Minggu, 06 Oktober 2019

MEDIA KONVENSIONAL JANGAN MELAWAN NETIZEN Oleh : Prof. Henry Subiakto

Dulu Media Massa itu powerful, dengan kekuatan beritanya  bisa mengritik, memframing bahkan bisa menghancurkan reputasi dan nama siapapun. Tapi media juga bisa mempopulerkan orang, membangun reputasi, hingga memuja muja atau Glamourising seseorang atau apapun.  Media Massa adalah kekuatan penyeimbang dan pengontrol eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Bahkan masyarakatpun bisa dia garap tanpa mampu membalas pada media. Ibarat sebuah kekuasaan Media telah menjadi kekuatan yg bisa mengoreksi siapa saja tapi dirinya tidak bisa dikoreksi oleh kekuatan dari luar. Yang bisa mengontrol media hanyalah pemiliknya atau para pemasang iklan yang mempengaruhi hidup matinya media. Di luar itu semua bisa jadi sasaran interogasi dan agenda setting media. Sehingga media jadi kekuatan tersendiri sebagaimana power atau kekuasaan yang lain yang juga tends to corrupt.

Di era digital, terjadilah perubahan. Tatkala semua anggota publik bisa memiliki perangkat smartphone maka semua orang bisa jadi "wartawan". Semua orang bisa memiliki medianya sendiri. Dengan smartphone  semua orang bisa jadi pengamat, komentator, hingga executor. Mereka itulah netizen yang jumlahnya tidak terbatas mengikuti jumlah penduduk yang aktif menggunakan smartphone. 

Netizen adalah sekumpulan "warga internet" (citizen of the net), yang di dalamnya ada yang pasif maupun yang sangat aktif terlibat dalam komunitas maya. Mereka saling kontrol, saling mengisi dan saling berbagi informasi. Mereka  berkomunikasi itu biasanya digerakkan oleh kepedulian dan solidaritas  saat menghadapi suatu persoalan. Netizen bisa memproduksi pesan hingga cercaan yang memenuhi dunia maya. Merekalah yang menulis di Facebook, mengisi twitter, meramaikan instagram, WhatsApp dan lain lain. Merekalah yang  menshare apa saja yang dianggap menarik. Netizen memang tudak tunggal, tidak monolitik, dia bisa terbelah bahkan terfrakmentasi mengikuti orientasi politik dan sosial. Tapi siapa yang banyak disitulah kebenaran post truth yang semu terbentuk. Kendati netizen itu tidak satu, tapi tetap mereka adalah kekuatan besar, bahkan sangat besar.

Netizen itu bergerak tanpa aba aba, tapi bisa menyerang, membuli siapa saja yg dianggap melanggar norma. Netizen adalah makhluk digital yang wujudnya tidak jelas, tapi keberadaannya, dan kekuatannya nyata. Netizen memiliki logika sendiri dan tidak takut pada siapapun. Siapapun dan apapun yang mengusik mereka, mengusik kebenaran mereka, "mengusik" tokoh yang mereka puja secara tidak pantas, maka pelaku bisa "dihabisi", dikeroyok oleh pasukan yang mirip legenda pewayangan, ajian  "sosro birowo" milik prabu Salyo, yang jumlahnya makin banyak saat dihadapi musuh  dengan kekerasan, itulah netizen. Jumlah mereka yang banyak dan selalu ada itu, seakan tidak pernah tidur. Mata digitalnya ada dimana-mana, kaya akan data dan jejak fakta.

Dulu orang dan lembaga yang powerful, berkuasa, maupun yang sok berkuasa, apakah itu  elite politik, pemilik media hingga para pengelolanya, sulit tersentuh kejuatan apapun. Sekarang di era transparansi dan partisipasi ini, mereka bisa jadi bagan bulan bulanan dan  bulian komunikasi yang dilakukan oleh netizen.

Netizen bisa menggempur lewat opini, menyerang lewat meme, menusuk lewat informasi, hingga menghack dan melumpuhkan aplikasi. Majalah Tempo sempat jadi sasaran netizen yang tidak terima dengan cover majalah itu yang menggambarkan bayangan presiden sebagai pinokio. Pemberitaan yang dianggap tak etis itu berakibat serangan netizen pada aplikasi Tempo untuk berlangganan maupun untuk membaca langsung down. Hilang dari playstore.

Sekarang media massa harus hati hati. Jika mereka berperilaku melupakan etika dan melukai perasaan bersama netizen, tidak mustahil mereka akan jadi sasaran "amuk" komunikasi warga net yang aktif menjaga "moralitas" maya.

Kalau suatu media mainstream karena memiliki historia sejarah kebesaran masa lalu, kemudian merasa mampu lewat pemberitaannya melawan mereka netizen yang sebagian paling aktif sering juga disebut sebagai buzzer, maka genderang  perang justru bisa membunuh media yang bersangkutan. Kekuatan besar netizen, hingga pengaruhnya yang bisa membuat gerakan uninstall media yang dianggap mencederai mereka, serangan netizen bisa fatal dan mampu menjadikan kuburan bagi media media konvensional yang nekad menghadapi kekuatan netizen.

Orang-orang media konvensional harus sadar bahwa dunia telah berubah. Masyarakat yang dulu disebut audience, sekarang telah menjelma menjadi netizen yang bisa membuat berita sendiri, memiliki media sendiri. Memiliki pandangan sendiri, hingga kebenaran sendiri.

Dulu media itu eksklusif. Hanya yang menguasai kertas koran yang bisa nulis isinya, hanya yang muncul di TV dan Radio yang bisa pengaruhi orang banyak. Sekarang smartphone adalah media yang dimiliki semua orang. Smartphone menghantarkan pemiliknya muncul di smarphone milik orang lain. Mass Communication yang dulunya powerful, sekarang tergusur oleh Mass Self Communication. Pesan komunikasi tidak  lagi dikuasai dan disebarkan segelintir orang, di ruang ruang redaksi, melainkan sekarang dikuasai banyak orang dan disebarkan lewat orang per orang. Person to person, self to self. Itulah fenomena Mass self Communication di era 4.0 ini

Masyarakat adalah sumber hidup media, karena merekalah audiens media. Tapi masyarakat  itu telah metamorfosis menjadi netizen yang tidak hanya jadi audiens pasif tapi sangat aktif bahkan sekaligus juga jadi pesaing dalam economy of attention, mereka  punya media, dan mereka juga memproduksi pesan, yang bisa mengroyok, menggiring  opini, memviralkan "keburukan" media yang dianggap bermasalah, hingga sekaligus ajakan uninstall atau unsubscribe media  yang mencoba melawan netizen.

Dengan kondisi seperti sekarang, media massa tidak bisa lagi jumawa seenaknya sendiri. Kalau mereka dalam pemberitaannya dianggap mencederai orang banyak atau netizen, maka tak mustakhil media  akan dihajar bahkan bisa ditenggelamkan oleh aktivitas dan sensitivitas netizen. 

Peringatan untuk media manapun agar lebih ketat memberlakukan etika, check and recheck hingga berkomitmen pada objektivitas, yang faktual, imparsial, balance dan netral. Media tidak lagi bisa main main. Di era 4.0 media tidak lagi powerful, dan untouchable. Mereka senantiasa diawasi oleh netizen yang siap memberi sanksi dan mengeksekusi jika dipandang bertentangan dengan kebenaran digital dan rasa keadilan.

Tidak bisa tidak, media konvensional harus membaca dan menghargai  gerak dan kehendak netizen. Media harus menghindari bertabrakan dengan logika kebenaran dan suara hati netizen. Mereka, netizen itu bukan lawan media konvensional. Kalau media harus berhadapan dengan netizen, sama saja dengan mempertarungkan antara taksi konvensional melawan taksi online seperti Grab Car dan Go Car. Sama halnya pertarungan Travel konvensional Thomas Cook melawan AirBnB dan Traveloka.

Henry Subiakto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar