Sebenarnya
Pilpres 2019 itu sudah setengah selesai. Sekarang Partai-partai lebih banyak
yang fokus ke Pileg. Seakan mereka berkoalisi dan berseberangan, tapi
sebenarnya mereka sedang bermain drama, untuk mencari simpati agar partainya
dipilih di Pemilu Legislatif 2019. Untuk memahami politik, khususnya Pilpres yang saya katakan setengah
selesai, kita harus berempati pada para ketua partai dan politisi senior.
Kalau
kita jadi ketua Partai, atau jadi tokoh yang berpotensi nanti di tahun 2024
bisa maju Capres atau Cawapres (misal AHY, atau 10 Tokoh Dewan Syuro PKS, atau
Ketua PAN) lebih milih tahun 2024 kembali nol nol, semua punya kesempatan yg
sama untuk jadi capres cawapres, atau harus nunggu 10 atau bahkan 20 tahun lagi
baru terbuka peluang partainya mengajukan capres cawapres?
Siapapun
ketua partai itu, pasti ingin dirinya segera bisa dapat peluang menjadi capres
atau cawapres secepatnya, yaitu 2024. Alasan ini yang sebulan lalu juga menjadi
sebab kenapa Prof Mahfud MD yg populer dan dikenal berintegritas ditolak oleh
ketua ketua partai pendukung pak Jokowi. Seperti Cak Imin, Gus Rommy dan pak
Airlangga. Hingga memunculkan figur KH Ma'ruf Amin. Tokoh sepuh yang bisa diterima tanpa dilihat
sebagai ancaman di 2024. Beda dengan Prof Mahfud MD, kalau pak Mahfud sampai jadi Wapres, berarti para
ketua partai akan merasa
"terancam" saat ingin maju di Pilpres 2024. Prof Mahfud akan menjadi
figur sangat kuat saat menjadi wapres.
Hal
yang sama sebenarnya juga dirasakan bagi ketua PKS, PAN dan AHY dari Demokrat,
terhadap Sandiaga Uno apabila menang
bersama Pak Prabowo. Sandi pasti
juga akan dianggap seperti pak Mahfud MD ancaman juga. Mereka tentu juga lebih
memilih Jokowi Ma'ruf yang
menang Pilpres 2019, karena jika yang
menang pasangan ini maka peluang akan terbuka lebar untuk semuanya. Pada tahun
2024 pak Jokowi sudah selesai tidak bisa maju lagi. Kiai Ma'ruf yang sudah sepuhpun juga
selesai karena faktor usia. Maka partai partai punya kesempatan yang sama menyambut
Pilpres 2024.
Tetapi
kalau Prabowo Sandi yang menang di 2019, berapa puluh tahun ketua ketua partai
dan AHY harus menunggu peluang di Pilpres untuk majukan diri? Prabowo minimal pasti juga ingin 2 periode
berarti 10 tahun, kalau tetap dengan Sandiaga Uno, berarti bisa nunggu 10 tahun
lagi jadi praktis bisa 20 tahun setelah
Sandi maju capres.
Apakah
AHY, para politisi PKS dan tokoh PAN bersabar menunggu sekian lama? Padahal
kalau Jokowi Ma'ruf yang
menang mereka hanya menunggu 5 tahun. Dan itu waktu yang sangat singkat serta
pasti terjadi, artinya ada kepastian asal pasangan Jokowi Ma'ruf yg menang
2019.
Karena
itu jangan heran jika partai partai itu seakan berkoalisi tapi sebenarnya
mereka tidak berharap penuh Prabowo
Sandi yang menang. Kalau boleh
jujur, mereka itu mendukung koalisi Prabowo
Sandi lebih untuk menyelamatkan partainya dari "kekecewaan"
konstituen. Mendukung Prabowo Sandi berarti memelihara perasaan konstituen yang memang sikap
politiknya tidak bisa nenerima kepemimpinan Presiden Jokowi, maka dilakukanlah
mendukung oposisi untuk mencari simpati dan suara suara di Pemilu Legislatif.
Karena
kalau ikut koalisi Jokowi Ma'ruf bagi PKS, PAN dan PD tidak menguntungkan.
Selain konstituen pendukung Jokowi Ma'ruf itu ketat, diperebutkan 9 partai
pendukung koalisi pemerintah, faktor kedua, sebagian besar konstituen mereka
lebih banyak yang menjadi haters, yaitu yang kecewa atau tidak suka pada
pemerintah. Mendukung Prabowo Sandi berarti memelihara hubungan yang selama ini
sudah dibangun sejak 2014. Mendukung Prabowo Sandi berarti juga hanya
memperebutkan konstituen (haters) bersama 4 parpol. Tentu relatif lebih ringan
dibanding berebut dengan 9 parpol di kubu Jokowi. Itulah yang disebut efek Ekor
Jas dukungan pada Presiden.
Makanya
tak heran kalau ada partai yang
nampak berdiri di dua kaki. Formal yang tercatat di KPU bisa beda dengan yang
riel di lapangan. Untuk ini Partai Demokrat yg paling nampak. Formalnya mereka
mendukung Prabowo
Sandi,
tapi perilaku politik para politisinya justru berbeda.
Gubernur
Papua, Enembe dari Demokrat misalnya, secara eksplisit mendukung Pak Jokowi.
Tapi dia tidak ditegur atau diperingatkan oleh DPP Partai Demokrat. Gubernur
NTB, Tuan Guru Bajang yang juga berasal dari Demokrat juga sama eksplisitnya
mendukung Presiden Jokowi 2 Periode. Juga dibiarkan tanpa teguran. Pakde Karwo
(Gubernur Jatim) dan Dedy Miswar (mantan Wakil Gubernur Jabar) juga dibiarkan.
Bahkan Andi Arief wasekjen PD menuding Pak Prabowo sebagai Jenderal Karduspun
juga tidak ditegur ataupun dikenakan sanksi. Padahal jelas-jelas merugikan
pihak Prabowo Sandi? Inilah pernainan politik dua kaki tersebut.
Bagaimana
dengan PKS? Walau PKS tidak sejelas partai Demokrat, tapi gerakannyapun tidak
sepenuh hati full untuk membela kemenangan Prabowo Sandi. Tagar 2019 Ganti
Presiden, terbukti tidak langsung digunakan mendukung Prabowo Sandi, melainkan
malah dipakai untuk bargaining position. Mendesakkan adanya kontrak politik yang dibawa oleh Madani
Alisera ke Prabowo Sandi. Ini menunjukkan juga ada agenda yang berbeda antara
PKS dengan kepentingan kemenangan Prabowo Sandi. Besar kemungkinan ini untuk
tawar menawar, atau bahkan menekan agar kursi Wagub DKI yang ditinggal Sandi
segera diberikan kepada PKS. Atau ada tuntutan tuntutan yg lain.
Karena
Bagaimanapun PKS tetap lebih untung untuk jangka panjang kalau Pilpres 2019
yang menang adalah Jokowi Ma'ruf, krn jika itu terjadi mereka juga punya
kesempatan ngajukan capres atau cawapres di 2024. Sedang kalau yang menang
Prabowo Sandi, PKS akan tetap dibawah bayang-bayang kebesaran Gerindra, dan
harus menunggu minimal 10 tahun untuk bisa mengajukan capres atau cawapres dari
partainya sendiri. Siapa yang tahan?
PAN
sebenarnya sama dengan PKS dan PD, hanya PAN tidak memiliki calon Presiden atau
Cawapres yang menonjol atau kuat, sehingga PAN lebih santai, tidak sekhawatir
PD atau PKS. Tapi partai inipun lebih memikirkan Pileg dari pada Pilpres yang
capres atau cawapresnya bukan kadernya yg maju sendiri. Beda dengan 2014 dimana
yang maju cawapres adalah ketua umumnya, yaitu Hatta Rajasa. Sekarang Sandi
memang diminta masuk PAN, tapi Sandi terlanjur imagenya adalah dari partai
Gerindra. Apalagi Sandi adalah wakil ketua Gerindra, dan sekarang walau disebut masuk PAN tidak
pula kemudian Sandi menjadi pengurus PAN.
Permainan
dua kaki oleh partai-partai pendukung Prabowo Sandi ini bukannya tidak
diketahui. Pihak Gerindra tentu tahu, tapi tidak bisa melakukan apapun kecuali tetap mengakomodir
agar konstituen partai partai itu masih bersedia mendukung pasangan ini. Namun
sikap itupun menyebabkan Gerindra enggan memasang orang di luar Partainya
menduduki posisi kunci. Bukan hanya capres Prabowo dan cawapres Sandiaga Uno yg
dari internal partai Gerindra. Tapi Ketua Tim Suksespun diambil juga dari
petinggi Partai Gerindra, Jenderal Purn. Joko Santosa. Artinya ini sinyal
Gerindra hanya percaya pada kadernya sendiri. Bahkan wagub DKI pun tidak rela
diserahkan pada PKS, ada kemungkinan akan tetap diberikan kader Gerindra. Ini
jelas berbeda dengan tahun 2014, saat itu Wapresnya dari PAN dan ketua tim
suksesnya Prof. Mahfud MD yang bukan kader Gerindra.
Dengan
kondisi seperti ini, Pilpres 2019 tidak akan seseru 2014, mungkin yang masih
semangat justru para pendukungnya, sedang politisi utamanya tak seheboh tahun
2014, khususnya untuk partai di luar Gerindra, karena pemainnya lebih banyak
konsentrasi untuk menyelamatkan Pemilu Legislatif yang digelar berbarengan.
Bahkan pak Prabowo pun semangatnya tidak seperti 2014 yang all out bersama
adiknya. Kali ini beliau nampak lebih hati hati khususnya dalam hal pembiayaan
logistik. Sandi dipilih salah satunya faktor ini.
Para
Gubernur di provinsi "besar" juga lebih berharap pada kemenangan
Jokowi Ma'ruf, karena membuat mereka juga ikut berpeluang dengan
mengkapitalisasi jabatannya sebagai Gubernur. Ini bukan hanya untuk Gubernur
Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo dan Khofiffah, bahkan Anies Baswedanpun pasti
lebih memilih kemenangan Jokowi Ma'ruf, yang berarti peluang juga di 2024. Jadi
pertimbangan kepentingan mendukung Jokowi Ma'ruf itu sangat rasional. Walaupun
demikian para politisi yang bermain di dua kaki tersebut memang tidak selamanya
kelihatan, karena drama politik untuk mencari dukungan konstituen fanatik juga
amat penting diyakinkan khususnya untuk mendulang suara di pileg.
Dengan
analisis seperti ini, sekali
lagi politik itu harus dilihat sebagai permainan drama di panggung depan, yang
justru berbeda dengan realitas di panggung belakang. Back stage yang tak
terlihat tentu terkait dengan upaya untuk mendapatkan sesuatu sesuai
kepentingan para politisi. Hikmahnya, melihat proses politik itu kita harus
santai, tidak usah dibawa hingga emosi atau perasaan terlalu mendalam, tapi
harus dilihat secara rasional sebagai aktivitas of Art of posibilities.
Henry
Subiakto
(Pengarang
Buku, Komunikasi Politik, Media dan Demokrasi, Penerbit Prenada, 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar