Secara
teoretis sikap politik orang itu cenderung Stubborn, kepala batu. Sulit untuk
berubah atau dipersalahkan. Walau sudah seminggu terjadi perdebatan tentang
kitab suci yang
dinilai Fiksi oleh Rocky Gerung, ternyata hasilnya menjauh dari titik temu.
Tetap saja isu kontroversi itu membelah publik sesuai opini dan sikap politik
mereka selama ini. Sampai sampai ada yang untuk membenarkan sikap politiknya, harus rela bahwa kitab suci
dikatakan fiksipun bisa menerima dan membenarkan. Kalau biasanya mereka serba
sensitif, mudah tersinggung jika doktrin agamanya dikritik orang, tiba tiba
menjadi begitu toleran dalam pemikiran. Bahkan bisa memahami dan setuju dengan
pemikiran liberal sekuler, yang dilontarkan RG hanya
karena yang menyampaikan itu
selama ini dikenal opini opininya berasal dari satu kubu dalam sikap politik.
Untuk membenarkan pemikiran tokoh sekubu itupun bahkan sampai mereka bersedia
memanggil yang bersangkutan dengan gelar profesor supaya lebih pantas dipuja,
dibenarkan, dan terkesan sangat ilmiah, walau sesungguhnya si "ahli filsafat" yang mereka
sanjung sanjung itu hanya berpendidikan S1, dan jelas jelas bukan profesor.
Bagi
kalangan "ilmuwan" agnostik atau secara umum disebut sekuler, memang
banyak yang menganggap kitab suci itu hasil imajinasi pikiran manusia. Bahkan
bagi mereka, Tuhanpun dianggap tak lebih dari produk "delusi" dari
banyak orang (baca buku God Delusion by Richard Dawkins). Sejak lama bagi
kalangan atheis atau agnostik ini Agama dipandang sebagai doktrin yang tidak
sesuai dengan "Science". Upaya ilmuwan Barat menchallenge agama sudah ada sejak era
Renaissance, sebagaimana dilakukan Charles Darwin, dengan teori evolusinya,
hingga pengikutnya sekarang seperti Richards Dawkins di Inggris. (Baca Scott
Gordon: The History and Philosophy of Social Science). Bahkan filosof besar Kal
Marx pun menganggap agama itu sebagai fiksi untuk tujuan ketertundukan manusia
menerima kelas sosial yang
dominan. Kesadaran kelas dihambat dengan doktrin doktrin agama, sehingga Marx
pun menuding agama sebagai "candu" yang mereduksi kesadaran kelas. Berbekal
teori dan pemikiran sekuler semacam
itulah lalu muncul kesimpulan bahwa kitab suci adalah Fiksi. Karena banyak
harapan yang belum terjadi dalam kitab suci. Jelas ini pemikiran yang salah dan
tidak lengkap.
Anehnya
kemudian pemikiran agnostik semacam inipun diamini dan dibela oleh banyak orang
hanya karena yang bicara adalah orang satu kubu dalam sikap politik. Padahal
bagi orang beragama, kitab suci itu jelas bukan fiksi, melainkan wahyu Tuhan.
Tapi biarlah kalau sekarang mereka berpendapat seperti itu hanya untuk
membenarkan sikap politik kubunya. Yang penting mereka sekarang jadi lebih
terbuka dan toleran dengan pemikiran yg berbeda. Bahkan bisa menerima pemikiran
yang akarnya atheisme. Ini kemajuan yang
baik bagi demokrasi, walau belum tentu mereka sadari. Bagi saya, semoga sikap
toleransi dan "sok ilmiah" tersebut bisa terus konsisten, terutama
saat ada orang lain yang
bersuara mengritik agama atau cara-cara mereka beragama. Sebaliknya bagi
kelompok lain yang selama ini mendeklarasikan diri toleran, juga jangan tiba
tiba menjadi "galak" dan suka main lapor. Kalau seperti itu lalu apa
bedanya? Tetaplah adem, dan tidak perlu caci maki atau demo berjilid jilid.
Henry Subiakto