Millions
of people who had never though much about media are now actively
working
to make media and to change media policies to blast open the
system.
It is becoming an accepted observation
that any effort to democratize
society
must include a campaign to change the media system or else the
prospect
or success will be far lower.
Robert
W. Mc Chesney (2006).
Dewasa ini kecenderungan industri media sebagai alat kapitalisme menjadi semakin nyata. Bentuknya
menjadi semakin menggurita, menjangkau ke mana-mana, cenderung ingin memonopoli,
dan bahkan melintasi batas negara. Tetapi kontrol pemilikannya justru makin terkonsentrasi
hanya pada beberapa orang saja. Dalam
menjelaskan fenomena tersebut Peter Gollding dan Graham Murdoch mengatakan “media as a political and economic vehicle,
tend to be controlled by conglomerates and media barons who are becoming fewer
in number but through acquisition, controlled
the larger part of the world’s mass media and mass communication” (2000:
71).
Dalam
fenomena global, tahun 1983, diperkirakan ada 50 konglomerat yang
mendominasi pemilikan televisi, radio, film, surat kabar, majalah, hingga
penerbitan di Amerika Serikat, Eropa, Australia dan Asia. Tapi tahun 1997
setelah melalui proses merger dan
akuisisi, para baron yang menguasai
media dunia hanya tinggal 10 saja. Sedangkan catatan setelah tahun 2002, penguasa
media dunia, menurut Mc Chesney (2002) malah tinggal 3 holdings besar, yang disebut The
Holy Trinity of the Global Media System.
Yaitu kelompok tiga besar dunia, Time Warner and AOL Holdings, News Corp.’s Holding dan Disney’s
Holdings.
Terjadinya
konsentrasi media dengan berbagai konsekuensinya oleh banyak ilmuwan dinilai akan
membahayakan proses demokrasi. Fenomena itu dijelaskan Robert W Mc Chesney
dalam buku ”Rich Media Poor Democracy”, yang ditulis tahun 2000. Juga yang
dilakukan David Croteau dan William Hones dalam buku The Business of Media (2001).
Atau tulisan Al Lieberman dengan Patricia Esgate dalam buku, The Entertainment Marketing Revolution,
Bringing The Moguls, The Media and The Magic to the World (2002), Maupun
buku yang ditulis Robert A Hackett dan William K. Carroll yang berjudul Remaking Media, The struggle to democratize
public communication (2006).
Inti persoalannya terletak pada efek,
tatkala sistem produksi budaya massa, informasi, dan kekuatan ekonomi, bahkan penentu
opini publik atau politik, terkonsentrasi secara vertikal maupun horisontal
hanya pada segelintir orang. Tentu saja amat mengkhawatirkan mengingat, bagaimanapun
telah banyak bukti bahwa kekuatan media dalam masyarakat modern amatlah
signifikan mempengaruhi sistem sosial, ekonomi dan politik. Menjadi masalah
ketika sistem media dominan, hanya dimiliki oleh beberapa gelintir orang saja.
Konsentrasi
Media Di Indonesia
Repotnya, “fenomena
buruk” yang banyak dikritik di negara-negara Barat (Amerika Serikat dan Eropa) yang
dianggap sebagai ancaman demokrasi tersebut, malah juga terjadi di Indonesia. Gejala
neo liberalisme dengan kecenderungan konsentrasi pemilikan, memang telah
menjadi fenomena yang makin menjadi-jadi, terutama pasca-reformasi. Boleh dikatakan sistem media
di Indonesia
sekarang ini ibarat lepas dari mulut buaya, masuk ke mulut singa. Awalnya (di
masa Orde Baru), sistem media dikontrol oleh negara, setelah reformasi, gantian
kekuatan kapitalis yang menancapkan
pengaruhnya. Lagi-lagi kemerdekaan dan independensi media ’terancam” dalam
bentuk lain.
Menurut catatan, tahun 2004 kelompok Media
Nusantara Citra (MNC) sukses melakukan merger
antara RCTI, TPI dan Global TV. Setahun kemudian kelompok media milik Hary
Tanoesoedibjo ini berhasil mengatrol TPI hingga sempat melejit dalam perolehan
iklan dengan program andalannya yaitu Kontes Dangdut Indonesia (KDI), dan
Rahasia Ilahi. Kelompok ini juga melebarkan sayap di bisnis media cetak, yaitu
harian Seputar Indonesia
(Sindo), dan puluhan stasiun radio yang masuk dalam jaringan Trijaya Network.
Kelompok perusahaan yang berada di bawah payung Group Bhakti Investama ini juga
memiliki saham signifikan di perusahaan selulair, Mobile 8 dengan produk CDMA
di pasaran bernama Fren.
Di pihak lain
TV Swasta ANTV telah ”mengundang” masuknya
mogul, atau media baron, Rupert Murdoch, pemilik News Corporation yang jaringannya tersebar di seluruh dunia. Melalui
kelompok Star TV Hongkong mereka memiliki 20% saham. Sokongan dana
dari konglomerat global ini mampu membuat ANTV menyajikan program yang
menghamburkan banyak hadiah. Televisi yang dikelola Anindya Bakrie itu fokus
pada program reality show, seperti Super
Milyarder, Super Milyarder 3 Milyar, Super Deal 2 Milyar dengan hadiah-hadiah
fantastis. Belakangan ANTV diberitakan ”bekerjasama” juga dengan Lativi.
Sementara ”The Rising Star” Trans
TV menggandeng TV 7 milik kelompok Kompas Gramedia Group. Ini merupakan
kekuatan baru yang potensial, mengingat perusahaan milik Chaerul Tanjung
tersebut dinilai ”cukup berhasil” di dalam bisnis TV dan perbankan (Bank Mega).
Melalui kerjasama dengan kelompok Kompas Gramedia Group ---yang sejak lama
terkenal dengan kekuatan jaringan medianya, baik cetak maupun radio, juga hotel
dan perbankan--- terciptalah sinergi
baru dalam pertelevisian. Dengan kerjasama itu TV 7 kemudian berubah menjadi Trans 7. Kelompok ini mencoba menerapkan segmentasi di
antara mereka. Trans TV fokus pada life
style dan trends setter.
Sedangkan Trans 7 konsisten ke TV sport
dan News. Kini, dari 10 stasiun
televisi yang siaran nasional, tinggal 3 stasiun yang belum bergabung dengan
kelompok lain.
Merger oleh perusahaan-perusahaan media, dinilai menjadi
pilihan yang tepat untuk melakukan efisiensi dan konvergensi. Merger dan akuisisi juga dianggap
sebagai strategi terbaik untuk menyehatkan kondisi keuangan televisi yang berat
karena menghadapi persaingan yang ketat.
Merger memang menjadi fenomena
umum. Karena karakeristik para pengusaha di manapun, ada kecenderungan sama,
yaitu selain menerapkan efisiensi dan
konvergensi, mereka juga berupaya memperbesar jaringan usahanya,
kemudian mengakumulasikan keuntungan dan modal untuk kepentingan mereka.
Namun diakui
pula, merger itu ada sisi negatifnya,
karena itu kendati merger diperkenankan,
tapi selalu ada aturannya. Sebagai contoh di negara liberal seperti Amerika Serikat, proses merger itu harus terbuka, dan memperoleh persetujuan dari otoritas
regulator. Keinginan perusahaan raksasa Time Warner untuk bergabung dengan American
On Line (AOL) prosesnya cukup lama
dan baru terlaksana januari 2001
setelah memperoleh ijin atau persetujuan dari Federal Communication Commission
(FCC).
Jadi Time Warner and AOL (TWOL), konvergensi dua konglomerasi media yang
nilai asetnya mencapai lebih 200 milyar dolar AS, atau holdings media terbesar dunia itu bisa terjadi karena ada approval, persetujuan merger dari FCC. Semua proses merger melalui mekanisme yang harus
disetujui oleh lembaga pengartur sistem komunikasi. Ini yang berbeda dengan di
Indonesia, hampir semua kegiatan merger
di perusahaan stasiun televisi di sini, sama sekali tidak meminta persetujuan
KPI. Bahkan boleh dikatakan KPI tidak pernah dilibatkan dalam proses
konsentrasi pemilikan atau konsentrasi operasional semacam itu. Padahal menurut
UU Penyiaran, KPI memiliki tugas menciptakan tatanan sistem penyiaran yang
demokratis dan sehat. Bagaimana hal tersebut bisa tercapai, jika media massa,
terutama penyiaran jalan sendiri-sendiri ketika melakukan merger, tanpa melibatkan regulator penyiaran.
Namun tidak bisa
disangkal proses meger dan akuisisi
memang merupakan fenomena global. Walau apa yang dilakukan para mogul itu sering bertentangan dengan
tuntutan keadilan dan demokrasi, tapi atas nama efisiensi, tuntutan industri,
dan neoliberal spirit, konsentrasi itupun tetap
saja berlangsung dan menjadi trend.
Itulah yang
ditulis oleh David Croteau dan Wiliam Hoynes (2001: 73) ketika menjelaskan kecenderungan struktur industri media kapitalis dewasa ini.
Menurut mereka ada empat macam perkembangan
yang terjadi dalam bisnis media, yaitu:
1. Growth (pertumbuhan) yang pesat, diwarnai dengan fenomena mergers antar-perusahaan atau joint, sehingga menjadi makin besar dan
merambah ke mana-mana.
2. Integration (integrasi), raksasa media terintergrasi secara horisontal
engan bergerak ke berbagai bentuk media seperti film, penerbitan, radio dan
sebagainya. Tapi juga terjadi integrasi secara vertikal, dengan pemilikan
perusahaan di berbagai tahapan produksi dan distribusi, dari hulu sampai hilir.
Misalnya memiliki perusahaan produksi film, sekaligus perusahaan bioskop,
perusahaan DVD, dan jaringan stasiun televisi.
3. Globalization, konglomerat media telah menjadi entitas global, dengan
jaringan pemasaran yang menembus yuridiksi negara.
4. Concentration of ownership, kepemilikan
holdings media meanstream semakin
terkonsentrasi kepemilikannya.
Yang jadi persoalan,
berbarengan dengan konsentrasi media tersebut, menurut Croteau dan Hoynes
(2001), media massa
sekarang juga telah mengalami komersialisasi yang luar biasa. Media menempatkan
audience
semata-mata hanya dilihat sebagai consumer bukan warga negara (citizens).
Tujuan utamanya generate profits for
owners and stockholders. Kemudian
mendorong khalayak untuk enjoy themselves
view ads, and buy product. Karena itu apa yang dianggap menarik bagi publik
oleh media, adalah apapun yang populer di masyarakat. Dengan demikian tujuan ideal media untuk promote active citizenship via information,
education and social integration, sudah dilupakan dan tenggelam dengan
gelombang hiper komersialisasi.
Efek
Yang Berbahaya?
Itu semua, efek liberalisasi media yang memuja pasar bebas. James Curran, profesor
komunikasi dari University
of London, dalam Rethingking
Media and Democracy (2000: 121-154), mengkritik fenomena tersebut. Menurutnya
dengan liberalisme, justru mendorong media melakukan korupsi dan bias mekanisme
pasar. Dengan liberalisme peran media sebagai watchdog terhadap kekuasaan, tidak memunculkan sikap independensi
untuk melayani kepentingan publik, melainkan lebih untuk keuntungan
perusahaan. Liberalisme menghambat freedom to publish. Menciptakan kondisi
media sebagai big business yang membutuhkan pemodal kuat, sehingga yang mampu mengelola dan memilikinya
hanyalah para baron yang elitis. Liberalisme
dan pasar bebas juga mereduksi perputaran informasi publik, dan meningkatkan
jumlah masyarakat yang tidak well informed. Karena semakin besarnya porsi penempatan isi
hiburan atau human interest dan
meminggirkan liputan public affairs, atau
program yang mencerdaskan. Ini mengurangi bobot demokrasi, sebab kontrol
terhadap public affair menjadi
semakin elitis, keterlibatbatan masyarakat menjadi semakin kecil, padahal salah
satu prasarat demokrasi adalah partisipasi publik.
Jadi, strategi merger bukanlah
upaya untuk meningkatkan pelayanan kepada kepentingan publik, melainkan lebih
merupakan strategi bisnis semata. Sejalan dengan komersialisasi media yang
makin dominan. Produk media yang dihasilkan cenderung diarahkan ke dunia
hiburan yang acapkali tidak mendidik. Alih alih mencerdaskan khalayaknya, yang
terjadi justru sebaliknya, memberikan kontribusi pada proses pembodohan dan
ketidakcerdasan publik. Bagaimana publik akan cerdas, jika melalui
program-program yang memuja rating
itu, masyarakat hanya diajak ketawa, atau menangis, dengan lawakan dan
sinetron? Sedang fungsi informasi dan edukasi, teramat sedikit. Jadinya media
massa hanya menjadi sarana hiburan semata.
Civic education untuk demokrasi
menjadi semakin terabaikan. Padahal
hasil dari sistem demokrasi amat ditentukan oleh kualitas orang banyak yang
memiliki hak suara. Tanpa kualitas, demokrasi hanya akan menghasilkan keburukan
dan ironi-ironi
Satu hal yang paling dikhawatirkan atas konsentrasi pemilikan adalah
ancamannya terhadap keragaman isi (diversity
of content), terutama yang menyangkut pemberitaan. Pengaruh kekuasaan pemilik dan pengelola media terhadap
pemberitaan, memang sempat dipertanyakan korelasinya. Namun berdasar berbagai
studi, sebagaimana dilakukan oleh
Altschull (1984) yang hasilnya sering disebut sebagai Second Law of Journalism, dikenal istilah; “the content of the media always
reflect the interest of those who finance them” (McQuail, 2002 : 198).
Inilah yang dibenarkan banyak kritisi media, bahwa bagaimanapun para
pemilik media amat menentukan isi medianya. Disitulah kemudian para pemilik
media memiliki kekuatan dengan korporasinya. Kekuatan itu tidak hanya dipakai
untuk kepentingan bisnis semata, tetapi juga untuk menentang peraturan yang
akan “membatasi” mereka. Bahkan tak jarang para pemilik media karena menyadari
posisinya, mereka melibatkan diri dalam politik, dan menggunakan medianya untuk
kepentingan politik. Walhasil para mereka ini amat menentukan siapa yang akan
mendapat dukungan publik.
Di luar negeri, Silvio Belusconi merupakan contoh yang tepat. Belusconi
pemimpin partai Forza Italia, merupakan konglomerat media yang menguasai penerbitan
dan televisi di Itali. Dengan popularitasnya sebagai pemilik AC Millan, ia pun
dua kali menduduki jabatan Perdana Menteri Italia. Ini semua tak lepas dari
kemampuan Belusconi mengendalikan sumber daya media (Paul Satham, 1996: 88).
Ruperth Murdoch, yang sekarang ikut memiliki ANTV, juga punya reputasi
bermain politik, baik di negara asalnya, Australia, Inggris, dan Amerika Serikat. Pada Pemilu tahun 1970 Murdoch mendukung
partai Buruh Australia dengan memberikan rubrik khusus di medianya, agar partai
tersebut lebih dikenal masyarakat. Di tahun 1990-an Murdoch dicatat mengambil
alih tabloid The Sun, The Times dan Sky B
television di Inggris. Melalui media-medianya tersebut ia memberikan
dukungan pada partai Buruh dan Tony Blair pada pemilihan Perdana Menteri
Inggris tahun 1997. Dengan dukungan Murdoch, Tony Blair berhasil menggusur John
Major. Hal yang sama dilakukan Murdoch di Amerika Serikat. Mulanya Ia harus
rela pindah kewarganegaraan supaya bisa memiliki televisi di AS. Dengan jaringan
Fox TV, Murdoch mendukung partai Republik dan George W. Bush dalam pemilu
Presiden 2004 lalu. Hasilnya, Bush-pun menang.
Jadi, kecenderungan para pemilik media menggunakan pengaruhnya atau
kekuasaannya dengan isi media dan berita-beritanya merupakan kenyataan yang
sering terjadi. Nah, bagaimana jadinya jika para pemiliki media semakin lama
jumlahnya semakin sedikit? Berarti check
and balances antar-media semakin melemah juga. Menurunnya pluralitas pemilikan, akan berpengaruh
terhadap menurunnya prularitas isi, terutama dalam hal informasi. Jika demikian
bukankah sistem demokrasi yang berlangsungpun, juga ditentukan dan dipengaruhi
oleh jumlah orang yang semakin sedikit pula?
Karena
Media Power
Logika, terancamnya demokrasi itu karena diakui bahwa kekuatan media (media power) memang sangat signifikan
mempengaruhi akses terhadap politik dan partisipasinya. Ada tiga macam bentuk kekuatan media terhadap politik, yaitu:
Pertama adalah discursive power. Ini
didasarkan pada asumsi “pengetahuan atau informasi itu adalah kekuatan”. Media
memiliki peran mendistribusikan informasi yang didapatkannya, sehingga dapat
disimpulkan media merupakan pemilik dari sesuatu kekuatan yang cukup
signifikan. Karena orang-orang itu berpikir dan berperilaku sesuai dengan apa
yang ia dengar, baca, atau lihat di media massa. Dengan kata lain, media
berperan sebagai pembentuk opini publik, dan common sense. Terlebih pada masyarakat modern yang memang
menggantungkan informasinya dari media massa.
Kedua access power, dengan
dimilikinya peran sebagai pendistribusi informasi, media memiliki otoritas
mengatur keluar masuknya (peredaran) informasi yang akan disebarkan ke publik.
Dapat dipastikan, siapapun yang mengendalikan media massa dapat secara leluasa
menggunakan access power yang melekat
pada media massa tersebut.
Ketiga, resource power. Dengan
adanya discursive power dan access power yang melekat pada media
massa, maka institusi dan pemilik media memiliki posisi tawar yang cukup untuk
mempengaruhi perilaku pemerintah, dan bargaining
position yang lain. Hal tersebut disebabkan oleh kebutuhan pemerintah dalam
hal pencitraan diri terhadap masyarakat, yang jelas-jelas sangat membutuhkan
peranan media massa.
Nah, lalu apa jadinya kalau pemilik dan pengelola media jumlahnya semakin
sedikit? Sementara mekanisme kontrol terhadap media penyiaran juga belum
berjalan sebagaimana seharusnya. Di negara maju yang aturan hukum dan etikanya
telah mapan saja banyak persoalan, apalagi di negara Indonesia yang masih
belajar berdemokrasi, dan sering mengabaikan aturan hukum dan etika? Lalu apa
Jadinya nanti?
Terlebih dalam sistem pemilihan presiden secara langsung, peran media
massa, khususnya televisi amat signifikan. Sungguh mengkhawatirkan bila
stasiun-stasiun televisi itu hanya berada di genggaman segelintir orang. Memang benar dalam demokrasi pemilihan
presiden ditentukan oleh rakyat banyak. Tapi dari mana rakyat banyak itu
memperoleh informasi politik yang cukup tentang para pemimpinnya? Tak lain
adalah media massa, terutama televisi. Media televisi memiliki kekuatan
dominan, karena jumlah penonton televisi di Indonesia jauh lebih banyak dari
media lainnya. Kalau sekarang sudah terdapat lebih dari 30 juta pesawat
televisi, kalau satu pesawat TV rata-rata ditonton 5 orang, berarti yang potensial
menonton televisi ada 150juta pemirsa. Belum lagi waktu luang yang dipakai
menonton televisi-pun, menurut data jauh lebih lama dibandingkan waktu yang
dipakai untuk menggunakan media lain. Walhasil televisi memang dominan.
Disinilah pentingnya mengkritisi konsentrasi pemilikan media televisi di
Indonesia. Kehidupan sosial politik tidak bisa dilepaskan dari
struktur dan sistem media massa. Kalau kita sudah komitmen akan menegakkan
demokrasi di negeri ini, maka sistem medianyapun harus mencerminkan struktur
yang demokratis pula, baik dalam keragaman
kepemilikan, maupun keragaman isinya. Tanpa berjuang merubah sistem media, mustakhil
sistem demokrasi politik dapat ditegakkan dengan baik. Itulah salah satu inti
kutipan Robert Mc Chesney di awal tulisan ini. Persoalannya, sudahkah kita
berjuang untuk merubah sistem media kita yang cenderung sentralistik dan
terkonsentrasi pemilikannya di segelintir orang? Jika ini kita
biarkan, berarti kita membiarkan pula ancaman terhadap demokrasi.
Dengan tuntutan liberalisasi, di satu sisi
industri penyiaran menjadi semakin bebas dari kontrol negara atau pemerintah.
Di sisi yang lain, industri penyiaran akan semakin rentan terhadap represi
rejim kapital, atau kediktatoran pasar (market
dictatorship), yang beroperasi melalui the invisible hand mekanisme pasar. Prinsip mekanisme pasar mendasarkan
diri pada kaidah-kaidah permintaan penawaran, rasionalitas instrumental
maksimalisasi produksi konsumsi, serta logika never ending circuit of capital accumulation: M-C-M (Money-Commodities-More Money). Khususnya
dalam industri penyiaran, represi rejim kapital tersebut berlangsung di dua front: pasar khalayak, dan juga pasar
industri periklanan.
Media massa khususnya
penyiaran sebagai industri informasi, hiburan dan budaya, acapkali dimanfaatkan
untuk menginklusi kepentingan-kepentingan kapitalisme. Kalau Althusser
menganggap media massa berperan sebagai ideological
state aparatus, dalam konteks ini media massa penyiaran justru dijadikan
sebagai alat kapitalisme untuk mempertahankan kepentingannya.
Peter
Golding dan Graham Murdoch melihat media massa bukan sebuah entitas yang
monolitik, dalam praktik pemilik bisa memiliki nilai yang berbeda dengan para
pekerja profesional. Hanya
saja dalam kenyataannya kepentingan kapitalisme dan kekuatannya bisa mereduksi perbedaan tersebut. Disadari
atau tidak, kalangan profesionalisme media yang pada dasarnya merupakan bagian
dari civil society telah dimanfaatkan
oleh kapitalis. Karya-karya mereka telah digunakan sebagai jembatan untuk
meluaskan budaya konsumsi, tujuannya supaya kaum proletar tetap tunduk, dan
kapitalisme tetap berjalan.
Industri informasi dan budaya
yang ada dalam dunia media massa telah menjadi faktor ekonomi politik yang
penting, yang sering mengalihkan perhatian dari masalah yang sebenarnya dialami
masyarakat luas, dengan menawarkan solusi palsu tersebut. Disitulah sebenarnya
media massa sebagai industri budaya telah membantu memanipulasi kesadaran.
Repotnya
kecenderungan industri media memang menuju pada kondisi yang ”mengkhawatirkan”.
Kecenderungan struktur industri media di dunia,
dalam beberapa tahun terakhir ini menurut David Croteau dan Wiliam Hoynes
mengalami empat macam perkembangan, yaitu: 1) Growth, pertumbuhan yang pesat, diwarnai dengan fenomena mergers antar perusahaan atau joint, sehingga menjadi makin besar dan
merambah ke mana-mana. 2) Integration, raksasa media baru terintergrasi secara
horisontal dengan bergerak ke berbagai bentuk media seperti film, penerbitan,
radio, televisi, internet, dan sebagainya. Integrasi perusahaan media baru juga
terbentuk secara vertikal, dengan memiliki perusahaan di berbagai tahapan
produksi dan distribusi. 3) Globalization,
untuk meningkatkan derajat keragaman, konglomerat media telah menjadi entitas
global, dengan jaringan pemasaran yang menembus yuridiksi negara dan menjadi
mendunia. 4) Concentration of ownership, kepemilikan
holdings media yang menjadi
meanstream dunia semakin terkonsentrasi
kepemilikannya.
Sebenarnya Amerika Serikat secara sadar memang melakukan banyak deregulasi
di bidang konsentrasi media, ini dilakukan tidak lain untuk mendorong perusahaan mereka menjadi
penguasa pasar dunia. Ada anggapan, konsentrasi kepemilikan
merupakan sarana yang menguntungkan untuk perusahaan Amerika mendominasi pasar
dunia (media concentrations of media
ownership beneficially aids American firm domination of world markets)
Gejala
konsentrasi pemilikan ini menurut Josef dan Meier, telah menjadi salah satu
persoalan penting dalam hal diskusi tentang perkembangan ekonomi media. Diskusi tersebut umumnya
memfokuskan pada akibat, hasil dan konsekuensi dari fenomena konsentrasi media.
Beberapa isu utama yang sering dibahas adalah: pertama, kebijakan konsentrasi
media merupakan masalah politik yang sensitif. Biasanya sistem politik memiliki
perhatian terhadap hukum media, namun sering kesulitan dalam proses legislasi,
dan lebih sulit lagi dalam melaksanakannya. Kedua, konsentrasi media memiliki
sisi positif dan negatif untuk perkembangan kekuatan elit politik. Bagi
politisi, konsentrasi media dengan jumlah perusahaan media yang sedmemudahkan
mereka untuk mempengaruhi khalayak yang luas. Karena itu dalam membuat
kebijakan yang berkait dengan konsentrasi media, menempatkan aktor politik
dalam posisi menguntungkan media. Karena itu sistem politik tidak sepenuhnya
meletakkan masalah konsentrasi media sebagai agenda politik
Tuntutan
agar negara memiliki peran yang lebih besar mengembangkan kebijakan yang
bersifat intervensi untuk menjamin
kompetisi yang adil, menjaga keragaman dan pluralitas, memunculkan beberapa
model yang berbeda-beda dalam berbagai tingkat di level nasional maupun
transnasional. Berikut
ini,
beberapa contoh model kebijakan menghadapi konsentrasi media di tingkat
nasional yang dilakukan beberapa negara sebagai upaya menghadapi efek
liberalisme
Pertama adalah Model
Pembatasan konsentrasi horizontal, kebijakan
ini untuk mencegah korporasi media mengontrol beberapa saluran, sehingga
dimunculkan regulasi yang membatasi pemilikan media-media sejenis, misalnya
tidak boleh di suatu propinsi semua radio hanya dimiliki oleh sebuah korporasi
saja. Mayoritas negara Eropa melakukan kebijakan membatasi ijin, kepemilikan
dan partisipasi finansial. -
Kedua,
Pembatasan konsentrasi vertikal,
regulasi dirancang untuk mencegah monopoli media di lebih dari satu wilayah. Biasanya
disebut sebagai kepemilikan silang (cross
ownership). Misalnya larangan atau pembatasan pemilikan atas beragam media
dari hulu hingga hilir. Kebijakan pembatasan semacam ini diterapkan di Jerman,
Belanda dan Inggris. -
Di Indonesia, tatkala reformasi terjadi, upaya utama yang
diperjuangkan adalah kebebesan pers. Kemudian tatkala kebebasan telah
diperoleh, dan media penyiaran berkembang begitu pesat, konsepsi untuk
mewujudkan sistem yang adil dan demokratis menjadi persoalan tersendiri. Di
satu sisi media penyiaran telah berkembang sesuai sifat alaminya sebagai
institusi bisnis dan industri. Di sisi yang lain tuntutan menata dunia
penyiaran melalui regulasi baru, datangnya belakangan. Terjadilah tarik ulur
kepentingan yang memasukkan wacananya ke dalam aturan baru, atau interpretasi
terhadap aturan tersebut.
Dari
uraian di atas, tulisan ini ingin mengungkap lebih jauh, bagaimana sebenarnya
relasi antara negara, industri penyiaran, dan civil society dalam hal membangun sistem penyiaran yang demokratis.
Kalau pada masa Orde Baru, paradigma korporatisme negara menunjukkan kuatnya
peran negara mengontrol kapitalisme dan civil society. Setelah reformasi, civil society yang diharapkan mampu
mengontrol negara dan kapitalisme, sebagaimana tatanan demokrasi berdasar
konsepsi Habermas, juga Cohen dan Arato ternyata belum terjadi. Disinyalir
dikarenakan adanya anomali sebagai efek liberalisasi, justru kapitalismelah
yang kemudian mengontrol negara dan civil
society. Pasca reformasi negara mengalami pelemahan karena liberalisasi dan
demokratisasi, kemudian menurut Robison munculah fenomena konsolidasi kekuasaan
negara. Itulah yang oleh Hermin Indah Wahyuni dilihat
sebagai fenomena re-regulating pasca
terjadinya transformasi politik 1998.
Jadi pasca reformasi di
Indonesia, pola hubungan negara, industri (pasar) dan civil society, secara teoretik dapat dipilah menjadi beberapa
kemungkinan bentuk pola hubungan, yaitu:
A. Pola korporatisme negara, yaitu tatkala
negara kembali ke pola lama seperti pada massa Orde Baru, dimana negara amat kuat dan mampu mengontrol
kapitalisme dan civil society.
B. Pola dominasi civil society mengontrol
negara sekaligus juga mengontrol kapitalisme, sebagaimana yang diharapkan
kalangan civil society yang radikal,
atau juga dalam konsepsi Habermas.
C. Pola kuatnya pasar (industri) menghegemoni
atau mengontrol negara dan civil society.
Dominasi kapitalisme terhadap negara dan civil
society bisa dilakukan dengan menghilangkan state regulation, digantikan market
regulation. Hegemoni juga bisa dilakukan secara halus melalui pengetahuan,
wacana, definisi baik buruk, serta melalui kebudayaan yang konsumtif.
D. Pola keseimbangan antara negara, industri
(pasar) dan civil society. Pada pola ini tidak ada yang dominan,
masing-masing melakukan check and balances.
Sistem demokrasi pada dasarnya lebih mengacu pada pola keseimbangan ini.
Pengaruh Perkembangan Teknologi
Menurut teori determinisme teknologi, kehidupan masyarakat ditentukan oleh
teknologi komunikasi yang digunakan. Perubahan sosial dan kemasyarakatan yang
terjadi, tersentralisasi karena
kehadiran teknologi komunikasi. Diakui dalam sejarah perkembangan manusia,
teknologi komunikasi berperan penting dalam perubahan sosial yang terjadi.
Everett M Rogers (1986) mengatakan bahwa penemuan tulisan atau teknologi
tulisan (writing) telah menyebabkan
perkembangan teknologi cetak menjadi sangat pesat. Sementara itu penemuan teknologi
telekomunikasi dan komputer telah membawa pengaruh besar terhadap kemajuan
teknologi interaktif.
Dalam pandangan determinisme
teknologi, kehidupan masyarakat tergantung pada mesin-mesin teknologi
komunikasi yang ditemukan. Menurut Harold Adam Innis (1989) dari Toronto
School, setiap teknologi komunikasi yang dominan digunakan masyarakat, memiliki
bias dalam hal pengaruhnya terhadap bentuk masyarakat itu sendiri.
Determinisme teknologi komunikasi
menjelaskan bahwa rangkaian penemuan dan aplikasi teknologi komunikasi telah
mempengaruhi perubahan-perubahan sosial yang terjadi di masyarakat.
Perkembangan teknologi yang begitu pesat di Indonesia, tentu juga memiliki
pengaruh yang signifikan.
Daniel Dakhidae dalam studi doktornya mencatat bahwa implikasi inovasi
teknologi cetak telah mempengaruhi ekspansi bisnis surat kabar menjadi kian
besar dan membutuhkan dukungan manajemen yang lebih profesional. Berkat
perkembangan teknologi, terjadi intensifikasi kerja jurnalistik, yang pada
akhirnya mendorong ekspansi di bidang lain. Terjadilah ekstensifikasi bisnis
yang berkait dengan pemanfaatan teknologi tersebut. Itu berarti perkembangan
sarana teknologi tidak berarti hanya sekedar perkembangan teknologi semata,
melainkan juga merupakan adanya transformasi kapital. Menurut Daniel, teknologi
bukanlah sekadar sarana, namun merupakan jantung persoalan yang dirasakan telah
merubah bentuk produksi komoditas yang sederhana menjadi bentuk produksi yang
sangat maju dengan tujuan, ”to have more,
to be more in order tobe more”. Lebih lanjut dalam kesimpulannya Dakhidae
mengatakan bahwa, kombinasi antara teknologi tinggi dengan tingkat integrasi
antara industri baru dengan industri yang lain memiliki pengaruh nyata pada
kapitalisme. Teknologi telah mendorong
terjadinya konsentrasi industrial menjadi industri baru.
Kecenderungan di atas secara teoritik juga terjadi pada perkembangan
teknologi baru dewasa ini. Teknologi interaktif melalui komputer misalnya,
berpotensi mempengaruhi perubahan intensitas sosial untuk tatap muka secara
leangsung. Semakin banyak pergeseran bentuk interaksi sosial, dari yang
kongkrit menjadi virtual karena
teknologi. Dengan teknologi interface,
orang dengan mudah menjadi get connected
atau terhubungkan, tanpa batasan jarak (space)
dan waktu (time). Maka yang terjadi
adalah, revolusi komunikasi telah menyebabkan revolusi-revolusi sosial dalam
masyarakat.
Fenomena munculnya teknologi konvergensi terjadi ketika teknologi komputer,
telekomunikasi, dan media massa menyatu dalam lingkungan digital secara
bersama, atau yang didefinisikan oleh Pavlik dan McIntosh “the coming together of computing,
telecommunications, and media in a digital environment is known as convergence.”
Konvergen bisa juga diartikan bergabungnya perusahaan internet dengan
perusahaan-perusahaan media tradisional.
Konvergen juga berarti menyatunya media massa seperti media cetak, audio,
dan video kedalam satu media digital. Walaupun sebenarnya definisi tentang
konvergen yang ada belum semuanya disepakati oleh banyak pihak, namun yang
terpenting, konvergen adalah transformasi dari sifat alamiah komunikasi massa,
ke dalam bentuk yang baru dengan implikasi-implikasi yang baru juga.
Konvergensi pada akhirnya menyebabkan transformasi tidak hanya pada
organisasi media maupun pada kalangan kreatif atau profesional media yang
bekerja di organisasi media, melainkan juga menyebabkan transformasi pada
khalayak, bahkan pemerintah atau negara sebagai otoritas regulator, dan juga
industri. Perubahan teknologi media telah membawa paradigma baru yang terjadi
karena digitalisasi media dan jaringan media massa yang semakin meluas dan
konvergens.
Bagi dunia industri, implikasi
dari konvergensi teknologi komunikasi, bukan sekadar berubahnya sarana.
Menggunakan istilah Daniel Dakidae; “It
means technology is not just a technology, It is transformed into capital.” Dengan konvergensi terjadi kecenderungan merger atau bergabungnya institusi media
dengan institusi media yang lain semakin kuat. Pada akhirnya, kondisi ini akan menghasilkan
sentralisasi kekuatan media pada satu institusi. Keragaman kepemilikan menjadi
semakin sulit karena telah menjadi bisnis hyper
capital. Semakin banyak media yang melakukan merger, maka semakin sulit
untuk dikontrol. Hal semacam ini berpengaruh terhadap
berbagai konsep bagaimana sistem penyiaran yang demokratis harus
dioperasionalkan. Itulah konsekuensi dari perkembangan teknologi komunikasi
yang melahirkan konsep konvergensi media.
tidak perlunya kekhawatiran yang
berlebihan terhadap terjadinya konsentrasi media. Karena akan menghambat
perkembangan industri media penyiaran Indonesia menjadi perusahaan yang kuat
dan kompetitif secara global. Sementara membiarkan seluruh sumber daya
frekuensi dikuasai oleh segelintir orang juga akan memunculkan persoalan. Maka diperlukan suatu konsep yang seimbang
antara dua kepentingan itu. Kekhawatiran berlebihan pada konsentrasi media,
bertentangan dengan bukti empiris bahwa tidak ada kontrol yang sempurna
terhadap konten media, kendati oleh pemiliknya sendiri. Dengan kata lain kekuatan
kapitalisme dalam industri penyiaran, lebih hanya pada kontrol asset atau kekayaan media, sementara kontrol
terhadap isi, tidak mungkin efektif secara sempurna. Karena para pekerja media
memiliki logika sendiri, mereka senantiasa mempertimbangkan kepentingan pasar,
dan kehendak khalayak, baik dalam pemberitaan maupun program. Peran rating amat tinggi, ia menjadi ukuran
keberhasilan penetrasi media, sekaligus pedoman isi untuk melangsungkan
hidupnya. Tanpa memperhitungkan rating
atau keinginan khalayak, industri media tidak akan hidup. Rating bukan hanya menjadi barometer, melainkan juga ”filter” bagi ”ownership
control”.
Disamping itu, format isi penyiaran
juga bisa menjadi kontrol, bila senantiasa dikaitkan dengan surat izin yang
diberikan oleh negara. Lembaga penyiaran
swasta yang berubah format siarannya, berarti mengingkari kontrak, yang
menjadi alasan diberikannya izin, karena
itu idealnya, apabila ada media penyiaran yang berubah format isinya,
berarti bisa dicabut izinnya. Sedangkan
perubahan pemilikam saham, bisa tetap dimungkinkan, asal tidak merubah format
isi siaran. Disinilah perlunya peran pengawasan KPI.
Menurut Baker apa yang dikemukakan
Bagdikian, ataupun Mc Chessney adalah
dramatisasi fakta dan pemikiran. Baker mengutip pendapat Benjamin Compaine
mengatakan, “
because of internet,
whatever concentrated media power that existed previously “is breaking
up”, conclusion that objectionable
concentration does not exist, especially as properly evaluated in respect to
the media as a whole “
Menurut Baker internet telah merubah segalanya,
karena menyajikan berbagai alternatif dan isinya tidak dapat dikontrol secara
sempurna oleh siapapun. Dikatakan Baker, perkembangan teknologi tetap akan
menjamin adanya
diversity of voices karena media yang beragam, sesuai dengan
pasar ide mereka, akan memiliki suara
yang beragam pula. Baker dalam kesempatan yang lain juga mengatakan, bahwa konsentrasi kepemilikan
tujuannya selain efisiensi, untuk memperkuat perusahaan dalam persaingan pasar
dunia. Disimpulkannya konsentrasi kepemilikan merupakan sarana yang
menguntungkan untuk perusahaan Amerika mendominasi pasar dunia (
media concentrations of media ownership
beneficially aids American firm domination of world markets)
.
Hasil studi
ini sejalan dengan thesis Baker mengenai konsentrasi media. Kekhawatiran yang berlebihan terhadap konsentrasi
pemilikan media perlu ditinjau kembali, karena konsentrasi tidak identik dengan
monopioli. Konsentrasi merupakan keniscayaan sejarah karena perkembangan
tekonologi dan tuntutan bisnis. Membetasi konsentrasi secara berlebihan akan
menghambat perkembangan industri penyiaran menjadi perusahaan yang mampu berkompetisi
secara global. Alasan yang lain, studi ini mengungkapkan pula, bahwa tidak ada
kontrol yang sempurna terhadap konten media, kendati oleh pemiliknya
sendiri. Isi media senantiasa
mempertimbangkan kepentingan pasar, dan kehendak khalayak, sehingga rating berperan tidak hanya sebagai ukuran
penetrasi media, tetapi juga pedoman isi untuk melangsungkan hidupnya. Industri
media tanpa memperhitungkan rating
atau keinginan khalayak tidak akan hidup. Jadi rating bukan hanya sebagai barometer, melainkan juga ”filter” bagi ”ownership
control” terhadap isi. Dengan demikian demokrasi tidak sepenuhnya terancam
oleh kepemilikan media semata, ada kekuatan pengontrol terhadap “the power of ownership”. Terlebih lagi
berdasar studi ini, perkembangan teknologi komunikasi konvergensi tidak bisa
dihindarkan akan memunculkan konsekuensi baru, termasuk konsentrasi kepemilikan. Perkembangan
teknologi juga memunculkan berbagai bentuk alternatif media, baik yang berdasar keberagaman segmen pasar, hingga
bentuk media baru yang bersifat interaktif. Teknologi interaktif inilah
kemudian memunculkan citizen journalism, dan terbentuknya public sphere yang menggairahkan partisipasi publik, sehingga
justru mendukung iklim demokrasi.
Jadi bisa disimpulkan bahwa dalam
sistem penyiaran yang diikuti perkembangan teknologi yang semakin modern, juga
keberadaan independent regulatori body yang berfungsi mengawasi
isi media secara baik, konsentrasi pemilikan media tidak akan membahayakan
secara signifikan terhadap sistem penyiaran yang demokratis, khususnya tidak
serta merta menghilangkan diversity of
contens and opinions. Dengan kesimpulan tersebut, berarti studi ini sejalan
dengan pemikiran, atau teori yang dikemukakan oleh Edwin C. Baker.
Implikasi penerimaan thesis Baker
tadi, berarti mengoreksi konsep sistem penyiaran yang demokratis dari Denis
McQuail, yang salah satunya mengharuskan adanya diversity of ownerships, yang kemudian diterjemahkan pemilikannya
harus banyak dan beragam, serta membatasi adanya akuisisi, mereger hingga konsentrasi.
Di masa depan, konsepsi semacam ini akan semakin sulit dipenuhi, karena
bertentangan dengan trend teknologi,
kecenderungan bisnis, hingga semakin tidak relevannya alasan yang mendasari
konsep tersebut. Dengan standpoint
ini, berarti berimplikasi pula terhadap perlunya peninjauan kembali mengenai
regulasi keragaman kepemilikan, sebagaimana yang juga tertuang dalam
Undang-Undang Penyiaran dan Peraturan Pemerintah no 50 tahun 2005.
DAFTAR
PUSTAKA
Croteau, David & Hoynes, William,
2001 The Bussiness of The Media,
Corporate Media and the Public Interest, Pine Forege Press, Thousand Oak,
California.
Curran, James, 2000, Rethinking Media and Democracy, in James
Curran and Michael Gurevitch, Mass Media And Society, Third Edition, Arnold
London and Oxford University Press, New York.
Gans, Herbert J., 2003, Democracy and The News, Oxford University
Press.
Golding, Peter & Murdoch, Graham,
2000., Culture, Communications and
Political Economy, in James Curran
and Michael Gurevitch, Mass Media And Society, Third Edition, Arnold London and
Oxford University Press, New York.
Hackett, A Robert, and William K. Carroll, K William,
2006., Remaking Media, The struggle to democratize public communication,
Routledge, New York and London.
Kovach, Bill & Rosenstiel, Tom,
2003, Sembilan Elemen Jurnalisme, Apa
Yang Seharusnya Diketahui Wartawan dan Yang Diharapkan Publik, Pantau.
Lieberman, Al & Esgate, Patricia,
2003, The Entertainment Marketing
Revolution, Bringing The Moguls, The Media and The Magic to the World, Financial Times, Prentice Hall New York.
Lister, Martin., Dovey, Jon., Gidding,
Seth., Grant, Iain., Kelly, Kieran., 2003, New
Media A Critical Introduction, Routlege, London
and New York.
McChesney, Robert W., 2000, Rich Media Poor Democracy, Communication
Politics in Dubious Times, The New
Press, New York
Mc Quail, Denis, 2002, McQuail’s Mass Communication Theory, 4th
Edition, Sage Publications, London, Thousand Oaks, New Delhi.
Lihat Josef Trappel and Werner Meier, "Media Concentration: Options for Policy." Dalam: Denis
McQuail and Karen Siune. (eds.), 1998, p.
195
Perdebatan masih didominasi tentang seberapa tegas pemerintah harus
mengambil tindakan terhadap konsentrasi media. Masyarakat masih percaya bahwa
aksi kekuatan pemerintah masih dibutuhkan, sedangkan sebagian percaya bahwa
akan lebih membahayakan daripada membawa kebaikan.
Warga Jerman
“Lander” pemilik media cetak yang memiliki posisi dominant dalam pasar, tidak mungkin,
menerapkan kekuatan dominan lewat program penyiaran dalam wilayah yang sama. Di
Belanda, pihak yang berwenang menolak memberikan ijin penyiaran jika sebuah
korporasi telah menguasai 25% pasar media cetak. Di Inggris, media cetak yang
menguasai lebih dari 20% sirkulasi nasional dibatasi untuk memiliki lebih dari
20% saham secara nasional dan regional.