintah Inggris. GIS bertugas untuk memberikan jawaban, menyediakan informasi yang akurat dan obyektif mengenai aktivitas dan kebijakan pemerintahan. Tapi perlu digarisbawahi lembaga ini sama sekali tidak punya kewajiban untuk mencoba mendukung pemerintah maupun mempersuasi media massa. Lembaga ini semata mata memberikan informasi dan publisitas sebagai guidelines masyarakat terhadap aktivitas pemerintah sebagai bagian dari pertanggungjawaban pemerintah terhadap aktivitas mereka yang relevan. Karena itu informasi yang disampaikan senantiasa diusahakan obyektif dan merupakan penjelasan bukan informasi yang tendensius, berbau polemik dan bukan untuk kepentingan partai politik.

Sejak Partai Buruh memenangkan Pemilu di Inggris tahun 1997, dan Tony Blair menjadi Perdana Menteri, pemerintah merubah besar-besaran lembaga pelayanan informasi ini (termasuk merubah nama lembaga itu). Sejak 1998 namanya berganti menjadi Governmental Information and Communications Service (GICS). Walau tetap tidak mempengaruhi lingkungan pers secara langsung, namun lembaga ini juga memberikan informasi kepada pemerintah yang berupa nasehat-nasehat yang berkaitan dengan komunikasi.

Di Inggris juga terdapat lembaga negara yang bernama Central office of Information (COI). Aktivitas lembaga ini adalah memberikan informasi yang berkaitan dengan kepentingan dan perhatian publik dengan cara netral. Kepada publik Inggris lembaga inilah yang bertanggung jawab memberikan informasi kalau ada hal-hal yang bisa membahayakan masyarakat, seperti prosedur keamanan sipil ketika ada hal-hal yang berbahaya, juga mengenai aktivitas British Council di luar negeri .

Lembaga yang bertugas memperkenalkan budaya, politik maupun pendidikan Inggris di luar negeri adalah COI dengan British Councilnya. Lembaga British Council ini walaupun dibiayai APBN Inggris namun mereka betul-betul independen dan bekerja secara obyektif untuk kepentingan budaya dan pendidikan. British Council tersebar di 100 negara di dunia, menjadi lembaga yang mendeseminasikan informasi dan budaya serta kerjasama di bidang pendidikan. Melalui British Council lah berbagai informasi tentang United Kingdom disebarkan dan diperkenalkan di masyarakat internasional. British Council banyak menggalang kerjasama kebudayaan dan pendidikan. Mendatangkan berbagai kesenian dan budaya Inggris ke berbagai Negara, juga sebaliknya, mengundang seniman dan hasil budaya lain ke Inggris. British Council juga memberikan bea siswa British Chevening Award untuk sekolah di universitas universitas terkemuka di Inggris, maupun studi-studi pendek di sana, kepada berbagai mahasiswa dari seluruh dunia.

British Council juga menerbitkan buku-buku, booklet, baik tentang pemerintahan Inggris, tentang sistem pemilihan umum, maupun panduan belajar di UK, dan juga buku-buku budaya serta pelajaran bahasa Inggris. British Council yang dibentuk tahun 30-an itu pada awalnya memang sebagai mesin propaganda, seperti juga BBC untuk kepentingan British Government. Setelah sekian lama, lembaga itu berobah, ada metamorfosisnya menjadi suatu institusi yang sangat Britanis, yang bukan semata mesin propaganda lagi -–sudah nggak punya tugas seperti itu sekarang-- tapi mereka itu menjadi cultural organisation yang mendukung policy nya Inggris. Namun tentu saja  walau British Council itu independen, tetap menguntungkan pemerintah Inggris.  Bagi United Kingdom selain British Council   ujung tombak pelayanan informasi Inggris di luar negeri adalah kedutaan dan kantor konsulat mereka  yang tersebar di berbagai negara di dunia.

Selanjutnya salah satu lembaga komunikasi yang amat terkenal dari Inggris adalah BBC (British Broadcasting Corporation), baik yang berupa satasiun radio maupun televisi. BBC berdiri sejak tahun 1926 sebagai sebuah lembaga pelayanan public. BBC merupakan lembaga yang amat independen, baik dalam pembiayaan maupun isi medianya. Pembiayaan BBC diperoleh dari iuran publik karena itu lembaga ini dituntut mempunyai akuntabilitas terhadap masyarakat, baik dalam penggunaan dana maupun materi content medianya. Upaya menyajikan isi yang netral dan obyektif untuk kepentingan public yang beragam benar-benar dijaga oleh BBC, sehingga media penyiaran ini mampu menjadi ikon kualitas isi penyiaran dan pemberitaan di dunia. Dan tentu saja kendati di luar kontrol pemerintah secara langsung, namun keberadaan dan kinerja BBC secara tidak langsung semakin menyebarkan image Inggris sebagai negara yang demokratis.

BBC radio maupun TV mempunyai  beberapa saluran, ada yang hanya disiarkan di dalam negeri, untuk televisi misalnya seperti BBC Parliament, BBC Channel 1,  BBC Channel 2, maupun BBC News 24, tapi ada pula sengaja dipancarkan keluar negeri yaitu BBC World Service. Untuk radiopun ada yang saluran untuk dalam negeri, tapi juga ada yang dipancarkan ke luar negeri, dengan menggunakan lebih  dari 40 bahasa asing, termasuk Indonesia.

5.3.3. Sistem Pelayanan Informasi Australia.
Untuk pelayanan informasi luar negeri, Australia mengandalkan kantor kantor kedutaan dan konsulatnya. Negeri ini tidak mempunyai lembaga khusus seperti British Council, Goethe Institute,  Alliance Frrancoises, Erasmus House atau USIS. Ide-ide agar Australia memiiliki Australian House sudah muncul sejak tahun 1970-an, dikatakan baik oleh banyak pihak di sana, tetapi hingga sekarang tidak terwujud.   sedangkan government public relations di Australia tidak ada secara kelembagaan, tetapi masing-masihg menteri punya koridor ke banyak wartawan terkemuka yang sering "disuapi" bocoran-bocoran yang sering menguntungkan pemerintah.
Umumnya, media di Australia tidak bisa dicekoki informasi oleh lembaga-lembaga pemerintahan, mereka terlalu selektif dan punya filter. Spokesperson pemerintah dilakukan oleh pejabat pejabat yang bersangkutan. Ada juga beberapa politisi ataupun pejabat pemerintah memiliki juru bicara yang berasal dari Media person.    Contohnya Bob Carr   (Premier di negara bagian New South Wales) Perdana menteri Negara bagian NSW ini punya media person untuk police affairs, juga punya media person untuk yang lain,  dia mengambilnya langsung dari jurnalis-jurnalis yang bergerak disana. Mereka sudah tahu semua permainan warttawan disana. Jadi politikus untuk urusan politik, untuk soal media kasih saja orang media yang ngurus. Misalnya untuk menteri kehakiman, yang biasanya meliput berita siaran tentang kehakiman, ambil aja salah satu dari Koran di Australia yang sudah senior dijadikan konsultan atau juru bicara untuk kehakiman, dia sudah tahu permainan kata-kata, kemudian effeknya atau dampaknya kata-kata itu setelah dibaca oleh pembaca.
Ketiadaan Australian House, ataupun Government Public Relations secara kelembagaan di Australia, sering memunculkan kritik dari kalangan orang Australia sendiri. Pemerintah Australia dianggap sedikit picik, berpikir jangka pendek, selalu ingin mendapatkan hasil yang baik dengan pengeluaran yang sedikit, demikian kritik itu yang salah satunya dikemukakan oleh    David Reeve, Associate Professor,  University of New Soth Wales, yang pernah mengajar di  Universitas Brawijaya Malang 1983, Universitas Indonesia 1984-1987, dan  Gadjah Mada Yogyakarta 1997-1999.
Namun demikian  media publik Australia amat maju, baik itu radio Australia yang bermarkas di Melbourne, maupun televisi Australian Broadcasting System.  Media penyiaran Australia ini tidak hanya memancarkan siarannya di dalam negeri, tapi juga siaran internasional ke berbagai negara. Mereka tidak hanya menyiarkan informasi dan  berita tetapi juga  mengajarkan paket-paket pelajaran bahasa Inggris. Pada tahun 1970-an hingga 1990, radio Australia mengirimkan banyak buku pelajaran bahasa Inggris untuk para pendengarnya di berbagai Negara, salah satunya Indonesia. Buku pelajaran yang sampai sembilan jilid itu, tidak hanya mengajarkan tentang bahasa Inggris style Australia, tetapi juga mengenalkan tentang budaya Australia.
Sama halnya dengan BBC, ABC juga mempunyai program siaran internasional dengan berbagai bahasa. Selain Inggris, Perancis dan Jerman,  di ABC ada juga program bahasa Indonesia, Arab, Cina, Thai, Urdu, Jepang, Tagalog  bahkan Rusia.
Di kedutaan Australia di berbagai negara mereka memiliki bagian press and public affairs, yang tidak hanya bertanggunng jawab pada hubungan media, untuk membuat press release, press conference, tetapi juga membuat penerbitan penerbitan tertentu. Termasuk menyediakan website yang yang senantiasa diupdate, di mana di dalamnya terseda berbagai innformasi tentang Australia, dari A sampai Z.  Melalui bagian ini Departemen Luar Negeri Australia menyebarkan informasi dan kebudayannya  ke berbagai negara. Mereka  memang secara spesifik  tidak menamakan sebagai bagian  public relations, tetapi fungsi mereka tak lain  adalah internasional  public relations yang disatukan dengan public diplomacy.
Di samping apa yang sudah diungkapkan di atas, pemerintah Australia juga menyediakan secara khusus website dan informasi tentang pendidikan dan pariwisata yang valid dan selalu diupdate di kedubes mereka dan di  Public Information Service (PIC) di Australia. Pemerintah Australia punya lembaga AUSAID yang memberikan dana bantuan kepada negara-negara miskin dan berkembang,baik untuk banntuan pendiidiikan seperti scholarship atau bea siswa, tapi juga diwujudkan dalam bentuk bantuan yang lain. Pemerintah Australia juga punya atase-atase perdagangan, ekonomi untuk memberikan informasi terhadap siapa saja yang membutuhkan. Sistem layanan ini diciptakan untuk memudahkan orang mengetahui tentang Australia ataupun akan pergi ke Australia.  
5.3.4. Sistem Pelayanan Informasi  Jepang
Bagi Pemerintah Jepang, untuk mejaga citra negaranya di luar negeri, pertama kali yang harus dibenahi dan menjadi perhatian mereka adalah bagaimana menjaga citra kami di dalam negeri. Menurut Yuji Mano, Sekretaris Kedubes Jepang di Jakarta, “Image dalam negeri kami harus terus terjaga, setelah itu baru kita bisa ekspos ke luar, silahkan media meliputnya, inilah kami, tidak ada yang perlu ditakutkan di tempat kami”. Semua ini menurutnya tentu harus diiringi dengan tindakan nyata dari pemerintah maupun masyarakat Jepang, bahwa apa yang kami ekspos di media massa maupun luar negeri ini benar adanya, kebenaran itulah yang penting.
Mengenai lembaga pelayan informasi di luar negeri, secara khusus Jepang tidak memiliki, tetapi kedutaan-kedutaan Jepang sangat terbuka, dan bagi publik yang  ingin memperoleh informasi tertentu,  bisa datang dan minta untuk dilayani, konon menurut Yuji Mano, mereka selalu terbuka, dan siap   untuk membantu. Mengenai konsep Government Public Relations, sebagai mana negara maju yang lain mereka pemerintah Jepang mempunyai apa yang disebut Kanchou Daibensha, yaitu  juru bicara pemerintah. Segala sesuatu dari pemerintah yang harus disampaikan ke khalayak luas selain dikemukakan oleh pejabatnya sendiri, juga disampaikan oleh juru bicara atau Kanchou Daibensha tersebut.
               Di Jepang, hampir tiap hari  Perdana Menteri  berpidato dan disiarkan televisi ke seluruh negeri. Kadang-kadang Perdana Menteri Jepang datang mengunjungi wartawan untuk mengadakan jumpa pers, atau terkadang wartawan yang datang  ke kantor Perdana Menteri untuk jumpa pers. Kalau wartawan tanya hari ini ada kejadian seperti ini, Perdana Menteri langsung jawab saat itu juga. “Jadi enak, semua bisa tersampaikan dengan baik” demikian komentar yang dikemukakan oleh  Okano Tadayasu, Sarjana lulusan Universitas Takushoku Jepang.

               Semua mekanisme hubungan antara pers dengan Perdana Menteri atau pemerintah Jepang ini dimanej oleh public relations pemerintah Jepang yang disebut Kohou Katsudou. Di pemerintah Jepang di setiap departemen, selain memunnyai juru bicara, mereka juga mempunyai petugas humas atau Kouhou Tantaukan yang senantiasa melakukan kordinasi dengan Kouhou Katsudou pusat, atau Humas Pemerintah.  Jadinya setiap pejabat yang bicara sudah disupport oleh informasi yang memadahi dari berbagai  bidang.
 
               Di luar negeri, seperti di Jakarta misalnya, berbagai informasi tentang Jepang disediakann tidak hanya oleh Kantor Kedutaan Besar, ataupun juga konsulatnya, tapi juga dilayani oleh Japan Cultural Centre, atau Pusat Kebudayan Jepang. Di Pusat Kebudayaan Jepang tersedia berbagai informasi mengenai kebudayaan Jepang, informasi pendidikan, hingga pemahaman tentang sistem politik, pemilu dan media massa di Jepang. Selain Pusat Kebudayaan, penyebar dan pelayan informasi Jepang di luar negeri juga dilakukan oleh beberapa lembaga seperti JETRO (Japan External Trade Organization), yaitu organisasi yang didirikan Pemerintah Jepang yang mengurusi berbagai hal yang berkaitan dengan ekspor impor dan penanaman modal serta informasi yang berkait dengan hal itu, yang sekarang direkturnya adalah Hiroyuki Kato. Juga lembaga internasional yang banyak memberikan bantuan teknis, pendidikan, pelatihan dan informasi di berbagai Negara, yaitu JICA (The Japan International Cooperation Agency). 
 
               Jepang juga mempunyai lembaga penyiaran public yang terkenal, yaitu NHK, yang siarannya dipancarkan di dalam dan di luar negeri. NHK sebagaimana BBC hidup dari iuran masyarakat, sehingga independenn baik dari dana maupun materi yang mereka siarkan. Sebagai catatan media massa di Jepang jika dibandingkan dengan jumlah penduduknnya, merupakan komposisi yang terbaik di dunia, mengalahkan Amerika Serikat. Surat kabar harian di jepang,  di tahun 2000, dalam satu hari saja oplahnya mencapai 71 juta eksemplar dengan total jumlah penduduk 119 juta jiwa. Sementara untuk Amerika Serikat pada tahun yang sama, oplah surat kabar hariannya hanya 67 juta, padahal penduduknya mencapai 270 juta jiwa. Sementara untuk Indonesia total media cetak hanya 14 juta dengan jumlah penduduk 210 juta jiwa.
 
               Yumiuri Shimbun Koran terbesar jepang punya oplah untuk sekali terbitan pagi mencapai 10,5 juta eksemplar. Sorenya beroplah 4,5 juta eksemplar. Sementara Koran kedua Asahi Shimbun, pagi hari beroplah 8 juta eksemplar, sorenya mencapai 4 juta eksemplar. Bandingkan dengan The Washington Post yang hanya beroplah 3,5 juta, atau The Sun koran kuning Ingggris yang hanya 3 juta eksemplar, apalagi dibanding Kompas yang hanya 0,5 juta eksemplar. Perkembangan media yang begitu pesat dan maju di Jepang itulah yang juga menuntut diberlakukannya system government public relations yang baik. 
 
 
5.3.5. Sistem Pelayanan Informasi di China
               Menurut Wang Xiaobing, di Republik Rakyat China  (RRC) semua  sistem, termasuk pelayanan informasi  diupayakan sesederhana mungkin. Ada upaya melakukkan berbagai kemudahan di berbagai kehidupan, terumatama yang menyangkut ekonomi.  Harus diakui pula dengan Kemudahan sistem itu, banyak memperoleh hasil, misalnya China sekarang terkenal iklim investasinya yang sangat bagus. 
 
               Sistem di China untuk menjaga image terutama untuk iklim envestasi  adalah menerapkan pelayanan yang efektif dan efisien, dengan  sistem yang terpadu, terkordinir dan prosedur yang sederhana. Berbagai kemudahan diberikan baik itu informasi maupun perijinan, tapi ini semua lebih kearah kebijakan ekonomi dan investasi. Pembangunan image kemudahan investasi ini dimulai dengan berbagai tindakan nyata  di dalam negeri bukan di luar negeri. Pada dasarnya informasi dan perijinan bisa diatasi dengan pejabat yang menangani masalah tertentu. Kadangkala cukup walikota saja yag berhadapan dengan wartawan. Tentu saja hanya masalah yang relevan yang bisa dikomentari pejabat tertentu atau kepala daerah tertentu.  
 
               Di China mempunyai badan tersendiri semacam government public relations yang bernama  gong gong guan xi, yang berfungsi menyampaikan segala macam hal yang harus disampaikan ke pihak luar. Dan digawangi oleh juru bicara, sebagai si penyampai pesan. Kebijakan-kebijakan penting pemerintah harus disampaikan melalui sini, Tidak bisa, orang yang tidak memiliki kompetensi untuk menyampaikan kebijakan pemerintah. Contohnya, kalau ada kebijakan keuangan, selain dari Menteri keuangan, yang bisa menyampaikan kebijakan ya hanyalah gong gong guan xi ini. Yang lain tidak. Fungsi lembaga komunikasi ini  adalah untuk menyampaikan keterangan agar pihak luar tidak memperoleh informasi yang salah. Orang yang bertanggung jawab untuk menyampaikan informasi tersebut dalam bahasa China dinamakan guan fang fa yan ren. Mereka adalah orang-orang yang memang expert di bidangnya, seperti bidang ekonomi, politik, keamanan, dan lain lain. Orang-orang yang dipilih sebagai guan fang fa yan ren  memiliki track record yang baik dan kemampuan komunikasi yang baik pula. Selanjutnya mereka ditempatkan pada pos-pos tertentu. Segala kebijakan pemerintah yang harus disampaikan di luar harus melalui mereka ini atau di bawah kordinasi badan yang bernama gong gong guan xi. Lain tidak, sehingga informasi yang disampaikan tetap akurat dan tidak membingungkan.
 
               China sebagai negara yang masih menganut paham komunisme memang cukup unik. Sentralisasi kekuasaan pada Partai Komunis Cina atau Kun Chang Tang, masih dipertahankan. Hal-hal yang berbau politik dan kekuasaan Negara termasuk masalah propaganda dan informasi keluar masih dikontrol secara ketat dan sentralistis. Tapi untuk investasi, atau kebijakan ekonomi lainnya menganut sistem liberalisme, sehingga perijjinan-perijinan investasi amatlah mudah dan kewenangannya diberikan sepenuhnya ke pejabat di daerah, sehingga tidak ada kerumitan birokrasi.

               Di luar negeri, China mempunyai cara untuk menjaga image  negaranya. Bian Qingzu, Political Counsellor Kedutaan Besar China di Jakarta menggatakan; “Pertama kali adalah bahwa kami harus menekankan garis besar kebijakan internasional kami di mata dunia. Untuk itu kami punya juru bicara di departemen luar negeri, ataupun kantor kedutaan besar kami, yang lazim disebut dengan guan fang fa yan ren. Tugasnya adalah selalu menekankan akan kebijakan RRC di dunia internasional. Kami juga menekankan bahwa kebijakan kami tidak bisa diintervensi oleh pihak manapun juga. Termasuk mengenai cara penyampaiannya, harus melalui orang kami. Jadi, informasi hanya bersumber dari pihak-pihak yang telah kami legitimasi saja”. 
 
               Dengan cara demikian itu, menurut para pejabat China, sampai saat ini dunia internasional secara umum bisa memahaminya. Kalau konsep gong gong guan xi  itu ditelah dari cara-cara kerja mereka dan fungsinya di atas. Sebenarnya lembaga ini mirip dengan Departemen Penerangan  pada masa pemerintahan Orde Baru di Indonesia, hanya saja lembaga ini dijalankan secara professional dan lebih diarahkan ke luar negeri untuk mengundang investasi ke China.  Sedang ke dalam negeri lebih banyak dilakukan oleh kantor dan kader partai Komunis China.  Prinsip utama yang digunakkan gong gong guan xi untuk informasi luar negeri, adalah bahwa  mereka   akan memberikan informasi keluar sepanjang itu penting,  kalau pihak luar tidak punya kepentingan akan informasi itu, ya  tidak diberikan. Jadi informasi yang disampaikan diseleksi sedemikian rupa untuk kepentingan pembangunan image yang favorable mengenai Negara Tirai Bambu ini.  Lembaga informasi ini juga menyediakan informasi dalam bentuk terbitan berkala, maupun penyediaan informasi di website. 
 
               Jadi intinya, di China struktur di dalam negeri diperkuat terlebih dahulu. Semua kemudahan, debirokratisasi untuk investasi dijalankan dengan konsisten, sekaligus dimbangi dengan penegakan hukum. Korupsi yang dulu marak seperti di Indonesia, ditekan habis habisan dengan aturan baru yang sanksinya hingga hukuman mati, dan itu dikampanyekan dan  dijalankan secara konsekuen. Pejabat yang terbukti korup banyak yang diadili dan dihukum berat tadi. Di samping  langkah nyata tersebut, China juga menerapkan system layanan informasi terpadu dengan menggunakan lembaga gong gong guan xi .  Hasilnya, hanya  dalam waktu 20 tahun  setelah liberalisasi ekonomi yang dilakukan oleh Deng Xiaoping,  Negara ini tampil menjadi  raksasa baru ekonomi dunia. Penduduknya yang berrjumllah 1,3 milyar tidak  hanya menjadi pasar potensial, tetapi juga menjadi produsen ke 4 terbesar di dunia setelah Amerika Serikat, Jepang, dan  Jerman. Di dunia internasional, China dikenal sebagai tempat investasi yang menjanjikan keuntungan dan menjadi Negara yang begitu pesat melakukan pembangunan secara modern. Kendati image di dunia internasional masih ada masalah pelanggaran Hak azasi manusia, khususnya yang berhubungan dengan peristiwa pembantaian para demonstran di Lapangan Tiananmen tahun 1989 lalu, dan kurangnya reformasi dan demokratisasi dalam sistem politik, namun gaung citra negative  itu semakin redup tertutup oleh sukses besar China dalam liberalisasi ekonomi dan ekspansi produknya ke pasar internasional yang sangat fenomenal. Image China sekarang adalah negara produsen apa saja, dari produk elektronik, sepeda motor, mesin-mesin, hingga obat-obatan alternatif, dengan harga yang jauh lebih murah dari produk negara lain. Itulah China yang maju dengan restrukturisasi ekonomi dan government public relations ala gong gong guan xi .
 
Ditulis tahun 2002







                                                                                            



* Alumni  Komunikasi FISIPOL UGM, FH UII,  Pascasarjana Komunikasi UI, dan Alumni penerima bea siswa  British Chevening Award in Public Administration International, London UK. Alumni penerima Bea siswa  Studi di Amerika Serikat dalam program International Visitor  Study dari US Departement State.  Selasi program doktor tahun 2009 di Universitas Airlangga