Rabu, 22 April 2020

MENGHUKUM DOSEN YANG BERPENDAPAT

Hari ini  “saudaraku” Saiful Mahdi Ph.D dosen Universitas Syah Kuala Banda Aceh telah diputus bersalah oleh Majelis Hakim PN Banda Aceh. Dikatakan bahwa Saudara Saiful Mahdi, doktor alumni Cornell University Amerika Serikat dan S1 lulusan ITS Surabaya itu dinyatakan terbukti melakukan pencemaran nama baik dengan vonis 3 bulan penjara dan denda 10 juta rupiah subsider 1 bulan kurungan.

Kalau kita cermati kasus ini, putusan Hakim persis sama dengan tuntutan jaksa yang "hanya berani” menuntut 3 bulan penjara,  atau denda 10 juta, itu bisa dimaknai menunjukkan keragu-raguan pihak jaksa dalam menuntut. Karena kalau berdasar norma hukum yang dikenakan yaitu melanggar pasal 27 ayat 3 UU ITE sanksi hukumannya bisa sampai 4 tahun dan atau denda 750 juta. Artinya rumusan normanya cukup tinggi, jauh di atas tuntutan. Tapi kenyataannya tuntutan jaksa tak sampai  10%  dari ancaman pidana dalam pasal. Kenapa jaksa  menuntut ringan, besar kemungkinan setelah memperoleh bukti bukti dan keterangan ahli di persidangan,  jaksa merasa “tidak yakin” dengan kebenaran  penerapan hukum yang didakwakan. Tapi walaupun tidak terlalu yakin, jaksa juga tidak mungkin menihilkan atau membatalkan tuntutan. Karena persidangan sudah berjalan jauh,  hingga berkali kali persidangan dan jadi perhatian publik. Tidak mungkin dakwaan dicabut dan tuntutan ditiadakan. Yang dilakukan adalah meminimalisir tuntutan,  agar tim jaksa yang sudah membawa ke persidangan tidak kehilangan muka. Tapi terdakwa juga tidak dituntut terlalu jauh dari rasa keadilan dan kepastian hukum. Jadi penuntut umum mengambil jalan tengah, yaitu melakukan tuntutan minimalis, seringan mungkin.

Hal ini logis mengingat apa yang telah dilakukan saudara Dr. Saiful Mahdi memang bukan perbuatan pidana, bukan perbuatan mendistribusikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yg bermuatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik. Coba kita simak kembali saat Saiful Mahdi kecewa melihat proses penerimaan dosen sebagai ASN di Fakultas Teknik yang diterima menurut dia justru bukan pendaftar yang terbaik. Maka diapun  menyampaikan uneg unegnya, protes mengirimkan pesan ke WA group para dosen Syah Kuala, yg isinya sebagai berikut :

"Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Dapat kabar duka matinya akal sehat dalam jajaran pimpinan FT Unsyiah saat tes PNS kemarin. Bukti determinisme teknik itu sangat mudah dikorup?" “Gong Xi Fat Cai!!!"  “Kenapa ada fakultas yang pernah berjaya kemudian memble? Kenapa ada fakultas baru begitu membanggakan? karena meritokrasi berlaku sejak rekrutmen." “Hanya para medioker atau yang terjerat 'hutang' yang takut meritokrasi."

Saya tahu pendapat Saiful Mahdi bisa saja salah. Tapi Informasi elektronik yang dikirim Mahdi ke WhatsApp Group (WAG) itu jelas tidak berunsur defamasi (pencemaran nama baik). Mahdi hanya mencurahkan unek-uneknya melalui tulisan yang memiliki tujuan dan perhatian terhadap dunia akademis, ke dalam grup tertutup yang anggotanya semua para dosen atau akademisi.

Menjadi aneh, tatkala kampus sebagai contoh komunitas terdidik yang menjunjung demokrasi menjadi begitu sensitif terhadap kritik dari civitas akademikanya sendiri. Padahal kritik, hingga debat di dunia akademik itu hal yang biasa. Berbeda pendapat secara tajam itu biasa. Ketika ada pendapat yang menyinggung atau menyakitkan itu hal yang lumrah. Kalau ada pendapat yang keliru, tinggal diluruskan, beri penjelasan. Cukup diselesaikan dengan adu pendapat dan informasi. Bukan dibawa ke pengadilan pidana.

Apa yang dilakukan Mahdi, sebenarnya merupakan suatu bagian dari kebebasan berpendapat,  yang dijamin oleh pasal 28F UUD 1945. Isi pesan tersebut bukan penghinaan dan atau pencemaran nama baik.

Menurut norma aslinya di KUHP, suatu informasi dikatakan bermuatan Penghinaan dan atau pencemaran nama baik, jika memenuhi unsur adanya perbuatan menuduhkan sesuatu hal pada seseorang atau pribadi hakiki (naturlijk persoon), bukan pada organisasi, ataupun kelompok orang. Dalam frasa yang ditulis Mahdi tidak ada nama atau identitas yang jelas yang menunjuk diri pribadi seseorang. Frasa "jajaran pimpinan" yang ditulis Mahdi itu tidak mengarah pada seseorang, atau pribadi dengan identitas yang jelas.

Pasal 27 ayat 3 UU ITE itu bunyinya “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Dalam penjelasan pasal tersebut,  rumusan Penghinaan dan pencemaran nama baik itu pengertiannya mengacu pada delik pencemaran nama baik (pasal 310 KUHP) dan delik fitnah (pasal 311 KUHP).

Jadi unsurnya harus ada perbuatan yang disengaja menuduhkan suatu hal pada seseorang, dengan terang agar diketahui umum. Kalimat Saiful Mahdi itu jelas bukan menuduh, melainkan pendapat, atau pandangan pribadi dia terhadap suatu persoalan di Fakultas Teknik. Kalau menuduh, itu ada kalimat menunjuk pada seseorang yang dianggap melakukan perbuatan tercela. Dalam kalimat di atas tidak ada seseorang (pribadi) yang dituduh atau ditunjuk, apalagi difitnah. Kalau fitnah, pelaku sudah tahu, seseorang itu tidak melakukan perbuatan buruk,  tapi  pelaku tetap menuduhkan sesuatu yang bertentangan dengan yang diketahui. Kasus Dr. Saiful Mahdi tidak masuk dalam unsur KUHP pasal 310 maupun 311, juga tidak pula masuk melanggar UU ITE pasal 27 ayat (3).

Hukum itu tidak boleh meraba-raba, rumusan dan dasarnya harus jelas. Dalam perkara pidana tidak boleh pembuktian hanya berdasarkan perasaan. Misal berdasar perasaan, ini kayaknya saya yang diserang sama pak Saiful, enggak bisa seperti itu, nama identitas korban yang dituduh atau dicemarkan nama baiknya harus jelas. In criminimalibus probantiones bedent esse lucce clariores. Dalam perkara pidana, bukti bukti harus jelas atau lebih terang dari cahaya.

Apalagi kalau dilihat dari unsur lain yaitu “agar terang diketahui oleh umum” (310 KUHP). Dalam rumusan UU ITE, hal yang serupa terkait dengan perbuatan mendistribusikan/ atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik oleh umum/publik. Mengirim ke group dosen itu bukan umum dalam artian orang banyak yang terbuka. Kalau berniat, atau dengan sengaja agar diketahui umum, Saiful Mahdi harus dibuktikan ngirim pesan WA nya berkali kali, ke beberapa WA group. Atau mengirim ke media sosial yang terbuka, yang bisa diakses orang banyak. Faktanya kan tidak demikian, tapi Mahdi hanya kirim satu pesan WA ke group dosen yag tertutup. Justru kalau kemudian informasi elektronik itu nyebar kemana mana karena, diakui ada pihak yang ikut mengirimkan kembali ke pihak lain, atau mendistribusikannya. Dalam UU ITE yg menyebarkan itu justru yang terkena pasal mendistribusikan.

Belum lagi kalau mengikuti tradisi akademisi, seorang doktor, dosen yang aktif di kampus, pernah jadi ketua jurusan, dan senat universitas, apakah tidak punya hak menyampaikan keprihatinannya atau kritiknya di group dosen di kampusnya sendiri? Kalau itu dibolehkan atau berhak, makin jauh saja dari perbuatan pidana ITE. Ini penting sebab masyarakat biasa saja oleh UUD dibolehkan dan berhak berpendapat atau mengkritik, apalagi seorang akademisi di kampusnya. Unsur berhak,  tidak berhak, atau unsur melanggar norma itu adalah unsur utama penentu masuk tidaknya sebuah perbuatan transaksi elektronik ke dalam perbuatan pidana. Mengkritik atau berpendapat, itu bukan perbuatan melawan hukum. Tapi hak warga negara.

Sebenarnya duduk masalahnya jelas, saya sebagai saksi ahli yang terlibat dan tahu bagaimana  UU ITE itu dirumuskan, dan direvisi, sudah menjelaskan di muka persidangan. Saya sudah jelaskan tentang rumusan dan unsur unsur pasal yang dituduhkan. Dan kesimpulannya juga jelas perbuatan saudara Saiful Mahdi tidak memenuhi unsur pelanggaran pasal 27 ayat (3) jo pasal 45 ayat (3).

Sayangnya majelis hakim mengabaikan penjelasan kami, dan tidak pula memperhitungkan mengapa jaksa menuntut sangat jauh dari norma sanksi yang ada di UU. Hakim memutus Saiful Mahdi bersalah dengan hukuman 3 bulan penjara atau denda 10 juta subsider kurungan sebulan. Hukuman yang dijatuhkan hakim sama persis dengan Tuntutan jaksa.

Sebenarnya dengan menerima keputusan itu lalu membayar denda 10 juta, kasus sudah selesai.  Case closed. Tapi tentu pihak saudara Saiful Mahdi tidak bisa menerima begitu saja. Kalau menerima, berarti membenarkan bahwa mengkritik itu perbuatan salah dan pidana. Artinya pengadilan terhadap pendapat atau kritik ini akan jadi preseden buruk bagi dunia hukum Indonesia. Seakan orang mengkritik kebijakan kampus itu tidak boleh, mengkritik itu perbuatan kriminal yang bisa dipidana. Kalau putusan ini diterima, akan membenarkan bahwa pasal 28 UUD 45 bisa dikalahkan oleh UU ITE, padahal tidak demikian. Ini hanya persoalan interpretasi yang salah terhadap penerapan UU.

Walau sebenarnya dengan putusan itu cukup ringan, saya secara pribadi mendukung pihak Pak Saiful Mahdi  untuk banding terhadap keputusan ini. Tujuannya bukan untuk kepentingan pribadi siapapun, toh dengan keputusan itu pak Saiful juga tidak ditahan, tapi ini untuk menegakkan kebenaran dan nama baik Indonesia. Jangan biarkan demokrasi Indonesia tercoreng dengan keputusan Pengadilan Negeri Banda Aceh yang mengadili kritik seorang akademisi terhadap situasi kampusnya. Mudah-mudahan para hakim di Pengadilan Tinggi lebih bisa melihat dengan jeli penerapan hukum pasal 27 ayat (3) UU ITE secara benar sesuai maksud ketika UU itu dibuat. Amin.

Untuk tulisan ini, saya berharap bisa viral atau minimal menyebar luas, agar bisa menjadi koreksi dan pemikiran. Bahwa sekarang ada persoalan di kalangan akademisi yang makin sensitif dan haus menghukum koleganya sendiri yang dianggap “tidak menyenangkan”. Serta ada persoalan di penegak hukum dan pengadil kita, yang enggan mendalami dan memahami aturn secara detail, khususnya dalam hal ini di Banda Aceh. Semoga tulisan ini bisa menjadi penanda, pengingat dan koreksi terhadap persoalan yang tidak membanggakan ini. Amin YRA.

(Prof. Dr. Henri Subiakto, SH, MA)

Minggu, 06 Oktober 2019

MEDIA KONVENSIONAL JANGAN MELAWAN NETIZEN Oleh : Prof. Henry Subiakto

Dulu Media Massa itu powerful, dengan kekuatan beritanya  bisa mengritik, memframing bahkan bisa menghancurkan reputasi dan nama siapapun. Tapi media juga bisa mempopulerkan orang, membangun reputasi, hingga memuja muja atau Glamourising seseorang atau apapun.  Media Massa adalah kekuatan penyeimbang dan pengontrol eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Bahkan masyarakatpun bisa dia garap tanpa mampu membalas pada media. Ibarat sebuah kekuasaan Media telah menjadi kekuatan yg bisa mengoreksi siapa saja tapi dirinya tidak bisa dikoreksi oleh kekuatan dari luar. Yang bisa mengontrol media hanyalah pemiliknya atau para pemasang iklan yang mempengaruhi hidup matinya media. Di luar itu semua bisa jadi sasaran interogasi dan agenda setting media. Sehingga media jadi kekuatan tersendiri sebagaimana power atau kekuasaan yang lain yang juga tends to corrupt.

Di era digital, terjadilah perubahan. Tatkala semua anggota publik bisa memiliki perangkat smartphone maka semua orang bisa jadi "wartawan". Semua orang bisa memiliki medianya sendiri. Dengan smartphone  semua orang bisa jadi pengamat, komentator, hingga executor. Mereka itulah netizen yang jumlahnya tidak terbatas mengikuti jumlah penduduk yang aktif menggunakan smartphone. 

Netizen adalah sekumpulan "warga internet" (citizen of the net), yang di dalamnya ada yang pasif maupun yang sangat aktif terlibat dalam komunitas maya. Mereka saling kontrol, saling mengisi dan saling berbagi informasi. Mereka  berkomunikasi itu biasanya digerakkan oleh kepedulian dan solidaritas  saat menghadapi suatu persoalan. Netizen bisa memproduksi pesan hingga cercaan yang memenuhi dunia maya. Merekalah yang menulis di Facebook, mengisi twitter, meramaikan instagram, WhatsApp dan lain lain. Merekalah yang  menshare apa saja yang dianggap menarik. Netizen memang tudak tunggal, tidak monolitik, dia bisa terbelah bahkan terfrakmentasi mengikuti orientasi politik dan sosial. Tapi siapa yang banyak disitulah kebenaran post truth yang semu terbentuk. Kendati netizen itu tidak satu, tapi tetap mereka adalah kekuatan besar, bahkan sangat besar.

Netizen itu bergerak tanpa aba aba, tapi bisa menyerang, membuli siapa saja yg dianggap melanggar norma. Netizen adalah makhluk digital yang wujudnya tidak jelas, tapi keberadaannya, dan kekuatannya nyata. Netizen memiliki logika sendiri dan tidak takut pada siapapun. Siapapun dan apapun yang mengusik mereka, mengusik kebenaran mereka, "mengusik" tokoh yang mereka puja secara tidak pantas, maka pelaku bisa "dihabisi", dikeroyok oleh pasukan yang mirip legenda pewayangan, ajian  "sosro birowo" milik prabu Salyo, yang jumlahnya makin banyak saat dihadapi musuh  dengan kekerasan, itulah netizen. Jumlah mereka yang banyak dan selalu ada itu, seakan tidak pernah tidur. Mata digitalnya ada dimana-mana, kaya akan data dan jejak fakta.

Dulu orang dan lembaga yang powerful, berkuasa, maupun yang sok berkuasa, apakah itu  elite politik, pemilik media hingga para pengelolanya, sulit tersentuh kejuatan apapun. Sekarang di era transparansi dan partisipasi ini, mereka bisa jadi bagan bulan bulanan dan  bulian komunikasi yang dilakukan oleh netizen.

Netizen bisa menggempur lewat opini, menyerang lewat meme, menusuk lewat informasi, hingga menghack dan melumpuhkan aplikasi. Majalah Tempo sempat jadi sasaran netizen yang tidak terima dengan cover majalah itu yang menggambarkan bayangan presiden sebagai pinokio. Pemberitaan yang dianggap tak etis itu berakibat serangan netizen pada aplikasi Tempo untuk berlangganan maupun untuk membaca langsung down. Hilang dari playstore.

Sekarang media massa harus hati hati. Jika mereka berperilaku melupakan etika dan melukai perasaan bersama netizen, tidak mustahil mereka akan jadi sasaran "amuk" komunikasi warga net yang aktif menjaga "moralitas" maya.

Kalau suatu media mainstream karena memiliki historia sejarah kebesaran masa lalu, kemudian merasa mampu lewat pemberitaannya melawan mereka netizen yang sebagian paling aktif sering juga disebut sebagai buzzer, maka genderang  perang justru bisa membunuh media yang bersangkutan. Kekuatan besar netizen, hingga pengaruhnya yang bisa membuat gerakan uninstall media yang dianggap mencederai mereka, serangan netizen bisa fatal dan mampu menjadikan kuburan bagi media media konvensional yang nekad menghadapi kekuatan netizen.

Orang-orang media konvensional harus sadar bahwa dunia telah berubah. Masyarakat yang dulu disebut audience, sekarang telah menjelma menjadi netizen yang bisa membuat berita sendiri, memiliki media sendiri. Memiliki pandangan sendiri, hingga kebenaran sendiri.

Dulu media itu eksklusif. Hanya yang menguasai kertas koran yang bisa nulis isinya, hanya yang muncul di TV dan Radio yang bisa pengaruhi orang banyak. Sekarang smartphone adalah media yang dimiliki semua orang. Smartphone menghantarkan pemiliknya muncul di smarphone milik orang lain. Mass Communication yang dulunya powerful, sekarang tergusur oleh Mass Self Communication. Pesan komunikasi tidak  lagi dikuasai dan disebarkan segelintir orang, di ruang ruang redaksi, melainkan sekarang dikuasai banyak orang dan disebarkan lewat orang per orang. Person to person, self to self. Itulah fenomena Mass self Communication di era 4.0 ini

Masyarakat adalah sumber hidup media, karena merekalah audiens media. Tapi masyarakat  itu telah metamorfosis menjadi netizen yang tidak hanya jadi audiens pasif tapi sangat aktif bahkan sekaligus juga jadi pesaing dalam economy of attention, mereka  punya media, dan mereka juga memproduksi pesan, yang bisa mengroyok, menggiring  opini, memviralkan "keburukan" media yang dianggap bermasalah, hingga sekaligus ajakan uninstall atau unsubscribe media  yang mencoba melawan netizen.

Dengan kondisi seperti sekarang, media massa tidak bisa lagi jumawa seenaknya sendiri. Kalau mereka dalam pemberitaannya dianggap mencederai orang banyak atau netizen, maka tak mustakhil media  akan dihajar bahkan bisa ditenggelamkan oleh aktivitas dan sensitivitas netizen. 

Peringatan untuk media manapun agar lebih ketat memberlakukan etika, check and recheck hingga berkomitmen pada objektivitas, yang faktual, imparsial, balance dan netral. Media tidak lagi bisa main main. Di era 4.0 media tidak lagi powerful, dan untouchable. Mereka senantiasa diawasi oleh netizen yang siap memberi sanksi dan mengeksekusi jika dipandang bertentangan dengan kebenaran digital dan rasa keadilan.

Tidak bisa tidak, media konvensional harus membaca dan menghargai  gerak dan kehendak netizen. Media harus menghindari bertabrakan dengan logika kebenaran dan suara hati netizen. Mereka, netizen itu bukan lawan media konvensional. Kalau media harus berhadapan dengan netizen, sama saja dengan mempertarungkan antara taksi konvensional melawan taksi online seperti Grab Car dan Go Car. Sama halnya pertarungan Travel konvensional Thomas Cook melawan AirBnB dan Traveloka.

Henry Subiakto

Kamis, 12 September 2019

HABIBIE, ORANG BAIK YANG "DIBENCI". Oleh :Prof Henry Subiakto

Menjelang Indonesia melangsungkan Sidang Umum MPR Maret tahun 1998, dan mengalami reformasi Mei 1998, banyak elit politik dan pejabat negara kasak kusuk tidak suka dengan pak Habibie.
Di antara mereka yang tidak suka itu, membuat gerakan klandestein, gerakan bawah tanah mengkritisi bahkan berseberangan dengan kekuasaan Suharto, atau kekuasaan Orde Baru. Salah satu alasannya Suharto dinilai terlalu percaya dan terlalu dekat dengan BJ Habibie.

Habibie dianggap diberi kekuasaan terlalu besar oleh Suharto. 7 Perusahaan strategis ada di tangan Habibie. Selain jabatan yang sudah lama sebagai Menristek, kepala BPPT, ketua ICMI, Pembina Golkar, hingga akhirnya dipilih Suharto menjadi Wapres yang mendampingi dirinya di Sidang Umum MPR 1998.

Banyak orang iri dengan jabatan Habibie yang berderet. Dari yang sekedar mempertanyakan apa Habibie bisa dan punya waktu untuk bekerja dengan begitu banyak jabatan. Sampai rumor-rumor yang mempertanyakan kenapa Soeharto begitu "tunduk" mengikuti keinginan "anak emas"nya ini? Sampai sampai Soeharto dianggap lebih memilih "dekat" dan percaya Habibie dengan ICMI nya dari pada dekat dengan tentara dan kaum nasionalis.

Saat itu muncul gerakan politik yang mengarah anti Suharto dan Habibie dengan Ikatan Cedekiawan Muslimnya. Gerakan klandestein itu tak hanya dilakukan oleh politisi dan aktivis sipil nasionalis, tapi juga mantan jenderal dan tentara. Mereka mulai tidak suka dengan penguasa Orde Baru yang begitu lekat dengan Habibie yang notabene membawa bendera Ikatan Cendekiawan Muslim.

Saat terjadi gerakan reformasi  Mei 1998 hingga Jakarta rusuh dan Soeharto menyatakan berhenti di tanggal 21 Mei. Praktis kekuasaan Soeharto beralih ke Habibie. Gerakan demo besar hingga kerusuhan yang membakar Jakarta telah mendesak presiden Soeharto mengundurkan diri atau berhenti dari jabatan presiden, dan praktis wakil presiden naik menjadi presiden itulah Habibie

Mahasiswa bersorak, Orde Baru tumbang, Habibie jadi Presiden ketiga. Indonesia memasuki era baru, era demokrasi, era presiden sipil. Saat itu walau presiden Habibie berhasil mengendalikan krisis politik dan krisis ekonomi dalam waktu singkat, tapi apresiasi padanya belum muncul. Padahal waktu itu rupiah sempat terpuruk hingga 17 ribu per dolar Amerika. Habibie berhasil menaikkan kembali hingga 8. Ribu per dolar Amerika dan stabil.

Tapi demo demo tidak berhenti. Ejekan pada Habibie sebagai presiden tidak berwibawa sering muncul dalam narasi narasi politik di berbagai tempat. Meme atau karikatur pak Habibie digambarkan sebagai  presiden berwajah kekanak kanakan  dengan mata melotot sering muncul dan dibawa oleh pendemo saat itu.

Puncaknya Sidang Umum MPR 1999 presiden Habibie ditolak Pertanggung Jawabannya oleh MPR. Sedangkan di luar gedung DPR MPR, Jakarta diwarnai dengan demo demo Mahasiswa yg menolak Habibie sebagai presiden, dan tuntutan Soeharto diadili. Pergolakan politik itu sampai memunculkan kasus Semanggi 1 dan Semanggi 2 yang membawa korban beberapa mahasiswa tewas.

Tekanan dan sentimen pada Habibie terjadi juga di level elite, banyak kepentingan bagi elite oportunis ingin menggusur pak Habibie. Hingga akhirnya pak Habibie tercatat sebagai Presiden Indonesia tersingkat. Walau beliau dikenal sebagai orang brilian, teknokrat yang handal dan jenius, tapi sebagai penguasa politik Habibie hanya bertahan setahun lima bulan menjabat presiden. Padahal beliau melakukan banyak hal selama setahun itu. Habibie lah yang menghasilkan banyak UU di tahun 1999 yang isinya landasan demokratisasi Negeri ini. Boleh dikatakan Presiden Habibie-lah yang membangun infrastruktur demokrasi, mengubah sistem otoriter Orde Baru menjadi sistem yang demokratis. Tapi Habibie pula yang pertama menjadi korban ganasnya politik bebas dan demokratis. Tak hanya dicela dan dihina saat berkuasa, tapi hasil rekayasa teknologinyapun sempat tak dihargai. Habibie dituduh bagian dari Orde Baru, kelanjutan Soeharto, sehingga banyak unsur masyarakat saat itu menolaknya berkuasa. Padahal Soeharto dan keluarga Cendana justru sejak Habibie jadi Presiden hingga lengser, tidak diterima oleh keluarga itu. Soeharto tidak mau ketemu Habibie. Habibie dimusuhi diperlakukan sebagai  "pengkhianat" Cendana.

HABIBIE MENJADI TELADAN

Selepas Habibie tidak menjadi presiden karena tidak mengajukan diri, di Sidang Umum 1999, Habibie lebih banyak disibukkan dengan urusan pengabdian pada ilmu  pengetahuan, teknologi  dan keluarga. Sebagai mantan presiden Habibie menjunjung etika. Dia tidak lagi ikut politik praktis. Habibie tidak pernah mengeritik Pemerintah atau Presiden penggantinya. Etika moral demokrasi dia pegang. Habibie tidak pernah mengumbar pernyataan yang kontroversi atau menyerang pemerintah. Dia mengikuti tradisi para pemimpin dunia dari negara negara Barat yang maju, bahwa para mantan presiden itu tidak elok bicara menyoroti pemerintahan sesudahnya.

Karena keteladanan pak Habibie, justru rakyat simpati kepadanya. Orang mulai banyak melihat kebaikan kebaikan pak Habibie. Apresiasi terhadap karyanya kembali mengemuka. Kerinduan pada sikapnya yang demokratis mulai muncul dimana mana. Apalagi secara romantis pak Habibie juga bisa menjadi teladan tentang perjuangan dan cintanya pada istri tercinta ibu Ainun. Walhasil pak Habibie menjadi tokoh terhormat dan teladan bagi kita semua. Hujatan hujatan seperti saat dia berkuasa ataupun saat Timor Timur lepas dari Indonesia karena kebijakannya menyetujui referendum 1999, tidak ada lagi, terhapus oleh pujian dan kekaguman kebaikan kebaikannya selama mengabdi Indonesia hingga di masa tua beliau. Bahkan presiden Jokowi maupun SBY, Bu Mega dan GusDur, menaruh hormat kepada presiden ke 3 Habibie. Habibie menjadi tokoh yang nyaris sempurna bagi panutan bangsa. Kalau ada hal penting beliau datang dan memberikan masukan langsung ke presiden. Habibie tak pernah "mempermalukan" penerusnya. Habibie adalah teladan bagi negarawan, tapi Habibie juga teladan bagi ilmuwan. Bahkan bagi para suami, ayah dan kakek, sosok Habibie adalah  panutan.

Namun, kita telah kehilangan sosok teladan itu. Allah Sang Khaliq memanggilnya di usia 83 tahun. Innalillahi wainna ilaihi rojiun. Selamat jalan pak Habibie. Selamat jalan pahlawanku. Selamat jalan teladanku dan idolaku. Kami Bangsa Indonesia tidak akan melupakanmu. Hari ini kami berduka mengantar kepergianmu, kami hanya bisa berdoa semoga arwahmu diterima disisiNya dan dikumpulkan dengan wanita yang kau cinta, ibu Ainun di JannahNya, amin. Alfatehah.

Henry Subiakto.

Kamis, 16 Mei 2019

PEMAIN DAN SUPORTER JANGAN JADI WASIT Oleh : Henri Subiakto


Sering kita dengar ada tuduhan, wasit jadi pemain. Wasitnya dituduh curang karena ikut membantu pemain tuan rumah. Tapi repotnya yang nuduh itu adalah pemain lain, yang secara nyata malah ingin merebut peran wasit. Bahkan memaksa semua pihak untuk membenarkan, mengikuti dan mengakui keputusannya yang merebut peran sebagai wasit tadi.
Ngomong curang, ngomong ada ketidakadilan, tapi teriaknya sambil bermain dan didukung para supporter yang  fanatik, sebagaimana halnya suporter Hooligans. Ngritik, teriak, memberi koreksi  itu boleh saja, tapi jangan sampai lalu ambil atau merebut sempritan milik wasit, kemudian mengatakan penilaiannyalah yang paling benar. Kalau sudah seperti itu lalu apakah kita semua layak percaya dan mengikuti pemain yang "praat priit- praat priit" menyembunyikan sempritan wasit dengan dukungan suporter Hooligans tersebut?
Harusnya ada tidaknya kecurangan, ketidakadilan dan lain lain itu yang menilai, atau menentukan, bukan pemain ataupun supporter, tapi diserahkan  pada wasit hakim yang profesional atau pengawas yang independen,  yang proses penjuriannya dilakukan secara terbuka, diawasi oleh semua pihak dengan prosedur aturan yang ketat.
Lalu siapa lagi yang harus jadi wasit dalam sebuah pertandingan kalau bukan dari kalangan profesional yang independen dan dipilih sesuai kesepakatan. Jangan sampai pemain dan supporter berusaha memainkan sempritan masing masing seakan pada jadi wasit. Kalau wasit dianggap curang, laporkan ke pengawas pertandingan, biar diadili secara terbuka.
Kita tahu, semua manusia itu subyektif, tapi para wasit bisa menjadi obyektif saat mereka diatur dengan aturan dan prosedur yang ketat serta diawasi baik sisi etika maupun perilakunya. Sebagaimana kita ketahui KPU, Bawaslu, DKPP, MK dan lain lain itu diatur dengan prosedur aturan yang ketat, diawasi secara ketat, dipilih lewat proses yang ketat, semua berdasar UU, sehingga disitulah mereka bisa menjadi lebih objektif, dibanding para pemain, para supporter, atau rakyat biasa yang bertindak tanpa aturan.
Walhasil adu data, adu fakta, adu saksi, dan argumentasi di Pengadilan MK yang terbuka, tentu jauh lebih baik daripada adu massa, adu otot, dan adu kenekadan.
Harus kita dukung aparat yang mencegah, dan menegakkan aturan agar suporter jangan sampai ikut masuk ke lapangan lalu mau memaksakan bertindak sebagai wasit. Kalau hal itu sampai dibiarkan, maka akan rusak pertandingannya.  Atau malah akan terjadi tawuran antar supporter dan supporter yang masuk lapangan digebuki Aparat keamanan.
Yuk kita jaga pertandingan Pilpres ini secara cerdas dan tidak emosional. Biarkan pertandingan ini ibarat Piala Champion, walau para suporter itu sangat fanatik, tapi mereka tetap menghormati aturan permainan dan penyelenggara. Insya Allah pertandingan akan  nampak cantik, menarik dan mampu melibatkan emosi pendukung, tapi selesai dengan damai, dan segera mempersiapkan seri pertandingan berikutnya. Mudah mudahan kontestasi Pilpres ini juga berakhir indah sebagaimana piala Champion yang semua pihak bisa menerima apapun hasil pertandingannya.

Henri Subiakto

Kamis, 06 Desember 2018

KENAPA PENYERANG PEKERJA DI PAPUA KITA SEBUT SEBAGAI KELOMPOK KRIMINAL BERSENJATA? Oleh : Henry Subiakto



Banyak warga Indonesia marah dan geram terhadap Kelompok Bersenjata di Papua yang telah menembak dan membunuh 19 pekerja PT Istaka Karya. Masyarakat tak hanya geram tapi bertanya, mengapa kelompok yang jelas-jelas melawan negara, hanya dinamakan "Kelompok Kriminal Bersenjata, kenapa tidak disebut "pemberontak" yang harus ditumpas tuntas?
Penamaan terhadap suatu gerakan yang berbau politis, harus ditangani dengan pertimbangan yang luas dan politis juga. Ada aspek hukum yang diperhatikan, tapi ada juga aspek komunikasi politik sebagai pertimbangan.
Pertanyaan kritisnya adalah, apakah kelompok ini menurut mereka bergerak memperjuangkan sesuatu, misal ingin merdeka, atau hanya sekedar kumpulan preman yang ingin mengacau dan cari uang semata?
Saya yakin mereka itu, kelompok pemberontak yang ingin merdeka. Bagian dari apa yang menamakan dirinya OPM (Organisasi Papua Merdeka). Pertanyaan berikut apa rakyat Papua tidak ingin merdeka? Saya yakin banyak yang dalam hati mereka ingin merdeka. Tapi banyak pula yang tidak. Menghilangkan rasa mereka ingin merdeka ini tidak mudah. Apalagi OPM ini sudah lama dan punya sejarah panjang, bahkan jaringan propagandanya di luar negeri juga luas.
Kalau seperti ini, apakah pemerintah dan rakyat Indonesia apa juga layak menyebut mereka para penyerang itu OPM atau pemberontak yang ingin merdeka?
Kalau kita ikut menyebut mereka OPM atau pemberontak yang ingin merdeka, pasti ada banyak konsekuensi. Berarti kita mengakui di Papua kesatuannya dengan Indonesia belum selesai. Masih ada gejolak perlawanan dari kelompok yang ingin merdeka. Hal ini bisa menjadi isu internasional yang tidak baik, karena negara-negara yang tidak suka atau tidak punya kepentingan dengan Indonesia justru bisa membantu atau membela "perjuangan" OPM  secara diplomatis di PBB. Seperti yang selama ini disuarakan negara-negara Melanesia yang ada di Pasifik Selatan seperti Vanuatu, Kepulauan Solomon, Fiji, Palau, Kiribati, dan lainnya. Mereka ini selalu mendukung Papua Merdeka.
Belum lagi kalau mereka, para pelaku penembakan kita sebut pemberontak OPM, justru nama OPM akan memunculkan simpati bahkan dukungan dari masyarakat Papua, terutama yg ingin merdeka.
Maka, negara perlu menggunakan teknik "Name Calling Device". Yaitu memberikan penjulukkan, mereka kita sebut "Kelompok Kriminal Bersenjata". Tak beda dengan penjahat jalanan yang ada di tiap negara. Jadi kasus kekerasan yang mereka lakukan skalanya adalah masalah nasional bahkan lokal. Bukan juga isu serius tentang pemberontakan apalagi penjajahan atas bangsa Papua.
Jaman Orba, teknik “Name Calling” ini juga dipakai untuk memberi nama kelompok Islam garis keras yang “berjuang" melawan pemerintah Suharto. Mereka yang menamakan diri sebagai "Komando Jihad" oleh pemerintah Orba hanya disebut sebagai GPK, Gerombolan Pengacau Keamanan. Malah gerakan "Islam fii Sabilillah" dari Talang Sari Lampung hanya disebut GPK Warsidi, sedang nama asli mereka yang berbau Islam yang bisa memunculkan simpati dan dukungan dari umat Islam, narasi negara tidak pernah menyebutnya.

Dengan demikian, rakyat atau kaum muslim tidak tertarik mendukung atau membela Gerakan Pengacau Keamanan, apalagi GPK Warsidi. Siapa mau simpati dengan Warsidi. Padahal mereka itu kalau terjadi sekarang bisa disebut kelompok mujahid yang ingin memperjuangkan penerapan hukum Islam dan negara Islam.
Nah untuk kasus Papua, teknik "Name Calling" dipakai juga, agar rakyat Papua tidak simpati atau mendukung Kelompok Kriminal ini. Mosok kelompok Kriminal pantas didukung kan tidak. Tapi memang ditambahi dengan kata-kata "Bersenjata", maksudnya penangannannya bisa melibatkan TNI. Karena kalau hanya kelompok kriminal itu urusan Polisi. Tapi saat ada tambahan "Bersenjata" maka TNI sah dan legal ikut di dalamnya untuk menangani, atau bahkan di depan.
Jadi menangani sebuah perkara sensitif, menyangkut gerakan politik terlebih separatis itu harus ditangani secara komprehensif, tidak bisa hanya melihat dari satu aspek. Lalu apa yang harus dilakukan pemerintah terhadap kasus Papua. Penanganannya adalah jelas, yaitu penegakkan hukum secara tegas. Kejar, tangkap atau hukum keras mereka. Ungkap latar belakang dan kekuatan yang memback up mereka. Tapi tentu juga memperhitungkan berbagai aspek sosial, politik, bahkan diplomasi Internasional. Menangani separatisme itu tidak  boleh gegabah dan emosional.
Kita tidak bisa setiap ada kekerasan, dibalas dengan cara kekerasan juga yaitu dengan operasi militer. Kalau operasi militer terlalu sering dilakukan, yang terjadi justru akan seperti  di Timor Timur. Persoalan negara, bercampur dengan dendam keluarga atau personal. Mereka di Timtim dulu dorongan melawan Indonesia tidak hanya karena ingin merdeka semata, tapi juga karena banyak masyarakat sakit hati, merasa dilanggar hak azasinya.
Hampir tiap keluarga besar punya dendam pribadi dengan operasi militer, karena anggota keluarga besar mereka ada yang terbunuh, hilang, cacat atau menjadi korban. Bagaimana kita tidak dendam kalau ayah, paman, atau anak kita ada yang mati atau hilang karena operasi militer? Itu yang banyak terjadi dan dirasakan oleh banyak keluarga orang Timtim korban operasi Militer saat itu.
Makanya operasi militer itu sebaiknya tidak jadi kebijakan utama. Diterapkan jika betul betul sangat perlu. Kalau terlalu sering melakukan operasi militer, akan memunculkan antipati yg meluas, di daerah atau masyarakat yg menjadi objek operasi militer itu. Operasi militer memang sesaat bisa membawa ketenangan, karena dibawah "ancaman", tapi setelah ancaman itu hilang, kebencian dan dendam bisa muncul dan bertahan lama. Pendekatan ekonomi, budaya, sosial dan politik, amat penting dilakukan secara cerdas dan strategis.
Nah celakanya di Timtim sudah kondisi seperti itu lalu diadakan referendum, ya pasti kalah. Ditambah asing seperti Australia ikut menjual mimpi dan membantu kemerdekaan Timtim. Ya lepas. Untuk Papua tidak boleh mengulang kesalahan penanganan Timor Timur.
Kita perlu mencontoh bagaimana UK memperlakukan Scotlandia yang dari dulu ingin merdeka, tapi gagal dengan strategi "Devolution" yang diterapkan pemerintah Inggris. Apa itu devolusion nanti kita bahas lain tulisan.

Terima kasih

Rabu, 12 September 2018

POLITIK DUA KAKI DI PILPRES 2019 Oleh: Henry Subiakto


Sebenarnya Pilpres 2019 itu sudah setengah selesai. Sekarang Partai-partai lebih banyak yang fokus ke Pileg. Seakan mereka berkoalisi dan berseberangan, tapi sebenarnya mereka sedang bermain drama, untuk mencari simpati agar partainya dipilih di Pemilu Legislatif 2019. Untuk memahami politik, khususnya Pilpres yang saya katakan setengah selesai, kita harus berempati pada para ketua partai dan politisi senior.
Kalau kita jadi ketua Partai, atau jadi tokoh yang berpotensi nanti di tahun 2024 bisa maju Capres atau Cawapres (misal AHY, atau 10 Tokoh Dewan Syuro PKS, atau Ketua PAN) lebih milih tahun 2024 kembali nol nol, semua punya kesempatan yg sama untuk jadi capres cawapres, atau harus nunggu 10 atau bahkan 20 tahun lagi baru terbuka peluang partainya mengajukan capres cawapres?
Siapapun ketua partai itu, pasti ingin dirinya segera bisa dapat peluang menjadi capres atau cawapres secepatnya, yaitu 2024. Alasan ini yang sebulan lalu juga menjadi sebab kenapa Prof Mahfud MD yg populer dan dikenal berintegritas ditolak oleh ketua ketua partai pendukung pak Jokowi. Seperti Cak Imin, Gus Rommy dan pak Airlangga. Hingga memunculkan figur KH Ma'ruf Amin.  Tokoh sepuh yang bisa diterima tanpa dilihat sebagai ancaman di 2024. Beda dengan Prof Mahfud MD, kalau  pak Mahfud sampai jadi Wapres, berarti para ketua partai akan  merasa "terancam" saat ingin maju di Pilpres 2024. Prof Mahfud akan menjadi figur sangat kuat saat menjadi wapres.
Hal yang sama sebenarnya juga dirasakan bagi ketua PKS, PAN dan AHY dari Demokrat, terhadap Sandiaga Uno apabila  menang bersama Pak Prabowo. Sandi pasti juga akan dianggap seperti pak Mahfud MD ancaman juga. Mereka tentu juga lebih memilih Jokowi Ma'ruf yang menang Pilpres 2019, karena jika yang menang pasangan ini maka peluang akan terbuka lebar untuk semuanya. Pada tahun 2024 pak Jokowi sudah selesai tidak bisa maju lagi. Kiai Ma'ruf yang sudah sepuhpun juga selesai karena faktor usia. Maka partai partai punya kesempatan yang sama menyambut Pilpres 2024.
Tetapi kalau Prabowo Sandi yang menang di 2019, berapa puluh tahun ketua ketua partai dan AHY harus menunggu peluang di Pilpres untuk majukan diri?  Prabowo minimal pasti juga ingin 2 periode berarti 10 tahun, kalau tetap dengan Sandiaga Uno, berarti bisa nunggu 10 tahun lagi jadi praktis bisa 20 tahun setelah  Sandi maju capres.
Apakah AHY, para politisi PKS dan tokoh PAN bersabar menunggu sekian lama? Padahal kalau Jokowi Ma'ruf yang menang mereka hanya menunggu 5 tahun. Dan itu waktu yang sangat singkat serta pasti terjadi, artinya ada kepastian asal pasangan Jokowi Ma'ruf yg menang 2019.
Karena itu jangan heran jika partai partai itu seakan berkoalisi tapi sebenarnya mereka tidak  berharap penuh Prabowo Sandi yang menang. Kalau boleh jujur, mereka itu mendukung koalisi Prabowo  Sandi lebih untuk menyelamatkan partainya dari "kekecewaan" konstituen. Mendukung Prabowo Sandi berarti memelihara perasaan konstituen yang memang sikap politiknya tidak bisa nenerima kepemimpinan Presiden Jokowi, maka dilakukanlah mendukung oposisi untuk mencari simpati dan suara suara di Pemilu Legislatif.
Karena kalau ikut koalisi Jokowi Ma'ruf bagi PKS, PAN dan PD tidak menguntungkan. Selain konstituen pendukung Jokowi Ma'ruf itu ketat, diperebutkan 9 partai pendukung koalisi pemerintah, faktor kedua, sebagian besar konstituen mereka lebih banyak yang menjadi haters, yaitu yang kecewa atau tidak suka pada pemerintah. Mendukung Prabowo Sandi berarti memelihara hubungan yang selama ini sudah dibangun sejak 2014. Mendukung Prabowo Sandi berarti juga hanya memperebutkan konstituen (haters) bersama 4 parpol. Tentu relatif lebih ringan dibanding berebut dengan 9 parpol di kubu Jokowi. Itulah yang disebut efek Ekor Jas dukungan pada Presiden.
Makanya tak heran kalau ada partai yang nampak berdiri di dua kaki. Formal yang tercatat di KPU bisa beda dengan yang riel di lapangan. Untuk ini Partai Demokrat yg paling nampak. Formalnya mereka mendukung Prabowo
Sandi, tapi perilaku politik para politisinya justru berbeda.
Gubernur Papua, Enembe dari Demokrat misalnya, secara eksplisit mendukung Pak Jokowi. Tapi dia tidak ditegur atau diperingatkan oleh DPP Partai Demokrat. Gubernur NTB, Tuan Guru Bajang yang juga berasal dari Demokrat juga sama eksplisitnya mendukung Presiden Jokowi 2 Periode. Juga dibiarkan tanpa teguran. Pakde Karwo (Gubernur Jatim) dan Dedy Miswar (mantan Wakil Gubernur Jabar) juga dibiarkan. Bahkan Andi Arief wasekjen PD menuding Pak Prabowo sebagai Jenderal Karduspun juga tidak ditegur ataupun dikenakan sanksi. Padahal jelas-jelas merugikan pihak Prabowo Sandi? Inilah pernainan politik dua kaki tersebut.
Bagaimana dengan PKS? Walau PKS tidak sejelas partai Demokrat, tapi gerakannyapun tidak sepenuh hati full untuk membela kemenangan Prabowo Sandi. Tagar 2019 Ganti Presiden, terbukti tidak langsung digunakan mendukung Prabowo Sandi, melainkan malah dipakai untuk bargaining position. Mendesakkan adanya kontrak politik yang dibawa oleh Madani Alisera ke Prabowo Sandi. Ini menunjukkan juga ada agenda yang berbeda antara PKS dengan kepentingan kemenangan Prabowo Sandi. Besar kemungkinan ini untuk tawar menawar, atau bahkan menekan agar kursi Wagub DKI yang ditinggal Sandi segera diberikan kepada PKS. Atau ada tuntutan tuntutan yg lain.
Karena Bagaimanapun PKS tetap lebih untung untuk jangka panjang kalau Pilpres 2019 yang menang adalah Jokowi Ma'ruf, krn jika itu terjadi mereka juga punya kesempatan ngajukan capres atau cawapres di 2024. Sedang kalau yang menang Prabowo Sandi, PKS akan tetap dibawah bayang-bayang kebesaran Gerindra, dan harus menunggu minimal 10 tahun untuk bisa mengajukan capres atau cawapres dari partainya sendiri. Siapa yang tahan?
PAN sebenarnya sama dengan PKS dan PD, hanya PAN tidak memiliki calon Presiden atau Cawapres yang menonjol atau kuat, sehingga PAN lebih santai, tidak sekhawatir PD atau PKS. Tapi partai inipun lebih memikirkan Pileg dari pada Pilpres yang capres atau cawapresnya bukan kadernya yg maju sendiri. Beda dengan 2014 dimana yang maju cawapres adalah ketua umumnya, yaitu Hatta Rajasa. Sekarang Sandi memang diminta masuk PAN, tapi Sandi terlanjur imagenya adalah dari partai Gerindra. Apalagi Sandi adalah wakil ketua Gerindra,  dan sekarang walau disebut masuk PAN tidak pula kemudian Sandi menjadi pengurus PAN.

Permainan dua kaki oleh partai-partai pendukung Prabowo Sandi ini bukannya tidak diketahui. Pihak Gerindra tentu tahu, tapi tidak bisa  melakukan apapun kecuali tetap mengakomodir agar konstituen partai partai itu masih bersedia mendukung pasangan ini. Namun sikap itupun menyebabkan Gerindra enggan memasang orang di luar Partainya menduduki posisi kunci. Bukan hanya capres Prabowo dan cawapres Sandiaga Uno yg dari internal partai Gerindra. Tapi Ketua Tim Suksespun diambil juga dari petinggi Partai Gerindra, Jenderal Purn. Joko Santosa. Artinya ini sinyal Gerindra hanya percaya pada kadernya sendiri. Bahkan wagub DKI pun tidak rela diserahkan pada PKS, ada kemungkinan akan tetap diberikan kader Gerindra. Ini jelas berbeda dengan tahun 2014, saat itu Wapresnya dari PAN dan ketua tim suksesnya Prof. Mahfud MD yang bukan kader Gerindra.
Dengan kondisi seperti ini, Pilpres 2019 tidak akan seseru 2014, mungkin yang masih semangat justru para pendukungnya, sedang politisi utamanya tak seheboh tahun 2014, khususnya untuk partai di luar Gerindra, karena pemainnya lebih banyak konsentrasi untuk menyelamatkan Pemilu Legislatif yang digelar berbarengan. Bahkan pak Prabowo pun semangatnya tidak seperti 2014 yang all out bersama adiknya. Kali ini beliau nampak lebih hati hati khususnya dalam hal pembiayaan logistik. Sandi dipilih salah satunya faktor ini.
Para Gubernur di provinsi "besar" juga lebih berharap pada kemenangan Jokowi Ma'ruf, karena membuat mereka juga ikut berpeluang dengan mengkapitalisasi jabatannya sebagai Gubernur. Ini bukan hanya untuk Gubernur Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo dan Khofiffah, bahkan Anies Baswedanpun pasti lebih memilih kemenangan Jokowi Ma'ruf, yang berarti peluang juga di 2024. Jadi pertimbangan kepentingan mendukung Jokowi Ma'ruf itu sangat rasional. Walaupun demikian para politisi yang bermain di dua kaki tersebut memang tidak selamanya kelihatan, karena drama politik untuk mencari dukungan konstituen fanatik juga amat penting diyakinkan khususnya untuk mendulang suara di pileg.
Dengan analisis seperti ini, sekali lagi politik itu harus dilihat sebagai permainan drama di panggung depan, yang justru berbeda dengan realitas di panggung belakang. Back stage yang tak terlihat tentu terkait dengan upaya untuk mendapatkan sesuatu sesuai kepentingan para politisi. Hikmahnya, melihat proses politik itu kita harus santai, tidak usah dibawa hingga emosi atau perasaan terlalu mendalam, tapi harus dilihat secara rasional sebagai aktivitas of Art of posibilities.

Henry Subiakto
(Pengarang Buku, Komunikasi Politik, Media dan Demokrasi, Penerbit Prenada, 2014)

Jumat, 10 Agustus 2018

Menggandeng Kiai Ma'ruf, upaya hilangkan sekat politik identitas oleh: Henry Subiakto


Awal Juli lalu saya sudah menganalisis bahwa cawapres Jokowi yang paling bisa diterima partai-partai adalah KH Ma`ruf Amin. Analisis saya bukan karena kebetulan saya mengenal beliau sejak musim Haji 2008, saat hampir sebulan kami bersama di Wisma Indonesia di Aziziyah Mekkah.
Kiai Ma`ruf saat itu Wantimpres, menjadi Naib Amirul Hajj, dan saya anggota yang tugasnya mengarahkan Media Center Haji. Tapi memang kenyataannya tokoh ini bisa jadi pemersatu umat.
Hari Rabu, tanggal 8 Agustus pagi kemarin saya dapat selamat dari "orang dalam" bahwa senior sekaligus kolega saya, Prof Mahfud MD dikabarkan positif akan menjadi cawapres Pak Jokowi.
Kamis pagi, untuk konfirmasi, saya telepon teman lain yang dulu kuliah di UII yang sekarang menjadi petinggi dan tim pendukung Pak Mahfud. Teman ini membenarkan bahwa Pak Jokowi sudah memilih Mahfud dan tinggal sorenya deklarasi.
Saya sebenarnya ragu-ragu, mana mungkin para ketum partai-partai itu menerima Pak Mahfud yang jelas-jelas populer, pintar dan berpotensi menjadi Capres 2024. Tapi karena yang memberi tahu orang-orang dalam, saya mencoba menekan logika saya.
Beberapa stasiun TV, media dan medsos kemarin sudah yakin yang akan dideklarasikan, adalah pasangan Jokowi-Mahfud. Namun detik-detik terakhir sebagaimana kita ketahui skenario itu berubah. Jokowi mengumumkan pasangannya untuk maju adalah Prof. Dr KH Ma`ruf Amin.
Jokowi yang sudah bertemu Mahfud MD, sudah memintanya untuk menyiapkan baju dan lain-lain, sore kemarin itu, harus menerima keberatan Cak Imin, Romi, dan Airlangga Hartarto. PKB, PPP dan Golkar "mengancam" akan keluar dari koalisi jika Pak Jokowi memilih Mahfud MD.
Tentu saja kalau ini terjadi akan tidak bagus, karena mereka akan membuat poros ketiga bersama SBY dan Partai Demokrat. Bisa memajukan Jenderal Gatot dan wakilnya dari mereka. Belum lagi NU juga ikut tidak setuju dengan Mahfud MD.
Memang Cak Imin sejak awal getol menolak profesor yang dekat dengan Gus Dur dan keluarganya ini. Cak Imin tentu khawatir kalau Prof Mahfud jadi wapres, nantinya berpotensi akan merebut PKB dari tangannya.
Kekhawatiran itu mampu diperluas hingga PB NU dan partai lain. Bagi mereka tahun 2024 Mahfud MD dari Wapres bisa maju capres. Itu berarti "mengancam" keinginan dan kepentingan para ketua partai menjadi capres juga.
Akhirnya penolakan inilah yang berhasil memperkuat posisi Kiai Ma`ruf. Karena diyakini Kiai Ma`ruf tidak akan menjadi pesaing di 2024.
Pak Jokowi pun mengalah, dan menerima KH Ma`ruf Amin. Pertimbangannya untuk menjaga soliditas koalisi, menutup munculnya poros ketiga, sekaligus sebagai upaya menepis SARA. Apalagi Kiai Ma`ruf juga seorang profesor doktor juga, Rois Am PB NU, pernah jadi anggota DPR, pernah jadi Wantimpres, Komisaris Bank Syariah dan ketua MUI. Artinya, beliau juga profesional.

Pak Mahfud memang sempat menguat jadi bakal calon wapres, tapi bukan partai yang memperjuangkan, melainkan relawan yang membawa dan menyodorkan Prof. Mahfud ke Jokowi. Para relawan memilih Prof. Mahmud karena kualitas "track record" dan penerimaan publik.
Persoalannya partai partai merasa dilewati dengan proses ini, terutama PKB, PPP dan Golkar. Kalau partai Nasdem mendukung Pak Mahfud. Itulah dinamikanya yang kemudian kemarin sore Presiden Jokowi dihadapkan pada dilema yang harus dia pilih. Jadilah "drama politik" menjelang Maghrib.
Sekarang dengan pencalonan Jokowi-Ma`ruf, sembilan partai pendukung solid. Isu SARA menjadi tidak relevan. Masa' ketua umum MUI mau diserang? kurang Islami.
Jokowi kali ini tak hanya mendengar fatwa ulama, tapi malah menggandeng ulama untuk memimpin negara. Dengan menggandeng Kiai Ma`ruf berarti Jokowi yang identik sebagai tokoh nasionalis, telah menggandeng simbol umat Islam, termasuk tokoh utama yang ikut mengeluarkan fatwa hingga memunculkan Gerakan 212.
Ini tak lain merupakan upaya politik menolak SARA, sekaligus penyatuan umat yang terbelah, atau usaha menghilangkan sekat politik identitas. Apa yang terjadi ini juga menjadi bukti betapa parahnya politik berbasis SARA di Indonesia.
Diharapkan, dengan hilangnya politik identitas, kontestasi Pilpres 2019-2024 lebih menitikberatkan pada adu program dan kompetensi. Persoalannya sanggup dan siapkah mereka menjadi demikian, setelah sekian lama biasa menggunakan politik identitas? Kita lihat saja nanti.

Henry Subiakto