Sekarang kemerdekaan pers justru
sering terancam karena perilaku korporasi media mereka sendiri yang kadang
punya kepentingan tak sejalan dengan prinsip kemerdekaan pers. Ada media yang beritanya
"ditarik-tarik" harus menguntungkan partai politik yang dekat dengan
pemilik media. Kalau ada fakta sosial merugikan politik sang pemilik, ya tidak
akan diberitakan. Tapi kalau berita itu menguntungkan pihaknya dan merugikan
pihak lain, ya diekspose besar-besaran. Media menjadi alat ekonomi politik atau
"alat pukul" untuk pihak lain.
Bentuk gangguan kedua terhadap kebebasan pers
adalah berasal dari fanatisme sosial. Sering kelompok masyarakat hanya ingin
ada berita yang sesuai dengan sikapnya. Mereka menentang kalau ada media
memberitakan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Mereka kadang mengusir
atau "mengancam" awak media yang tidak disukai. Bahkan tak jarang
jurnalis diintimidasi berdasar fanatisme sosial yang berlebihan.
Media konvensional memang tidak lepas dari framing
berita, bahkan kadang pemihakkan. Tapi mereka tetap dituntut tanggung jawab
terhadap isinya, sekaligus berkomitmen pada reputasi jangka panjang
institusinya sebagai bentuk bisnis kepercayaan. Sejelek apapun media pers konvensional,
termasuk yang berbentuk online, mereka berasal dari instutusi yang jelas, jelas
alamat kantornya, dan jelas pula personal penanggung jawabnya. Framing dan
berita yang tidak akurat bukanlah hoax, karena masih berdasar fakta, kendati
dilihat dari perspektif tertentu. Sedangkan hoax memang sengaja dibuat dengan
memalsukan fakta. Pers konvensional amat beresiko untuk institusi dan
orang-orang profesional di dalamnya kalau nekat memproduksi hoax.
Berbeda dengan media online abal abal yang justru
serba tidak jelas. Mereka sering sembunyikan identitas, alias anonim,
penanggung jawab maupun alamatnya. Karena anonim inilah mereka jadi merasa
lebih bebas, dalam pemihakkan, bahkan mengubah hingga memalsukkan fakta. Media
model ini juga bisa muncul dan hilang kapan saja sesuai kebutuhan politik dan
ekonomi "peternaknya". Mereka tak patuhi Undang-undang Pers maupun
kode etik. Tapi justru media-media seperti ini ternyata yang disukai, karena
isinya sensasional dan bisa digunakan sebagai pembenar sikap politik. Sekaligus
alat propaganda untuk menyerang pihak lain dalam kontestasi politik yang sedang
terjadi. Di situlah kenapa hoax lalu banyak diproduksi dan cepat beredar.
Hoax adalah pesan yang berisi fakta palsu yang
sengaja dibuat dan disebar untuk tujuan disinformasi. Menciptakan kecemasan,
kebencian pada pihak tertentu, hingga pemujaan yang tidak rasional, dengan
memanfaatkan emosi, ikatan primordial, dan trauma sosial masyarakat. Hoax
sengaja dibuat dengan niat jahat, bisa dibuat oleh politisi busuk yang menghalalkan
segala cara, buzzer bayaran, hingga terroris. Tapi hoax justru sering dianggap
sebagai kebenaran oleh yang meyakininya.
Media konvensional dalam hal ini jadi terkesan
kurang "berani", dibanding media baru abal-abal yang banyak memuat
hoax dan tak peduli objektivitas. Seharusnya pers online yg konvensional
menyaingi dan menepis hoax dan berita-berita palsu. Dengan cara memproduksi
berita yang isinya mengklarifikasi berita hoax ataupun fake news. Kalau
masyarakat ada yang suka ngeshare hoax, pasti ada juga yang kontra hoax.
Artinya ada juga masyarakat yang membutuhkan berita anti hoaxnya. Jadi hoax
maupun anti hoax itu berpotensi sama-sama dishare. Disini pers konvensional
harus berpegang teguh pada upaya "giving the facts" memberikan fakta-fakta
yg bisa dicheck kebenarannya.
Sayangnya pers online konvensional, malas
menanggapi media abal-abal. Mereka khawatir menurunkan derajat reputasinya jika
"mengoreksi" hoax. Padahal realitasnya hoax itu menyebar dengan
potensi besar yang merusak. Hoax juga "mengancam" menurunnya
kepercayaan publik pada pers konvensional. Berarti hoax juga bisa
"membunuh" pers konvensional, karena mereka lebih menarik dan
"bermanfaat" untuk berperang komunikasi politik.
Itulah persoalan pers atau media kita di era
kebebasan sekarang ini. Ada penggunaan kebebasan pers untuk mencerdaskan, tapi
ada pula yang justru mendompleng kebebasan pers untuk pembodohan dengan
menyebarkan hoax.
Akhirnya kebebasan pers di era digital ini kalau
tidak kita hadapi secara cerdas, justru menyuburkan peredaran hoax yang
berpotensi merusak persatuan bangsa, memunculkan kebencian dan membahayakan
kebangsaan. Pers nasional tidak cukup hanya menuntut kebebasan, tapi mereka
juga harus ikut menanggulangi peredaran hoax, yang datang dan membonceng
kebebasan itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar