Senin, 19 Desember 2016

Awas Media Manipulator!



Sekarang di sektor komunikasi, khususnya media online, terdapat orang-orang bayaran (professional communicator) yang kerjaannya membuat berita dengan memalsukan fakta dan meme-meme pendukung. Mereka dibayar untuk memproduksi pesan untuk mendistorsi dan memanipulasi informasi yang ada di masyarakat agar menciptakan opini publik bahkan gerakan politik sesuai pesanan aktor politik yang berkepentingan di belakang layar. Bahkan ditengarai dana asingpun banyak mengalir utk menciptakan keadaan tertentu sesuai kepentingan mereka.
Fakta-fakta palsu pesanan politik itu kemudian diberitakan serentak dan terus menerus di beberapa media online abal abal jaringan mereka, kemudian dishare oleh para buzzer yg sudah disiapkan sebagai pasukan siber.
Di Amerika Serikat komunikator profesional dibayar untuk bikin media abal-abal di internet untuk dishare dan dibenarkan oleh teman-teman buzzernya sudah cukup lama. Ryan Holiday menulis pengakuannya dalam buku "Trust me I am lying, The confession of an media manipulator" (2012). Pengalaman Ryan inilah yg kemudian dicontoh dan dikembangkan di Indonesia. Sekarang media dan akun abal-abal jadi marak, membiaskan informasi di media sosial.
Di masyarakat kita berita palsu yg sensasional, beserta meme buatan itu justru dianggap menarik dan disukai, bahkan dianggap fakta yg harus dishare. Banyak warga masyarakat tidak  peduli asal, sumber, kualitas apalagi kebenaran informasi yg mereka terima tersebut. Mereka yg punya sikap tidak kritis lalu begitu gemar ikut menyebarkan dan membagikan ke relasinya karena menganggap info-info palsu itu adalah A1. Sehingga informasi-informasi buruk yg tidak benar tersebut lalu menjadi words of mouth yg laris dan terus saja disebarkan.
Terjadilah Ten Ninety Communication, komunikasi 10 : 90. Dimana hasil penyebaran komunikasi itu, justru 90% dilakukan suka rela oleh masyarakat yg suka pada informasi palsu itu. Sedang pelaku komunikasi politik yg sesungguhnya hanya melakukan 10% saja. Tapi hasilnya bisa menjadi kekuatan besar karena didukung "ketidaktahuan" masyarakat yg ikut menyebarkannya. Lewat mass self communication, informasi palsu itu tersebar, bahkan juga dikonfirmasi atau diperkuat oleh media abal abal lain yg memiliki misi senada.
Hasilnya banyak informasi palsu dianggap sebagai kebenaran oleh publik. Saat informasi itu makin banyak dishare dan dibahas, maka orang-orang yg tidak sependapat, atau kritis pada kasus-kasus cenderung diam, karena menghindari "keributan". Lama-lama suara yang membenarkan informasi palsu tersebut bisa mendominasi media sosial. Karena mereka yang tidak setuju cenderung makin diam (silent). Mereka khawatir sedang menghadapi "suara mayoritas" (padahal tidak, itu hanya persepsi). Disitulah kemudian informasi palsu tersebut, tidak hanya dianggap sebagai suara mayoritas, tapi juga menjadi nilai-nilai yang meresap dan mempengaruhi sikap politik.
Itulah kekuatan propaganda komunikasi lewat media sosial yang menciptakan Spiral of Silence atau istilah Jermannya Die Schweigerspirale. Kurban2nya tidak sadar karena banyak yang isi propaganda tersebut sesuai dengan predisposisi atau kecenderungan sikap mereka sebelum diterpa informasi palsu itu.
Idealnya, memang harus ada counter propaganda yang mengungkap fakta-fakta. Sayangnya gerakan kebaikan sering "kalah" dengan yang negatif. Maka salah satu cara menangkalnya adalah, dengan tidak membiarkan kita menjadi korban propaganda politik yang akan memporak porandakan negeri ini. Saatnya setiap memperoleh informasi negatif, dicheck dulu siapa sumbernya? Terpercaya atau tidak? Kemudian dicheck isinya logis apa tidak? Apa isinya berbasis suudzon atau khusnudzon? Kalau justru mudzarotnya lebih banyak, sebaiknya tidak usah kita ikut-ikut ngeshare informasi yang isi dan sumbernya tidak jelas. Kecuali kita sendiri memang bagian dari orang-orang yang mengharapkan kekacuan dan kehancuran negeri ini. Tapi apakah niat kita seburuk itu? Saya yakin tidak.

Henry Subiakto


Tidak ada komentar:

Posting Komentar