Kamis, 16 Mei 2019

PEMAIN DAN SUPORTER JANGAN JADI WASIT Oleh : Henri Subiakto


Sering kita dengar ada tuduhan, wasit jadi pemain. Wasitnya dituduh curang karena ikut membantu pemain tuan rumah. Tapi repotnya yang nuduh itu adalah pemain lain, yang secara nyata malah ingin merebut peran wasit. Bahkan memaksa semua pihak untuk membenarkan, mengikuti dan mengakui keputusannya yang merebut peran sebagai wasit tadi.
Ngomong curang, ngomong ada ketidakadilan, tapi teriaknya sambil bermain dan didukung para supporter yang  fanatik, sebagaimana halnya suporter Hooligans. Ngritik, teriak, memberi koreksi  itu boleh saja, tapi jangan sampai lalu ambil atau merebut sempritan milik wasit, kemudian mengatakan penilaiannyalah yang paling benar. Kalau sudah seperti itu lalu apakah kita semua layak percaya dan mengikuti pemain yang "praat priit- praat priit" menyembunyikan sempritan wasit dengan dukungan suporter Hooligans tersebut?
Harusnya ada tidaknya kecurangan, ketidakadilan dan lain lain itu yang menilai, atau menentukan, bukan pemain ataupun supporter, tapi diserahkan  pada wasit hakim yang profesional atau pengawas yang independen,  yang proses penjuriannya dilakukan secara terbuka, diawasi oleh semua pihak dengan prosedur aturan yang ketat.
Lalu siapa lagi yang harus jadi wasit dalam sebuah pertandingan kalau bukan dari kalangan profesional yang independen dan dipilih sesuai kesepakatan. Jangan sampai pemain dan supporter berusaha memainkan sempritan masing masing seakan pada jadi wasit. Kalau wasit dianggap curang, laporkan ke pengawas pertandingan, biar diadili secara terbuka.
Kita tahu, semua manusia itu subyektif, tapi para wasit bisa menjadi obyektif saat mereka diatur dengan aturan dan prosedur yang ketat serta diawasi baik sisi etika maupun perilakunya. Sebagaimana kita ketahui KPU, Bawaslu, DKPP, MK dan lain lain itu diatur dengan prosedur aturan yang ketat, diawasi secara ketat, dipilih lewat proses yang ketat, semua berdasar UU, sehingga disitulah mereka bisa menjadi lebih objektif, dibanding para pemain, para supporter, atau rakyat biasa yang bertindak tanpa aturan.
Walhasil adu data, adu fakta, adu saksi, dan argumentasi di Pengadilan MK yang terbuka, tentu jauh lebih baik daripada adu massa, adu otot, dan adu kenekadan.
Harus kita dukung aparat yang mencegah, dan menegakkan aturan agar suporter jangan sampai ikut masuk ke lapangan lalu mau memaksakan bertindak sebagai wasit. Kalau hal itu sampai dibiarkan, maka akan rusak pertandingannya.  Atau malah akan terjadi tawuran antar supporter dan supporter yang masuk lapangan digebuki Aparat keamanan.
Yuk kita jaga pertandingan Pilpres ini secara cerdas dan tidak emosional. Biarkan pertandingan ini ibarat Piala Champion, walau para suporter itu sangat fanatik, tapi mereka tetap menghormati aturan permainan dan penyelenggara. Insya Allah pertandingan akan  nampak cantik, menarik dan mampu melibatkan emosi pendukung, tapi selesai dengan damai, dan segera mempersiapkan seri pertandingan berikutnya. Mudah mudahan kontestasi Pilpres ini juga berakhir indah sebagaimana piala Champion yang semua pihak bisa menerima apapun hasil pertandingannya.

Henri Subiakto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar