Oleh: Henry Subiakto
(Dosen Pascasarjana Studi
Media dan Komunikasi Unair)
Di era reformasi ini, salah
satu pekerjaan yang paling “menggiurkan” adalah menjadi politisi. Dengan duduk
di lembaga legislatif, atau eksekutif, dalam waktu relatif singkat, nasib,
status, popularitas, dan kesejahteraan mereka bisa berubah drastis. Kalau profesi atau pekerjaan lain banyak yang
terpuruk oleh krisis, menjadi politisi justru tak jarang dijumpai cerita keberhasilan. Cerita fantastis tentang mobilitas vertikal
para anggota parlemen, kepala daerah, dan elite politik, sering terdengar
begitu menarik dan dramatis. Tak pelak banyak orang “bermimpi“ ingin menjadi politisi yang sukses.
Mahnit “manisnya“ kekuasaan politik
di negeri ini memang luar biasa, sehingga tak heran banyak orang dari berbagai
latar belakang ingin menjadi politisi, ikut partai dan pemilu. Tidak hanya para
pengangguran, atau mereka yang gak jelas pekerjaannya yang tertarik. Profesi
terhormat seperti pengacara, dosen, insinyur, guru, dokter, pemuka agama,
akuntan, notaris, artis, dan wartawan-pun, tak sedikit yang tergiur ingin
“mengadu nasib“ di dunia politik.
Seakan mereka melupakan
kemuliaan profesinya. Lalu ikut larut dalam arus politik praktis yang dianggap
lebih menjanjikan keuntungan. Bagi profesi yang tak berkait langsung dengan
kekuasaan, mungkin tak begitu masalah. Sebab ikut partai politik memang hak
setiap warga negara. Undang-undang dan
kode etik profesi apapun, tidak ada yang melarang anggotanya masuk parpol atau
menjadi politisi.
Tapi bagi insan-insan media
massa, para wartawan, sebenarnya ada problema tersendiri. Menjadi politisi untuk
wartawan jelas-jelas melanggar etika paling dasar dari profesi jurnalis. Alasannya,
wartawan merupakan profesi yang tugasnya melakukan kerja jurnalistik, yaitu
mencari, mengumpulkan, dan menyampaikan berita.
Dalam menjalankan tugasnya,
kewajiban jurnalisme adalah mengungkap kebenaran, loyalitas pada publik, disiplin verifikasi, menjaga independensi
dari sumber berita, dan berlaku sebagai pemantau kekuasaan (Bill Kovacht, &
Tom Rosenstiel, 2003: 6). Karena itu media disebut sebagai the fourth estate of
democracy, pilar keempat demokrasi
melengkapi eksekutif,
legislatif, dan yudikatif.
Melalui penyampaian berita dan
opini, media melakukan fungsi kontrol
dan kritik terhadap kekuasaan. Tujuannya
agar penguasa lebih hati-hati, bersih, cerdas dan bijaksana. Fungsi kontrol dan kritik inilah yang
merupakan karateristik utama institusi media, sekaligus karakteristik kerja
wartawan. Justru salah secara
konseptual, bila wartawan itu bekerja sama dengan penguasa, apalagi menjadi
penguasa. Karena masing-masing memiliki fungsi yang berbeda. Penguasa
menjalankan roda kekuasaan, sedangkan wartawan melalui medianya melakukan
kontrol dan kritik, agar roda kekuasaan berjalan pada rel yang benar.
Orang masuk partai politik,
tujuannya tentu mencari kekuasaan, baik itu di legislatif, maupun eksekutif,
tak terkecuali wartawan. Lalu bagaimana dia bisa melakukan kontrol dan kritik terhadap
kekuasaan, jika dia sendiri menjadi bagian dari kekuasaan atau pemain dalam
politik. Pasti terjadi conflict of
interest. Makanya harus dihindari. Seorang wartawan yang masuk partai
politik, hendaknya melepaskan profesinya sebagai jurnalis. Secara moral tidak
mungkin dua profesi yang mempunyai fungsi berbeda dijalankan secara bersama-sama. Karena sebagai politisi
yang baik, dia harus memperjuangkan kepentingan partai, atau idiologi yang
mendasarinya. Sedang sebagai wartawan yang baik, dia hendaknya bisa diterima
dan dipercaya semua pihak, bukan hanya oleh partai yang didukung, atau orang
seidiologi.
Dalam alam kapitalistik, memang
fungsi media massa tidak sekadar memberikan informasi. Ada fungsi lain, seperti
hiburan dan pendidikan. Namun
filosofi keberadaan institusi media, senantiasa bermuara pada upaya melakukan civic empowerment. Yaitu memperkuat dan mendukung warga negara untuk menjadi
independen, dan mampu memainkan peran demokratiknya secara signifikan.
Makanya amat memprihatinkan
kalau banyak wartawan sampai berprofesi ganda, merangkap sebagai politisi. Apalagi
media massanya digunakan sebagai alat politik untuk mencapai atau mendukung kekuasaan.
Kalau ini terjadi, berarti mereka telah melakukan pembiasan terhadap hakekat
fungsi media dalam sistem demokrasi.
Memang tidak ada satupun pasal dalam Kode
Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang melarang. Namun, tidak berarti tindakan itu
etis. Harus dibedakan antara etika dengan kode etik.
Etika merupakan filsafat yang melakukan kajian tentang moralitas. Etika memberikan penekanan pada tindakan
manusia, agar ada kesadaran moral, dan bersusila. Sedangkan kode etik,
hanyalah bagian kecil dari etika yang
dirumuskan oleh organisasi profesi tertentu untuk membantu anggotanya memahami
etika yang abstrak, supaya lebih kongkrit. Tapi tidak semua masalah etika terumus dalam kode etik. Dan yang penting,
sesuatu yang tidak diatur kode etik, bukan jaminan tindakan itu etis. Bagaimana
dikatakan etis kalau seseorang melakukan dua fungsi yang bertentangan, hanya
untuk kepentingan atau keuntungan pribadinya?
Media yang wartawannya
berpolitik akan menghadapi problem netralitas. Dalam pemberitaan akan sering kesulitan memisahkan
antara fakta dengan opini pribadi. Sadar maupun tidak sadar kepentingan
politiknya akan berpengaruh terhadap mekanisme pemberitaan yang mereka lakukan.
Bagaimana seorang wartawan yang berpolitik bisa mengambil jarak yang sama
dengan nara sumber yang berasal dari teman satu partai atau pimpinan partainya,
dibanding orang-orang dari partai lawan politiknya? Bagaimana bisa netral dalam
ajang kompetisi politik, kalau dia sendiri bagian dari pemain?
Memang ada pendapat, wartawan akan senantiasa
berusaha netral karena ada tuntutan etika. Kalaupun hal itu dianggap bisa
dilakukan, apakah kira-kira masyarakat akan percaya, mereka bisa netral? Ingat, kredibilitas
itu ditentukan oleh penerima. Simak pernyataan Lisa Schnellinger, dalam Free and Fair A Journalist’s Guide to
Improved Election Reporting in Emerging
Democracies (2001:10) “the public
willl measure the believeability of the news you report, and your actions will
be under scrutiny as well.” Masyarakat akan mengukur tingkat kepercayaannya pada berita yang anda
laporkan dipengaruhi oleh aktivitas keseharian anda. Nah kalo aktivitas
keseharian “grudak-gruduk” ikut partai, atau mencalonkan diri, ya jangan diharap masyarakat percaya netralitasnya.
Apalagi kalau kepentingan politik
itu sampai dituangkan ke dalam kebijakan keredaksionalan, maka media yang
demikian sudah partisan. Tidak netral,
dan tidak imbang. Pemberitaan yang secara by
design tidak menyajikan seluruh points
of view, sesungguhnya telah membohongi
dan merugikan publik.
Jelas, media yang demikian telah melakukan
pelangggaran etika yang berat. Terlebih jika dilakukan oleh media elektronik, seperti
TV dan radio. Mereka bisa dikatagorikan melakukan “kejahatan”. Karena telah
menyalahgunakan kepercayaan penggunaan frekuensi, yang merupakan public domein. Frekuensi adalah sumberdaya yang terbatas milik
negara, milik rakyat, atau publik. Yang harus digunakan untuk kepentingan,
kebutuhan, dan kesenangan publik. Stasiun penyiaran hanya kebetulan dipercaya
menggunakannya. Tapi kalau kemudian
siarannya digunakan untuk menyokong kekuatan politik tertentu, jelas
mengingkari publik yang beragam. Publik sebagai pemilik frekuensi berasal dari
latar belakang yang memiliki beragam idiologi, suku, partai, maupun agama. Karenanya
media penyiaran mutlak dituntut fairness.
Itulah yang mendasari mengapa
FCC, komisi penyiaran AS pernah menetapkan “Fairness
Doctrine” pada program berita. Yaitu segala
pemberitaan yang menyangkut isu kontroversial harus berimbang, dan mengikuti
azas imparsialitas. Bahkan hal demikian juga dituangkan dalam US Communication Act, Section 315, yang mengatakan; “broadcasters to provide equal access to the
airways for political candidates during elections campaigns”. Begitu
pula ITC, komisi penyiaran TV di Inggris, dalam aturan terbarunya yang
dikeluarkan September 2002, di section 3, juga memuat ketentuan tentang Impartiality. Sebagian di antaranya mengatakan; Impartiality
does not means that broadcasters have to be absolutely neutral on every
controversial issue, but they should deal even handedly with opposing points of
view. Opinion should be clearly distinguished from fact. Equal
time must be given to each opposing point of view.
Persoalannya, Indonesia memang bukan Amerika atau Inggris. Di negeri ini
jangankan pelanggaran etika, pelanggaran hukum yang jelas-jelas merugikan
negara milyaran rupiah-pun bisa aman
tentram dan damai. Dan tidak ada yang merasa bersalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar