Kamis, 09 Februari 2012

PERANAN PEMERINTAH DALAM PENGEMBANGAN LEMBAGA PEMANTAU MEDIA



Secara teoretik kebebasan pers, memang akan memunculkan pemerintahan yang cerdas, bijaksana dan hati-hati. Logikanya, melalui kebebasan pers, masyarakat akan dapat mengetahui berbagai peristiwa, sehingga memunculkan kontrol terhadap kekuasaan, sekaligus kontrol terhadap masyarakat sendiri.
Kenyataannya itu tidak sepenuhnya demikian.  Kendati sejak 1999  pers Indonesia makin bebas, tapi korupsi dan berbagai penyimpangan tetap saja masih marak. Kebebasan pers di negeri ini belum mampu mendorong perubahan yang signifikan terhadap kualitas bangsa. Efek yang terjadi justru memunculkan kesan “kebablasan“. Kepercayaan masyarakat terhadap media sebagai alat kontrolpun dirasa semakin merosot. Kritikan terhadap media begitu marak,  tak jarang media dituduh ikut memperburuk situasi, dan memerosotkan moral sosial.  
Kebebasan Media selama ini justru dianggap sering memunculkan  ironi. Secara teoretik James Curran dalam Rethingking Media and Democracy (2000: 121-154), menunjukkan, kebebasan yang identik dengan liberalisme acapkali  mendorong media melakukan korupsi dan bias mekanisme pasar. Kebebasan, pada kenyataannya malah menghambat freedom to publish, karena media menjadi  big business, sehingga hanya dimainkan oleh beberapa elite, kapitalis.
Di era kebebasan, media massa justru cenderung semakin terkonsentrasi kepemilikannya di kalangan elite tertentu. Media menjadi alat-alat kapitalis, sekaligus alat politik praktis yang sering berseberangan dengan kepentingan publik. Kalau di masa Orde Baru media dikuasai negara, di era demokrasi yang berbau liberal ini, media dikuasi oleh individu-individu atau korporasi kapitalis, yang tak jarang sekaligus pemain politik.  
Media-media komersial sekarang ini, menempatkan audience  sebagai consumer, bukan warga negara (citizens). Tujuan utamanya adalah generate profits for owners and stockholders, bukan promoting active citizen. Dengan komunikasi massa yang mereka lakukan, khalayak didorong untuk enjoy themselves view ads, and buy product. Karena itu apa yang dianggap menarik bagi media tersebut, adalah apapun yang populer atau laku di masyarakat. Tak peduli apakah itu melecehkan logika, mengacak-acak budaya, menumpulkan hati nurani, atau mengabaikan public interest, asalkan laku, itu yang mereka layani.  
Dengan demikian tujuan ideal media  to promote active citizenship via information, education and social integration telah tenggelam dengan gelombang komersialisasi. Inilah yang menurut  Robert Mc Chesney dalam buku Rich Media Poor Democracy (2000: 15), disebut sebagai hyper commercialization of culture. Dimana seluruh ukuran keberhasilan semata-mata ditentukan oleh profit.
Untuk menghindari media massa menjadi power without responsibility, harus ada gerakan untuk mengontrol media. Karena media massa tanpa kontrol akan menjadi kekuatan yang tidak bertanggung jawab, atau power without responsibility (Curran & Seaton, 2002).  Padahal isi media menurut Curran, tidak saja memiliki konsekuensi yang luas, tetapi media juga mampu membentuk khalayak, menciptakan kelas, dan selera tertentu. Menciptakan hyper reality atas kepentingan-kepentingan tersembunyi. Karenanya kekuatan media harus dikontrol untuk kepentingan publik.
Kontrol terhadap media bukan berarti, mereka harus dijerat dengan restriksi. Bukan pula “diancam“ oleh kekuatan negara melalui berbagai regulasi. Namun dalam sistem yang demokratis, pemerintah justru “tidak dibenarkan” mengatur media. Asumsinya pemerintah adalah penylenggara kekuasaan, yang harus diawasi media, agar terwujud clean and good governance, Menjadi terbalik jika pemerintah mengatur media, atau mengawasinya.
Jadi kontrol terhadap media, tetap dibutuhkan, tapi bukan oleh pemerintah. Melainkan, oleh kekuatan tertentu yang independen, bisa dari asosiasi profesi wartawan, Dewan Pers, Komisi Penyiaran, atau juga dari publik yang aktif. Di berbagai negara maju, warga negara sebagai bagian dari publik, acapkali membentuk kelompok penekan untuk mengawasi media. Membentuk group pressure as social movement, yang cara kerjanya bisa melalui kegiatan promoting media literacy, promoting self regulation, boycotts, maupun dalam bentuk  creating legislative pressure (Jamiason & Campbell 2001, 283-291).
 Dengan demikian hubungan media dengan masyarakat akan terjadi mekanisme check and balances.  Sayangnya, hingga kini publik di Indonesia belum memiliki kemampuan yang cukup memadahi untuk mengontrol media. Peran Media watch masih amat lemah, baik dari jumlah, kekuatan, maupun kualitas kontrol yang dilakukan. Akibatnya ada kekecewaan masyarakat terhadap kebebasan media. Kekhawatiran dan kekecewaan tersebut bisa berdampak negatif jika dibiarkan berlarut-larut. Karena masyarakat yang tidak sabar lalu banyak menyalahkan media, bahkan ada yang mendorong pemerintah untuk menutup kran-kran kebebasan.
            Dalam konteks ini pemerintah pusat maupun daerah dituntut  memiliki peran besar untuk mendorong, memfasilitasi, sekaligus bermitra dengan berbagai kekuatan masyarakat atau publik yang aktiv ini. Fasilitasi tersebut bisa berupa kerjasama secara terstruktur antara pemerintah dan LSM pemantau media. Misalnya pemerintah membantu dalam program capacity buidings.  Memfasilitasi program media literacy, hingga penyediaan bahan-bahan informasi untuk  mengkritisi media.

Media Literacy
Demokratisasi media, tidak mungkin dipasrahkan pada mekanisme pasar, dan mengharap kebaikan (political will) para pemilik dan pengelola media. Demokratisasi sistem media harus diwujudkan selain melalui regulasi juga  dengan “tekanan publik“, gerakan sosial, dan  media literacy.
 Melalui media literacy atau kemampuan untuk selalu kritis terhadap media massa, masyarakat akan memiliki bargaining position yang kuat. Jika ini terjadi, maka akan meningkatkan pengawasan terhadap media, yang dengan sendirinya akan menuntut peningkatan profesionalisme penyelenggara media. Tanpa public empowering, sulit kiranya mewujudkan sistem media yang berkualitas.
Media literacy sendiri diartikan bermacam macam.  Stanley J Baran misalnya, mendifinisikannya sebagai “when speaking specifically of participation in mass communication, this is ability is called media literacy”, selanjutnya dikatakan “is the idea that media consumers must develop the ability or facility to better interpret media content”  (Baran, 2002: 50).
Art Silverblatt (1995) mengungkapkan  elemen dasar media literacy  adalah adanya karakteristik sebagai berikut:
 (1) An awarness of impact of media.
 (2) An understanding of the process of communication.
 (3) Strategies for analyzing and discussing media messages.
 (4) An understanding of media content as a text that provides
       insight  into culture and our lives.
 (5) The ability to enjoy, understanding, and appreciate media content.
            (6) An understanding of ethical and moral obligations of media practitioners.
 (7) Development of appropriate and effective production skills.  

James Potter (1998) mengungkapkan bahwa media literacy itu harus terus dikembangkan. Sifatnya multidimensi, berkait dengan kesadaran dan kemampuan kognitif (bagaimana cara berpikir), emosi (dimensi perasaan), estetis (berkait dengan kemampuan menikmati, mengerti dan mengapresiasi) serta berkait dengan moral domein (Kemampuan untuk menyimpulkan nilai-nilai yang ada di balik pesan).
Seseorang dikatakan memiliki kemampuan media literacy yaitu apabila  (1) Dia paham tentang isu-isu liputan media.  (2) Menyadari bahwa hubungannya dengan media tiap hari bisa mempengaruhi gaya hidup, sikap dan nilai.  (3) Bisa menginterpretasi pesan media. (4) Mengembangkan sensitifitas kecenderungan isi media  sebagai sarana untuk mempelajari kebudayaannya. (5) Memahami bahwa persoalan pemilikan, finansial, dan regulasi memiliki pengaruh terhadap industri media.  (6) Memperhitungkan peran media dalam membuat keputusan individual (Silverblatt, 1995).
Sayangnya gerakan melakukan media literacy ini masih amat terbatas. Belum banyak media watch yang melakukannya. Yang banyak dikerjakan barulah mengecam media dan isinya tetapi tidak meningkatkan kualitas civic education di masyarakat. Akibatnya yang terjadi justru seringnya muncul tindakan-tindakan terhadap media yang dilakukan di luar koridor demokrasi. Misalnya melakukan ancaman fisik pada wartawan. Penyerbuan ke media massa, atau tindakan-tindakan lain diluar hukum dan etika demokrasi.  
            Jika hal semacam itu terjadi, yang dirugikan bukan hanya media yang bersangkutan, yang menjadi sasaran. Namun negarapun dirugikan. Karena setiap ada peristiwa kekerasan terhadap media, maka Negara tersebut akan dipandang belum matang dalam berdemokrasi, tidak stabil, hingga penilaian yang lemah terhadap pemerintahan. Oleh sebab itu, pentingnya media literacy juga merupakan kepentingan Negara atau kepentingan pemerintah. Kndisi yang buruk terhadap iklim komunikasi dan media, akan menjadi indikator yang buruk terhadap kinerja pemerintahan pula. Disinilah pentingnya pemerintah untuk selalu ikut aktif di dalam mensosialisasikan media literacy.
Istilah media literacy, sebenarnya merupakan gerakan dari khalayak media yang tidak setuju dengan  industri media yang semakin powerful. Mereka berjuang memperkuat posisi konsumen media. Cara itu secara resmi dimulai  17 Maret 1996 dengan dideklarasikannya Cultural Environment Movement (CEM) di AS. Yaitu sebuah organisasi independen yang didukung 150 organisasi yang berasal dari 64 negara. Salah satu tokoh pendirinya adalah Robert McChesney, kritikus dan sejarawan media.
Media literacy pada dasarnya bukan hanya kemampuan bertindak kritis terhadap media, tapi juga bisa berpengaruh terhadap isi dan kebijakan media. Menurut Jamieson dan Cambell (2002), dalam How To Influence The Media, ada beberapa cara yang biasa dilakukan untuk mempengaruhi media. Salah satunya yang umum adalah dengan individual complaints.  
Di era internet ini, individual complaint sering diwujudkan dalam surat elektronik (email), yang dikirim ke redaksi media, maupun ke sejumlah mailing list untuk dimintakan tanggapan ke berbagai pihak, sekaligus kritik pada media yang dimaksud. Individual complaint juga bisa dalam bentuk respon interaktif melalui telepon, ataupun surat pembaca. Keluhan individu ini bisa merupakan kritikan terhadap materi isi media, maupun perilaku wartawan dalam peliputan. Kritikan pada materi pemberitaan dalam istilah hukum media disini adalah hak koreksi, ataupun juga hak jawab, yaitu apabila media tersebut dirasa merugikan secara langsung orang yang mengirim komplain.
How to influence media, menurut kathleen Hall Jamiesen dan Karlyn Kohrs Campbell juga bisa dilakukan melalui group pressure, yaitu tekanan sosial yang dilakukan secara kolektif. Wujudnya bisa berupa tindakan boycotts, legal actions, maupun melakukan desakan pada media untuk promoting self regulation. Tindakan lain bisa pula berupa creating legislative pressure, yaitu memberi masukan pada proses legislasi yang berkait dengan persoalan aturan media,  baik di tingkat nasional maupun daerah. Misalnya memberikan masukan pada KPI dan KPID dalam hal menetapkan Pedoman Perilaku Penyiaran, dan Standard Program Siaran, maupun dalam hal pemberian ijin pada media-media yang “nakal”.
Di Amerika Serikat, pernah terjadi kasus dimana organisasi Parent Teacher Association (PTA), suatu hari memutuskan untuk melakukan analisis terhadap adegan kekerasan pada program-program televisi. PTA menyatakan bahwa, jika program-program televisi ini masih belum juga berkurang, mereka akan menyerukan pada masyarakat untuk memboikot produk dari iklan-iklan yang ditayangkan dalam acara televisi yang mengandung kekerasan tersebut.  Ancaman ini membuat sejumlah perusahaan seperti Kodak, General Foods, General Motors, dan Sears jadi ikut  mendukung seruan tersebut. Mereka  sependendapat meminta agar ada pengurangan adegan kekerasan di televisi.  Setahun kemudian, jumlah adegan kekerasan pada televisipun menjadi berkurang.  PTA dipercaya, mendapat dukungan dan sukses karena organisasi dan para aktivisnya tidak mencari keuntungan pribadi.
Musim panas tahun 1999, National Association for the Advancement of The Colored People (NAACP) mengkomplain   media AS, karena sebagian besar programnya tidak menampilkan orang—orang African American dan orang Hispanic. January 2000, komplain tersebut ditanggapi oleh ABC, dan kemudian memberikan tempat lebih banyak bagi orang-orang African American dan Hispanic pada program-program mereka. Hal itu diikuti pula oleh jaringan TV lain yaitu CBS dan Fox (Jamieson, Campbell, 2002:  291).
Tahun 1975, gerakan sosial wanita di AS memprotes iklan di Amerika, dalam laporannya yang disebut Advertising and Woman. Menurut laporan itu iklan-iklan di AS lebih banyak menggambarkan wanita hanya sebagai istri atau ibu rumah tangga. Mereka ingin agar wanita juga digambarkan sebagai pengusaha yang sukses, atau berpendidikan tinggi. Desakan itupun ditanggapi oleh pihak pengiklan.

KONSENTRASI MEDIA DAN “ANCAMAN” DEMOKRASI



            Millions of people who had never though much about media are now actively
working to make  media and  to change media policies  to blast open the
system. It is becoming an accepted observation  that any effort to democratize
society must include a campaign to change the media system or else the
prospect or success will be far lower.

Robert W. Mc Chesney (2006).


Dewasa ini kecenderungan industri media sebagai alat  kapitalisme menjadi semakin nyata. Bentuknya menjadi semakin menggurita, menjangkau ke mana-mana, cenderung ingin memonopoli, dan bahkan melintasi batas negara. Tetapi kontrol pemilikannya justru makin terkonsentrasi hanya pada beberapa orang saja.  Dalam menjelaskan fenomena tersebut Peter Gollding dan Graham Murdoch mengatakan “media as a political and economic vehicle, tend to be controlled by conglomerates and media barons who are becoming fewer in number but through acquisition, controlled  the larger part of the world’s mass media and mass communication” (2000: 71).

Dalam fenomena global, tahun 1983,  diperkirakan ada 50 konglomerat yang mendominasi pemilikan televisi, radio, film, surat kabar, majalah, hingga penerbitan di Amerika Serikat, Eropa, Australia dan Asia. Tapi tahun 1997 setelah melalui proses merger dan akuisisi,  para baron yang menguasai media dunia hanya tinggal 10 saja. Sedangkan catatan setelah tahun 2002, penguasa media dunia, menurut Mc Chesney (2002) malah tinggal 3 holdings besar, yang disebut The Holy Trinity of the Global Media System.   Yaitu kelompok tiga besar dunia, Time Warner and AOL Holdings, News  Corp.’s Holding dan Disney’s Holdings.

Terjadinya konsentrasi media dengan berbagai konsekuensinya oleh banyak ilmuwan dinilai akan membahayakan proses demokrasi. Fenomena itu dijelaskan Robert W Mc Chesney dalam buku  ”Rich Media Poor Democracy”, yang ditulis tahun 2000. Juga yang dilakukan David Croteau dan William Hones dalam buku The Business  of Media (2001). Atau tulisan Al Lieberman dengan Patricia Esgate dalam buku, The Entertainment Marketing Revolution, Bringing The Moguls, The Media and The Magic to the World (2002), Maupun buku yang ditulis Robert A Hackett dan William K. Carroll yang berjudul Remaking Media, The struggle to democratize public communication (2006).   

Inti persoalannya terletak pada efek, tatkala sistem produksi budaya massa, informasi, dan kekuatan ekonomi, bahkan penentu opini publik atau politik, terkonsentrasi secara vertikal maupun horisontal hanya pada segelintir orang. Tentu saja amat mengkhawatirkan mengingat, bagaimanapun telah banyak bukti bahwa kekuatan media dalam masyarakat modern amatlah signifikan mempengaruhi sistem sosial, ekonomi dan politik. Menjadi masalah ketika sistem media dominan, hanya dimiliki oleh beberapa gelintir orang saja.
 
Konsentrasi Media Di Indonesia
Repotnya, “fenomena buruk” yang banyak dikritik di negara-negara Barat (Amerika Serikat dan Eropa) yang dianggap sebagai ancaman demokrasi tersebut, malah juga terjadi di Indonesia. Gejala neo liberalisme dengan kecenderungan konsentrasi pemilikan, memang telah menjadi fenomena yang makin menjadi-jadi, terutama pasca-reformasi. Boleh dikatakan sistem media di Indonesia sekarang ini ibarat lepas dari mulut buaya, masuk ke mulut singa. Awalnya (di masa Orde Baru), sistem media dikontrol oleh negara, setelah reformasi, gantian  kekuatan kapitalis yang menancapkan pengaruhnya. Lagi-lagi kemerdekaan dan independensi media ’terancam” dalam bentuk lain.
 Menurut catatan, tahun 2004 kelompok Media Nusantara Citra (MNC) sukses melakukan merger antara RCTI, TPI dan Global TV. Setahun kemudian kelompok media milik Hary Tanoesoedibjo ini berhasil mengatrol TPI hingga sempat melejit dalam perolehan iklan dengan program andalannya yaitu Kontes Dangdut Indonesia (KDI), dan Rahasia Ilahi. Kelompok ini juga melebarkan sayap di bisnis media cetak, yaitu harian Seputar Indonesia (Sindo), dan puluhan stasiun radio yang masuk dalam jaringan Trijaya Network. Kelompok perusahaan yang berada di bawah payung Group Bhakti Investama ini juga memiliki saham signifikan di perusahaan selulair, Mobile 8 dengan produk CDMA di pasaran bernama Fren.
Di pihak lain TV Swasta  ANTV telah ”mengundang” masuknya mogul, atau media baron, Rupert Murdoch, pemilik News Corporation yang jaringannya tersebar di seluruh dunia. Melalui kelompok Star TV Hongkong mereka memiliki 20% saham. Sokongan dana dari konglomerat global ini mampu membuat ANTV menyajikan program yang menghamburkan banyak hadiah. Televisi yang dikelola Anindya Bakrie itu fokus pada program reality show, seperti Super Milyarder, Super Milyarder 3 Milyar, Super Deal 2 Milyar dengan hadiah-hadiah fantastis. Belakangan ANTV diberitakan ”bekerjasama” juga dengan Lativi.
Sementara ”The Rising Star” Trans TV menggandeng TV 7 milik kelompok Kompas Gramedia Group. Ini merupakan kekuatan baru yang potensial, mengingat perusahaan milik Chaerul Tanjung tersebut dinilai ”cukup berhasil” di dalam bisnis TV dan perbankan (Bank Mega). Melalui kerjasama dengan kelompok Kompas Gramedia Group ---yang sejak lama terkenal dengan kekuatan jaringan medianya, baik cetak maupun radio, juga hotel dan perbankan---   terciptalah sinergi baru dalam pertelevisian. Dengan kerjasama itu  TV 7 kemudian berubah menjadi Trans 7.  Kelompok ini mencoba menerapkan segmentasi di antara mereka. Trans TV fokus pada life style dan trends setter. Sedangkan Trans 7 konsisten ke TV sport dan News. Kini, dari 10 stasiun televisi yang siaran nasional, tinggal 3 stasiun yang belum bergabung dengan kelompok lain.
Merger oleh perusahaan-perusahaan media, dinilai menjadi pilihan yang tepat untuk melakukan efisiensi dan konvergensi. Merger dan akuisisi juga dianggap sebagai strategi terbaik untuk menyehatkan kondisi keuangan televisi yang berat karena menghadapi persaingan yang ketat.   Merger memang menjadi fenomena umum. Karena karakeristik para pengusaha di manapun, ada kecenderungan sama, yaitu selain menerapkan efisiensi dan konvergensi, mereka juga  berupaya memperbesar jaringan usahanya, kemudian mengakumulasikan keuntungan dan modal untuk kepentingan mereka.
Namun diakui pula, merger itu ada sisi negatifnya, karena itu kendati merger diperkenankan, tapi selalu ada aturannya. Sebagai contoh di negara liberal seperti  Amerika Serikat, proses merger itu harus terbuka, dan memperoleh persetujuan dari otoritas regulator.  Keinginan perusahaan raksasa Time Warner untuk bergabung dengan American  On Line (AOL) prosesnya cukup lama  dan  baru terlaksana januari 2001 setelah memperoleh ijin atau persetujuan dari Federal Communication Commission (FCC).
Jadi Time Warner and AOL (TWOL), konvergensi dua konglomerasi media yang nilai asetnya mencapai lebih 200 milyar dolar AS, atau holdings media terbesar dunia itu bisa terjadi karena ada approval, persetujuan merger dari FCC. Semua proses merger melalui mekanisme yang harus disetujui oleh lembaga pengartur sistem komunikasi. Ini yang berbeda dengan di Indonesia, hampir semua kegiatan merger di perusahaan stasiun televisi di sini, sama sekali tidak meminta persetujuan KPI. Bahkan boleh dikatakan KPI tidak pernah dilibatkan dalam proses konsentrasi pemilikan atau konsentrasi operasional semacam itu. Padahal menurut UU Penyiaran, KPI memiliki tugas menciptakan tatanan sistem penyiaran yang demokratis dan sehat. Bagaimana hal tersebut bisa tercapai, jika media massa, terutama penyiaran jalan sendiri-sendiri ketika melakukan merger, tanpa melibatkan regulator penyiaran. 
 Namun tidak bisa disangkal proses meger dan akuisisi memang merupakan fenomena global. Walau apa yang dilakukan para mogul itu sering bertentangan dengan tuntutan keadilan dan demokrasi, tapi atas nama efisiensi, tuntutan industri, dan  neoliberal spirit, konsentrasi itupun tetap saja berlangsung dan menjadi trend.
 Itulah yang ditulis oleh David Croteau dan Wiliam Hoynes (2001: 73) ketika menjelaskan kecenderungan  struktur industri media kapitalis dewasa ini. Menurut mereka  ada empat macam perkembangan yang terjadi dalam bisnis media, yaitu:
1.    Growth (pertumbuhan) yang pesat, diwarnai dengan fenomena mergers antar-perusahaan atau joint, sehingga menjadi makin besar dan merambah ke mana-mana.
2.     Integration (integrasi),  raksasa media terintergrasi secara horisontal engan bergerak ke berbagai bentuk media seperti film, penerbitan, radio dan sebagainya. Tapi juga terjadi integrasi secara vertikal, dengan pemilikan perusahaan di berbagai tahapan produksi dan distribusi, dari hulu sampai hilir. Misalnya memiliki perusahaan produksi film, sekaligus perusahaan bioskop, perusahaan DVD, dan jaringan stasiun televisi.
3.    Globalization, konglomerat media telah menjadi entitas global, dengan jaringan pemasaran yang menembus yuridiksi negara.
4.    Concentration of ownership, kepemilikan holdings media meanstream semakin terkonsentrasi kepemilikannya.
Yang jadi persoalan, berbarengan dengan konsentrasi media tersebut, menurut Croteau dan Hoynes (2001), media massa sekarang juga telah mengalami komersialisasi yang luar biasa. Media menempatkan audience  semata-mata hanya dilihat sebagai consumer bukan warga negara (citizens). Tujuan utamanya generate profits for owners and stockholders.  Kemudian mendorong khalayak untuk enjoy themselves view ads, and buy product. Karena itu apa yang dianggap menarik bagi publik oleh media, adalah apapun yang populer di masyarakat.   Dengan demikian tujuan ideal media untuk promote active citizenship via information, education and social integration, sudah dilupakan dan tenggelam dengan gelombang hiper komersialisasi.

Efek Yang  Berbahaya?
Itu semua, efek liberalisasi media yang memuja pasar bebas. James Curran, profesor komunikasi dari University of London, dalam  Rethingking Media and Democracy (2000: 121-154), mengkritik fenomena tersebut. Menurutnya dengan liberalisme, justru mendorong media melakukan korupsi dan bias mekanisme pasar. Dengan liberalisme peran media sebagai watchdog terhadap kekuasaan, tidak memunculkan sikap independensi untuk melayani kepentingan publik, melainkan lebih untuk keuntungan perusahaan.  Liberalisme menghambat freedom to publish. Menciptakan kondisi media sebagai  big business yang membutuhkan pemodal kuat,  sehingga yang mampu mengelola dan memilikinya hanyalah para baron yang elitis.  Liberalisme dan pasar bebas juga mereduksi perputaran informasi publik, dan meningkatkan jumlah masyarakat yang tidak  well informed.  Karena semakin besarnya porsi penempatan isi hiburan atau human interest dan meminggirkan liputan public affairs, atau program yang mencerdaskan. Ini mengurangi bobot demokrasi, sebab kontrol terhadap public affair menjadi semakin elitis, keterlibatbatan masyarakat menjadi semakin kecil, padahal salah satu prasarat demokrasi adalah partisipasi publik. 
Jadi, strategi merger bukanlah upaya untuk meningkatkan pelayanan kepada kepentingan publik, melainkan lebih merupakan strategi bisnis semata. Sejalan dengan komersialisasi media yang makin dominan. Produk media yang dihasilkan cenderung diarahkan ke dunia hiburan yang acapkali tidak mendidik. Alih alih mencerdaskan khalayaknya, yang terjadi justru sebaliknya, memberikan kontribusi pada proses pembodohan dan ketidakcerdasan publik. Bagaimana publik akan cerdas, jika melalui program-program yang memuja rating itu, masyarakat hanya diajak ketawa, atau menangis, dengan lawakan dan sinetron? Sedang fungsi informasi dan edukasi, teramat sedikit. Jadinya media massa hanya  menjadi sarana hiburan semata. Civic education untuk demokrasi menjadi semakin terabaikan.  Padahal hasil dari sistem demokrasi amat ditentukan oleh kualitas orang banyak yang memiliki hak suara. Tanpa kualitas, demokrasi hanya akan menghasilkan keburukan dan ironi-ironi
Satu hal yang paling dikhawatirkan atas konsentrasi pemilikan adalah ancamannya terhadap keragaman isi (diversity of content), terutama yang menyangkut pemberitaan. Pengaruh kekuasaan  pemilik dan pengelola media terhadap pemberitaan, memang sempat dipertanyakan korelasinya. Namun berdasar berbagai studi,  sebagaimana dilakukan oleh Altschull (1984) yang hasilnya sering disebut sebagai Second Law of Journalism, dikenal istilah; “the content of  the media always reflect the interest of those who finance them” (McQuail, 2002 : 198). 
Inilah yang dibenarkan banyak kritisi media, bahwa bagaimanapun para pemilik media amat menentukan isi medianya. Disitulah kemudian para pemilik media memiliki kekuatan dengan korporasinya. Kekuatan itu tidak hanya dipakai untuk kepentingan bisnis semata, tetapi juga untuk menentang peraturan yang akan “membatasi” mereka. Bahkan tak jarang para pemilik media karena menyadari posisinya, mereka melibatkan diri dalam politik, dan menggunakan medianya untuk kepentingan politik. Walhasil para mereka ini amat menentukan siapa yang akan mendapat dukungan publik.
Di luar negeri, Silvio Belusconi merupakan contoh yang tepat. Belusconi pemimpin partai Forza Italia, merupakan konglomerat media yang menguasai penerbitan dan televisi di Itali. Dengan popularitasnya sebagai pemilik AC Millan, ia pun dua kali menduduki jabatan Perdana Menteri Italia. Ini semua tak lepas dari kemampuan Belusconi mengendalikan sumber daya media (Paul Satham, 1996: 88).
Ruperth Murdoch, yang sekarang ikut memiliki ANTV, juga punya reputasi bermain politik, baik di negara asalnya, Australia,  Inggris, dan Amerika Serikat.  Pada Pemilu tahun 1970 Murdoch mendukung partai Buruh Australia dengan memberikan rubrik khusus di medianya, agar partai tersebut lebih dikenal masyarakat. Di tahun 1990-an Murdoch dicatat mengambil alih tabloid  The Sun, The Times dan Sky B television di Inggris. Melalui media-medianya tersebut ia memberikan dukungan pada partai Buruh dan Tony Blair pada pemilihan Perdana Menteri Inggris tahun 1997. Dengan dukungan Murdoch, Tony Blair berhasil menggusur John Major. Hal yang sama dilakukan Murdoch di Amerika Serikat. Mulanya Ia harus rela pindah kewarganegaraan supaya bisa memiliki televisi di AS. Dengan jaringan Fox TV, Murdoch mendukung partai Republik dan George W. Bush dalam pemilu Presiden 2004 lalu. Hasilnya, Bush-pun menang.
Jadi, kecenderungan para pemilik media menggunakan pengaruhnya atau kekuasaannya dengan isi media dan berita-beritanya merupakan kenyataan yang sering terjadi. Nah, bagaimana jadinya jika para pemiliki media semakin lama jumlahnya semakin sedikit? Berarti check and balances antar-media semakin melemah juga. Menurunnya  pluralitas pemilikan, akan berpengaruh terhadap menurunnya prularitas isi, terutama dalam hal informasi. Jika demikian bukankah sistem demokrasi yang berlangsungpun, juga ditentukan dan dipengaruhi oleh jumlah orang yang semakin sedikit pula?

Karena Media Power
Logika, terancamnya demokrasi itu karena diakui bahwa kekuatan media (media power) memang sangat signifikan mempengaruhi akses terhadap politik dan partisipasinya. Ada tiga macam  bentuk kekuatan media terhadap politik, yaitu:
Pertama adalah discursive power. Ini didasarkan pada asumsi “pengetahuan atau informasi itu adalah kekuatan”. Media memiliki peran mendistribusikan informasi yang didapatkannya, sehingga dapat disimpulkan media merupakan pemilik dari sesuatu kekuatan yang cukup signifikan. Karena orang-orang itu berpikir dan berperilaku sesuai dengan apa yang ia dengar, baca, atau lihat di media massa. Dengan kata lain, media berperan sebagai pembentuk opini publik, dan common sense. Terlebih pada masyarakat modern yang memang menggantungkan informasinya dari media massa.
Kedua access power, dengan dimilikinya peran sebagai pendistribusi informasi, media memiliki otoritas mengatur keluar masuknya (peredaran) informasi yang akan disebarkan ke publik. Dapat dipastikan, siapapun yang mengendalikan media massa dapat secara leluasa menggunakan access power yang melekat pada media massa tersebut.
Ketiga, resource power. Dengan adanya discursive power dan access power yang melekat pada media massa, maka institusi dan pemilik media memiliki posisi tawar yang cukup untuk mempengaruhi perilaku pemerintah, dan bargaining position yang lain. Hal tersebut disebabkan oleh kebutuhan pemerintah dalam hal pencitraan diri terhadap masyarakat, yang jelas-jelas sangat membutuhkan peranan media massa.
Nah, lalu apa jadinya kalau pemilik dan pengelola media jumlahnya semakin sedikit? Sementara mekanisme kontrol terhadap media penyiaran juga belum berjalan sebagaimana seharusnya. Di negara maju yang aturan hukum dan etikanya telah mapan saja banyak persoalan, apalagi di negara Indonesia yang masih belajar berdemokrasi, dan sering mengabaikan aturan hukum dan etika? Lalu apa Jadinya nanti?
Terlebih dalam sistem pemilihan presiden secara langsung, peran media massa, khususnya televisi amat signifikan. Sungguh mengkhawatirkan bila stasiun-stasiun televisi itu hanya berada di genggaman segelintir orang.  Memang benar dalam demokrasi pemilihan presiden ditentukan oleh rakyat banyak. Tapi dari mana rakyat banyak itu memperoleh informasi politik yang cukup tentang para pemimpinnya? Tak lain adalah media massa, terutama televisi. Media televisi memiliki kekuatan dominan, karena jumlah penonton televisi di Indonesia jauh lebih banyak dari media lainnya. Kalau sekarang sudah terdapat lebih dari 30 juta pesawat televisi, kalau satu pesawat TV rata-rata ditonton 5 orang, berarti yang potensial menonton televisi ada 150juta pemirsa. Belum lagi waktu luang yang dipakai menonton televisi-pun, menurut data jauh lebih lama dibandingkan waktu yang dipakai untuk menggunakan media lain. Walhasil televisi memang dominan.  
Disinilah pentingnya mengkritisi konsentrasi pemilikan media televisi di Indonesia. Kehidupan sosial politik tidak bisa dilepaskan dari struktur dan sistem media massa. Kalau kita sudah komitmen akan menegakkan demokrasi di negeri ini, maka sistem medianyapun harus mencerminkan struktur yang demokratis pula, baik  dalam keragaman kepemilikan, maupun keragaman isinya. Tanpa berjuang merubah sistem media, mustakhil sistem demokrasi politik dapat ditegakkan dengan baik. Itulah salah satu inti kutipan Robert Mc Chesney di awal tulisan ini. Persoalannya, sudahkah kita berjuang untuk merubah sistem media kita yang cenderung sentralistik dan terkonsentrasi pemilikannya di segelintir orang? Jika ini kita biarkan, berarti kita membiarkan pula ancaman terhadap demokrasi.

Dengan tuntutan liberalisasi, di satu sisi industri penyiaran menjadi semakin bebas dari kontrol negara atau pemerintah. Di sisi yang lain, industri penyiaran akan semakin rentan terhadap represi rejim kapital, atau kediktatoran pasar (market dictatorship), yang beroperasi melalui the invisible hand mekanisme pasar. Prinsip mekanisme pasar mendasarkan diri pada kaidah-kaidah permintaan penawaran, rasionalitas instrumental maksimalisasi produksi konsumsi, serta logika never ending circuit of capital accumulation: M-C-M (Money-Commodities-More Money). Khususnya dalam industri penyiaran, represi rejim kapital tersebut berlangsung di dua front: pasar khalayak, dan juga pasar industri periklanan.[1]   
Media massa khususnya penyiaran sebagai industri informasi, hiburan dan budaya, acapkali dimanfaatkan untuk menginklusi kepentingan-kepentingan kapitalisme. Kalau Althusser menganggap media massa berperan sebagai ideological state aparatus, dalam konteks ini media massa penyiaran justru dijadikan sebagai alat kapitalisme untuk mempertahankan kepentingannya.
            Peter Golding dan Graham Murdoch melihat media massa bukan sebuah entitas yang monolitik, dalam praktik pemilik bisa memiliki nilai yang berbeda dengan para pekerja profesional. Hanya saja dalam kenyataannya kepentingan kapitalisme dan kekuatannya  bisa mereduksi perbedaan tersebut. Disadari atau tidak, kalangan profesionalisme media yang pada dasarnya merupakan bagian dari civil society telah dimanfaatkan oleh kapitalis. Karya-karya mereka telah digunakan sebagai jembatan untuk meluaskan budaya konsumsi, tujuannya supaya kaum proletar tetap tunduk, dan kapitalisme tetap berjalan.
Industri informasi dan budaya yang ada dalam dunia media massa telah menjadi faktor ekonomi politik yang penting, yang sering mengalihkan perhatian dari masalah yang sebenarnya dialami masyarakat luas, dengan menawarkan solusi palsu tersebut. Disitulah sebenarnya media massa sebagai industri budaya telah membantu memanipulasi kesadaran.
Repotnya kecenderungan industri media memang menuju pada kondisi yang ”mengkhawatirkan”. Kecenderungan struktur industri media di dunia, dalam beberapa tahun terakhir ini menurut David Croteau dan Wiliam Hoynes mengalami empat macam perkembangan, yaitu: 1) Growth, pertumbuhan yang pesat, diwarnai dengan fenomena mergers antar perusahaan atau joint, sehingga menjadi makin besar dan merambah ke mana-mana. 2)  Integration,  raksasa media baru terintergrasi secara horisontal dengan bergerak ke berbagai bentuk media seperti film, penerbitan, radio, televisi, internet, dan sebagainya. Integrasi perusahaan media baru juga terbentuk secara vertikal, dengan memiliki perusahaan di berbagai tahapan produksi dan distribusi. 3) Globalization, untuk meningkatkan derajat keragaman, konglomerat media telah menjadi entitas global, dengan jaringan pemasaran yang menembus yuridiksi negara dan menjadi mendunia. 4) Concentration of ownership, kepemilikan holdings media yang menjadi meanstream dunia  semakin terkonsentrasi kepemilikannya.[2]
Sebenarnya Amerika Serikat secara sadar memang melakukan banyak deregulasi di bidang konsentrasi media, ini dilakukan tidak lain  untuk mendorong perusahaan mereka menjadi penguasa pasar dunia. Ada anggapan, konsentrasi kepemilikan merupakan sarana yang menguntungkan untuk perusahaan Amerika mendominasi pasar dunia (media concentrations of media ownership beneficially aids American firm domination of world markets)[3]  
Gejala konsentrasi pemilikan ini menurut Josef dan Meier, telah menjadi salah satu persoalan penting dalam hal diskusi tentang perkembangan ekonomi media. Diskusi tersebut umumnya memfokuskan pada akibat, hasil dan konsekuensi dari fenomena konsentrasi media. Beberapa isu utama yang sering dibahas adalah: pertama, kebijakan konsentrasi media merupakan masalah politik yang sensitif. Biasanya sistem politik memiliki perhatian terhadap hukum media, namun sering kesulitan dalam proses legislasi, dan lebih sulit lagi dalam melaksanakannya. Kedua, konsentrasi media memiliki sisi positif dan negatif untuk perkembangan kekuatan elit politik. Bagi politisi, konsentrasi media dengan jumlah perusahaan media yang sedmemudahkan mereka untuk mempengaruhi khalayak yang luas. Karena itu dalam membuat kebijakan yang berkait dengan konsentrasi media, menempatkan aktor politik dalam posisi menguntungkan media. Karena itu sistem politik tidak sepenuhnya meletakkan masalah konsentrasi media sebagai agenda politik[4]
Tuntutan agar negara memiliki peran yang lebih besar mengembangkan kebijakan yang bersifat intervensi  untuk menjamin kompetisi yang adil, menjaga keragaman dan pluralitas, memunculkan beberapa model yang berbeda-beda dalam berbagai tingkat di level nasional maupun transnasional. [5] Berikut ini, beberapa contoh model kebijakan menghadapi konsentrasi media di tingkat nasional yang dilakukan beberapa negara sebagai upaya menghadapi efek liberalisme [6]
Pertama adalah Model  Pembatasan konsentrasi horizontal,  kebijakan ini untuk mencegah korporasi media mengontrol beberapa saluran, sehingga dimunculkan regulasi yang membatasi pemilikan media-media sejenis, misalnya tidak boleh di suatu propinsi semua radio hanya dimiliki oleh sebuah korporasi saja. Mayoritas negara Eropa melakukan kebijakan membatasi ijin, kepemilikan dan partisipasi finansial. [7] -         
Kedua, Pembatasan konsentrasi vertikal, regulasi dirancang untuk mencegah monopoli media di lebih dari satu wilayah. Biasanya disebut sebagai kepemilikan silang (cross ownership). Misalnya larangan atau pembatasan pemilikan atas beragam media dari hulu hingga hilir. Kebijakan pembatasan semacam ini diterapkan di Jerman, Belanda dan Inggris.[8] -
            Di Indonesia, tatkala reformasi terjadi, upaya utama yang diperjuangkan adalah kebebesan pers. Kemudian tatkala kebebasan telah diperoleh, dan media penyiaran berkembang begitu pesat, konsepsi untuk mewujudkan sistem yang adil dan demokratis menjadi persoalan tersendiri. Di satu sisi media penyiaran telah berkembang sesuai sifat alaminya sebagai institusi bisnis dan industri. Di sisi yang lain tuntutan menata dunia penyiaran melalui regulasi baru, datangnya belakangan. Terjadilah tarik ulur kepentingan yang memasukkan wacananya ke dalam aturan baru, atau interpretasi terhadap aturan tersebut.
            Dari uraian di atas, tulisan ini ingin mengungkap lebih jauh, bagaimana sebenarnya relasi antara negara, industri penyiaran, dan civil society dalam hal membangun sistem penyiaran yang demokratis. Kalau pada masa Orde Baru, paradigma korporatisme negara menunjukkan kuatnya peran  negara mengontrol kapitalisme dan civil society. Setelah reformasi, civil society yang diharapkan mampu mengontrol negara dan kapitalisme, sebagaimana tatanan demokrasi berdasar konsepsi Habermas, juga Cohen dan Arato ternyata belum terjadi. Disinyalir dikarenakan adanya anomali sebagai efek liberalisasi, justru kapitalismelah yang kemudian mengontrol negara dan civil society. Pasca reformasi negara mengalami pelemahan karena liberalisasi dan demokratisasi, kemudian menurut Robison munculah fenomena konsolidasi kekuasaan negara.[9]  Itulah yang oleh Hermin Indah Wahyuni dilihat sebagai fenomena re-regulating pasca terjadinya transformasi politik 1998[10].
Jadi pasca reformasi di Indonesia, pola hubungan negara, industri (pasar) dan civil society, secara teoretik dapat dipilah menjadi beberapa kemungkinan bentuk pola hubungan, yaitu:
A.    Pola korporatisme negara, yaitu tatkala negara kembali ke pola lama seperti pada massa Orde Baru, dimana  negara amat kuat dan mampu mengontrol kapitalisme dan civil society.
B.     Pola dominasi civil society  mengontrol negara sekaligus juga mengontrol kapitalisme, sebagaimana yang diharapkan kalangan civil society yang radikal, atau  juga dalam konsepsi Habermas.  
C.     Pola kuatnya pasar (industri) menghegemoni atau mengontrol negara dan civil society. Dominasi kapitalisme terhadap negara dan civil society bisa dilakukan dengan menghilangkan state regulation, digantikan market regulation. Hegemoni juga bisa dilakukan secara halus melalui pengetahuan, wacana, definisi baik buruk, serta melalui kebudayaan yang konsumtif.
D.    Pola keseimbangan antara negara, industri (pasar) dan civil society. Pada pola ini tidak ada yang dominan, masing-masing melakukan check and balances. Sistem demokrasi pada dasarnya lebih mengacu pada pola keseimbangan ini.
Pengaruh Perkembangan Teknologi
Menurut teori determinisme teknologi, kehidupan masyarakat ditentukan oleh teknologi komunikasi yang digunakan. Perubahan sosial dan kemasyarakatan yang terjadi,  tersentralisasi karena kehadiran teknologi komunikasi. Diakui dalam sejarah perkembangan manusia, teknologi komunikasi berperan penting dalam perubahan sosial yang terjadi. Everett M Rogers (1986) mengatakan bahwa penemuan tulisan atau teknologi tulisan (writing) telah menyebabkan perkembangan teknologi cetak menjadi sangat pesat.  Sementara itu penemuan teknologi telekomunikasi dan komputer telah membawa pengaruh besar terhadap kemajuan teknologi interaktif. [11]
            Dalam pandangan determinisme teknologi, kehidupan masyarakat tergantung pada mesin-mesin teknologi komunikasi yang ditemukan. Menurut Harold Adam Innis (1989) dari Toronto School, setiap teknologi komunikasi yang dominan digunakan masyarakat, memiliki bias dalam hal pengaruhnya terhadap bentuk masyarakat itu sendiri.[12]
            Determinisme teknologi komunikasi menjelaskan bahwa rangkaian penemuan dan aplikasi teknologi komunikasi telah mempengaruhi perubahan-perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Perkembangan teknologi yang begitu pesat di Indonesia, tentu juga memiliki pengaruh yang signifikan.
Daniel Dakhidae dalam studi doktornya mencatat bahwa implikasi inovasi teknologi cetak telah mempengaruhi ekspansi bisnis surat kabar menjadi kian besar dan membutuhkan dukungan manajemen yang lebih profesional. Berkat perkembangan teknologi, terjadi intensifikasi kerja jurnalistik, yang pada akhirnya mendorong ekspansi di bidang lain. Terjadilah ekstensifikasi bisnis yang berkait dengan pemanfaatan teknologi tersebut. Itu berarti perkembangan sarana teknologi tidak berarti hanya sekedar perkembangan teknologi semata, melainkan juga merupakan adanya transformasi kapital. Menurut Daniel, teknologi bukanlah sekadar sarana, namun merupakan jantung persoalan yang dirasakan telah merubah bentuk produksi komoditas yang sederhana menjadi bentuk produksi yang sangat maju dengan tujuan, ”to have more, to be more in order tobe more”[13].  Lebih lanjut dalam kesimpulannya Dakhidae mengatakan bahwa, kombinasi antara teknologi tinggi dengan tingkat integrasi antara industri baru dengan industri yang lain memiliki pengaruh nyata pada kapitalisme.  Teknologi telah mendorong terjadinya konsentrasi industrial menjadi industri baru.[14]
Kecenderungan di atas secara teoritik juga terjadi pada perkembangan teknologi baru dewasa ini. Teknologi interaktif melalui komputer misalnya, berpotensi mempengaruhi perubahan intensitas sosial untuk tatap muka secara leangsung. Semakin banyak pergeseran bentuk interaksi sosial, dari yang kongkrit menjadi virtual karena teknologi. Dengan teknologi interface, orang dengan mudah menjadi get connected atau terhubungkan, tanpa batasan jarak (space) dan waktu (time). Maka yang terjadi adalah, revolusi komunikasi telah menyebabkan revolusi-revolusi sosial dalam masyarakat.
Fenomena munculnya teknologi konvergensi terjadi ketika teknologi komputer, telekomunikasi, dan media massa menyatu dalam lingkungan digital secara bersama, atau yang didefinisikan oleh Pavlik dan McIntosh [15]the coming together of computing, telecommunications, and media in a digital environment is known as convergence.” Konvergen bisa juga diartikan bergabungnya perusahaan internet dengan perusahaan-perusahaan media tradisional.
Konvergen juga berarti menyatunya media massa seperti media cetak, audio, dan video kedalam satu media digital. Walaupun sebenarnya definisi tentang konvergen yang ada belum semuanya disepakati oleh banyak pihak, namun yang terpenting, konvergen adalah transformasi dari sifat alamiah komunikasi massa, ke dalam bentuk yang baru dengan implikasi-implikasi yang baru juga.
Konvergensi pada akhirnya menyebabkan transformasi tidak hanya pada organisasi media maupun pada kalangan kreatif atau profesional media yang bekerja di organisasi media, melainkan juga menyebabkan transformasi pada khalayak, bahkan pemerintah atau negara sebagai otoritas regulator, dan juga industri. Perubahan teknologi media telah membawa paradigma baru yang terjadi karena digitalisasi media dan jaringan media massa yang semakin meluas dan konvergens.
Bagi dunia industri, implikasi dari konvergensi teknologi komunikasi, bukan sekadar berubahnya sarana. Menggunakan istilah Daniel Dakidae; “It means technology is not just a technology, It is transformed into capital.”[16] Dengan konvergensi terjadi kecenderungan merger atau bergabungnya institusi media dengan institusi media yang lain semakin kuat. Pada akhirnya, kondisi ini akan menghasilkan sentralisasi kekuatan media pada satu institusi. Keragaman kepemilikan menjadi semakin sulit karena telah menjadi bisnis hyper capital. Semakin banyak media yang melakukan merger, maka semakin sulit untuk dikontrol.[17] Hal semacam ini berpengaruh terhadap berbagai konsep bagaimana sistem penyiaran yang demokratis harus dioperasionalkan. Itulah konsekuensi dari perkembangan teknologi komunikasi yang melahirkan konsep konvergensi media.

tidak perlunya kekhawatiran yang berlebihan terhadap terjadinya konsentrasi media. Karena akan menghambat perkembangan industri media penyiaran Indonesia menjadi perusahaan yang kuat dan kompetitif secara global. Sementara membiarkan seluruh sumber daya frekuensi dikuasai oleh segelintir orang juga akan memunculkan persoalan.  Maka diperlukan suatu konsep yang seimbang antara dua kepentingan itu. Kekhawatiran berlebihan pada konsentrasi media, bertentangan dengan bukti empiris bahwa tidak ada kontrol yang sempurna terhadap konten media, kendati oleh pemiliknya sendiri. Dengan kata lain kekuatan kapitalisme dalam industri penyiaran, lebih hanya pada kontrol asset atau kekayaan media, sementara kontrol terhadap isi, tidak mungkin efektif secara sempurna. Karena para pekerja media memiliki logika sendiri, mereka senantiasa mempertimbangkan kepentingan pasar, dan kehendak khalayak, baik dalam pemberitaan maupun program. Peran rating amat tinggi, ia menjadi ukuran keberhasilan penetrasi media, sekaligus pedoman isi untuk melangsungkan hidupnya. Tanpa memperhitungkan rating atau keinginan khalayak, industri media tidak akan hidup. Rating bukan hanya menjadi barometer, melainkan juga ”filter”  bagi ”ownership control”.
Disamping itu, format isi penyiaran juga bisa menjadi kontrol, bila senantiasa dikaitkan dengan surat izin yang diberikan oleh negara. Lembaga penyiaran swasta yang berubah format siarannya, berarti mengingkari kontrak, yang menjadi  alasan diberikannya izin, karena itu idealnya, apabila ada media penyiaran yang berubah format isinya, berarti  bisa dicabut izinnya. Sedangkan perubahan pemilikam saham, bisa tetap dimungkinkan, asal tidak merubah format isi siaran. Disinilah perlunya peran pengawasan KPI.
Menurut Baker apa yang dikemukakan Bagdikian, ataupun Mc Chessney  adalah dramatisasi fakta dan pemikiran. Baker mengutip pendapat Benjamin Compaine mengatakan, “because of internet, whatever concentrated media power that existed previously “is breaking up”,  conclusion that objectionable concentration does not exist, especially as properly evaluated in respect to the media as a whole[18] Menurut Baker internet telah merubah segalanya, karena menyajikan berbagai alternatif dan isinya tidak dapat dikontrol secara sempurna oleh siapapun. Dikatakan Baker, perkembangan teknologi tetap akan menjamin adanya diversity of voices  karena media yang beragam, sesuai dengan pasar  ide mereka, akan memiliki suara yang beragam pula. Baker dalam kesempatan yang lain juga mengatakan, bahwa konsentrasi kepemilikan tujuannya selain efisiensi, untuk memperkuat perusahaan dalam persaingan pasar dunia. Disimpulkannya konsentrasi kepemilikan merupakan sarana yang menguntungkan untuk perusahaan Amerika mendominasi pasar dunia (media concentrations of media ownership beneficially aids American firm domination of world markets)[19].
Hasil studi ini sejalan dengan thesis Baker mengenai konsentrasi media. Kekhawatiran yang berlebihan terhadap konsentrasi pemilikan media perlu ditinjau kembali, karena konsentrasi tidak identik dengan monopioli. Konsentrasi merupakan keniscayaan sejarah karena perkembangan tekonologi dan tuntutan bisnis. Membetasi konsentrasi secara berlebihan akan menghambat perkembangan industri penyiaran menjadi perusahaan yang mampu berkompetisi secara global. Alasan yang lain, studi ini mengungkapkan pula, bahwa tidak ada kontrol yang sempurna terhadap konten media, kendati oleh pemiliknya sendiri.  Isi media senantiasa mempertimbangkan kepentingan pasar, dan kehendak khalayak, sehingga rating berperan tidak hanya sebagai ukuran penetrasi media, tetapi juga pedoman isi untuk melangsungkan hidupnya. Industri media tanpa memperhitungkan rating atau keinginan khalayak tidak akan hidup. Jadi rating bukan hanya sebagai barometer, melainkan juga ”filter”  bagi ”ownership control” terhadap isi. Dengan demikian demokrasi tidak sepenuhnya terancam oleh kepemilikan media semata, ada kekuatan pengontrol terhadap “the power of ownership”. Terlebih lagi berdasar studi ini, perkembangan teknologi komunikasi konvergensi tidak bisa dihindarkan akan memunculkan konsekuensi baru, termasuk  konsentrasi kepemilikan. Perkembangan teknologi juga memunculkan berbagai bentuk alternatif media, baik yang  berdasar keberagaman segmen pasar, hingga bentuk media baru yang bersifat interaktif. Teknologi interaktif inilah kemudian memunculkan citizen journalism,  dan terbentuknya public sphere yang menggairahkan partisipasi publik, sehingga justru mendukung iklim demokrasi.
Jadi bisa disimpulkan bahwa dalam sistem penyiaran yang diikuti perkembangan teknologi yang semakin modern, juga keberadaan independent regulatori body yang berfungsi mengawasi isi media secara baik, konsentrasi pemilikan media tidak akan membahayakan secara signifikan terhadap sistem penyiaran yang demokratis, khususnya tidak serta merta menghilangkan diversity of contens and opinions. Dengan kesimpulan tersebut, berarti studi ini sejalan dengan pemikiran, atau teori yang dikemukakan oleh Edwin C. Baker.
Implikasi penerimaan thesis Baker tadi, berarti mengoreksi konsep sistem penyiaran yang demokratis dari Denis McQuail, yang salah satunya mengharuskan adanya diversity of ownerships, yang kemudian diterjemahkan pemilikannya harus banyak dan beragam, serta membatasi adanya akuisisi, mereger hingga konsentrasi. Di masa depan, konsepsi semacam ini akan semakin sulit dipenuhi, karena bertentangan dengan trend teknologi, kecenderungan bisnis, hingga semakin tidak relevannya alasan yang mendasari konsep tersebut. Dengan standpoint ini, berarti berimplikasi pula terhadap perlunya peninjauan kembali mengenai regulasi keragaman kepemilikan, sebagaimana yang juga tertuang dalam Undang-Undang Penyiaran dan Peraturan Pemerintah no 50 tahun 2005.


DAFTAR PUSTAKA

Croteau, David & Hoynes, William, 2001 The Bussiness of The Media, Corporate Media and the Public Interest, Pine Forege Press, Thousand Oak, California.

Curran, James, 2000, Rethinking Media and Democracy, in James Curran and Michael Gurevitch, Mass Media And Society, Third Edition, Arnold London and Oxford University Press, New York.


Curran, James,  and  Seaton,  Jean., Power Without Responsibility,  The Press  and Broadcasting in Britain, 5 th Edition, Routledge London, 2003 :


Gans, Herbert J., 2003, Democracy and The News, Oxford University Press.

Golding, Peter & Murdoch, Graham, 2000., Culture, Communications and Political Economy,  in James Curran and Michael Gurevitch, Mass Media And Society, Third Edition, Arnold London and Oxford University Press, New York.

Hackett, A Robert,  and William K. Carroll, K William, 2006.,  Remaking Media, The struggle to democratize public communication, Routledge, New York and London.

Kovach, Bill & Rosenstiel, Tom, 2003, Sembilan Elemen Jurnalisme, Apa Yang Seharusnya Diketahui Wartawan dan Yang Diharapkan Publik, Pantau.

Lieberman, Al & Esgate, Patricia, 2003, The Entertainment Marketing Revolution, Bringing The Moguls, The Media and The Magic to the World,  Financial Times, Prentice Hall New York.

Lister, Martin., Dovey, Jon., Gidding, Seth., Grant, Iain., Kelly, Kieran., 2003, New Media A Critical Introduction, Routlege, London and New York.

McChesney, Robert W., 2000, Rich Media Poor Democracy, Communication Politics in Dubious Times,  The New Press, New York

Mc Quail, Denis, 2002, McQuail’s Mass Communication Theory, 4th Edition, Sage Publications, London, Thousand Oaks, New Delhi.


Ó Henry  Subiakto, Ketua Program Pascasarjana Studi Media dan Komunikasi  Universitas Airlangga,
   Direktur Lembaga Konsumen Media (LKM, Media Watch).
[1] Dedy N Hidayat, Op.Cit 5
[2] Lihat David Croteau dan William Hoynes, The Business of  Media, Corporate Media and the Public Interest, Pine Forge Press, Thousand Oaks, California, London, New Delhi, 2000.  hal 39-99
[3] Lihat C. Edwin Barker , Media, Market and Democracy., Communication Society and Politics., Cambridge University Press, 2004: 1001
[4] Lihat Josef Trappel and Werner Meier, "Media Concentration: Options for Policy." Dalam: Denis McQuail and Karen Siune. (eds.), 1998, p. 195
[5] Perdebatan masih didominasi tentang seberapa tegas pemerintah harus mengambil tindakan terhadap konsentrasi media. Masyarakat masih percaya bahwa aksi kekuatan pemerintah masih dibutuhkan, sedangkan sebagian percaya bahwa akan lebih membahayakan daripada membawa kebaikan.
[6] Kesimpulan dari Trappel, Josef , Meier and Wener tentang konsep pilihan pilihan  kebijakan mengenai konsentrasi media, bisa dilihat secara detail pada Denis McQuail and Karen Siune, (eds.) 1998 : 191-205
[7] Di Jerman, satu stasiun televisi mengontrol beberapa saluran televisi dengan kombinasi maksimum  market share sebesar 30%. Di spanyol, pertisipasi dibatasi satu channel per orang untuk korporasi Untuk diskusi lebih jauh, Lihat Hans J.Kleinsteuber: "Germany."In: Mary Kelly, Gianpietro Mazzoleni,; and Denis McQuail: The Media in Europe. The Euromedia Handbook. London:SAGE. pp. 81-83.; And Rosario De Mateo,"Spain" in the same book: 233.

[8] Warga Jerman “Lander” pemilik media cetak yang memiliki posisi dominant dalam pasar, tidak mungkin, menerapkan kekuatan dominan lewat program penyiaran dalam wilayah yang sama. Di Belanda, pihak yang berwenang menolak memberikan ijin penyiaran jika sebuah korporasi telah menguasai 25% pasar media cetak. Di Inggris, media cetak yang menguasai lebih dari 20% sirkulasi nasional dibatasi untuk memiliki lebih dari 20% saham secara nasional dan regional.  

[9] Robison, Op.Cit 27.
[10] Baca lebih jauh: Hermin Indah Wahyuni, The Struggle to Create a Democratic Broadcasting System in Indonesia: Re-regulating Television After Political Transformation 1998, Desertation  in Leipzig University 2006
[11] Everet M Rogers dalam Mc Quail 2002, Op.Cit: 102  
[12] Denis Mc Quail, Mass Communication Theory, Fifth Edition, Sage Publication, London, Thousand Oaks, New Delhi, 2005: 103.
[13] Lihat Daniel Dakidae, The State, The Rise of Capital and The Fall of Political Journalism Political Economy of Indonesian News Industry, A Dissertation, Cornell University, 1991: 143.
[14] Ibid : 534.
[15]Lihat John  Pavlik & McIntosh Shawn, Converging Media: An Introduction to Mass Communication, USA Person, 2004 : 19.
[16] Ibid:  142.
[17] Tim Unair, Laporan Akhir Studi Analisis Isi Media Konvergensi (Computer Based Multimedia Communication) Depkominfo, Jakarta, 2008: 8-9

[18] Edwin Baker Ibid : 55
[19] Lihat C. Edwin Baker , Media, Market and Democracy., Communication Society and Politics., Cambridge University Press, 2004: 1001