Oleh:
Henry
Subiakto
1. Konteks Sosial Lahirnya Teori Social Construction of Reality
Tahun 1960 merupakan keadaan konteks sosial saat teori ini muncul.
Saat itu dunia sedang selesai Perang Korea, dan masuk dalam persaingan Perang
Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur. Marxisme sebagai doktrin politik
sedang menjadi isu utama dunia. Karena itu teori ini juga menggunakan pemikiran
Marx tentang dialektika, tetapi bukan sebagai doktrin yang ingin memasukkan
gagasan-gagasan doktriner Marx ke dalam teori-teori sosiologi, melainkan menggunakan
analisis proses-proses dialektika ke dalam suatu konsep yang selaras dengan
tradisi-tradisi besar dalam pemikiran sosiologi. Tahun 1960-an juga merupakan
waktu awal gencar-gencarnya muncul masyarakat massa,
dan budaya massa,
karena perkembangan teknologi dan media. Tapi di sisi lain saat itu juga muncul
kuatnya fenomena sekularisme, dan individualisme di Barat, dan itu semua telah
mendorong dan mewarnai munculnya teori ini.
2. Pemikiran dan Teori Yang
Berpengaruh
Ada beberapa tokoh yang pemikirannya berpengaruh terhadap teori ini, antara
lain: Marx (perandaian antropologi yaitu matter
mempengaruhi mind), Durkheim
(fakta sosial sebagai benda-benda), Weber (tentang tindakan sosial), Mead
(internalisasi kenyataan sosial atau takimg
the the role of the other), dan Alfred Schutz (tentang struktur dunia akal sehat
dari kehidupan sehari-hari). Juga Talcott Parson dengan struktural
fungsionalnya. Tapi lebih spesifik
sebenarnya Peter Berger dan Luckmann ingin menggabungkan pemikiran Max Weber
dan pemikiran Emile Durkheim (hal 264). Berger menerima asumsi interaksi intersubjektif
memunculkan konstruksi sosial. Kenyataan sosial objektif diketemukan dalam
hubungan individu dengan lembaga-lembaga sosial. Tapi dalam penjelasan teorinya ia menggunakan
juga cara berpikir Marx terutama untuk menjelaskan proses-proses dialektika, juga
pemikiran Mead ketika menjelaskan internalisasi dan sosialisasi, khususnya
tentang bagaimana individu memperhitungkan orang lain, dan tentu saja Afred Schutz sahabat Luckmann
yang memiliki konsep tentang world common sense. Dan terakhir Parson
mempengaruhi dalam memandang masyarakat sebagai sebuah proses menuju
keseimbangan baru.
3. Latar Belakang Sosial Dan
Pribadi
Peter Ludwig Berger lahir di Vienna 17 Maret 1929, ia berimigrasi ke
Amerika Serikat ketika Perang Dunia II usai. Tahun 1949 Berger lulus Bachelor of Arts dari Wagner College.
Kemudian Ia melanjutkan
studinya di New School for Social Research in New York, gelar M.A. diperoleh tahun 1950,
dan Ph.D. di tahun 1952. Pada tahun 1955 hingga 1956 Ia bekerja di
Akademi Evangelische di Badd Boll, Jerman. Tahun 1956 hingga 1958 Berger telah
menjadi asisten professor di University of North Carolina. Dari tahun 1958 sampai 1963 Ia menjadi Associate
Professor di University of North Carolina. Dari tahun 1958 sampai tahun 1963 ia
menjadi Associate Professor di Hartford
Theological Seminary. Tahapan karir berikutnya Ia
menjadi professor di New School for Social Research, Rutgers University, dan
Boston College. Sejak tahun 1981 Berger telah menjadi profesor sosiologi dan
theologi di Boston University, dan sejak tahun 1985 juga menjadi direktur di
Institute on Culture, Religion and World Affairs.
Thomas Luckmann, lahir tahun 1927, Ia adalah profesor sosiologi dari
universitas Constance Jerman. Sejak tahun 1994 ia menjadi profesor emiritus. Ia
dikenal selain sebagai penulis buku The
social construction of reality (1966, bersama dengan Peter Berger), Ia juga
menulis buku Structures of the life World
(1982, bersama Alfred Schutz). Area
penelitian prof Luckmann mencakup sosiologi pengetahuan, sosiologi agama, dan
sosiologi komunikasi, serta filsafat ilmu.
4. Pertanyaan
Yang Diajukan
Pertanyaan yang diungkap dan ingin dijawab dalam
teori dan pemikiran mereka adalah pertanyaan-pertanyaan seputar: Apa yang
dimaksud dengan kenyataan? (what is
real?) Dan bagaimana orang mengetahuinya? (how is one to know?) Bagaimana realitas tatanan sosial itu dibangun
dan bagaimana menjaga kelangsungan individu?
5.
Proposisi Yang Ditawarkan
Berger dan Luckmann mengembangkan
suatu teori sosiologi, dimana masyarakat dipandang sebagai realitas objektif, sekaligus realitas subjektif.
Analisanya mengenai masyarakat sebagai realitas subjektif mempelajari bagaimana
realitas itu diproduksi dan bagaimana menjaga kelangsungan individu. Ia menulis tentang bagaimana konsepsi manusia
yang baru menjadi bagian dari realitas. Konsepsinya tentang struktur sosial, menunjukkan betapa
pentingnya bahasa, sebagai sistem tanda masyarakat manusia yang paling utama,
konsepsi ini mirip dengan Konsepsi Hegel tentang Geist.
Berger dan Luckmann dalam menjelaskan realitas
sosial menggunakan beberapa konsep dan istilah
(key word) yaitu eksternalisasi, objektivasi (objectivation), dan internalisasi (internalisation). Eksternalisasi adalah usaha pencurahan diri
manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Eksternalisasi
merupakan interaksi sosial antara manusia dengan struktur sosial yang sudah
ada. Dalam eksternalisasi setiap individu memperhitungkan tipifikasi-tipifikasi.
Tipifikasi merupakan dasar bagaimana
orang lain dipahami dan diperlakukan dalam
interaksi sosial. Perubahan sosial terjadi kalau eksternalisasi individu
menggerogoti tatanan sosial yang sudah mapan, diganti denga orde yang baru. Dari semua itu kalau
dicari asumsi dasar dari eksternalisasi adalah masyarakat terbentuk karena
manusia.
Sedangkan objektivasi merupakan proses manifestasi
diri (pengungkapan kenyataan subjektif) kedalam bentuk-bentuk kegiatan yang tersedia yang bisa
diketahui oleh orang lain sebagai unsur-unsur dari dunia bersama. Contoh objektifasi
adalah, ketika marah seseorang mengeluarkan senjata. Tindakan mengeluarkan
senjata dimaknai oleh orang lain sebagai kenyataan objektif bahwa orang itu
marah. Sedang internalisasi adalah pemahaman atau penafsiran yang langsung dari
suatu peristiwa objektif sebagai pengungkapan suatu makna. Atau memahami proses-proses subjektif orang lain menjadi
bermakna bagi kita.
Kenyataan dan Pengetahuan dalam
Masyarakat sebagai Kenyataan objektif
Realitas sosial menurut Berger dan Luckmann bersifat relatif. Apa
yang nyata bagi seorang biarawan Tibet, mungkin saja tidak nyata
bagi seorang pengusaha Amerika. Pengetahuan seorang penjahat berbeda dengan
pengetahuan seorang kriminolog. Ini berarti kumpulan spesifikasi dari kenyataan
dan pengetahuan berkaitan dengan konteks-konteks sosial yang spesifik. Setiap
perangkat pengetahuan (body of kowledge),
pada akhirnya ditetapkan secara sosial sebagai kenyataan. Jadi kenyataan adalah
apa yang diketahui (pengetahuan) tentang orang lain atau apa-apa di luar
dirinya. Kemudian sesuatu yang dianggap sebagai pengetahuan dalam
masyarakat, serta perangkat pengetahuan
di masyarakat pada akhirnya ditetapkan sebagai realitas.
Sementara kenyataan hidup sehari-hari menurut Berger dan Luckman
dialami bersama dengan orang-orang lain. Pengalaman yang paling penting dengan
orang lain berlangsung ketika tatap muka, yang merupakan bentuk tipikal
interaksi sosial intersubjektif. Dalam suatu tatap muka ada pertukaran terus
menerus penampilan masing-masing. Ini berarti tindakan ekspresif timbal balik
terus menerus terjadi secara serentak di antara pelaku. Dalam tatap muka subjektivitas
masing-masing terbuka terhadap
gejala-gejala yang ada, termasuk penyalahtafsiran terhadap gejala itu, ataupun
sengaja menyembunyikan perasaan tertentu. Dengan tatap muka orang lain menjadi
lebih nyata. Ini berarti
hubungan–hubungan tatap muka dengan
orang lain situasinya sangat lentur.
Masing masing menggunakan tipifikasi secara
timbal balik. Sebagaimana diketahui
menurut Berger dan Luckmann, kenyataan hidup sehari-hari mengandung skema-skema
tipifikasi atas dasar mana orang lain dipahami dan diperlakukan dalam perjumpaan tatap muka. Misalnya orang bisa ditipifikasi sebagai
seorang Eropa, sebagai pedagang dan sebagainya.
Tipifikasi interaksi sosial semakin anonim dengan semakin jauhnya interaksi
itu dari situasi tatap muka (karena perkembangan teknologi misalnya). Dengan
demikian satu aspek yang penting dari pengalaman dengan orang-orang lain dalam
kehidupan sehari-hari adalah langsung atau tidak langsungnya pengalaman itu. Kenyataan
sosial kehidupan sehari hari dipahami
dalam suatu rangkaian kontinum berbagai tipifikasi yang menjadi semakin anonim
dengan semakin jauhnya tipifikasi itu dari situasi tatap muka. Agar
bentuk-bentuk tindakan dapat ditipifikasi, maka bentuk-bentuk tindakan itu
harus memiliki arti yang objektif, yang pada gilirannya memerlukan suatu objektifikasi
lingguistik. Yang nantinya terjadi proses pelembagaan dengan peranan dan
perangkat legitimisanya.
Dasar-dasar pengetahuan dalam hidup sehari-hari, adalah objektivasi dari proses-proses dan
makna-makna subjektif dimana dunia akal sehat intersubjektif itu dibentuk.
Kenyataan hidup sehari-hari sudah diobjektifikasi, dibentuk oleh suatu tatanan objek-objek
yang sudah diberi nama sebagai objek-objek yang ada sejak sebelum kita lahir. Bahasa
yang digunakan dalam kehidupan
sehari-hari secara terus menerus memberikan kepada kita berbagai objektifikasi
yang diperlukan dan menetapkan tatanan dimana objektifikasi itu bermakna dan
dimana kehidupan sehari-hari itu punya makna pada kita.
Objektifikasi yang sangat penting adalah pembuatan tanda-tanda oleh manusia. Sebuah
tanda (sign) dapat dibedakan dari objektivasi-objektivasi
lainnya, karena tujuannya yang eksplisit untuk digunakan sebagai isyarat atau
indeks bagi makna-makna subjektif. Tanda-tanda dikelompokkan dalam sejumlah
sistem. Maka ada tanda dengan tangan, sistem gerak gerik badan, sistem berbagai
perangkat artefak dan sebagainya. Tapi sistem tanda yang paling penting dalam
masyarakat manusia adalah bahasa. Bahasa
memberikan kemungkinan untuk terus menerus mengobjektivasi pengalaman
kita yang terus berkembang. Bahasa juga menganonimkan berbagai pengalaman, oleh karena dalam
prinsipnya pengalaman yang sudah ditipifikasi dapat ditiru oleh setiap orang.
Bahasa menjembatani wilayah-wilayah yang berbeda dalam kehidupan sehari-hari dan mengintegrasikannya
ke dalam suatu keseluruhan yang bermakna. Bahasa mampu tidak hanya untuk membangun
simbol-simbol yang sangat diabstraksikan dari pengalaman sehari-hari, melainkan
juga untuk mengembalikan simbol-simbol
itu dan menghadirkannya sebagai unsur-unsur yang objektif nyata dalam kehidupan
sehari-hari. Dengan cara ini, simbolisme dan bahasa simbolik menjadi
unsur-unsur esensial dari kenyataan hidup sehari-hari. Manusia setiap hari
hidup dalam dunia tanda-tanda dan simbol-simbol.
Menurut Berger dan Luckmann, hanya sebagian kecil saja dari
keseluruhan pengalaman manusia tersimpan terus dalam kesadaran. Pengalaman yang
tersimpan terus itu lalu mengendap, menggumpal dalam ingatan sebagai entitas
yang bisa dikenal dan diingat kembali. Tanpa terjadinya pengendapan itu
individu tidak dapat memahami biografinya. Pengendapan intersubjektif itu hanya
benar-benar dinamakan sosial apabila ia sudah diobjektivasi dalam suatu sistem
tanda.
Selanjutnya, bahasa memberikan cara-cara untuk mengobjektifikasi pengalaman-pengalaman baru, memungkinkan
pemasukkannya ke dalam cadangan pengetahuan yang sudah ada, dan ia menjadi alat
yang paling penting untuk meneruskan endapan-endapan yang sudah diobjektivikasi.
Maka, objektifikasi pengalaman dalam bahasa, atau dalam hal ini merupakan
transformasi ke dalam objek pengetahuan yang tersedia, memungkinkannya
dimasukkan ke dalam suatu himpunan tradisi yang lebih luas. Makna-makna yang diobjektifikasi
dari kegiatan kelembagaan dipahami sebagai pengetahuan, dan ingat setiap
perangkat pengetahuan pada akhirnya ditetapkan secara sosial sebagai kenyataan.
Tipifikasi merupakan asal-usul kelembagaan. Tipifikasi tidak hanya
pada tindakan spesifik tetapi juga terhadap bentuk-bentuk tindakan, dari
sinilah munculnya pelembagaan terhadap tindakan. Melalui pembiasaan dan objektifasi maka
terjadilah pelembagaan. Semua kegiatan manusia bisa mengalami proses pembiasaan
(habitualisasi). Tiap tindakan yang sering diulangi pada akhirnya akan menjadi
suatu pola yang kemudian bisa direproduksi. Proses-proses pembiasaan ini
menduhului setiap pelembagaan. Pelembagaan terjadi apabila ada suatu tipifikasi
yang timbal balik dari tindakan tindakan yang sudah terbiasa bagi berbagai tipe
pelaku. Dengan kata lain, tiap tipifikasi
seperti itu merupakan suatu lembaga. Tipifikasi tindakan yang sudah dijadikan
kebiasaan yang membentuk lembaga-lembaga, selalu merupakan milik bersama.
Disitu peranan-peranan muncul begitu dimulai
proses pembentukan suatu cadangan pengetahuan bersama yang mengandung tipifikasi
perilaku secara timbal balik, suatu proses yang selalu terdapat dalam proses
interaksi sosial dan mendahului pelembagannya itu sendiri. Semua perilaku yang sudah dilembagakan
melibatkan berbagai peranan. Dengan demikian semua peranan memiliki sifat
mengendalikan pelembagaan. Peranan merepresentasikan tatanan kelembagaan, merepresentasi ini
berlangsung pada dua tingkat. Pertama pelaksanaan peranan merepresentasikan
dirinya sendiri. Kedua, peranan merepresentasikan keseluruhan rangkaian perilaku
yang melembaga (contoh hakim yang mengambil keputusan). Proses pelembagaan ini
memiliki keragaman historis, sesuai dengan luas dan sempitnya tindakan yang
dilembagakan.
Menurut Berger dan Luckmann, suatu tatanan kelembagaan dipahami
sebagai faktisitas bukan manusiawi (non human). Terjadi reifikasi kenyataan sosial. Yaitu pemahaman atas fenomena-fenomena
manusia seolah semua itu benda-benda (things),
bukan manusiawi (human) ataupun adi
manusiawi (supra human). Melalui reifikasi seolah-olah produk-produk
manusia itu seperti fakta-fakta alam, atau manifetasi kehendak ilahi. Objektivitas
dunia sosial berarti ia dihadapi oleh manusia sebagai sesuatu yang ada di luar
dirinya. Ini berarti, reifikasi peranan
mempersempit jarak subjektif yang mungkin ditentukan oleh individu antara dirinya sendiri dengan peranan yang dimainkannya (ini menyiratkan pandangan
strukturalis).
Kemudian ada proses legitimasi membuat objektivasi yang sudah
dilembagakan menjadi tersedia secara objektif dan masuk akal secara subjektif.
Legitimasi menjelaskan tatanan kelembagaan dengan memberikan kesahihan kognitif
kepada makna-maknanya yang sudah diobjektivasi.
Masyarakat sebagai Kenyataan Subjektif
Masyarakat dipahami sebagai
proses dialektis yang berlangsung terus menerus. Individu baru menjadi anggota
masyarakat setelah mencapai taraf internalisasi.
Disini asumsi dasar internalisasi, adalah individu itu terbentuk karena
masyarakat. Proses ontogenetik untuk mencapai itu adalah sosialisasi sebagai
pengimbasan individu secara konprehensif dan konsisten ke dalam dunia objektif suatu
masyarakat. Sosialisasi primer adalah sosialisasi pertama yang dialami individu
dalam masa kanak-kanak yang dengan itu ia menjadi anggota masyarakat. Sedangkan
sosialisasi sekunder adalah proses berikutnya yang mengimbas individu yang
sudah disosialisasikan itu ke dalam sektor-sektor baru objektif masyarakatnya.
Sosialisasi primer menciptakan di dalam kesadaran anak suatu abstraksi yang
semakin tinggi dari peranan-peranan dan sikap orang-orang lain tertentu ke peranan-peranan
dan sikap-sikap pada umumnya.
Titik awal masyarakat sebagai kenyataan subjektif
adalah proses internalisasi, yaitu
pemahaman atau penafsiran yang langsung dari suatu peristiwa objektif sebagai
pengungkapan suatu makna. Atau memahami
proses-proses subjektif orang lain menjadi bermakna bagi kita. Pemahaman ini
bukanlah merupakan hasil dari penciptaan makna secara otonom oleh individu-individu
yang terisolasi, melainkan dimulai saat individu mengambil alih dunia dimana
sudah ada orang lain. Dan setelah diambil alih dunia tersebut bisa dimodifikasi
secara kreatif, atau bahkan diciptakan kembali secara subjektif.
Melalui internalisasi, orang lain akan terwujud dalam kesadaran,
maka terbentuklah suatu hubungan yang simetris antara kenyataan objektif dengan kenyataan subjektif. Yang nyata “di
luar” sesuai dengan yang nyata “di dalam”. Kenyataan objektif dengan mudah
dapat diterjemahkan kedalam kenyataan subjektif, dan sebaliknya. Bahasa,
merupakan wahana utama dari proses penerjemahaan yang berlangsung terus menerus
dalam kedua arah itu. Namun demikian simetri antara kenyataan objektif dan subjektif
tidak bisa sempurna. Lebih banyak
kenyataan objektif daripada apa yang benar-benar diinternalisasi ke dalam kesadaran
individu, semata-mata karena isi sosialisasi ditentukan distribusi pengetahuan
dalam masyarakat. Tidak ada individu yang menginternalisasikan dari seluruh apa
yang diobjektivasi sebagai kenyataan dalam masyarakat. Ini berarti simetri
antara kenyataan objektif dan subjektif tidak pernah merupakan suatu keadaan yang
statis dan tidak berubah untuk selama-lamanya, melainkan berlangsung terus
menerus.
Karena sosialisasi tidak pernah selesai sepenuhnya dan karena isi
yang diinternalisasi menghadapi ancaman yang terus menerus ke arah kenyataan subjektifnya,
maka tiap masyarakat yang ingin hidup terus harus mengembangkan prosedur
pemeliharaan kenyataan untuk menjamin adanya suatu ukuran simetris antara
kenyataan objektif dan kenyataan subjektif. Dengan demikian kenyataan subjektif selalu
tergantung kepada struktur kemasuk-akalan (plausibility
structure) tertentu. Artinya, landasan sosial dan proses-proses sosial
tertentu yang diperlukan untuk memeliharanya. Sosialiasi selalu berlangsung
dalam konteks suatu struktur sosial tertentu. Tidak hanya isinya, tetapi juga
tingkat keberhasilannya, mempunyai kondisi sosiokultural dan konsekuensi sosial
struktural.
6. Jenis Realitas
Jenis realitas dalam ilmu sosial dipahami dalam dua konsepsi, yaitu
realitas objektif dan realitas subjektif. Berger dan Luckmann dalam Social Construction of Reality lebih
banyak menjelaskan tentang dasar-dasar pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari,
interaksi sosial dalam kehidupan sehari-hari. Mereka menjelaskan masyarakat
sebagai kenyataan objektif sekaligus subjektif.
Pada mulanya terdapat objektivasi dari proses-proses dan makna-makna
subjektif dimana dunia akal sehat intersubjektif itu dibentuk. Objektivasi kenyataan
hidup sehari-hari kedalam suatu tatanan objek-objek, sehingga ada proses pemberian nama terhadap objek-objek
yang ada sejak sebelum kita lahir, ada proses pelembagaan dan legitimasi di
situ. Dengan demikian diakui adanya realitas sosial objektif, sebagaimana pemikiran
Durkheim tentang fakta sosial. Tapi kemudian dijelaskan pula oleh Berger Luckmann
bahwa masyarakat juga sebagai kenyataan subjektif, di dalamnya ada proses
internalisasi kenyataan oleh individu, internalisasi struktur sosial hingga
teori identitas. Nah
berikutnya penyerapan fakta sosial melalui internalisasi ini berpengaruh pada proses
ekternalisasi. Konsep
eksternalisasi amat dekat dengan pemikiran Weber tentang tindakan sosial.
Intinya disini Peter Berger dan Luckmann menganggap bahwa kenyataan
sosial lebih diterima sebagai kenyataan ganda dari pada kenyataan yang tunggal.
Kenyataan hidup sehari-hari memiliki dimensi dimensi objektif dan subjektif. Manusia adalah pencipta kenyataan sosial objektif
melalui eksternalisasi. Kemudian kenyataan objektif melalui internalisasi
diserap oleh individu sebagai kenyataan subjektif. Jadi Berrger
memandang masyarakat sebagai produk manusia, dan manusia adalah produk
masyarakat. Ini terjadi
melalui proses dialektis yang kontinyu dari objektivasi, internalisasi dan
eksternalisasi.
7. Lingkup Realitas
Realitas sosial, pada dasarnya bisa dilihat dalam lingkup tataran
makro dan mikro. Atau dilihat dari lingkup masyarakat, dan lingkup individu
individu. Social Contruction of Reality
awalnya melihat pada lingkup realitas yang sifatnya mikro yaitu bagaimana
realitas objektif diketemukan dalam
hubungan individu dengan individu, serta hubungannya dengan lembaga-lembaga
sosial. Lembaga-lembaga sosial, termasuk masyarakat merupakan produk kegiatan
individu manusia. Struktur sosial yang objektif merupakan suatu perkembangan
aktivitas manusia dalam proses eksternalisasi, atau interaksi manusia dengan
struktur-struktur sosial yang sudah ada. Jadi sebenarnya teori ini di satu sisi
menyoroti lingkup realitas mikro, tapi di sisi yang lain juga memberikan
pembahasan masyarakat sebagai realitas makro. Hal itu nampak ketika membahas
masyarakat sebagai kenyataan subjektif. Disitu dipahami tatanan sosial sudah
ada, dan individu mempelajarinya melalui sosialisasi dan internalisasi, hingga
terbentuknya masyarakat sebagai realitas subjektif. Artinya masyarakat sudah ada sebelum individu
baru lahir, kemudian individu itu belajar menjadi bagian masyarakat melalui
sosialisasi dan internalisasi. Sehingga menurut mereka masyarakat dan individu
itu saling menghasilkan dalam sebuah proses yang terus menerus, kontinyu. Jadi dapat disimpulkan disini, Berger dan
Luckmann, sebenarnya menggabungkan antara analisis mikro dan makro.
Menggabungkan antara kajian psikologis dan sosial. Mereka ingin menjabatani dua
realitas itu dalam teori konstruksi sosial tentang realitas.
8. Aktor
Dalam teori sosial peran aktor bisa dikatagorikan ke dalam dua macam
kemungkinan. Pertama, aktor bersifat otonom, yaitu memiliki kehendak bebas,
atau valuntaristik dalam proses sosial. Kemungkinan kedua aktor tidak bersifat
otonom yang berarti aktor itu dalam proses sosial tidak dapat berpikir lain
kecuali mengikuti struktur yang ada. Berger
dan Luckmann dalam menjelaskan dasar-dasar pengetahuan pada kehidupan
sehari-hari melihat aktor itu bersifat otonom, memiliki makna-makna yang subjektif,
melakukan tipifikasi secara lentur ketika melakukan interaksi sosial. Kemudian
melakukan objektifikasi melalui tanda-tanda dan bahasa. Disini aktor berperan
secara valuntaristik, namun ketika telah terbentuk lembaga dan peranan maka terjadi
reifikasi, orang tidak punya pilihan
terpaksa berbuat begini, begitu karena posisinya. Reifikasi peranan
mempersempit jarak subjektif yang mungkin ditentukan oleh dirinya sendiri dan
peranan yang dimainkannya.
Jadi Berger dan Luckmann mencoba menggungkapkan konsepsi pemikiran
aktor yang otonom, ketika melakukan eksternalisasi dan objektivasi. Tapi di
lain waktu, karena internalisasi aktor juga memperhitungkan kehadiran struktur, bahkan
dalam banyak hal aktor tidak bisa mengabaikan begitu saja struktur yang sudah
diobjektivasi. Disitu dikatakan ada dialektika antara individu dan masyarakat,
antara identitas pribadi dan struktur sosial. Nah disinilah nampak bahwa Berger dan Luckmann
ingin mengintegrasikan pentingnya aktor dan struktur. Kedua unsur itu itu
terlibat dalam dialektika yang tiada habisnya. Pengintegrasian seperti itu
menuntut suatu penjelasan yang sistematik mengenai hubungan dialektik antara
kenyataan struktural dan kegiatan manusia membangun kenyataan dalam sejarah
(hal 265).
9. Lokus Realitas:
Bicara tentang lokus realitas, berarti membahas tentang mana yang
lebih menentukan dalam tindakan sosial, antara badan (body) atau unsur-unsur biologis dari manusia, atau jiwa (mind), yaitu kemampuan berpikir manusia.
Peter Berger dan Thomas Luckmann lebih
menekankan pada hubungan antara pemikiran manusia dengan konteks sosial dimana
pemikiran itu timbul, berkembang dan dilembagakan. Jadi realitas yang dibahas
lebih banyak yang terjadi pada jiwa, pemikiran atau aktivitas yang berkaitan
dengan kemampuan kreasi manusia, makanya dibahas pula tentang bahasa sebagai
simbolisasi yang paling bermakna.
10. Jenis Penjelasan
Ada empat jenis penjelasan
dalam teori sosial. Pertama penjelasan yang melihat dari aspek fungsional.
Kedua, penjelasan historis atau penelusuran asal-usul (geneology). Ketiga, penjelasan tentang makna, dan terakhir
penjelasan rasional atau cost benefit. Peter
Berger dan Luckmann dalam Social
Construction of Reality lebih banyak menjelaskan secara historis atau
penelusuran asal-usul bagaimana terjadinya masyaraka, dan bagaimana pula
individu menjadi bagian dari masyarakat. Bagaimana proses asal mula pelembagaan
hingga terjadinya tatanan sosial. Bagaimana peranan bahasa dalam proses sosial dan
sebagainya. Tapi sesekali mereka juga
melakukan penjelasan tentang makna, baik itu makna atas tindakan ekternalisasi,
objektivasi, dan makna tentang proses internalisasi.
11. Asumsi Tentang Masyarakat dan Individu
Menurut Berger dan Luckmann ada dialektika dalam kenyataan sosial,
yaitu masyarakat merupakan produk manusia. Masyarakat merupakan kenyataan objektif,
dan manusia merupakan produk sosial. Dalam hal ini masyarakat dipahami sebagai
suatu proses dialektis yang berlangsung terus menerus dan terdiri dari tiga
momen : eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Momen-momen itu
berlangsung tidak dalam urutan waktu. Masyarakat dan tiap bagiannya secara
serentak dikarakterisasi oleh tiga momen itu, sehingga analisis yang hanya dari
satu atau dua segi dari tiga momen itu jelas tidak memadahi.
Namun demikian individu tidak
dilahirkan sebagai anggota masyarakat. Ia dilahirkan dengan predisposisi atau
kecenderungan ke arah sosialitas dan ia menjadi anggota masyarakat setelah
melalui proses internalisasi. Dalam hal ini tatanan sosial sudah ada atau
mendahului setiap perkembangan organisme individu. Tatanan sosial itu sendiri
timbul merupakan suatu poduk manusia, yang berlangsung terus menerus. Ia
diproduksi sepanjang eksternalisasinya yang berlangsung terus menerus. Jadi
pada gilirannya individu-pun ikut mempengaruhi tatanan sosial yang sudah ada. Tatanan sosial tidak diberikan secara
biologis atau berasal dari suatu data
biologis dalam manifestasi-manifestasi empirisnya. Tatanan
sosial bukan merupakan bagian dari kodrat alam, dan tidak dapat dijabarkan dari
hukum-hukum alam. Ia ada sebagai produk aktivitas manusia, yaitu melalui proses
pelembagaan, dan legitimasi.
12. Metodologi
Metodologi menyangkut
bagaimana penelitian harus dilakukan, atau data dapat diperoleh. The social construction of reality termasuk
ke dalam ranah tradisi penelitian kualitatif yang bersifat non positivistik. Sosiologi
pengetahuan yang dikemukakan Berger dan Luckmann memahami kenyataan manusia
sebagai kenyataan yang dibangun secara sosial. Implikasinya sosiologi
pengetahuan mendudukan tempatnya bersama-sama
dengan ilmu pengetahuan yang menggarap manusia sebagai manusia. Objeknya adalah
masyarakat sebagai bagian dari suatu dunia manusiawi yang dibuat oleh manusia
dihuni oleh manusia yang pada gilirannya membuat manusia berada dalam suatu
proses historis yang berlangsung terus menerus. Jadi disini metode yang sesuai
adalah fenomenologi, yang menempatkan individu sebagai subjek penelitian
Sedangkan dari aspek ontologinya (the nature of reality) mendasarkan pada paradigma konstruktivis. Dalam
paradigma construtivism ataupun relativism
mengasumsikan, realitas itu merupakan hasil konstruksi mental dari
individu-individu pelaku sosial, karenanya realitas itu dipahami secara beragam
oleh setiap individu. Jadinya realitas bersifat pluralisme, dan dunia itu terus
berubah sesuai dengan proses pemahaman itu. Paradigma konstruktivis dari aspek
axiologisnya, menganggap nilai, etika dan pilihan moral merupakan bagian tak
terpisahkan dari pengembangan ilmu dan penelitian. Ilmuwan atau peneliti
berlaku sebagai passionate partisipant, fasilitator yang menjembatani
keragaman subjektivitas pelaku sosial. Tujuannya, untuk merekonstruksi realitas
sosial secara dialektis antara peneliti dengan pelaku sosial yang diteliti.
13. Unit Analisis:
Unit analisis yang dipakai dalam pemikiran Peter Berger dan Luckmann
adalah masyarakat sebagai bagian dari suatu dunia manusiawi yang dibuat oleh
manusia dihuni oleh manusia yang pada gilirannya membuat manusia berada dalam
suatu proses historis yang berlangsung terus menerus. Dengan unit analisis
masyarakat dapat dikaji secara mendalam bagaimana interaksi sosial antar
individu terjadi, termasuk penggunaan bahasa, munculnya pelembagaan dan
sebagainya.
14. Bias/ Keberpihakan.
Karena berusaha menjembatani antara struktur dan aktor, antara
realitas makro dan mikro, juga realitas objektif dan subjektif, maka teori ini
menjadi bias pada aspek proses. Semuanya dilihat sebagai proses dialektis yang
lentur, serta bersifat kontinyu, sehingga lalu tidak fokus. Stand point mereka dalam melihat dunia
menjadi tidak jelas. Padahal stand point atau dimana mereka berpijak ini penting,
karena mempengaruhi berbagai aspek lain termasuk metodologi. Jadinya ada
ketidakjelasan pada konsep Berger dan
Luckmann karena tergantung dari mana kita melihat, apa berangkat dari individu
atau berangkat dari aspek masyarakat, mau mengambil perspektif realitas subjektif
atau realitas objektif, semua titik
masuk ini disediakan oleh mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar