Selasa, 17 April 2018

SIKAP POLITIK ITU STUBBORN By : Henry Subiakto


Secara teoretis sikap politik orang itu cenderung Stubborn, kepala batu. Sulit untuk berubah atau dipersalahkan. Walau sudah seminggu terjadi perdebatan tentang kitab suci yang dinilai Fiksi oleh Rocky Gerung, ternyata hasilnya menjauh dari titik temu. Tetap saja isu kontroversi itu membelah publik sesuai opini dan sikap politik mereka selama ini. Sampai sampai ada yang untuk membenarkan  sikap politiknya, harus rela bahwa kitab suci dikatakan fiksipun bisa menerima dan membenarkan. Kalau biasanya mereka serba sensitif, mudah tersinggung jika doktrin agamanya dikritik orang, tiba tiba menjadi begitu toleran dalam pemikiran. Bahkan bisa memahami dan setuju dengan pemikiran liberal sekuler,  yang dilontarkan RG hanya karena yang menyampaikan itu selama ini dikenal opini opininya berasal dari satu kubu dalam sikap politik. Untuk membenarkan pemikiran tokoh sekubu itupun bahkan sampai mereka bersedia memanggil yang bersangkutan dengan gelar profesor supaya lebih pantas dipuja, dibenarkan, dan terkesan sangat ilmiah, walau sesungguhnya  si "ahli filsafat" yang mereka sanjung sanjung itu hanya berpendidikan S1, dan jelas jelas bukan profesor.
Bagi kalangan "ilmuwan" agnostik atau secara umum disebut sekuler, memang banyak yang menganggap kitab suci itu hasil imajinasi pikiran manusia. Bahkan bagi mereka, Tuhanpun dianggap tak lebih dari produk "delusi" dari banyak orang (baca buku God Delusion by Richard Dawkins). Sejak lama bagi kalangan atheis atau agnostik ini Agama dipandang sebagai doktrin yang tidak sesuai dengan "Science". Upaya ilmuwan  Barat menchallenge agama sudah ada sejak era Renaissance, sebagaimana dilakukan Charles Darwin, dengan teori evolusinya, hingga pengikutnya sekarang seperti Richards Dawkins di Inggris. (Baca Scott Gordon: The History and Philosophy of Social Science). Bahkan filosof besar Kal Marx pun menganggap agama itu sebagai fiksi untuk tujuan ketertundukan manusia menerima kelas sosial yang dominan. Kesadaran kelas dihambat dengan doktrin doktrin agama, sehingga Marx pun menuding agama sebagai "candu" yang mereduksi kesadaran kelas. Berbekal teori dan pemikiran sekuler  semacam itulah lalu muncul kesimpulan bahwa kitab suci adalah Fiksi. Karena banyak harapan yang belum terjadi dalam kitab suci. Jelas ini pemikiran yang salah dan tidak lengkap.
Anehnya kemudian pemikiran agnostik semacam inipun diamini dan dibela oleh banyak orang hanya karena yang bicara adalah orang satu kubu dalam sikap politik. Padahal bagi orang beragama, kitab suci itu jelas bukan fiksi, melainkan wahyu Tuhan. Tapi biarlah kalau sekarang mereka berpendapat seperti itu hanya untuk membenarkan sikap politik kubunya. Yang penting mereka sekarang jadi lebih terbuka dan toleran dengan pemikiran yg berbeda. Bahkan bisa menerima pemikiran yang akarnya atheisme. Ini kemajuan yang baik bagi demokrasi, walau belum tentu mereka sadari. Bagi saya, semoga sikap toleransi dan "sok ilmiah" tersebut bisa terus konsisten, terutama saat ada orang lain yang bersuara mengritik agama atau cara-cara mereka beragama. Sebaliknya bagi kelompok lain yang selama ini mendeklarasikan diri toleran, juga jangan tiba tiba menjadi "galak" dan suka main lapor. Kalau seperti itu lalu apa bedanya? Tetaplah adem, dan tidak perlu caci maki atau demo berjilid jilid.


Henry Subiakto



Senin, 09 April 2018

PERLUKAH PUASA MEDSOS UNTUK POLITIK? Oleh: Henry Subiakto


Semua pemilik akun di FB, pada dasarnya telah menyerahkan data pribadi dan data perseorangannya secara sukarela. Karena saat membuat akun telah "menyetujui" bahwa semua pesan komunikasi dan aktivitas pribadinya terekam dan teranalisis secara digital oleh Facebook. Jadi FB itu praktis menguasai data pribadi dan perseorangan dari 2 milyar lebih penduduk dunia yang punya akun di FB. Kumpulan data itulah yang dipakai FB dan pihak ketiga untuk bisnis mereka, terkait politik maupun ekonomi yang berbasis big data dan profiling.
Cambridge Analytica salah satu pihak ketiga, mengambil data dari FB untuk kepentingan politik kliennya di beberapa negara. Sebagai konsultan politik yang dibayar mahal, Cambridge menggunakan data FB untuk  aktivitas "Dark and Dirty Politics". Salah satunya menurut Chistopher Wylie (wistle blower skandal ini) dipakai utk memenangkan Donald Trump di AS th 2016)
Dengan mengolah 71 juta lebih data pribadi termasuk di dalamnya menyangkut kepribadian, kesukaan, hingga orientasi politik para calon pemilih ini "digarap" dalam waktu lama. Cara kerja Cambridge Analytic, dilandasi dengan asumsi bahwa untuk mengubah politik, harus diubah dulu "budayanya". Karena politik mengalir lewat budaya. Untuk mengubah budaya, pertama-tama harus diubah juga masyarakatnya. Untuk mengubah masyarakat, hancurkan dulu nilai nilai kearifan yang mengintegrasikan mereka, setelahnya jadikan masyarakat baru sesuai visi yang diinginkan.
Dilakukanlah operasi psikologi  (Psyops) untuk mempengaruhi emosi, mengaduk semangat identitas, memotivasi untuk mengalahkan lawan, dengan memberikan alasan objektif. Setiap target diperlakukan sebagai person politik berdasarkan psikologinya.
Setelah itu tim kreatif, designer, fotografer, videografer membuat content yang akan dikirim ke target atau calon pemilih, lewat berbagai saluran digital (medsos), tak hanya FB. Konten itu mencampurkan fakta dan opini, hoax, fake news, dan lain lain yang diarahkan sesuai visi mereka. Diciptakanlah situs, blog, akun, buzzer dan content apapun untuk membenarkan visi, sekaligus agar target mudah mengakses dan mengklik, hingga masuk dalam konstruksi yang dibangun secara psikologis. Jadi setiap target yang dipilih berdasar data itu, diperlakukan secara personal yang selalu "dibisiki", dikelilingi pesan pesan agar terbangun emosinya sesuai visi politik yang diarah.
Cara ini terbukti berhasil memenangkan Trump di AS, juga memenangkan pendukung Brexit di UK. Trump yang cenderung dinilai "Rasis" dan kasar, justru comply dengan "White Supremacy",  "First America" dan melihat diluar itu adalah ancaman. Mayoritas Kulit  putih AS dibangkitkan kesadaran identitas dan prasangkanya. Mereka dikembalikan untuk bermimpi serba super dengan ras kulit putih yang dominan. Hal itu dilakukan sembari menghancurkan lawan dengan berbagai hoax dan fitnah.  Maka Trump pun menang.
Apakah politik di Indonesia juga sudah ada yang menggunakan konsultasi Cambrigde Analitica? Ini pertanyaan serius yang perlu jawaban berdasar penyelidikan yang berwenang. Tapi berdasar besarnya kebocoran data pengguna FB dari Indonesia hanya sekitar sejuta, besar kemungkinan data ini hanya dipakai untuk politik di tingkat Propinsi atau Pilkada. Cuma dimana terjadinya, ini belum ada bukti yang jelas. Untuk kedepan Pilpres 2019 harus dijaga jangan sampai ada cara cara yang sama dengan yang terjadi di AS maupun UK. Bangsa Indonesia harus menolak dan melawan, penggunaan situs abal abal, hoax dan provokasi politik Identitas.
Kalau perlu kita anjurkan rakyat Indonesia untuk puasa medsos hingga Pilpres 2019, artinya dalam orientasi politik jangan menggunakan referensi dari medsos termasuk FB, yg memang rentan dari rekayasa pihak tertentu. Sebaiknya ambil informasi dari media konvensional yg objektif, sudah memiliki reputasi serta bisa dimintai pertanggung jawaban. Kalau mau lebih akurat bisa melihat kondisi nyata, apa yg tampak, apa yg dirasakan dan apa yg dialami. Medsos cukup diperlakukan sbg sarana berkumpul dan mencari hiburan, tapi bukan utk persoalan politik.
Apakah Anda setuju dan merasa bahwa di negeri ini, strategi Cambridge Analitica sebenarnya sudah ada tanda tandanya yg kita rasakan? Jika memang demikian kita memang harus menolaknya, sekaligus mengusutnya. Mari kita diskusi.


Henry Subiakto