Kamis, 22 Desember 2016

MENGURANGI KECEPATAN MENUJU "KIAMAT


Kemana arah sejarah kehidupan manusia? Apakah sejarah itu berputar seperti roda, ada pola pengulangan? Atau apa sejarah itu ditentukan oleh tokoh-tokoh besar, dimana hitam putihnya kehidupan itu tergantung para tokoh?
Semua bisa benar, tetapi pada dasarnya sejarah itu menuju pada titik tertentu. Sebagaimana kehidupan juga menuju pada titik tertentu. Teori Marxis menunjukkan titik arah sejarah adalah revolusi proletariat, dimana kaum proletar yg tertindas melakukan revolusi mengambil alih penguasaan kapital dan asset assetnya dari tangan para kapitalis, lalu terjadi sama rata sama rasa. Komunisme muncul sebagai Pemenang. Tapi teori ini dianggap salah dan tidak terbukti.
Kemudian ada teori strutural lain, yang menganggap sejarah itu nuju titik tertentu tapi bukan revolusi proletar melainkan titik di mana masyarakat menjadi semakin bebas atau liberal, demokratis, dan menjunjung tinggi HAM. Demokrasi Kapitalis Barat menjadi pemenang pertarungan ideologi di akhir sejarah manusia. Inilah yg diyakini Fracis Fukuyama, dengan tesisnya The End of History (1992).
Para tokoh besar dalam hal ini hanya berperan mempercepat proses sejarah, atau menghambatnya menuju titik itu. Gus Dur, Amin Rais dan tokoh reformasi 98 yg lain misalnya, mereka hanya mempercepat proses demokratisasi di Indonesia. Sedangkan Sadam Husein, dia menghambat proses demokrasi di negaranya. Mereka hanya mempercepat atau menghambat, bukan yang menentukan arah sejarah. Salah satu penentu arah sejarah menuju titik kebebasan tersebut justru Teknologi Komunikasi dan nilai yang dibawanya. Teknologi Komunikasi telah menjadi determinan penentu orang menjadi lebih liberal, lebih bebas berekspresi, membutuhkan demokrasi hingga penghargaan perbedaan individu atau HAM.
Sekarang fenomena kebebasan seperti itu semakin terasa, lewat TIK semua orang bisa bicara apa saja, mengirimkan informasi apa saja yang diinginkan. Manusia begitu mudah mengkritik bahkan menghancurkan yang lain lewat gadget TIK nya. Kebebasan sedang menuju pada titik ekstrim. Bahkan moralitas banyak mengalami kemerosotan karena liberalisme model Barat yang menjunjung HAM.
Dalam perspektif agama, kehidupan manusia juga menuju pada titik tertentu yaitu entropi, kehancuran, kematian, kiamat. Tanda-tanda kiamat konon adalah kerusakan sosial, manusia bebas melakukan apa saja atas nama hak azasi. Pornografi marak, kebebasan sex dianggap hak, LGBT disamakan dengan keragaman, penghormatan pada orang tua menghilang, agama-agama langit tak dihormati, kemunafikan dipamerkan, manusia makin terjauh dari moralitas. Inilah keadaan tanda-tanda mendekati kiamat.
Keadaan bebas yang merusak itu salah satunya karena kebebasan dalam menggunakan TIK. Teknologi komunikasilah yang mendorong kondisi liberal seperti itu. Dalam kondisi semacam ini ada dua pandangan dalam melihat penggunaan Teknologi Komunikasi. Padangan pertama, adalah kaum liberalis yang menginginkan tidak diaturnya penggunaan Internet atau TIK.
Pandangan kedua adalah kalangan instrumentalis yang menginginkan teknologi internet atau TIK itu lebih diarahkan penggunaannya untuk sarana-sarana yang produktif, bukan kebebasan yang merusak.
Disitulah kemudian, terjadi pengkubuan dalam menggunakan dan mengatur internet. Kubu liberalis berprinsip net netrality, internet (TIK) tidak usah di atur atur, biarkan bebas, biar manusia yang menentukan pilihan penggunaannya.
Kubu kedua, internet itu dunia massa depan anak cucu kita, waktu dan aktivitas mereka akan di habiskan di dunia maya, sehingga harus diatur agar penggunaannya lebih produktif atau tidak banyak membawa kerusakan, disitulah lalu muncul UU ITE misalnya. Yang melarang penyebaran pornografi, judi, kebencian pada Agama, Fitnah atau pencemaran nama baik dsb.
Sekarang kemana kita harus bersikap? Mendukung kebebasan liberalisasi internet tanpa aturan, berarti mempercepat kerusakan sosial? Atau mendukung diterapkannya aturan di internet (penegakkan UU ITE) untuk mengurangi sisi negatif atau daya rusak internet, yang berarti mengurangi pula kecepatan menuju kiamat. Anda mendukung yang mana?

Henry Subiakto
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar