Rabu, 12 September 2018

POLITIK DUA KAKI DI PILPRES 2019 Oleh: Henry Subiakto


Sebenarnya Pilpres 2019 itu sudah setengah selesai. Sekarang Partai-partai lebih banyak yang fokus ke Pileg. Seakan mereka berkoalisi dan berseberangan, tapi sebenarnya mereka sedang bermain drama, untuk mencari simpati agar partainya dipilih di Pemilu Legislatif 2019. Untuk memahami politik, khususnya Pilpres yang saya katakan setengah selesai, kita harus berempati pada para ketua partai dan politisi senior.
Kalau kita jadi ketua Partai, atau jadi tokoh yang berpotensi nanti di tahun 2024 bisa maju Capres atau Cawapres (misal AHY, atau 10 Tokoh Dewan Syuro PKS, atau Ketua PAN) lebih milih tahun 2024 kembali nol nol, semua punya kesempatan yg sama untuk jadi capres cawapres, atau harus nunggu 10 atau bahkan 20 tahun lagi baru terbuka peluang partainya mengajukan capres cawapres?
Siapapun ketua partai itu, pasti ingin dirinya segera bisa dapat peluang menjadi capres atau cawapres secepatnya, yaitu 2024. Alasan ini yang sebulan lalu juga menjadi sebab kenapa Prof Mahfud MD yg populer dan dikenal berintegritas ditolak oleh ketua ketua partai pendukung pak Jokowi. Seperti Cak Imin, Gus Rommy dan pak Airlangga. Hingga memunculkan figur KH Ma'ruf Amin.  Tokoh sepuh yang bisa diterima tanpa dilihat sebagai ancaman di 2024. Beda dengan Prof Mahfud MD, kalau  pak Mahfud sampai jadi Wapres, berarti para ketua partai akan  merasa "terancam" saat ingin maju di Pilpres 2024. Prof Mahfud akan menjadi figur sangat kuat saat menjadi wapres.
Hal yang sama sebenarnya juga dirasakan bagi ketua PKS, PAN dan AHY dari Demokrat, terhadap Sandiaga Uno apabila  menang bersama Pak Prabowo. Sandi pasti juga akan dianggap seperti pak Mahfud MD ancaman juga. Mereka tentu juga lebih memilih Jokowi Ma'ruf yang menang Pilpres 2019, karena jika yang menang pasangan ini maka peluang akan terbuka lebar untuk semuanya. Pada tahun 2024 pak Jokowi sudah selesai tidak bisa maju lagi. Kiai Ma'ruf yang sudah sepuhpun juga selesai karena faktor usia. Maka partai partai punya kesempatan yang sama menyambut Pilpres 2024.
Tetapi kalau Prabowo Sandi yang menang di 2019, berapa puluh tahun ketua ketua partai dan AHY harus menunggu peluang di Pilpres untuk majukan diri?  Prabowo minimal pasti juga ingin 2 periode berarti 10 tahun, kalau tetap dengan Sandiaga Uno, berarti bisa nunggu 10 tahun lagi jadi praktis bisa 20 tahun setelah  Sandi maju capres.
Apakah AHY, para politisi PKS dan tokoh PAN bersabar menunggu sekian lama? Padahal kalau Jokowi Ma'ruf yang menang mereka hanya menunggu 5 tahun. Dan itu waktu yang sangat singkat serta pasti terjadi, artinya ada kepastian asal pasangan Jokowi Ma'ruf yg menang 2019.
Karena itu jangan heran jika partai partai itu seakan berkoalisi tapi sebenarnya mereka tidak  berharap penuh Prabowo Sandi yang menang. Kalau boleh jujur, mereka itu mendukung koalisi Prabowo  Sandi lebih untuk menyelamatkan partainya dari "kekecewaan" konstituen. Mendukung Prabowo Sandi berarti memelihara perasaan konstituen yang memang sikap politiknya tidak bisa nenerima kepemimpinan Presiden Jokowi, maka dilakukanlah mendukung oposisi untuk mencari simpati dan suara suara di Pemilu Legislatif.
Karena kalau ikut koalisi Jokowi Ma'ruf bagi PKS, PAN dan PD tidak menguntungkan. Selain konstituen pendukung Jokowi Ma'ruf itu ketat, diperebutkan 9 partai pendukung koalisi pemerintah, faktor kedua, sebagian besar konstituen mereka lebih banyak yang menjadi haters, yaitu yang kecewa atau tidak suka pada pemerintah. Mendukung Prabowo Sandi berarti memelihara hubungan yang selama ini sudah dibangun sejak 2014. Mendukung Prabowo Sandi berarti juga hanya memperebutkan konstituen (haters) bersama 4 parpol. Tentu relatif lebih ringan dibanding berebut dengan 9 parpol di kubu Jokowi. Itulah yang disebut efek Ekor Jas dukungan pada Presiden.
Makanya tak heran kalau ada partai yang nampak berdiri di dua kaki. Formal yang tercatat di KPU bisa beda dengan yang riel di lapangan. Untuk ini Partai Demokrat yg paling nampak. Formalnya mereka mendukung Prabowo
Sandi, tapi perilaku politik para politisinya justru berbeda.
Gubernur Papua, Enembe dari Demokrat misalnya, secara eksplisit mendukung Pak Jokowi. Tapi dia tidak ditegur atau diperingatkan oleh DPP Partai Demokrat. Gubernur NTB, Tuan Guru Bajang yang juga berasal dari Demokrat juga sama eksplisitnya mendukung Presiden Jokowi 2 Periode. Juga dibiarkan tanpa teguran. Pakde Karwo (Gubernur Jatim) dan Dedy Miswar (mantan Wakil Gubernur Jabar) juga dibiarkan. Bahkan Andi Arief wasekjen PD menuding Pak Prabowo sebagai Jenderal Karduspun juga tidak ditegur ataupun dikenakan sanksi. Padahal jelas-jelas merugikan pihak Prabowo Sandi? Inilah pernainan politik dua kaki tersebut.
Bagaimana dengan PKS? Walau PKS tidak sejelas partai Demokrat, tapi gerakannyapun tidak sepenuh hati full untuk membela kemenangan Prabowo Sandi. Tagar 2019 Ganti Presiden, terbukti tidak langsung digunakan mendukung Prabowo Sandi, melainkan malah dipakai untuk bargaining position. Mendesakkan adanya kontrak politik yang dibawa oleh Madani Alisera ke Prabowo Sandi. Ini menunjukkan juga ada agenda yang berbeda antara PKS dengan kepentingan kemenangan Prabowo Sandi. Besar kemungkinan ini untuk tawar menawar, atau bahkan menekan agar kursi Wagub DKI yang ditinggal Sandi segera diberikan kepada PKS. Atau ada tuntutan tuntutan yg lain.
Karena Bagaimanapun PKS tetap lebih untung untuk jangka panjang kalau Pilpres 2019 yang menang adalah Jokowi Ma'ruf, krn jika itu terjadi mereka juga punya kesempatan ngajukan capres atau cawapres di 2024. Sedang kalau yang menang Prabowo Sandi, PKS akan tetap dibawah bayang-bayang kebesaran Gerindra, dan harus menunggu minimal 10 tahun untuk bisa mengajukan capres atau cawapres dari partainya sendiri. Siapa yang tahan?
PAN sebenarnya sama dengan PKS dan PD, hanya PAN tidak memiliki calon Presiden atau Cawapres yang menonjol atau kuat, sehingga PAN lebih santai, tidak sekhawatir PD atau PKS. Tapi partai inipun lebih memikirkan Pileg dari pada Pilpres yang capres atau cawapresnya bukan kadernya yg maju sendiri. Beda dengan 2014 dimana yang maju cawapres adalah ketua umumnya, yaitu Hatta Rajasa. Sekarang Sandi memang diminta masuk PAN, tapi Sandi terlanjur imagenya adalah dari partai Gerindra. Apalagi Sandi adalah wakil ketua Gerindra,  dan sekarang walau disebut masuk PAN tidak pula kemudian Sandi menjadi pengurus PAN.

Permainan dua kaki oleh partai-partai pendukung Prabowo Sandi ini bukannya tidak diketahui. Pihak Gerindra tentu tahu, tapi tidak bisa  melakukan apapun kecuali tetap mengakomodir agar konstituen partai partai itu masih bersedia mendukung pasangan ini. Namun sikap itupun menyebabkan Gerindra enggan memasang orang di luar Partainya menduduki posisi kunci. Bukan hanya capres Prabowo dan cawapres Sandiaga Uno yg dari internal partai Gerindra. Tapi Ketua Tim Suksespun diambil juga dari petinggi Partai Gerindra, Jenderal Purn. Joko Santosa. Artinya ini sinyal Gerindra hanya percaya pada kadernya sendiri. Bahkan wagub DKI pun tidak rela diserahkan pada PKS, ada kemungkinan akan tetap diberikan kader Gerindra. Ini jelas berbeda dengan tahun 2014, saat itu Wapresnya dari PAN dan ketua tim suksesnya Prof. Mahfud MD yang bukan kader Gerindra.
Dengan kondisi seperti ini, Pilpres 2019 tidak akan seseru 2014, mungkin yang masih semangat justru para pendukungnya, sedang politisi utamanya tak seheboh tahun 2014, khususnya untuk partai di luar Gerindra, karena pemainnya lebih banyak konsentrasi untuk menyelamatkan Pemilu Legislatif yang digelar berbarengan. Bahkan pak Prabowo pun semangatnya tidak seperti 2014 yang all out bersama adiknya. Kali ini beliau nampak lebih hati hati khususnya dalam hal pembiayaan logistik. Sandi dipilih salah satunya faktor ini.
Para Gubernur di provinsi "besar" juga lebih berharap pada kemenangan Jokowi Ma'ruf, karena membuat mereka juga ikut berpeluang dengan mengkapitalisasi jabatannya sebagai Gubernur. Ini bukan hanya untuk Gubernur Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo dan Khofiffah, bahkan Anies Baswedanpun pasti lebih memilih kemenangan Jokowi Ma'ruf, yang berarti peluang juga di 2024. Jadi pertimbangan kepentingan mendukung Jokowi Ma'ruf itu sangat rasional. Walaupun demikian para politisi yang bermain di dua kaki tersebut memang tidak selamanya kelihatan, karena drama politik untuk mencari dukungan konstituen fanatik juga amat penting diyakinkan khususnya untuk mendulang suara di pileg.
Dengan analisis seperti ini, sekali lagi politik itu harus dilihat sebagai permainan drama di panggung depan, yang justru berbeda dengan realitas di panggung belakang. Back stage yang tak terlihat tentu terkait dengan upaya untuk mendapatkan sesuatu sesuai kepentingan para politisi. Hikmahnya, melihat proses politik itu kita harus santai, tidak usah dibawa hingga emosi atau perasaan terlalu mendalam, tapi harus dilihat secara rasional sebagai aktivitas of Art of posibilities.

Henry Subiakto
(Pengarang Buku, Komunikasi Politik, Media dan Demokrasi, Penerbit Prenada, 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar