Senin, 02 Januari 2017

“Hal-Hal Yang Harus Dilakukan Media Untuk Mengungkap Kebenaran” Oleh : Henri Subiakto



Semua orang setuju, media dan wartawan itu harus menyampaikan KEBENARAN, Bahkan media wajib mengungkap kebenaran. Namun orang berselisih paham tentang apa itu "Kebenaran". karena setiap orang, setiap kelompok memiliki "kebenarannya" sendiri. Kebenaran itu sesuatu hal yang rumit, terkadang kontradiktif, bahkan tidak ada, karena semua individu itu subyektif, termasuk wartawan sekalipun. Untuk mengungkap kebenaran, media harus kembangkan prosedur, agar mengurangi subyektivitas individu-individu wartawannya. Prosedur ini amat penting, Prosedur itu metode objektiv menuju kebenaran fungsional. Kebenaran yang bisa diterima banyak pihak. Secara filosofis tidak ada kebenaran mutlak, tetapi kebenaran media adalah kebenaran fungsional yang bisa dijalankan day to day. Prosedur pertama adalah memilah sedari awal, fakta dan informasi keliru yang ikut bersamanya. Disinilah perlunya disiplin verifikasi. Kita bisa mengenali sesuatu dekat kebenaran, saat sumbernya dapat dipercaya, peneltiannya seksama, metodenya transparan. Kalau sumber itu terbukti pernah bohong, provokatif, walau pernyataannya menarik, media harus hati-hati  karena karakternya jauh dari kebenaaran. Media harus menghindarkan dari desas desus, pelintiran dan olok olok yang tidak penting, yang sering dilontarkan orang-orang yang berniat buruk. Prosedur berikut adalah, meliput peristiwa dengan tidak berat sebelah. Kalau ada info negatif, maka harus ada pengimbang, yaitu info yang positif. Media harus menjadi forum publik untuk kritik maupun dukungan, agar audience nya menjadi cerdas melihat banyak perspektif. Prosedur lain adalah bersifat netral terhadap fakta. Tidak mencemari fakta dengan opini, sikap politik dan prasangka pribadi wartawan. Tuntutan Netral adalah bagian dari pemahaman tentang kebenaran yang beragam. Biarkan publik yang menilanya sendiri, tetapi kalangan penganut attachment journalism menentang konsep netral bahkan menganggap media yang netral itu tidak etis. Kondisi dunia ini tidak adil, mengapa harus netral saat melihat ketidakadilan? Justru media harus berpihak pada yang lemah, Kata mereka.
Terjadinya penindasan hingga pembantian kalangan minoritas, itu bukan hanya karena ada orang jahat yang berbuat dzolim, tetapi ada peran media. Pembantaian, penindasan terjadi karena media tidak peduli dan sok netral, tidak bisa bedakan antara penjahat dan korban. menurut Journalism of Attachment, Media yang etis adalah media yang berpihak pada korban, pada yang teraniaya, yang lemah. Itulah pendapat Martin Bell, mantan wartawan BBC yang banyak meliput daerah konflik di berbagai Negara dan merupakan Tokoh Attachment Journalism. Sementara pendukung Jurnalisme Objektif yang netral mengritik keras pandangan Martin Bell yang mengharuskan media berpihak, Dikatakan oleh Mathew Kiran, kalau media berpihak, maka selangkah lagi sudah dekat dengan manipulasi fakta dan menjauh dari kebenaran. Kalau wartawan ingin membela atau simpati dengan para kurban, atau mereka yang lemah, jadilah aktivis HAM, bukan wartawan. Kalau wartawan ingin membentuk opini untuk kepentingan kelompok tertentu, maka jadilah politisi, bukan bekerja di media. Tugas media itu mengungkap fakta apa adanya, dari berbagai perspektif dan menghindari penghakiman dari pihak media.
Kalau muncul simpati atau opini, biarkan hal itu berasal dari konsekuensi pemaparan fakta yang objektif, bukan dari pemihakan media. Netral dan Balance harus menjadi harga mati, menuju kepada "kebenaran fungsional" yang namanya objektivitas. Agar bisa diterima semua pihak. Objektivitas berita juga menuntut faktualitas melalui disiplin verifikasi yang tidak boleh lelah, agar akurasi terjamin. Sayangnya, wartawan sekarang bukannya aktif verifikasi tapi memilih sibuk menambahi berita yang tengah berlangsung, dengan interpratasi. Karena siklus berita 24 jam, wartawan lebih banyak cari informasi baru dari pada mencoba independen mendapati dan verifikasi fakta baru. Kebutuhan kemudahan memproduksi berita yang banyak, juga menyebabkan media lebih akrab kepada narasumber yang mudah dihubungi. Kedekatan pada narasumber yang sesuai dengan kesukaan media, justru menjauhkan prinsip independensi terhadap sumber berita. Tak heran banyak narasumber tetap yang terus selalu muncul di media, karena kedekatan dan kemudahan. Yang memprihatinkan, banyak wartawan yang enggan belajar jurnalisme. Banyak wartawan merasa cukup belajar jurnalistik hanya dari meja redaksi, bukan dari buku dan bangku-bangku kuliah. Walhasil pemahaman tentang kebenaran dan objektivitas sering kali keliru, hanya karena mendasarkan pada intuisi semata. Bukan pengetahuan llmiah. Banyak wartawan merasa sudah benar, sudah netral bahkan merasa objektif, tetapi sebenarnya sedang terjebak dengan ketidak jujuran. Berapa banyak media yang merasa netral tetapi enggan melakukan verifikasi sehingga hanya menghasilkan liputan yang kosong, tidak sesuai fakta. Sering media memilih sumber, kemudian gunakan pernyataan sumber itu untuk membenarkan sikap medianya seakan objektif, padahal suatu bentuk penipuan. Seringnya kesalahan dan ketidakjujuran dilakukan sebagian media sebabkan rusaknya kredibilitas profesi wartawan. Inilah pentingnya standard jurnalistik dan etika kembali dipegang teguh kalangan media. Perkembangan internet sebenarnya telah memudahkan wartawan dalam berbagai pekerjaan mereka, Sayangnya dengan internet yang memberikan kemudahan akses, malah sering memunculkan kutipan dari internet tanpa investigasi dan verifikasi. Sekarang berita telah menjadi komoditas yang mudah diperoleh, dikemas ulang, dan di daur ulang. disebarkan kembali ke konsumen. Berita makin terkonsolidasi. Begitu sebuah kisah muncul, maka bergulirlah ke berbagai media dari segerombolan wartawan, terjadi keseragaman isu. Dewasa ini semakin banyak wartawan pasif, sebagai penerima, atau pengutip informasi di internet, ketimbang pengumpul berita. Walhasil berita media makin jauh dari realitas yang kompleks dan dinamis, sehingga opini publik yang muncul menjadi tidak berdasar info yang lengkap. Banyak Media mengabaikan etika Jurnalistik yang objektif, dengan berbagai alasan. padahal itu harus dijadikan pedoman bagi media yang beretika. Etika objektivitas memang sulit, tetapi seperti bintang di langit bagi nelayan. Tidak bisa dicapai, namun menjadi pemandu berlayar agar tak salah arah. 

Henri Subiakto | Maret 2013


Tidak ada komentar:

Posting Komentar