Kamis, 27 Juni 2013

BAGAIMANA NASIB TV DIGITAL PASCA PEMBATALAN PERMEN 22 OLEH MA



Keputusan MA  pada prinsipnya tidak berlaku surut, artinya seleksi multiplekser (MUX) yang sudah terjadi di Jawa & Kepulauan Riau tidak bisa dibatalkan.  Berdasarkan Peraturan MA no 1 tahun 2011, putusan Yudicial review berlaku 90 hari sejak diserahkan amar putusannya. Artinya PERMEN 22 batal dengan sedirinya setelah waktu 90 hari. Tapi sekarang salinan putusan MA belum kunjung diberikan. Maka sebelum 90 hari, pemerintah harus sudah membuat PERMEN baru supaya tidak ada kekosongan hukum sebagai landasan penyelenggaraan TV digital. Kalau kita pelajari landasan dari putusan MA tersebut, PERMEN 22 itu dibatalkan, bukan karena lemah dasar hukumnya seperti tudingan orang, tapi karena materinya dianggap bertentangan dengan UU 32 & PP 50.  Hal itu logis menginat Permen 22 memang tidak lengkap, hanya berisi pokok-pokok dasar digitalisasi, aturan lengkapnya tersebar di beberapa Permen lain dan beberapa Keputusan Menteri.
 
Jadi kesannya PERMEN 22 bertentangan dengan prinsip UU 32, padahal kalau dibaca bersama PERMEN-PERMEN yang lain akan kelihatan prinsipnya sama.
Tapi memang keputusan MA amat yuridis formal, tanpa memahami aspek teknologi, misal menurut MA sistem digital tidak boleh menggantikan analog, Menurut MA analog harus tetap hidup, karena UU menyebutkan sistem penyiaran terdiri dari sistem analog dan digital, sehingga keduanya harus ada. padahal secara Teknologi, analog tidak bisa dipertahankan terus, negara & masyarakat akan rugi, karena tidak efisien menghambat perkembangan internet. Analog boros frekuensi, padahal kita butuh frekuensi termasuk untuk broadband internet yang semakin tinggi permintaannya. Kalau tetap analog, kita ketinggalan peralatan, karena semua fabrikan arahnya hanya memproduksi digital, karena perkembangan teknologi. Makanya secara teknologi sistem analog memang harus off, sesuai dengan road map yang sudah diputuskan, untuk itu perlu penyesuaian regulasinya.

Nanti Permen baru pengganti no 22, akan dibuat lebih lengkap supaya cocok dengan UU, gabungan banyak permen dan menyesuaikan dengan keputusan MA. Jadi dengan TV digital itu diversity of content dan diversity of ownership lebih terjamin dibanding analog sekarang.  Jadi program TV Digital tetap jalan terus, berbarengan atau sekalian dengan membahas RUU Penyiaran yang baru, tidak perlu saling tunggu, karena teknologi itu berjalan cepat sekali. Kalau kita ketinggalan menerapkan digitalisasi televisi, maka bisa jadi teknologi itu sudah tidak relevan lagi. 

Kalau ada yang menganggap TV Digital itu melanggengkan monopoli, pendapat itu jelas sesat pikir, dan bukan hal baru.  Bisa jadi karena yang dilihat hanya pemenang seleksi Mux, yang menurut mereka kok itu itu saja. Lha ini memang pembangunan infrastruktur, kalau membangun infrastruktur yang dipilih memang harus yang paling menguntungkan publik. Yaitu yang bisa membangun cepat, berkomitmen membangun sampai pelosok, & bersedia menyumbang Set Top Box untuk rakyat. Ukurannya jelas. Makanya hanya dengan dua kali seleksi, kita bisa kumpulkan sekitar 7,5 juta set top box dari para pemenang seleksi Mux,  ditambah 1 juta dari pemerintah yang akan dibagi gratis.  
Jadi dilihat dari manapun dengan digitalisasi TV diversity of content, malah semakin beragam, karena jumlah saluran tv bisa berlipat ganda (bisa sampai 72 saluran) di satu zona. masyarakat juga akan dapat pembagian Set top box, yaitu alat penerimaan tv digital untuk TV yang masih analog yang ada di masyarakat. Perlu diketahui harga per unit sekitar sekitar 300 ribu.

Untuk menjamin diversity of content dan diversity of ownership, pemenang Mux tidak boleh menggunakan semua kanal yg tersedia, maksimal hanya 3 slot, sedangkan 9 slot yang lain harus bisa di akses oleh perusahaan di luar pemilik Mux. Dalam hal ini berlaku prinsip open akses  dan non diskriminatory. Artinya Pemilik Mux harus membuka slot-slotnya dari sewa pihak lain dengan tarif yang sama.

Prinsip itu ada di aturan dokumen seleksi, yg nantinya akan disatukan di PERMEN yang baru. supaya permen baru tak dikhawatirkan lagi. Jd walau pemenang Mux berasal dari perusahaan-perusahaan besar, karena memang untuk membangun infrastruktur baru, tapi contentnya jauh lebih banyak dari berbagai owner.

8 komentar:

  1. Membaca tulisan Anda, saya sebenarnya bingung sama bingungnya dengan ketidakmengertian saya akan hilangnya perspektif kritis dan publik yang banyak muncul dalam tulisan Anda ketika masih murni menjadi akademisi.

    Pertama, bagaimana mungkin putusan MA tidak berlaku surut terhadap kebijakan yang didasarkan pada Permen ini? Jika demikian halnya, tidak perlu ada uji MA atau MK karena sesuatu yang sudah dikerjakan berdasarkan peraturan undang-undang yang dibatalkan karena bertentangan dengan undang-undang di atasnya tidak perlu ditarik kembali.

    Kedua, tv digital memang tidak melanggengkan monopoli, tapi permen 22 itulah yang akan melanggengkan monopoli. Nah, di sini, tampak siapa yang kemudian salah nalar. Nah, soal apakah Permen No. 22 menciptakan monopoli ataukah tidak tergantung cara melihatnya. Kalo mas Henri pulang ke Surabaya, dan kembali menjadi orang daerah seperti saya, dengan mudah mengatakan bahwa siaran tv kita dimonopoli tv Jakarta. Logika yang sangat sederhana. Namun, di luar itu, Permen 22 ini sangat jelas menguntungkan lembaga penyiaran yang kini eksis dan sekaligus mengukuhkan konsentrasi. Peluang untuk menjadi Lembaga Penyiaran multipleksing hanya dibuka kepada lembaga penyiaran yang sudah mempunyai ijin penyelengaraan penyiaran, yaitu lembaga penyiaran yang ada sekarang sehingga yang menang tentu saja lembaga penyiaran besar. Bukankah ini mengukuhkan konsentrasi? Mengapa tidak dibuka peluang kepada BMUN, misalnya, Indosat, Telkomsel ataupun Telkom. Mengapa tidak dibuka kesempatan kepada orang baru atau institusi baru. Nah, di sini, sesat pikir Kominfo dan kongkalikongnya jadi tampak. Dalam tulisan di atas, dikatakan, “Lha ini memang pembangunan infrastruktur, kalau membangun infrastruktur yang dipilih memang harus yang paling menguntungkan publik. Yaitu yang bisa membangun cepat, berkomitmen membangun sampai pelosok, & bersedia menyumbang Set Top Box untuk rakyat.”. Lha, apa hubungannya komitmen tersebut dengan penyedia multipleks harus sudah punya ijin siaran? Bagaimana bisa disimpulkan bahwa calon penyedia multipleks yang tidak mempunyai ijin siaran tidak akan bersedia memberikan set top box, misalnya? Bukankan mereka mempunyai jaringan dan modal yang jauh lebih kuat ketimbang tv Jakarta sekarang? Nah, siapa yang kemudian nalarnya terbalik-balik?

    Ketiga, ketika menjadi penyelenggara multiplekser, 3 dari 12 saluran bisa diperuntukkan kepada penyelenggara penyiaran program yang dimiliki penyelenggara multiplekser itu. Itu berarti Lembaga penyiaran yang tadinya memiliki 1, bisa punya sampai 3. Sementara sisa yang 6 memang boleh untuk pihak lain, tapi ikut ditentukan oleh penyelenggara multiplekser. Bukankah ini bisa menyebabkan terjadinya perusahaaan alibaba yang menyebabkan lembaga penyiaran baru sulit memasukinya karena infrastrukutr dikuasai penyelenggara multiplekser yang juga mempunyai 3 lembaga penyiaran. Buku-buku ekono mi politik sudah banyak membahas hal ini.

    Keempat, di negara-negara demokrasi maju lainnya, kesempatan yang sama dibuka dulu kepada semua pihak untuk memasuki dunia penyiaran digital termasuk kepada pemain baru. Semua itu diatur lewat undang-undang yang menguntungkan publik. Tidak seperti permen sekarang yang dibuat sesukahatinya oleh menteri dengan menghilangkan peranan Komisi Penyiaran Indonesia. Jauh-jauh hari sudah diingatkan oleh DPR dan masyarakat sipil agar membatalkan permen 22. Sayangnya, orang-orang di Kominfo keras kepala. Saya sungguh tidak tahu bagaimana mereka hendak mengelola frekuensi publik dengan tanpa ijin yang punya. DPR dan bukan pemerintah-lebih-lebih hanya menteri- yang dipilih oleh rakyat. Jadi, mereka yang lebih berhak memutuskan sebagaimana berlaku di negara demokrasi.

    Terakhir, mari kita berbicara politik representasi. Pertanyaannya sederhana: bagaimana bangsa yang sangat majemuk seperti Indonesia hanya dilayani oleh tv-tv jakarta yang inferior terhadap budaya Barat? Yang muncul orang-orang dengan wajah Indo bung, bukan wajah anak-anak pertiwi yang sebenarnya. Salam.

    BalasHapus
  2. UNTUK kelompok MNC di Surabaya ini telah mengudara di kanal digital. Tetapi sudah enam saluran dipakainya sendiri, bukannya 3 seperti ditentukan. (Rinciannya; RCTI, MNCTV dan GlobalTV masing-masing menggunakan 2 saluran). Nah, apakah itu sebuah bentuk pelanggaran?

    BalasHapus
  3. Akademisi itu tidak akan hilang kekritisan dan jiwa akademisnya dimanapun ia berada, Seorang akademisi semakin memiliki pengalaman, maka dia akan semakin kaya dengan berbagai perspektif. Di negara-negara majupun akademisi itu biasa yang kemudian jadi deputi menteri, jadi duta besar, jadi staf ahli dan lain lain. Mereka yg hanya melihat dr satu perspektif, tak pernah akan melihat realitas secara lebih lengkap bijaksana dan utuh, tp hanya melihat dr sudut pandang tertentu yg sempit dan selalu menganggap yg ada di luar posisinya itu orang orang bodoh, atau terkontaminasi oleh kekuatan kapital. Atau kehilangan jiwa akademiknya. Itu kekeliruan besar pemikiran anda. Seorang akademisi tak cukup hanya text book thinking, tapi harus belajar dari mana-mana. dan pengalaman di lapangan, tidak kalah pentingnya dengan sekadar sekadar pintar meng-quote dari referensi.

    Mengenai keputusan MA yg saya katakan tidak berlaku surut, itu memang bagian dari azas hukum yang berlaku umum. Itulah azas legalitas, dan hukum memang demikian. Jadi kalo anda tak sepakat, coba tanyakan ke ahli hukum saja. Karena kalau sebuah keputusan itu bisa berlaku surut, kacaulah tatanan hukum dimanapun.

    Kalo mengkhawatirkan semakin terjadinya monopoli, itu kekhawatiran lama, isu lama sebenarnya yang sudah saya jelaskan, bahwa membangun infrastruktur itu tidak berarti harus menghilangkan sama sekali yang sdh terbangun, makanya yang diijinkan ikut seleksi Mux itu hanya yang sudah berijin atau ber IPP, yang berarti mereka juga sudah punya infrastruktur analog. Tujuannya Supaya migrasi ke digital tidak berarti meniadakan seluruh infrastruktur yg sdh ada. Coba kalau terbuka siapapun boleh ikut seleksi Mux, lalu yg menang operator2 Telekomunikasi, maka akan lebih banyak lagi negeri ini dipenuhi tower mangkrak. Itulah yg disebut prinsip Business Continuity yg harus dijaga saat sebuah kebijakan diterapkan. Kalau dipaksakan harus pemain baru yg masuk, yg terjadi justru pemain baru kemungkinan tak akan bisa cepat membangun karena belum memiliki lahan untuk pembangunan menara (mux)baru.

    Kalau kemudian kebetulan yang menang seleksi itu perusahaan-perusahaan besar, ya karena merekalah yg memenuhi syarat yang bisa membangun lebih cepat, lebih merata dan lebih memberikan komitmen pd publik. Ukurannya jelas yaitu kepentingan publik.

    Tidak usah khawatir bahwa kanal-kanal yg ada disuatu Mux akan dipakai hanya oleh pemilik, pemerintah sdh menyiapkan peraturan untuk menjaga bahwa pemilik mux hanya bisa memakai maksimal 3 kanal utk semua perusahaan yg berada dalam satu kepemilikan atau dalam afiliasinya.

    Pengertian afiliasi disini lebih luas dari sekedar kepemilikan, tapi di bawah operasional atau manajemen yg sama saja sudah masuk kriteria afiliasi. Sehingga akan ketahuan perusahaan yang berafiliasi, misalnya dari sejarah perusahaan, dr dokumen2 seperti company profile, keberadaan kantor hingga personilnya. Jika ada kesamaan, bisa masuk adanya afiliasi. Dalam konsep Amerika sering disebut "O & 0" (Own and Operated).

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sepertinya, untuk jawaban yang pertama, saya harus bilang bahwa kita mungkin hanya bersepakat dalam satu hal, pentingnya belajar banyak perspektif. Oleh karena itu, mari kita uji pandangan di atas dengan menggunakan perspektif kebijakan publik sebagaimana berlaku di negara-negara demokrasi. Setiap public policy, akan selalu mengandung dua hal, yakni konteks dan keberpihakan. Tidak ada kebijakan publik yang netral. Ia selalu berpihak, dan karenanya tidak ada yang kebetulan. Semuanya bisa didesain dalam public policy. Kebijakan publik yang ideal tentunya berpihak pada publik, bukan pada kapital atau kekuasaan negara. Di sinilah, pentingnya debat publik. Nah, pertanyaan kemudian: Permen 22 tentang digitalisasi televisi ditolak DPR, ditolak banyak organisasi masyarakat sipil, ditolak Asosial Televisi Lokal, Ditolak Asosiasi televisi Jaringan, dan bahkan dibatalkan oleh MA. Jika demikian halnya, bagaimana mungkin bahwa kebijakan tersebut masih bisa disebut demi kepentingan publik? Publik yang mana yang kemudian mau direpresentasikan? Oleh karena itu, orang daerah kaya saya mudah sekali mengatakan bahwa kebijakan itu berpihak kepada kapital besar, tv jakarta, tidak tv lokal, tidak pula tv publik.

      Kedua, jika kebijakan digitalisasi tidak harus menghancurkan infrastruktur yang sudah ada, dan karenanya TV Jakarta-lah yang layak mendapatkan karena mereka sudah punya tower/infrastruktur. Lho, apa Kementrian Komunikasi ndak punya catatan bahwa di Yogya saja lebih dari dua ratus tower yang dimiliki oleh penyedia layanan telekomunikasi. Kalo cuman untuk, kasarnya, "nyenthelne anthena" digital, apa susahnya? Argumentasi mengenai infrastruktur jelas tidak bisa diterima karena buruknya kebijakan pemerintah telah membuat bumi Indonesia ini dipenuhi oleh tower-tower.

      Ketiga, siapa yang mau percaya pemerintah bisa menegakkan aturan? Tidak ada track record yang bisa dipercaya mengenai hal itu. Jika saya diminta percayalah pemerintah sudah menyiapkan aturan, maka jawaban saya sederhana: lihatlah apa yang dilakukan pemerintah untuk menegakkan dunia penyiaran berdasarkan UU No. 32 tahun 2002 beserta PP-nya. Nah, apa yang dilakukan pemerintah untuk menegakkan PP itu? Apa yang dilakukan pemerintah untuk mendorong sistem jaringan? Apa yang dilakukan pemerintah untuk menegakkan bahwa tidak ada jual beli/pindah tangan? Nothing. Dalam pandangan saya, tidak ada satupun preseden di masa lalu, dalam konteks penyiaran saat ini, tidak ada yang bisa dipercaya bahwa pemerintah bisa membuat dan menegakkan peraturan demi kepentingan rakyat, kejayaan bangsa dan negara. Wong, membuat Permen aja ndak peduli suara siapa-siapa??

      Salam

      Hapus
  4. Jadi kalo Anda belum tahu boleh undang saya diskusi, dimanapun untuk konsep konsep ini. Kita lihat siapa yg sesat pikir :-)
    Kalau anda anggap frekuensi itu milik publik, sebagaimana scarcity theory, lalu Anda anggap yg berhak menguasai frekuensi adalah wakil publik yg dipilih DPR, yaitu KPI, itu menunjukkan Anda baru melihat dr satu perspektif. itulah teori Barat yg coba dipaksakan untuk diterapkan di Indonesia tanpa melihat history dan kekhasan konsep hukum di Indonesia, yang mendasarkan falsah kenegaraan yang berbeda.

    sebagaimana Anda ketahui Indonesia itu mempunyai UUD 45, kalo Anda akui lho ya. Di pasal 33 disebutkan, Bumi Air dan kekayaan di dalamnya dikuasai oleh negara utk sebesar besarnya kesejahteraan rakyat.

    Frekuensi itu pada dasarnya ada di udara dan menjadi bagian dari udara. Padahal di berbagai UU Udara dan ruang angkasa itu bagian dari isi Bumi Air dan Kekayaan Alam Yang Terkandung Di dalamnya, sesuai bunyi pasal 33 UUD 45. Yang dikuasai oleh negara. Sedangkan pengertian negara dalam berbagai UU (termsk UU Telekomunikasi) dan keputusan MK adalah pemerintah. Bukan Komisi, atau state axiulary Institution, seperti KPI. Dimanapun tidak ada sebuah komisi ad hock, axiulary atau sementara itu bisa mengeluarkan izin.

    Bahkan Badan Pengelola Migas (BP Migas) yang juga atas nama negara, ngurusi kekayaan alam yaitu tambang, dibubarkan MK. Karena dianggap melanggar konstitusi.

    Kalau setiap public domein dikelola oleh sebuah komisi seperti KPI, hanya karena alasan representasi publik, maka bumipun hrs diatur komisi bumi, lalu ada komisi laut, komisi air, atau komisi yang berkait dengan public domein di dalamnya. Tidak mungkin diperlukan komisi Batu Bara, Komisi Minyak dan lain lain, karena itu jelas2 bertentangan dengan pasal 33 UUD 45. Jadi janganlah memaksakan konsep Barat yang ada di literatur ke ranah bumi pertiwi yg memiliki kekhasan, ke Indonesiaan, yaitu Pancasila dan UUD 45.

    Kominfo itu bagian dari pemerintah yang mewakili Negara. Menteri mewakili presiden yg dipilih langsung oleh rakyat se-Indonesia, bukan sedapil. Dan Indonesia itu pemerintahannya berdasar Presidensiil, bukan Parlementer. Kalau menurut anda presiden, atau menteri, atau pejabat lain kurang baik, ya diganti saja, bukankah ada mekanisme mengganti presiden, menteri dan lain-lain. Jangan lalu mengabaikan kelembagaannya yang sudah di atur dalam UUD 45, kecuali mau diamandemen lagi untuk kesekian kalinya agar cocok dengan demokrasi liberal Barat.

    OK demikian kalo kurang jelas saya siap diskusi terbuka dimanapun, tentang masalah ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe...Tawaran Anda untuk diskusi menarik. Oke, kapan-kapan kita undang ke Jogja. Saya akan organize. Kapan Anda punya waktu selo kita diskusi di sana. Saya tidak akan keberatan juga untuk mengundang teman-teman stakeholder yang lain demi sebuah diskusi yang kritis dan membangun

      Oke, mari kita belajar teori politik dasar. Dalam teori politik, negara tidak identik dengan pemerintah. Negara merupakan entitas yang jauh lebih besar dibandingkan dengan pemerintah. Makanya, APBN (N=Negara) selalu minta pengesahan DPR. pertanyaan saya: mengapa demikian???

      Kritik saya terhadap Permen justru pembelaan saya atas UUD 1945. Jangan dibalik-balik. Dalam UUD 1945, disebutkan dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Tapi ingat, dalam Pancasila, kemakmuran itu harus berkeadilan sosial. Nah, sekarang, pertanyaan saya: kenapa UUD 1945 tidak menyebutkan .....dikuasai oleh pemerintah dan.....Hipotesis saya, karena para founding fathers kita baca bukunya kuat. Jadi, mereka bisa membedakan dengan jernih setiap konsep yang digunakan. Lihatlah, misalnya, kritik Moh Hatta atas model ekonomi klasik yang kemudian melahirkan model ekonomi kekeluargaan dalam bentuk Koperasi. Dalam UU Telekomunikasi, hal ini disebutkan, tapi kemudian dikebiri oleh harus mengandung syarat IPP. Founding fathers kita banyak belajar dari luar negeri dan menyesuaikannya dengan konteks Indonesia. Dengan demikian, membangun sebuah sistem, termasuk penyiaran dan digitalisasi sebenarnya prinsip yang harus dipergunakan adalah UUD 45 dan nilai demokrasi yang universal.

      Berikutnya, jika dikuasai oleh negara demi kemakmuran rakyat, maka bagaimana mungkin itu terjadi jika mux dikuasai oleh perusahaan itu-itu saja? Frekuensi dari Sabang Sampai Merauke dikuasai oleh kelompok yang sama? Dimana letak kemakmuran rakyat dan lebih-lebih keadilan sosialnya?

      Dalam konteks keberagaman, sekaligus menjbawa yang bawah, mengapa kami orang-orang daerah harus menyaksikan berita macet jakarta? Debat cagub dan cawagub yang kami tidak tahu sama sekali relevansinya bagi peningkatan kualitas demokrasi di daerah kami? Itukah yang disebut keberagaman dalam konteks Indonesia yang sangat plural?

      Soal komisi, jika komisi tidak boleh membuat peraturan, maka bagaimana Anda menjelaskan pengaturan FCC di Amerika dan lembaga-lembaga lain sejenis? Persoalannya bukan bahwa presiden atau menterinya baik ataukah buruk meskipun harus saya katakan buruk, tapi soal siapa yang diperjuangkan dan bahwa hal itu tidak melanggar prinsip-prinsip demokrasi. Jika kita berpijak pada demokrasi pancasila maka musyawarah mufakat? Nah, dimana letak musyawarah mufakat dalam konteks permen? Ditolak berarti tidak ada mufakat atau jangan-jangan malah tidak ada musyawarah. Mudah2an clear untuk hal ini.

      Hapus
  5. #




    Mengenai isi siaran TV digital, bagaimana Anda bisa menilai akan terjadi berkurangnya keragaman isi? Ini justru sesat pikir, karena menilai sesuatu yang sedang dirancang atau sedang berproses dan belum final. Sehingga penilaian Anda menjadi terburu buru dan lebih mendasarkan pada dugaan atau asumsi.

    Mari kita urai satu persatu. Pertama tentang Mux, atau infrastruktur, bisa jadi pemilik atau pemenangnya memang jumlah orang atau perusahaannya tidak terlalu banyak. Karena alasan yg sudah saya sampaikan di atas. Yaitu membangun infrastruktur, seperti membangun jalan Tol, maka tidak sembarangan kontraktor, tapi yang benar-benar sanggup dan menguntungkan publik. Tapi untuk isinya, pasti akan lebih banyak dan beragam, mengingat di setiap wilayah akan ada banyak mux (6 Mux). Dan tiap mux bisa membawa saluran tv digital sampai 12 kalau jenisnya SD (standard digital) semua.

    Tidak mungkin pemilik Mux hanya mengisi muxnya dg 3 kanal milik mereka dan afiliasinya saja. Pertama akan tidak efisien atau rugi, kedua kita sudah bikin aturan tetang sistem penggunaannya sehingga harus terbuka (open akses) dengan perusahaan lain, dan dikenakan prinsip non discriminatory. Semua ini diawasi oleh KPI dan pemerintah. Karena kalo mengikuti UU Penyiaran no 32, semua yang akan jadi pemain baru tv digital prosesnya sama dg tv baru di sistem analog, yaitu lewat KPID dan KPI, hanya yang dapat Rekomendasi Kelayakkan (RK) yg bisa menjadi LP3S baru. Tanpa RK dari KPI, kanal kanal tv digital tak boleh terisi. Tentu saja KPI harus aktiv memilih TV TV baru yg diluar afiliasi para pemilik Mux. Dengan demikian pasti jumlah saluran dan keragamannya lebih baik dari tv analog sekarang.

    Sedangkan untuk TV lama yg sudah berizin (IPP) akan dilakukan penyesuaian izin untuk menjadi LP3S, ini semua sedang akan berproses. Nah kalau ada Mux yg sekarang sudah mulai isinya siaran, maka itu adalah tahapan "Trial" percobaan, jadi kalau diisi oleh TV TV baru milik si pemenang, maka itu nanti akan ditertibkan sesuai peraturan yang berlaku. Untuk tahapan percobaan, yang penting Mux sdh terbangun dulu dan bisa dipakai untuk siaran digital.

    Selanjutnya untuk keragaman isi di setiap daerah, TVRI dijamin memiliki satu mux yg bisa menampung LPP lokal dan TV komunitas. Artinya ada maksimal 12 kanal untuk TV non Kom ersial yang bisa tergabung dengan Muxnya TVRI.

    Nah mengenai keragaman isi ini, KPI punya peran sangat besar, karena merekalah gerbang utama proses perijinan hingga sebuah stasiun TV dapat RK. Persoalannya bisakah KPI memberikan Rekomendasi Kelayakan benar-benar berdasar pertimbangan keragaman isi dan kapasitas ekonomi suatu daerah.

    Proposal tentang format siaran yg direncanakan itu menjadi dasar pemberian RK, apakah sesuai dengan kepentingan publik, kesenangan publik dan kebutuhan publik. Atau dari bahasa sononya disebut PICON, public interest, public convinience, & public necessity. Ditambah tentu kemampuan ekonomi daerah atau peluang bisnis untuk menghidupi stasiun televisi di wilayah tersebut.

    Nah kalau suatu stasiun tv berubah format siarannya tidak sesuai lagi dengan format yang diajukan dalam proposal yang mendasari keluarnya RK dan izin, KPI punya kewenangan menarik kembali RK karena tak sesuai janji di proposalnya. Kemudian karena RK dicabut, bersama Pemerintah izin bisa dievaluasi, diajukan ke Pengadilan untuk dicabut, karena telah melanggar kesepakatan saat mengajukan proposal. Logika hukum ini juga bisa diterapkan sekarang untuk tv Analog, seperti kasus Spacetoon menjadi NET TV. Tapi kalau KPInya diam aja, ya berati membiarkan persoalan isi menjadi berlarut larut.
    Jadi sekali lagi kalau ada problema di keragaman isi, KPI punya peran penting, sedang untuk TV Digital saya yakin keberagaman isi akan lebih terjamin dilihat dari sisi manapun.

    Demikian semoga menjadi lebih paham. Salam.

    BalasHapus
  6. Kalo boleh berpikir secara bodohnya pak, gimana kalau dibalik, misalnya produk2 tv analog mulai dibatasi, bahwa barang masuk atau barang produksi yang berkaitan dengan tv analog tidak masuk dalam standar postel misalnya. Tidak boleh masuk ke Indonesia atau bahkan tidak boleh diproduksi lagi di Indonesia. Lambat laun stasiunnya sendiri yang tertuntut untuk migrasi pak karena ga ada yg nonton hehehe...

    BalasHapus