Karakter publik ini terlihat dari tampilannya di
depan publik atau umum. Yaitu gambaran tokoh tersebut di benak orang banyak yang
interaksinya tidak terlalu dekat, atau tidak langsung sehingga hanya melihat
kulit luar, pakaian dan berbagai penampilan di panggung depan (Erfing Goffman :
Front Stage).
Sedangkan karakter privat, adalah sifat asli sang
tokoh yang hanya diketahui oleh orang orang dekatnya. Orang orang yang akrab,
bahkan intim bergaul secara pribadi di panggung belakang (Back Stage kata
Erving Goffman).
Seorang tokoh, bisa memiliki karakter publik dan
karakter privatnya tidak sama atau tidak sesuai. Banyak tokoh yang karakter
publiknya amat mulia dan mengagumkan, tapi ternyata dicibir oleh orang orang
dekat, yang berinteraksi langsung dengan sang tokoh. Ini karena buruknya
karakter privat sang tokoh di panggung belakang. Orang orang yang dekatlah yang
bisa tahu tentang keburukan atau belangnya sang tokoh. Ada pula tokoh yang
karakter privatnya sangat baik dihormati oleh lingkungan sekitar dan
kerabatnya, tapi yang bersangkutan tidak menonjol di publik. Publik tidak kagum
dan tidak memuja mujanya.
Ini semua karena peran media. Peran media
komunikasi yang membangun the pictures in our heads tentang orang yang
ditokohkan dan dikagumi secara luas (Lippmann). Kalau media termasuk media
sosial mengekspose terus menerus tentang kiprah mulya, tampilan suci yang
mengagumkan dari tokoh tersebut, maka karakter publik tokoh itupun akan moncer.
Masyarakat luas akan memuja muja bahkan bisa rela melakukan apa saja untuk sang
tokoh.
Tapi bisa beda 180 derajad dengan yang kenal secara
pribadi. Terlebih kalau ada yang punya hubungan pribadi tersebut punya
pengalaman nyata yang buruk, kemudian fakta buruk itu terungkap di publik, di
media. Sisi gelap yang ada di back stage atau di panggung belakang itu
terbingkar di publik, maka ributlah publik atau masyarakat luas, yang selama
ini hanya bisa melihat dari jauh. Jadilah kontroversi, jadilah keributan,
jadilah kekecewaan.
Disitulah kenapa kita harus hati hati menilai
seorang tokoh, apalagi yang kita kagumi. Jangan hanya melihat dari tampilan
fisik yang nampak di panggung depan. Contoh sudah banyak yang mengecewakan,
katakalah dari Kanjeng Dimas Taat Pribadi, Gatot Brojomusti, atau yg lain.
Tokoh itu kadang kadang dipandang baik, bukan
karena nyata nyata baik. Tapi karena Allah masih menutup aibnya. Ini berlaku
juga bagi kita semua. Kita terlihat baik juga belum tentu benar benar baik,
tapi karena ditutup aib kita oleh Allah. Maka jangankah kita merasa lebih baik
dan merasa lebih suci dari yang lain. Padahal sebenarnya hanya karena Allah
masih melindungi kita. Semoga semua ini menjadi pelajaran bagi kita untuk tidak
bersikap secara berlebihan. Baik dalam hal suka atau benci pada seorang tokoh,
jangan pula kaget jika tokoh idaman kita ternyata punya sisi amat gelap tak
sesuai yg kita bayangkan.
Wasalam
Henry Subiakto | 01 februari 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar