Selasa, 24 April 2012

PROBLEMA WARTAWAN BERPOLITIK


Oleh: Henry Subiakto
(Dosen Pascasarjana Studi Media dan Komunikasi Unair)



Di era reformasi ini, salah satu pekerjaan yang paling “menggiurkan” adalah menjadi politisi. Dengan duduk di lembaga legislatif, atau eksekutif, dalam waktu relatif singkat, nasib, status, popularitas, dan kesejahteraan mereka bisa berubah drastis.  Kalau profesi atau pekerjaan lain banyak yang terpuruk oleh krisis, menjadi politisi justru tak jarang dijumpai cerita  keberhasilan.  Cerita fantastis tentang mobilitas vertikal para anggota parlemen, kepala daerah, dan elite politik, sering terdengar begitu menarik dan dramatis. Tak pelak banyak orang “bermimpi“  ingin menjadi politisi yang sukses.
Mahnit “manisnya“ kekuasaan politik di negeri ini memang luar biasa, sehingga tak heran banyak orang dari berbagai latar belakang ingin menjadi politisi, ikut partai dan pemilu. Tidak hanya para pengangguran, atau mereka yang gak jelas pekerjaannya yang tertarik. Profesi terhormat seperti pengacara, dosen, insinyur, guru, dokter, pemuka agama, akuntan, notaris, artis, dan wartawan-pun, tak sedikit yang tergiur ingin “mengadu nasib“ di dunia politik.
Seakan mereka melupakan kemuliaan profesinya. Lalu ikut larut dalam arus politik praktis yang dianggap lebih menjanjikan keuntungan. Bagi profesi yang tak berkait langsung dengan kekuasaan, mungkin tak begitu masalah. Sebab ikut partai politik memang hak setiap  warga negara. Undang-undang dan kode etik profesi apapun, tidak ada yang melarang anggotanya masuk parpol atau menjadi politisi.
Tapi bagi insan-insan media massa, para wartawan, sebenarnya ada problema tersendiri. Menjadi politisi untuk wartawan jelas-jelas melanggar etika paling dasar dari profesi jurnalis. Alasannya, wartawan merupakan profesi yang tugasnya melakukan kerja jurnalistik, yaitu mencari, mengumpulkan, dan menyampaikan berita.  Dalam  menjalankan tugasnya, kewajiban jurnalisme adalah mengungkap kebenaran, loyalitas pada publik,  disiplin verifikasi, menjaga independensi dari sumber berita, dan berlaku sebagai pemantau kekuasaan (Bill Kovacht, & Tom Rosenstiel, 2003: 6). Karena itu media disebut sebagai the fourth estate of democracy, pilar keempat demokrasi  melengkapi   eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Melalui penyampaian berita dan opini, media  melakukan fungsi kontrol dan kritik terhadap kekuasaan. Tujuannya  agar penguasa lebih hati-hati, bersih, cerdas dan bijaksana. Fungsi kontrol dan kritik inilah yang merupakan karateristik utama institusi media, sekaligus karakteristik kerja wartawan. Justru salah  secara konseptual, bila wartawan itu bekerja sama dengan penguasa, apalagi menjadi penguasa. Karena masing-masing memiliki fungsi yang berbeda. Penguasa menjalankan roda kekuasaan, sedangkan wartawan melalui medianya melakukan kontrol dan kritik, agar roda kekuasaan berjalan pada rel yang benar.
Orang masuk partai politik, tujuannya tentu mencari kekuasaan, baik itu di legislatif, maupun eksekutif, tak terkecuali wartawan. Lalu bagaimana dia bisa  melakukan kontrol dan kritik terhadap kekuasaan, jika dia sendiri menjadi bagian dari kekuasaan atau pemain dalam politik. Pasti terjadi conflict of interest. Makanya harus dihindari. Seorang wartawan yang masuk partai politik, hendaknya melepaskan profesinya sebagai jurnalis. Secara moral tidak mungkin dua profesi yang mempunyai fungsi berbeda dijalankan  secara bersama-sama. Karena sebagai politisi yang baik, dia harus memperjuangkan kepentingan partai, atau idiologi yang mendasarinya. Sedang sebagai wartawan yang baik, dia hendaknya bisa diterima dan dipercaya semua pihak, bukan hanya oleh partai yang didukung, atau orang seidiologi.
Dalam alam kapitalistik, memang fungsi media massa tidak sekadar memberikan informasi. Ada fungsi lain, seperti hiburan dan pendidikan. Namun filosofi keberadaan institusi media, senantiasa bermuara pada upaya melakukan civic empowerment. Yaitu memperkuat dan mendukung warga negara untuk menjadi independen, dan mampu memainkan peran demokratiknya secara signifikan.
Makanya amat memprihatinkan kalau banyak wartawan sampai berprofesi ganda, merangkap sebagai politisi. Apalagi media massanya digunakan sebagai alat politik untuk mencapai atau mendukung kekuasaan. Kalau ini terjadi, berarti mereka telah melakukan pembiasan terhadap hakekat fungsi media dalam sistem demokrasi.
  Memang tidak ada satupun pasal dalam Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang melarang. Namun, tidak berarti tindakan itu  etis. Harus dibedakan antara etika dengan kode etik. Etika merupakan filsafat yang melakukan kajian tentang moralitas.  Etika memberikan penekanan pada tindakan manusia, agar ada kesadaran moral, dan bersusila. Sedangkan kode etik, hanyalah  bagian kecil dari etika yang dirumuskan oleh organisasi profesi tertentu untuk membantu anggotanya memahami etika yang abstrak, supaya lebih kongkrit. Tapi tidak semua masalah etika  terumus dalam kode etik. Dan yang penting, sesuatu yang tidak diatur kode etik, bukan jaminan tindakan itu etis. Bagaimana dikatakan etis kalau seseorang melakukan dua fungsi yang bertentangan, hanya untuk kepentingan atau keuntungan pribadinya?
Media yang wartawannya berpolitik akan menghadapi problem netralitas. Dalam pemberitaan akan sering kesulitan memisahkan antara fakta dengan opini pribadi. Sadar maupun tidak sadar kepentingan politiknya akan berpengaruh terhadap mekanisme pemberitaan yang mereka lakukan. Bagaimana seorang wartawan yang berpolitik bisa mengambil jarak yang sama dengan nara sumber yang berasal dari teman satu partai atau pimpinan partainya, dibanding orang-orang dari partai lawan politiknya? Bagaimana bisa netral dalam ajang kompetisi politik, kalau dia sendiri bagian dari pemain?
 Memang ada pendapat, wartawan akan senantiasa berusaha netral karena ada tuntutan etika. Kalaupun hal itu dianggap bisa dilakukan, apakah kira-kira masyarakat akan percaya, mereka bisa netral?  Ingat, kredibilitas itu ditentukan oleh penerima. Simak pernyataan Lisa Schnellinger, dalam Free and Fair A Journalist’s Guide to Improved  Election Reporting in Emerging Democracies (2001:10) “the public willl measure the believeability of the news you report, and your actions will be under scrutiny as well.”  Masyarakat akan mengukur tingkat kepercayaannya pada berita yang anda laporkan dipengaruhi oleh aktivitas keseharian anda. Nah kalo aktivitas keseharian “grudak-gruduk” ikut partai, atau mencalonkan diri,  ya jangan diharap masyarakat percaya netralitasnya.
  Apalagi kalau kepentingan politik itu sampai dituangkan ke dalam kebijakan keredaksionalan, maka media yang demikian sudah partisan.  Tidak netral, dan tidak imbang. Pemberitaan yang secara by design tidak menyajikan seluruh points of view,  sesungguhnya telah membohongi dan merugikan publik.
 Jelas, media yang demikian telah melakukan pelangggaran etika yang berat. Terlebih jika dilakukan oleh media elektronik, seperti TV dan radio. Mereka bisa dikatagorikan melakukan “kejahatan”. Karena telah menyalahgunakan kepercayaan penggunaan frekuensi, yang merupakan public domein. Frekuensi adalah sumberdaya yang terbatas milik negara, milik rakyat, atau publik. Yang harus digunakan untuk kepentingan, kebutuhan, dan kesenangan publik. Stasiun penyiaran hanya kebetulan dipercaya menggunakannya. Tapi  kalau kemudian siarannya digunakan untuk menyokong kekuatan politik tertentu, jelas mengingkari publik yang beragam. Publik sebagai pemilik frekuensi berasal dari latar belakang yang memiliki beragam idiologi, suku, partai, maupun agama. Karenanya media penyiaran mutlak dituntut fairness.
Itulah yang mendasari mengapa FCC, komisi penyiaran AS pernah menetapkan “Fairness Doctrine” pada program berita. Yaitu segala pemberitaan yang menyangkut isu kontroversial harus berimbang, dan mengikuti azas imparsialitas. Bahkan hal demikian juga dituangkan dalam US Communication Act, Section 315, yang mengatakan; “broadcasters to provide equal access to the airways for political candidates during elections campaigns”.   Begitu pula ITC, komisi penyiaran TV di Inggris, dalam aturan terbarunya yang dikeluarkan September 2002, di section 3, juga memuat ketentuan tentang Impartiality.  Sebagian di antaranya mengatakan;  Impartiality does not means that broadcasters have to be absolutely neutral on every controversial issue, but they should deal even handedly with opposing points of view. Opinion should be clearly distinguished from fact.  Equal time must be given to each opposing point of view.
Persoalannya,  Indonesia memang  bukan Amerika atau Inggris. Di negeri ini jangankan pelanggaran etika, pelanggaran hukum yang jelas-jelas merugikan negara milyaran rupiah-pun  bisa aman tentram dan damai. Dan tidak ada yang merasa bersalah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar