“Power tends to
corrupt but absolute power corrupts absolutely”,
demikian istilah lama yang dikemukakan oleh John Emerich Edward Dahlberg First
Baron Acton 1887 di Inggris. Menurut tokoh yang dikenal dengan Lord Acton ini, manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung
menyalahgunakannya, apalagi kalau kekuasaan itu absolut, pasti akan
disalahgunakan. Demokratisasi abad 19 dan 20, “power” yang cenderung disalahgunakan itu pengertiannya lebih
diarahkan pada kekuasaam negara, atau pemerintah. Sementara media massa
merupakan komponen penting untuk mengontrol pemerintah sebagai “Power”. Disini
media diposisikan sebagai “watch dog”
kekuasaan, yang harus dijamin kebebasannya sebagai the fourth estate of democracy. Untuk mewujudkan pemerintahan yang
hati-hati, cerdas, dan bijaksana,
Pergeseran pengertian “Power”.
Perkembangan teknologi komunikasi, globalisasi, liberalisasi,
dan komersialisasi telah memunculkan pergeseran. Media massa tumbuh tidak hanya menjadi kekuatan
pengontrol kekuasaan, tapi telah menjadi kekuatan politik, ekonomi, dan budaya.
Media telah menjadi “Power” baru, yang apabila dibiarkan liar, justru bisa
menjadi ancaman tersendiri bagi demokrasi.
Noam Chomsky melihat media dalam era kapitalis liberal, sarat
dengan “kongkalingkong”. Gejalanya terlihat ketika bisnis media
mulai diatur oleh tokoh-tokoh yang punya kekuatan politik dan uang. Para elite kekuasaan dan elit bisnis berkolaborasi
mengatur isi media. Akibatnya, menurut Chomsky kebebasan pers yang dijiwai demokrasi dan liberalisme, telah disusupi
corong-corong propaganda segelintir
orang. Setiap keping informasi telah disusupi kepentingan tertentu.
Setiap suara berita telah dimodali kekuatan politik dan bisnis.
Chomsky menganalisis adanya
konspirasi para elit yang melakukan kontrol pemberitaan dan informasi. Dengan
menggunakan istilah Manufacturing
Consent, tokoh kritis ini melihat media menjadi alat kepentingan politik,
ekonomi, dan kultur kalangan eksklusif. Menurutnya para gate keeper media menjadi pion politisi dan pengusaha untuk mencari
keuntungan. Media dijadikan instrumen untuk kepentingan mereka. Chomsky dan
Herman, menggambarkan model propaganda
kelompok pemilik modal yang mampu menetapkan premis-premis wacana publik,
menentukan informasi apa yang boleh dikonsumsi publik, dan terus menerus
mengelola pendapat publik melalui propaganda. Karena itu media massa sebagai instrumen,
isinya banyak dipenuhi oleh framing
hingga kebohongan (Herman & Chomsy 2000: 179).
Sementara Peter Golding dan
Graham Murdock, melihat ideologi kapitalisme telah meresap dalam institusi media,
cenderung menjadi semakin menggurita menjangkau kemana-mana, tetapi kontrol
pemilikannya semakin terkonsentrasi hanya pada beberapa elite saja. “Media as a political and economic vehicle,
tend to be controlled by conglomerates and media barons who are becoming fewer
in number…(Peter Golding & Graham Murdock, 2000 71) Lalu apa jadinya jika kekuatan media sebagai produsen budaya, produsen
informasi politik, dan kekuatan ekonomi, hanya terkonsentrasi pada beberapa
orang? Apalagi pemiliknya juga sebagai pemain politik sekaligus pemain bisnis
yang powerful? Itulah gejala yang memprihatinkan dewasa ini. Padahal demokratis
tidaknya suatu negara, tidak cukup hanya dari sistem politiknya, tapi juga
sistem medianya. Itulah kemudian diingatkan oleh Mc
Chesney; ”Millions of people who had
never though much about media are now actively working to make media and to change media policies to blast open the system. It is becoming an
accepted observation that any effort to
democratize society must include a
campaign to change the media system or else the prospect or success will be far
lower”. (Mc Chesney dalam Hacket. & Carroll, Remaking Media, The Struggle to Democratize Public
Communication, 2006: x).
Penyiaran
Salah satu bentuk media massa yang paling dominan sekarang, tapi sekaligus
memiliki kekhasan adalah media penyiaran, khususnya televisi. Penyiaran menggunakan ranah publik, yaitu
frekuensi yang jumlahnya terbatas, sehingga diperlakukan secara berbeda dengan
media cetak. Penyiaran senantiasa sarat dengan aturan (highly regulated), baik infrastruktur maupun isinya (McQuail,
2002: 208). Karena itu mekanisme pengaturan sistem
penyiaran justru menjadi salah satu refleksi demokratis tidaknya negara yang
bersangkutan
Di era demokrasi
liberal seperti sekarang, media penyiaran, tidak cukup dipandang hanya sebagai
kekuatan civil society yang harus dijamin
kebebasannya, namun harus juga dilihat sebagai kekuatan kapitalis, bahkan
politik elite tertentu. Kekuatan media ini bisa mengkooptasi, bahkan
menghegemoni negara, hingga masyarakat. Ini yang perlu dicermati secara kritis
oleh para pendukung demokrasi termasuk para jurnalis. Jangan sampai kekuatan
demokrasi dibelokkan “atas nama kebebasan pers” untuk kepentingan politik dari
para kapitalis penguasa media.
Gejala ini amat
kentara dan nyata terlihat pada model pemberitaan atau program current issue di televisi swasta yang
mengkhususkan pada berita. Impartialitas acapkali diabaikan. Pemilik yang sedang getol memobilisasi dukungan
politik, bisa muncul setiap saat bak pahlawan di medianya. Sementara “lawan
politiknya” cenderung dicerca habis dengan mengabaikan imparsialitas. Secara
kasat mata media TV oleh pemiliknya dipakai sebagai political tool gerakan yang dipimpinnya.
Padahal regulasi tentang
keharusan imparsialitas bagi media penyiaran itu adalah kewajiban yang berlaku
global di berbagai negara demokrasi. Terlebih telah diatur dalam UU 32/2002 tentang Penyiaran pasal 36 ayat 4
yang menyebutkan “Isi siaran Wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh
mengutamakan kepentingan golongan”. Kemudian berdasar aturan KPI no 9/2004 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran
dan Standar Program Siaran pasal 5 ayat e; “Lembaga penyiaran menjunjung tinggi
prinsip ketidakberpihakan dan keakuratan”. Dilengkapi pasal 9 tentang prinsip
Jurnalistik: Lembaga Penyiaran harus menyajikan informasi dalam program factual
dengan senantiasa mengindahkan prinsip akurasi, keadilan dan ketidakberpihakan
(imparsialitas).
Persoalannya bagaimana ketika prinsip dan ketentuan
imparsialitas ini sudah begitu lama diabaikan. Sementara UU dan aturan KPI diterjang.
Sebenarnya KPI sudah memperingatkan media televisi yang sedang bermasalah ini.
Tapi nampaknya tabiat melanggar imparsialitas itu terus saja kembali diulang.
Media tersebut sebagai kekuatan pembangun opini jelas-jelas telah mengabaikan
aturan dan prinsip-prinsip demokrasi. Karena itu bisa dipahami jika ada pernyataan keras, dari kalangan yang
merasa diperlakukan tidak adil. Reaksi keras seruan boikot Dipo Alam tentu tidak
lepas dari persoalan di atas. Ada abuse
of power yang dilakukan politisi tertentu dalam menggunakan media yang dimilikinya.
Tapi dramapun kembali berulang. Televisi itu lagi-lagi justru semakin kencang
mengabaikan imparsialitas, mengabaikan UU dan aturan KPI. Malah makin
menyerang, menyalahkan bahkan cenderung mengadili, tanpa memberi tempat pada
perspektif yang berbeda. Itu yang dilakukan pada Pak Dipo Alam sekarang ini.
Yang dimunculkan lebih banyak dari informasi atau nara sumber yang sejalan,
nara sumber yang memiliki kepentingan agar bisa tampil di televisi, atau mereka
yang tidak menguasai persoalan. Walhasil kebebasan pers kembali terhegemoni
oleh kepentingan elite. Kepentingan politik pemilik media, yang terkadang diboncengi
para petualang politik yang mengaku sebagai civil
society.
Sayangnya, hal ini banyak tidak dipahami, mungkin benar kata Eric
Louw, the problem is that journalists are not skeptical enough—they only focus
their skepticism on others, but never on themselves (Eric Louw, 2006:5).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar