Semua
orang setuju, media dan wartawan itu harus menyampaikan KEBENARAN, Bahkan media
wajib mengungkap kebenaran. Namun
orang berselisih paham tentang apa itu "Kebenaran". karena setiap
orang, setiap kelompok memiliki "kebenarannya" sendiri. Kebenaran
itu sesuatu hal yang rumit, terkadang kontradiktif, bahkan tidak ada, karena
semua individu itu subyektif, termasuk wartawan sekalipun. Untuk mengungkap
kebenaran, media harus kembangkan prosedur, agar mengurangi subyektivitas
individu-individu wartawannya. Prosedur ini amat penting, Prosedur itu metode
objektiv menuju kebenaran fungsional. Kebenaran yang bisa diterima banyak
pihak. Secara filosofis tidak ada kebenaran mutlak, tetapi kebenaran media
adalah kebenaran fungsional yang bisa dijalankan day to day. Prosedur pertama
adalah memilah sedari awal, fakta dan informasi keliru yang ikut bersamanya.
Disinilah perlunya disiplin verifikasi. Kita bisa mengenali sesuatu dekat
kebenaran, saat sumbernya dapat dipercaya, peneltiannya seksama, metodenya
transparan. Kalau sumber itu terbukti pernah bohong, provokatif, walau
pernyataannya menarik, media harus hati-hati
karena karakternya jauh dari kebenaaran. Media harus menghindarkan dari
desas desus, pelintiran dan olok olok yang tidak penting, yang sering
dilontarkan orang-orang yang berniat buruk. Prosedur berikut adalah, meliput
peristiwa dengan tidak berat sebelah. Kalau ada info negatif, maka harus ada pengimbang,
yaitu info yang positif. Media harus menjadi forum publik untuk kritik maupun
dukungan, agar audience nya menjadi cerdas melihat banyak perspektif. Prosedur
lain adalah bersifat netral terhadap fakta. Tidak mencemari fakta dengan opini,
sikap politik dan prasangka pribadi wartawan. Tuntutan Netral adalah bagian
dari pemahaman tentang kebenaran yang beragam. Biarkan publik yang menilanya
sendiri, tetapi kalangan penganut attachment journalism menentang konsep netral
bahkan menganggap media yang netral itu tidak etis. Kondisi dunia ini tidak
adil, mengapa harus netral saat melihat ketidakadilan? Justru media harus
berpihak pada yang lemah, Kata mereka.
Terjadinya penindasan hingga pembantian
kalangan minoritas, itu bukan hanya karena ada orang jahat yang berbuat dzolim,
tetapi ada peran media. Pembantaian, penindasan terjadi karena
media tidak peduli dan sok netral, tidak bisa bedakan antara penjahat dan
korban. menurut Journalism of Attachment, Media yang etis adalah media yang
berpihak pada korban, pada yang teraniaya, yang lemah. Itulah pendapat Martin
Bell, mantan wartawan BBC yang banyak meliput daerah konflik di berbagai Negara
dan merupakan Tokoh Attachment Journalism. Sementara pendukung Jurnalisme
Objektif yang netral mengritik keras pandangan Martin Bell yang mengharuskan
media berpihak, Dikatakan oleh Mathew Kiran, kalau media berpihak, maka
selangkah lagi sudah dekat dengan manipulasi fakta dan menjauh dari kebenaran.
Kalau wartawan ingin membela atau simpati dengan para kurban, atau mereka yang
lemah, jadilah aktivis HAM, bukan wartawan. Kalau wartawan ingin membentuk
opini untuk kepentingan kelompok tertentu, maka jadilah politisi, bukan bekerja
di media. Tugas media itu mengungkap fakta apa adanya, dari berbagai perspektif
dan menghindari penghakiman dari pihak media.
Kalau muncul simpati atau opini, biarkan hal itu berasal
dari konsekuensi pemaparan fakta yang objektif, bukan dari pemihakan media.
Netral dan Balance harus menjadi harga mati, menuju kepada "kebenaran
fungsional" yang namanya objektivitas. Agar bisa diterima semua pihak.
Objektivitas berita juga menuntut faktualitas melalui disiplin verifikasi yang
tidak boleh lelah, agar akurasi terjamin. Sayangnya, wartawan sekarang bukannya aktif verifikasi tapi
memilih sibuk menambahi berita yang tengah berlangsung, dengan interpratasi. Karena
siklus berita 24 jam, wartawan lebih banyak cari informasi baru dari pada
mencoba independen mendapati dan verifikasi fakta baru. Kebutuhan kemudahan
memproduksi berita yang banyak, juga menyebabkan media lebih akrab kepada
narasumber yang mudah dihubungi. Kedekatan pada narasumber yang sesuai dengan
kesukaan media, justru menjauhkan prinsip independensi terhadap sumber berita. Tak heran banyak narasumber tetap yang
terus selalu muncul di media, karena kedekatan dan kemudahan.
Yang memprihatinkan, banyak wartawan yang enggan belajar jurnalisme. Banyak
wartawan merasa cukup belajar jurnalistik hanya dari meja redaksi, bukan dari
buku dan bangku-bangku kuliah. Walhasil
pemahaman tentang kebenaran dan objektivitas sering kali keliru, hanya karena
mendasarkan pada intuisi semata. Bukan pengetahuan llmiah. Banyak
wartawan merasa sudah benar, sudah netral bahkan merasa objektif, tetapi
sebenarnya sedang terjebak dengan ketidak jujuran. Berapa banyak media yang merasa
netral tetapi enggan melakukan verifikasi sehingga hanya menghasilkan liputan
yang kosong, tidak sesuai fakta. Sering media memilih
sumber, kemudian gunakan pernyataan sumber itu untuk membenarkan sikap medianya
seakan objektif, padahal suatu bentuk penipuan. Seringnya kesalahan dan
ketidakjujuran dilakukan sebagian media sebabkan rusaknya kredibilitas profesi
wartawan. Inilah
pentingnya standard jurnalistik dan etika kembali dipegang teguh kalangan
media.
Perkembangan internet sebenarnya telah memudahkan wartawan dalam berbagai
pekerjaan mereka, Sayangnya dengan internet yang memberikan kemudahan akses,
malah sering memunculkan kutipan dari internet tanpa investigasi dan verifikasi.
Sekarang berita telah menjadi komoditas yang mudah diperoleh, dikemas ulang,
dan di daur ulang. disebarkan kembali ke konsumen. Berita makin terkonsolidasi. Begitu
sebuah kisah muncul, maka bergulirlah ke berbagai media dari segerombolan
wartawan, terjadi keseragaman isu. Dewasa ini semakin
banyak wartawan pasif, sebagai penerima, atau pengutip informasi di internet,
ketimbang pengumpul berita. Walhasil berita media makin jauh dari realitas yang
kompleks dan dinamis, sehingga opini publik yang muncul menjadi tidak berdasar
info yang lengkap. Banyak Media mengabaikan etika Jurnalistik yang objektif, dengan
berbagai alasan. padahal itu harus dijadikan pedoman bagi media yang beretika. Etika
objektivitas memang sulit, tetapi seperti bintang di langit bagi nelayan. Tidak
bisa dicapai, namun menjadi pemandu berlayar agar tak salah arah.
Henri Subiakto | Maret
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar