Selasa, 15 Mei 2012

ANATOMI TEORI DAN PEMIKIRAN PETER LUDWIG BERGER DAN THOMAS LUCKMANN (The Social Construction of Reality)


Oleh:
Henry Subiakto

1.  Konteks Sosial Lahirnya Teori Social Construction of Reality
Tahun 1960 merupakan keadaan konteks sosial saat teori ini muncul. Saat itu dunia sedang selesai Perang Korea, dan masuk dalam persaingan Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur. Marxisme sebagai doktrin politik sedang menjadi isu utama dunia. Karena itu teori ini juga menggunakan pemikiran Marx tentang dialektika, tetapi bukan sebagai doktrin yang ingin memasukkan gagasan-gagasan doktriner Marx ke dalam teori-teori sosiologi, melainkan menggunakan analisis proses-proses dialektika ke dalam suatu konsep yang selaras dengan tradisi-tradisi besar dalam pemikiran sosiologi. Tahun 1960-an juga merupakan waktu awal gencar-gencarnya muncul masyarakat massa, dan budaya massa, karena perkembangan teknologi dan media. Tapi di sisi lain saat itu juga muncul kuatnya fenomena sekularisme, dan individualisme di Barat, dan itu semua telah mendorong dan mewarnai munculnya teori ini.

2. Pemikiran dan Teori Yang Berpengaruh
Ada beberapa tokoh yang pemikirannya berpengaruh terhadap teori ini, antara lain: Marx (perandaian antropologi yaitu matter mempengaruhi mind), Durkheim (fakta sosial sebagai benda-benda), Weber (tentang tindakan sosial), Mead (internalisasi kenyataan sosial atau takimg the the role of the other), dan Alfred Schutz (tentang struktur dunia akal sehat dari kehidupan sehari-hari). Juga Talcott Parson dengan struktural fungsionalnya.  Tapi lebih spesifik sebenarnya Peter Berger dan Luckmann ingin menggabungkan pemikiran Max Weber dan pemikiran Emile Durkheim (hal 264). Berger menerima asumsi interaksi intersubjektif memunculkan konstruksi sosial. Kenyataan sosial objektif diketemukan dalam hubungan individu dengan lembaga-lembaga sosial.  Tapi dalam penjelasan teorinya ia menggunakan juga cara berpikir Marx terutama untuk menjelaskan proses-proses dialektika, juga pemikiran Mead ketika menjelaskan internalisasi dan sosialisasi, khususnya tentang bagaimana individu memperhitungkan orang lain,  dan tentu saja Afred Schutz sahabat Luckmann yang memiliki konsep tentang  world common sense. Dan terakhir Parson mempengaruhi dalam memandang masyarakat sebagai sebuah proses menuju keseimbangan baru.

3. Latar Belakang Sosial Dan Pribadi
Peter Ludwig Berger lahir di Vienna 17 Maret 1929, ia berimigrasi ke Amerika Serikat ketika Perang Dunia II usai. Tahun 1949  Berger lulus Bachelor of Arts dari Wagner College. Kemudian Ia melanjutkan studinya di New School for Social Research in New York, gelar M.A. diperoleh tahun 1950, dan Ph.D. di tahun 1952.  Pada tahun 1955 hingga 1956 Ia bekerja di Akademi Evangelische di Badd Boll, Jerman. Tahun 1956 hingga 1958 Berger telah menjadi asisten professor di University of North Carolina. Dari tahun 1958 sampai 1963 Ia menjadi Associate Professor di University of North Carolina. Dari tahun 1958 sampai tahun 1963 ia menjadi  Associate Professor di Hartford Theological Seminary. Tahapan karir berikutnya Ia menjadi professor di New School for Social Research, Rutgers University, dan Boston College. Sejak tahun 1981 Berger telah menjadi profesor sosiologi dan theologi di Boston University, dan sejak tahun 1985 juga menjadi direktur di Institute on Culture, Religion and World Affairs.
Thomas Luckmann, lahir tahun 1927, Ia adalah profesor sosiologi dari universitas Constance Jerman. Sejak tahun 1994 ia menjadi profesor emiritus. Ia dikenal selain sebagai penulis buku The social construction of reality (1966, bersama dengan Peter Berger), Ia juga menulis buku Structures of the life World (1982, bersama Alfred Schutz).  Area penelitian prof Luckmann mencakup sosiologi pengetahuan, sosiologi agama, dan sosiologi komunikasi, serta filsafat ilmu.
4. Pertanyaan Yang Diajukan
Pertanyaan yang diungkap dan ingin dijawab dalam teori dan pemikiran mereka adalah pertanyaan-pertanyaan seputar: Apa yang dimaksud dengan kenyataan? (what is real?) Dan bagaimana orang mengetahuinya? (how is one to know?) Bagaimana realitas tatanan sosial itu dibangun dan bagaimana menjaga kelangsungan individu?

5. Proposisi Yang Ditawarkan
Berger dan Luckmann mengembangkan suatu teori sosiologi, dimana masyarakat dipandang  sebagai realitas objektif, sekaligus realitas subjektif. Analisanya mengenai masyarakat sebagai realitas subjektif mempelajari bagaimana realitas itu diproduksi dan bagaimana menjaga kelangsungan individu.  Ia menulis tentang bagaimana konsepsi manusia yang baru menjadi bagian dari realitas.  Konsepsinya tentang struktur sosial, menunjukkan betapa pentingnya bahasa, sebagai sistem tanda masyarakat manusia yang paling utama, konsepsi ini mirip dengan Konsepsi Hegel tentang  Geist
Berger dan Luckmann dalam menjelaskan realitas sosial  menggunakan beberapa konsep dan istilah (key word) yaitu eksternalisasi,  objektivasi (objectivation), dan internalisasi (internalisation). Eksternalisasi adalah usaha pencurahan diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Eksternalisasi merupakan interaksi sosial antara manusia dengan struktur sosial yang sudah ada. Dalam eksternalisasi setiap individu memperhitungkan tipifikasi-tipifikasi.  Tipifikasi merupakan dasar bagaimana orang lain dipahami dan diperlakukan dalam  interaksi sosial. Perubahan sosial terjadi kalau eksternalisasi individu menggerogoti tatanan sosial yang sudah mapan, diganti denga orde yang baru. Dari semua itu kalau dicari asumsi dasar dari eksternalisasi adalah masyarakat terbentuk karena manusia.
  Sedangkan objektivasi merupakan proses manifestasi diri (pengungkapan kenyataan subjektif) kedalam  bentuk-bentuk kegiatan yang tersedia yang bisa diketahui oleh orang lain sebagai unsur-unsur dari dunia bersama. Contoh objektifasi adalah, ketika marah seseorang mengeluarkan senjata. Tindakan mengeluarkan senjata dimaknai oleh orang lain sebagai kenyataan objektif bahwa orang itu marah. Sedang internalisasi adalah pemahaman atau penafsiran yang langsung dari suatu peristiwa objektif sebagai pengungkapan suatu makna. Atau  memahami proses-proses subjektif orang lain menjadi bermakna bagi kita.

Kenyataan dan Pengetahuan dalam Masyarakat sebagai Kenyataan objektif
Realitas sosial menurut Berger dan Luckmann bersifat relatif. Apa yang nyata bagi seorang biarawan Tibet, mungkin saja tidak nyata bagi seorang pengusaha Amerika.  Pengetahuan seorang penjahat berbeda dengan pengetahuan seorang kriminolog. Ini berarti kumpulan spesifikasi dari kenyataan dan pengetahuan berkaitan dengan konteks-konteks sosial yang spesifik. Setiap perangkat pengetahuan (body of kowledge), pada akhirnya ditetapkan secara sosial sebagai kenyataan. Jadi kenyataan adalah apa yang diketahui (pengetahuan) tentang orang lain atau apa-apa di luar dirinya. Kemudian sesuatu yang dianggap sebagai pengetahuan dalam masyarakat,  serta perangkat pengetahuan di masyarakat pada akhirnya ditetapkan sebagai realitas.
Sementara kenyataan hidup sehari-hari menurut Berger dan Luckman dialami bersama dengan orang-orang lain. Pengalaman yang paling penting dengan orang lain berlangsung ketika tatap muka, yang merupakan bentuk tipikal interaksi sosial intersubjektif. Dalam suatu tatap muka ada pertukaran terus menerus penampilan masing-masing. Ini berarti tindakan ekspresif timbal balik terus menerus terjadi secara serentak di antara pelaku. Dalam tatap muka subjektivitas masing-masing terbuka  terhadap gejala-gejala yang ada, termasuk penyalahtafsiran terhadap gejala itu, ataupun sengaja menyembunyikan perasaan tertentu. Dengan tatap muka orang lain menjadi lebih nyata.  Ini berarti hubungan–hubungan  tatap muka dengan orang lain  situasinya sangat lentur. Masing masing menggunakan tipifikasi secara timbal balik.  Sebagaimana diketahui menurut Berger dan Luckmann, kenyataan hidup sehari-hari mengandung skema-skema tipifikasi atas dasar mana orang lain dipahami dan diperlakukan  dalam perjumpaan tatap muka.  Misalnya orang bisa ditipifikasi sebagai seorang Eropa, sebagai pedagang dan sebagainya.
Tipifikasi interaksi sosial semakin anonim dengan semakin jauhnya interaksi itu dari situasi tatap muka (karena perkembangan teknologi misalnya). Dengan demikian satu aspek yang penting dari pengalaman dengan orang-orang lain dalam kehidupan sehari-hari adalah langsung atau tidak langsungnya pengalaman itu. Kenyataan sosial  kehidupan sehari hari dipahami dalam suatu rangkaian kontinum berbagai tipifikasi yang menjadi semakin anonim dengan semakin jauhnya tipifikasi itu dari situasi tatap muka. Agar bentuk-bentuk tindakan dapat ditipifikasi, maka bentuk-bentuk tindakan itu harus memiliki arti yang objektif, yang pada gilirannya memerlukan suatu objektifikasi lingguistik. Yang nantinya terjadi proses pelembagaan dengan peranan dan perangkat legitimisanya.
Dasar-dasar pengetahuan dalam hidup sehari-hari, adalah objektivasi dari proses-proses dan makna-makna subjektif dimana dunia akal sehat intersubjektif itu dibentuk. Kenyataan hidup sehari-hari sudah diobjektifikasi, dibentuk oleh suatu tatanan objek-objek yang sudah diberi nama sebagai objek-objek yang ada sejak sebelum kita lahir. Bahasa yang digunakan  dalam kehidupan sehari-hari secara terus menerus memberikan kepada kita berbagai objektifikasi yang diperlukan dan menetapkan tatanan dimana objektifikasi itu bermakna dan dimana kehidupan sehari-hari itu punya makna pada kita.
Objektifikasi yang sangat penting  adalah pembuatan tanda-tanda oleh manusia. Sebuah tanda (sign) dapat dibedakan dari objektivasi-objektivasi lainnya, karena tujuannya yang eksplisit untuk digunakan sebagai isyarat atau indeks bagi makna-makna subjektif. Tanda-tanda dikelompokkan dalam sejumlah sistem. Maka ada tanda dengan tangan, sistem gerak gerik badan, sistem berbagai perangkat artefak dan sebagainya. Tapi sistem tanda yang paling penting dalam masyarakat manusia adalah bahasa. Bahasa  memberikan kemungkinan untuk terus menerus mengobjektivasi pengalaman kita yang terus berkembang. Bahasa juga menganonimkan  berbagai pengalaman, oleh karena dalam prinsipnya pengalaman yang sudah ditipifikasi dapat ditiru oleh setiap orang. Bahasa menjembatani wilayah-wilayah yang berbeda  dalam kehidupan sehari-hari dan mengintegrasikannya ke dalam suatu keseluruhan yang bermakna. Bahasa mampu tidak hanya untuk membangun simbol-simbol yang sangat diabstraksikan dari pengalaman sehari-hari, melainkan juga  untuk mengembalikan simbol-simbol itu dan menghadirkannya sebagai unsur-unsur yang objektif nyata dalam kehidupan sehari-hari. Dengan cara ini, simbolisme dan bahasa simbolik menjadi unsur-unsur esensial dari kenyataan hidup sehari-hari. Manusia setiap hari hidup dalam dunia tanda-tanda dan simbol-simbol.  
Menurut Berger dan Luckmann, hanya sebagian kecil saja dari keseluruhan pengalaman manusia tersimpan terus dalam kesadaran. Pengalaman yang tersimpan terus itu lalu mengendap, menggumpal dalam ingatan sebagai entitas yang bisa dikenal dan diingat kembali. Tanpa terjadinya pengendapan itu individu tidak dapat memahami biografinya. Pengendapan intersubjektif itu hanya benar-benar dinamakan sosial apabila ia sudah diobjektivasi dalam suatu sistem tanda.
Selanjutnya, bahasa memberikan cara-cara untuk mengobjektifikasi  pengalaman-pengalaman baru, memungkinkan pemasukkannya ke dalam cadangan pengetahuan yang sudah ada, dan ia menjadi alat yang paling penting untuk meneruskan endapan-endapan yang sudah diobjektivikasi. Maka, objektifikasi pengalaman dalam bahasa, atau dalam hal ini merupakan transformasi ke dalam objek pengetahuan yang tersedia, memungkinkannya dimasukkan ke dalam suatu himpunan tradisi yang lebih luas. Makna-makna yang diobjektifikasi dari kegiatan kelembagaan dipahami sebagai pengetahuan, dan ingat setiap perangkat pengetahuan pada akhirnya ditetapkan secara sosial sebagai kenyataan.
Tipifikasi merupakan asal-usul kelembagaan. Tipifikasi tidak hanya pada tindakan spesifik tetapi juga terhadap bentuk-bentuk tindakan, dari sinilah munculnya pelembagaan terhadap tindakan.  Melalui pembiasaan dan objektifasi maka terjadilah pelembagaan. Semua kegiatan manusia bisa mengalami proses pembiasaan (habitualisasi). Tiap tindakan yang sering diulangi pada akhirnya akan menjadi suatu pola yang kemudian bisa direproduksi. Proses-proses pembiasaan ini menduhului setiap pelembagaan. Pelembagaan terjadi apabila ada suatu tipifikasi yang timbal balik dari tindakan tindakan yang sudah terbiasa bagi berbagai tipe pelaku.  Dengan kata lain, tiap tipifikasi seperti itu merupakan suatu lembaga. Tipifikasi tindakan yang sudah dijadikan kebiasaan yang membentuk lembaga-lembaga, selalu merupakan milik bersama. 
  Disitu peranan-peranan muncul begitu dimulai proses pembentukan suatu cadangan pengetahuan bersama yang mengandung tipifikasi perilaku secara timbal balik, suatu proses yang selalu terdapat dalam proses interaksi sosial dan mendahului pelembagannya itu sendiri.  Semua perilaku yang sudah dilembagakan melibatkan berbagai peranan. Dengan demikian semua peranan memiliki sifat mengendalikan pelembagaan. Peranan merepresentasikan  tatanan kelembagaan, merepresentasi ini berlangsung pada dua tingkat. Pertama pelaksanaan peranan merepresentasikan dirinya sendiri. Kedua, peranan merepresentasikan keseluruhan rangkaian perilaku yang melembaga (contoh hakim yang mengambil keputusan). Proses pelembagaan ini memiliki keragaman historis, sesuai dengan luas dan sempitnya tindakan yang dilembagakan.   
Menurut Berger dan Luckmann, suatu tatanan kelembagaan dipahami sebagai faktisitas bukan manusiawi (non human). Terjadi reifikasi kenyataan sosial. Yaitu pemahaman atas fenomena-fenomena manusia seolah semua itu benda-benda (things), bukan manusiawi (human) ataupun adi manusiawi (supra human). Melalui reifikasi seolah-olah produk-produk manusia itu seperti fakta-fakta alam, atau manifetasi kehendak ilahi. Objektivitas dunia sosial berarti ia dihadapi oleh manusia sebagai sesuatu yang ada di luar dirinya.  Ini berarti, reifikasi peranan mempersempit jarak subjektif yang mungkin ditentukan oleh individu  antara dirinya sendiri dengan peranan  yang dimainkannya (ini menyiratkan pandangan strukturalis).
Kemudian ada proses legitimasi membuat objektivasi yang sudah dilembagakan menjadi tersedia secara objektif dan masuk akal secara subjektif. Legitimasi menjelaskan tatanan kelembagaan dengan memberikan kesahihan kognitif kepada makna-maknanya yang sudah diobjektivasi.

Masyarakat sebagai Kenyataan Subjektif
 Masyarakat dipahami sebagai proses dialektis yang berlangsung terus menerus. Individu baru menjadi anggota masyarakat setelah mencapai taraf internalisasi. Disini asumsi dasar internalisasi, adalah individu itu terbentuk karena masyarakat. Proses ontogenetik untuk mencapai itu adalah sosialisasi sebagai pengimbasan individu secara konprehensif dan konsisten ke dalam dunia objektif suatu masyarakat. Sosialisasi primer adalah sosialisasi pertama yang dialami individu dalam masa kanak-kanak yang dengan itu ia menjadi anggota masyarakat. Sedangkan sosialisasi sekunder adalah proses berikutnya yang mengimbas individu yang sudah disosialisasikan itu ke dalam sektor-sektor baru objektif masyarakatnya. Sosialisasi primer menciptakan di dalam kesadaran anak suatu abstraksi yang semakin tinggi dari peranan-peranan dan sikap orang-orang lain tertentu ke peranan-peranan dan sikap-sikap pada umumnya.
Titik awal masyarakat sebagai kenyataan subjektif adalah proses internalisasi, yaitu pemahaman atau penafsiran yang langsung dari suatu peristiwa objektif sebagai pengungkapan suatu makna. Atau  memahami proses-proses subjektif orang lain menjadi bermakna bagi kita. Pemahaman ini bukanlah merupakan hasil dari penciptaan makna secara otonom oleh individu-individu yang terisolasi, melainkan dimulai saat individu mengambil alih dunia dimana sudah ada orang lain. Dan setelah diambil alih dunia tersebut bisa dimodifikasi secara kreatif, atau bahkan diciptakan kembali secara subjektif.
Melalui internalisasi, orang lain akan terwujud dalam kesadaran, maka terbentuklah suatu hubungan yang simetris antara kenyataan objektif  dengan kenyataan subjektif. Yang nyata “di luar” sesuai dengan yang nyata “di dalam”. Kenyataan objektif dengan mudah dapat diterjemahkan kedalam kenyataan subjektif, dan sebaliknya. Bahasa, merupakan wahana utama dari proses penerjemahaan yang berlangsung terus menerus dalam kedua arah itu. Namun demikian simetri antara kenyataan objektif dan subjektif tidak bisa sempurna. Lebih  banyak kenyataan objektif daripada apa yang benar-benar diinternalisasi ke dalam kesadaran individu, semata-mata karena isi sosialisasi ditentukan distribusi pengetahuan dalam masyarakat. Tidak ada individu yang menginternalisasikan dari seluruh apa yang diobjektivasi sebagai kenyataan dalam masyarakat. Ini berarti simetri antara kenyataan objektif dan subjektif tidak pernah merupakan suatu keadaan yang statis dan tidak berubah untuk selama-lamanya, melainkan berlangsung terus menerus.
Karena sosialisasi tidak pernah selesai sepenuhnya dan karena isi yang diinternalisasi menghadapi ancaman yang terus menerus ke arah kenyataan subjektifnya, maka tiap masyarakat yang ingin hidup terus harus mengembangkan prosedur pemeliharaan kenyataan untuk menjamin adanya suatu ukuran simetris antara kenyataan objektif dan kenyataan subjektif.  Dengan demikian kenyataan subjektif selalu tergantung kepada struktur kemasuk-akalan (plausibility structure) tertentu. Artinya, landasan sosial dan proses-proses sosial tertentu yang diperlukan untuk memeliharanya. Sosialiasi selalu berlangsung dalam konteks suatu struktur sosial tertentu. Tidak hanya isinya, tetapi juga tingkat keberhasilannya, mempunyai kondisi sosiokultural dan konsekuensi sosial struktural.              

6. Jenis Realitas
Jenis realitas dalam ilmu sosial dipahami dalam dua konsepsi, yaitu realitas objektif dan realitas subjektif. Berger dan Luckmann dalam Social Construction of Reality lebih banyak menjelaskan tentang dasar-dasar pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari, interaksi sosial dalam kehidupan sehari-hari. Mereka menjelaskan masyarakat sebagai kenyataan objektif sekaligus subjektif.
Pada mulanya terdapat objektivasi dari proses-proses dan makna-makna subjektif dimana dunia akal sehat intersubjektif itu dibentuk. Objektivasi kenyataan hidup sehari-hari kedalam suatu tatanan objek-objek,  sehingga ada proses pemberian nama terhadap objek-objek yang ada sejak sebelum kita lahir, ada proses pelembagaan dan legitimasi di situ. Dengan demikian diakui adanya realitas sosial objektif, sebagaimana pemikiran Durkheim tentang fakta sosial. Tapi kemudian dijelaskan pula oleh Berger Luckmann bahwa masyarakat juga sebagai kenyataan subjektif, di dalamnya ada proses internalisasi kenyataan oleh individu, internalisasi struktur sosial hingga teori identitas. Nah berikutnya penyerapan fakta sosial melalui internalisasi ini berpengaruh pada proses ekternalisasi. Konsep eksternalisasi amat dekat dengan pemikiran Weber  tentang tindakan sosial.
Intinya disini Peter Berger dan Luckmann menganggap bahwa kenyataan sosial lebih diterima sebagai kenyataan ganda dari pada kenyataan yang tunggal. Kenyataan hidup sehari-hari memiliki dimensi dimensi objektif dan subjektif.  Manusia adalah pencipta kenyataan sosial objektif melalui eksternalisasi. Kemudian kenyataan objektif melalui internalisasi diserap oleh individu sebagai kenyataan subjektif.  Jadi Berrger memandang masyarakat sebagai produk manusia, dan manusia adalah produk masyarakat. Ini terjadi melalui proses dialektis yang kontinyu dari objektivasi, internalisasi dan eksternalisasi.

7. Lingkup Realitas
Realitas sosial, pada dasarnya bisa dilihat dalam lingkup tataran makro dan mikro. Atau dilihat dari lingkup masyarakat, dan lingkup individu individu. Social Contruction of Reality awalnya melihat pada lingkup realitas yang sifatnya mikro yaitu bagaimana realitas objektif  diketemukan dalam hubungan individu dengan individu, serta hubungannya dengan lembaga-lembaga sosial. Lembaga-lembaga sosial, termasuk masyarakat merupakan produk kegiatan individu manusia. Struktur sosial yang objektif merupakan suatu perkembangan aktivitas manusia dalam proses eksternalisasi, atau interaksi manusia dengan struktur-struktur sosial yang sudah ada.  Jadi sebenarnya teori ini di satu sisi menyoroti lingkup realitas mikro, tapi di sisi yang lain juga memberikan pembahasan masyarakat sebagai realitas makro. Hal itu nampak ketika membahas masyarakat sebagai kenyataan subjektif. Disitu dipahami tatanan sosial sudah ada, dan individu mempelajarinya melalui sosialisasi dan internalisasi, hingga terbentuknya masyarakat sebagai realitas subjektif.  Artinya masyarakat sudah ada sebelum individu baru lahir, kemudian individu itu belajar menjadi bagian masyarakat melalui sosialisasi dan internalisasi. Sehingga menurut mereka masyarakat dan individu itu saling menghasilkan dalam sebuah proses yang terus menerus, kontinyu.  Jadi dapat disimpulkan disini, Berger dan Luckmann, sebenarnya menggabungkan antara analisis mikro dan makro. Menggabungkan antara kajian psikologis dan sosial. Mereka ingin menjabatani dua realitas itu dalam teori konstruksi sosial tentang realitas.


8. Aktor
            Dalam teori sosial peran aktor bisa dikatagorikan ke dalam dua macam kemungkinan. Pertama, aktor bersifat otonom, yaitu memiliki kehendak bebas, atau valuntaristik dalam proses sosial. Kemungkinan kedua aktor tidak bersifat otonom yang berarti aktor itu dalam proses sosial tidak dapat berpikir lain kecuali mengikuti struktur yang ada.  Berger dan Luckmann dalam menjelaskan dasar-dasar pengetahuan pada kehidupan sehari-hari melihat aktor itu bersifat otonom, memiliki makna-makna yang subjektif, melakukan tipifikasi secara lentur ketika melakukan interaksi sosial. Kemudian melakukan objektifikasi melalui tanda-tanda dan bahasa. Disini aktor berperan secara valuntaristik, namun ketika telah terbentuk lembaga dan peranan maka terjadi reifikasi, orang tidak punya pilihan  terpaksa berbuat begini, begitu karena posisinya. Reifikasi peranan mempersempit jarak subjektif yang mungkin ditentukan oleh dirinya sendiri dan peranan yang dimainkannya.
Jadi Berger dan Luckmann mencoba menggungkapkan konsepsi pemikiran aktor yang otonom, ketika melakukan eksternalisasi dan objektivasi. Tapi di lain waktu, karena internalisasi aktor  juga memperhitungkan kehadiran struktur, bahkan dalam banyak hal aktor tidak bisa mengabaikan begitu saja struktur yang sudah diobjektivasi. Disitu dikatakan ada dialektika antara individu dan masyarakat, antara identitas pribadi dan struktur sosial. Nah disinilah nampak bahwa Berger dan Luckmann ingin mengintegrasikan pentingnya aktor dan struktur. Kedua unsur itu itu terlibat dalam dialektika yang tiada habisnya. Pengintegrasian seperti itu menuntut suatu penjelasan yang sistematik mengenai hubungan dialektik antara kenyataan struktural dan kegiatan manusia membangun kenyataan dalam sejarah (hal 265).

9. Lokus Realitas:
Bicara tentang lokus realitas, berarti membahas tentang mana yang lebih menentukan dalam tindakan sosial, antara badan (body) atau unsur-unsur biologis dari manusia, atau jiwa (mind), yaitu kemampuan berpikir manusia.  Peter Berger dan Thomas Luckmann lebih menekankan pada hubungan antara pemikiran manusia dengan konteks sosial dimana pemikiran itu timbul, berkembang dan dilembagakan. Jadi realitas yang dibahas lebih banyak yang terjadi pada jiwa, pemikiran atau aktivitas yang berkaitan dengan kemampuan kreasi manusia, makanya dibahas pula tentang bahasa sebagai simbolisasi yang paling bermakna.
               

10. Jenis Penjelasan
            Ada empat jenis penjelasan dalam teori sosial. Pertama penjelasan yang melihat dari aspek fungsional. Kedua, penjelasan historis atau penelusuran asal-usul (geneology). Ketiga, penjelasan tentang makna, dan terakhir penjelasan rasional atau cost benefit. Peter Berger dan Luckmann dalam Social Construction of Reality lebih banyak menjelaskan secara historis atau penelusuran asal-usul bagaimana terjadinya masyaraka, dan bagaimana pula individu menjadi bagian dari masyarakat. Bagaimana proses asal mula pelembagaan hingga terjadinya tatanan sosial. Bagaimana peranan bahasa dalam proses sosial dan  sebagainya. Tapi sesekali mereka juga melakukan penjelasan tentang makna, baik itu makna atas tindakan ekternalisasi, objektivasi, dan makna tentang proses internalisasi.

11. Asumsi Tentang Masyarakat dan Individu
Menurut Berger dan Luckmann ada dialektika dalam kenyataan sosial, yaitu masyarakat merupakan produk manusia. Masyarakat merupakan kenyataan objektif, dan manusia merupakan produk sosial. Dalam hal ini masyarakat dipahami sebagai suatu proses dialektis yang berlangsung terus menerus dan terdiri dari tiga momen : eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Momen-momen itu berlangsung tidak dalam urutan waktu. Masyarakat dan tiap bagiannya secara serentak dikarakterisasi oleh tiga momen itu, sehingga analisis yang hanya dari satu atau dua segi dari tiga momen itu jelas tidak memadahi.
 Namun demikian individu tidak dilahirkan sebagai anggota masyarakat. Ia dilahirkan dengan predisposisi atau kecenderungan ke arah sosialitas dan ia menjadi anggota masyarakat setelah melalui proses internalisasi. Dalam hal ini tatanan sosial sudah ada atau mendahului setiap perkembangan organisme individu. Tatanan sosial itu sendiri timbul merupakan suatu poduk manusia, yang berlangsung terus menerus. Ia diproduksi sepanjang eksternalisasinya yang berlangsung terus menerus. Jadi pada gilirannya individu-pun ikut mempengaruhi tatanan sosial yang sudah ada. Tatanan sosial tidak diberikan secara biologis  atau berasal dari suatu data biologis dalam manifestasi-manifestasi empirisnya. Tatanan sosial bukan merupakan bagian dari kodrat alam, dan tidak dapat dijabarkan dari hukum-hukum alam. Ia ada sebagai produk aktivitas manusia, yaitu melalui proses pelembagaan, dan legitimasi.

12. Metodologi
             Metodologi menyangkut bagaimana penelitian harus dilakukan, atau data dapat diperoleh. The social construction of reality termasuk ke dalam ranah tradisi penelitian kualitatif yang bersifat non positivistik. Sosiologi pengetahuan yang dikemukakan Berger dan Luckmann memahami kenyataan manusia sebagai kenyataan yang dibangun secara sosial. Implikasinya sosiologi pengetahuan  mendudukan tempatnya bersama-sama dengan ilmu pengetahuan yang menggarap manusia sebagai manusia. Objeknya adalah masyarakat sebagai bagian dari suatu dunia manusiawi yang dibuat oleh manusia dihuni oleh manusia yang pada gilirannya membuat manusia berada dalam suatu proses historis yang berlangsung terus menerus. Jadi disini metode yang sesuai adalah fenomenologi, yang menempatkan individu sebagai subjek penelitian
Sedangkan dari aspek ontologinya (the nature of reality) mendasarkan pada paradigma konstruktivis. Dalam paradigma construtivism ataupun relativism mengasumsikan, realitas itu merupakan hasil konstruksi mental dari individu-individu pelaku sosial, karenanya realitas itu dipahami secara beragam oleh setiap individu. Jadinya realitas bersifat pluralisme, dan dunia itu terus berubah sesuai dengan proses pemahaman itu. Paradigma konstruktivis dari aspek axiologisnya, menganggap nilai, etika dan pilihan moral merupakan bagian tak terpisahkan dari pengembangan ilmu dan penelitian. Ilmuwan atau peneliti berlaku sebagai passionate partisipant, fasilitator yang menjembatani keragaman subjektivitas pelaku sosial. Tujuannya, untuk merekonstruksi realitas sosial secara dialektis antara peneliti dengan pelaku sosial yang diteliti.

13. Unit Analisis:
Unit analisis yang dipakai dalam pemikiran Peter Berger dan Luckmann adalah masyarakat sebagai bagian dari suatu dunia manusiawi yang dibuat oleh manusia dihuni oleh manusia yang pada gilirannya membuat manusia berada dalam suatu proses historis yang berlangsung terus menerus. Dengan unit analisis masyarakat dapat dikaji secara mendalam bagaimana interaksi sosial antar individu terjadi, termasuk penggunaan bahasa, munculnya pelembagaan dan sebagainya.

14. Bias/ Keberpihakan.
Karena berusaha menjembatani antara struktur dan aktor, antara realitas makro dan mikro, juga realitas objektif dan subjektif, maka teori ini menjadi bias pada aspek proses. Semuanya dilihat sebagai proses dialektis yang lentur, serta bersifat kontinyu, sehingga lalu tidak fokus. Stand point mereka dalam melihat dunia menjadi tidak jelas. Padahal stand point  atau dimana mereka berpijak ini penting, karena mempengaruhi berbagai aspek lain termasuk metodologi. Jadinya ada ketidakjelasan  pada konsep Berger dan Luckmann karena tergantung dari mana kita melihat, apa berangkat dari individu atau berangkat dari aspek masyarakat, mau mengambil perspektif realitas subjektif atau realitas objektif,  semua titik masuk ini disediakan oleh mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar