Kamis, 25 Mei 2017

BOM KAMPUNG MELAYU DAN CARA BERPIKIR YANG TAK BERUBAH

Publication is the oxygen of terrorism itu teorinya. Jadi menshare foto-foto dan video korban teroris itu sama halnya membantu menyebarkan kecemasan dan ketakutan, itu yang diharapkan para pelaku teror. Tapi disisi lain kejahatan kemanusiaan tersebut, walau secara nyata korban telah bergelimpangan dengan kondisi amat mengerikan, tetap saja masih banyak "orang-orag cerdas" yang tidak percaya kalau itu korban terorisme. Mereka tetap "meremehkan" ancaman teror dan mengabaikan gerakan radikalisme.
Sudah jelas dan nyatapun tidak dipercaya, apalagi kalau minim publikasi dan minim penyebaran lewat mass self communication? Apa tidak akan lebih disepelekan dan dianggap hanya sekedar permainan, atau rekayasa? Atau sekedar pengalihan issue!
Era sudah teknologi digital tapi banyak orang cara berpikirnya melihat persoalan negara masih seperti masa lalu. Di era digital sekarang semua orang bisa mengungkap fakta di lingkungan yang dia ketahui lewat sarana komunikasi yang dimiliki. Teknologi digital telah menciptakan transparansi, karena semua orang bisa merekam, menyimpan dan menyebarkan secara diam diam yang mereka ketahui. Sekarang setiap orang bisa berperan menjadi "wartawan", penyampai informasi, atau pembocor aktivitas di instansinya. Seperti yang dilakukan Edward Snowden yang membocorkan aktivitas NSA di Amerika.
Di era digital, kendati intelejen masih bekerja dengan rapi, tapi negara tidak lagi terhegemoni oleh kekuasaan tunggal yang dominan. Kekuasaan yang mengontrol ketat semua orang. Sekarang justru setiap institusi negara bisa saling kontrol dengan institusi yang lain. Bahkan tiap orang juga bisa menjadi pengawas bagi orang yang lain. Kalau ada kejahatan di sekitarnya, setiap orang bisa berpotensi menjadi wistle blower. Apalagi kejahatan yang "mengelabuhi" dunia, dan mengorbankan banyak nyawa. Kalau hal itu benar terjadi tinggal menunggu terkuaknya skandal bom tersebut ke seluruh penjuru.
Tapi di sosmed masih banyak orang berpikir seakan kondisi negara tidak berubah. Penguasa dianggap bisa berbuat apa saja. Hampir setiap kasus terorisme dianggap hasil rekayasa, tidak hanya di era presiden Jokowi, tapi juga terorisme di era presiden SBY sekalipun. Berubahnya pemerintahan, berubahnya masyarakat dan cara-cara menggunakan teknologi tidak merubah cara berpikir mereka yang benaknya penuh khayalan tersebut.
Tahun 2017 yang jelas jelas sudah merupakan era transparansi, demokrasi, dan partisipasi, masih saja dianggap mudah bikin rekayasa dan skandal permainan penguasa. Realitas Dunia dan kehidupan sudah berubah, tapi mereka masih berpikir seperti era Orde Baru. Berpikir seperti di era negara otoriter yang dipenuhi dengan propaganda negara. Era hegemoni negara di semua sarana komunikasi. Era politik tertutup. Dan era belum ada teknologi digital dan medsos yang mengawasi siapapun hingga memunculkan "open society".
Memangnya siapa sih di era sekarang masih berani main-main membuat rekayasa membohongi semua orang? Jujur lempeng saja sekarang mudah dihajar hoax, apalagi berani bikin skandal dengan korbankan banyak nyawa manusia. Resiko bocor terlalu besar, bahkan siapapun yang terlibat bisa hancur baik karir maupun hidupnya. Bahkan organisasinya.
Apalagi kalau dikaitkan dengan keadaan negara sekarang. Tidak ada kasus besar atau issue yang harus dikhawatirkan atau perlu dialihkan. Logika pengalihan issue menjadi tidak relevan. Terlalu jauh dan tidak sebanding dengan resiko yang terjadi. Kalau sudah demikian apa masih logis jika ada yang lagi-lagi begitu ringan menuding dan menuduh?

Henry Subiakto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar