Rabu, 08 Februari 2012

ANATOMI TEORETIK GEORGE HERBERT MEAD (1863-1931) TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK

George Herbert Mead, filosof ini identik dengan pemikiran  interaksionisme Simbolik. Sebuah pemikiran yang membedah interaksi diri dengan masyarakat, dan itulah yang dikemukakan dalam buku Mind, The self and Society (1934). Interaksionisme simbolik pada dasarnya merupakan sintesa pemikiran filsafat pragmatisme dengan psikologi behavioralisme, karena itu Mead  diposisikan sebagai pemikir Psikologi Sosial.

1.  Konteks Sosial Yang Melahirkan Teori Interaksionisme Simbolik
            Pemikiran Mead lahir pada awal abad 20, yaitu sekitar tahun 1900-an dan baru dibukukan tahun 1937. Saat itu Amerika Serikat sedang  gencar melakukan industrialisasi, tetapi saat itu juga dunia sedang dilanda Perang Dunia Pertama (1914- 1918). Pengalaman dan pengamatan Mead selama di Amerika Serikat maupun sewaktu sekolah di Leipzig dan Berlin Jerman banyak mempengaruhi pemikirannya. Munculnya konsepsi tentang Mind, self dan Society tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial pada saat itu.
Sebagaimana kita ketahui konsep itu muncul tatkala Mead mengajar psikologi sosial di Chicago sekitar tahun 1916-1928. Waktu itu dunia sedang dilanda perang besar antara Jerman bersama Austria melawan Perancis, Inggris dan negara-negara sekutu, termasuk Amerika Serikat.  Setelah selesai Perang Dunia Pertama,  Amerika Serikat mengalami depresi ekonomi yang sangat berat. Pada saat itu di Amerika Serikat banyak terjadi persoalan sosial. Dari masalah pengangguran, tingginya kriminalitas, prostitusi,  munculnya kasus-kasus perceraian di masyarakat, hingga banyaknya orang yang mengidap depresi dan persoalan sosial lain yang mengidab masyarakat urban yang sekulair. Itulah problema masyarakat modern yang menjadi perhatian ilmuwan social pada masa itu.

Keadaan itu nampaknya mendorong Mead mengamati everyday life kehidupan manusia, terutama mengenai  bagaimana individu melakukan interaksi. Kemudian mengembangkan teori Psikologi sosial. Pada dasarnya dia percaya bahwa ilmu pengetahuan bisa memberikan solusi terhadap berbagai persoalan sosial (Ritzer & Goodman, 2005: 273). Untuk itu selain dia memformulasikan pemikirannya dalam teori interaksi simbolik, keseharian Mead juga aktif dalam kegiatan reformasi sosial. Dia terlibat kegiatan pengumpulan dana yang berkenaan dengan kebijakan di bidang pemukiman sosial di Universitas Chicago. Kondisi eksternal semacam itulah yang menjadi setting sosial ketika Mead menghasilkan pemikiran- pemikirannya.
Karena itu tidaklah mengherankan jika kajian tentang Mind, Mead melihat mind secara pragmatis. Yakni mind atau pikiran melibatkan proses berpikir yang mengarah pada penyelesaian masalah. Saat itu Mead berasumsi, dunia nyata penuh dengan masalah (sesuai dengan keadaan saat itu), dan fungsi pikiranlah untuk mencoba menyelesaikan masalah dan memungkinkan orang lebih efektif dalam kehidupan (Ritzer dan Goodman, 2005: 280).  
Begitu pula dalam membahas konsep The Self, George Herbert Mead senantiasa memperhitungkan faktor struktural, yaitu society. Karena pada dasarnya menurut pengamatan Mead konsep diri (the self) yang dia sebut sebagai  “I” menentukan kehendak, keinginan, termasuk ambisi-ambisi dari mahkluk yang namanya manusia. Namun disisi lain diri manusia juga memiliki konsepsi “Me”, yang sangat memperhitungkan keadaan sekelilingnya.  “Me” senantiasa dipengaruhi oleh interaksi internal yang dikaitkan dengan keadaan masyarakat. Itulah struktur sosial  yang berpengaruh terhadap konsepsi the self.

2. Pemikiran dan Teori Yang Berpengaruh
Ilmuwan lain yang banyak mempengaruhi pemikiran George Herbert Mead adalah Emile Durkeim, Weber, dan juga John Dewey.  Sebagian pakar berpendapat, teori interaksi simbolik dari Mead sebenarnya di bawah payung teori tindakan sosial yang dikemukakan filosof sekaligus sosiolog Jerman, Max Weber (1864-1920). Tapi George Herbert Mead tidaklah secara harafiah mengembangkan teori Weber, atau teori Mead diilhami teori Weber. Hanya memang ada kemiripan kedua tokoh tersebut mengenai tindakan manusia.
Weber mendefinisikan tindakan sosial sebagai semua perilaku manusia ketika dan sejauh individu memberikan suatu makna subyektif terhadap perilaku tersebut. Tindakan bisa bersifat terbuka atau tersembunyi, bisa merupakan intervensi positif dalam suatu situasi atau berdiam diri sebagai tanda setuju dalam situasi tersebut. Menurut  Weber, tindakan bermakna sosial sejauh berdasarkan makna subyektifnya yang diberikan oleh individu atau individu-individu, tindakan itu mempertimbangkan perilaku orang lain dan karenanya diorientasikan dalam penampilannnya (Weber 1971: 128). Bagi Weber, jelas bahwa tindakan manusia pada dasarnya bermakna, melibatkan penafsiran, berpikir dan kesengajaan. Baginya tindakan sosial adalah tindakan disengaja, disengaja bagi orang lain dan bagi sang aktor sendiri, yang pikiran-pikirannya aktif saling menafsirkan perilaku orang lainnya,  berkomunikasi satu sama lain  dan mengendalikan perilaku dirinya dirinya masing-masing sesuai dengan maksud komunikasinya. Pemikiran Weber ini  tidak jauh berbeda dengan pemikiran Mead dalam teori interaksionisme simbolik.
Untuk Dewey, sahabatnya ini, Mead amat menghargainya. “Mr Dewey bukan saja seorang dengan pemikiran orisinal dan luar biasa, tapi juga seorang pemikir paling dihormati yang pernah saya temui. Saya mendapatkan banyak hal darinya, daripada orang lain” (Dinyatakan dalam G Cook, 1993: 22). Kesimpulan tersebut benar adanya terutama pada awal karir Mead di Chicago. Bahkan dia mengikuti  Dewey dalam hal teori pendidikan. Walau demikian, pemikiran Mead melepaskan diri dari pemikiran Dewey dan mengembangkan teori Psikologi Sosial.
Pada saat Mead mengemukakan teorinya, ilmu sosial sudah mengenal pemikiran Empirisme, Psikoanalisis, Behaviorisme dan Prakmatisme. Masing-masing pemikiran itu sedang banyak dibahas di berbagai Universitas, sekaligus menjadi isu ilmiah yang tidak saja dikritik, tapi juga saling melengkapi.  Pemikiran Mead nampak sekali merupakan kritik terhadap Empirisme, psikoanalisis, sekaligus mengembangkan pemikiran berdasar behaviorisme dan pragmatisme (Charon, 2000:45).  
Empirisme merupakan aliran awal ilmu sosial, salah satu tokohnya adalah John Locke (1632 – 1704). Menurut aliran ini, manusia itu pada waktu lahir tidak mempunyai “warna mental”. Warna  ini didapat dari pengalaman. Pengalaman adalah satu-satunya jalan untuk pemilikan pengetahuan. Menurut aliran ini, bukan ide yang menghasilkan pengetahuan,  tetapi baik ide maupun pengetahuan adalah produk pengalaman. Jadi seluruh perilaku manusia, kepribadian, dan temperamen, ditentukan oleh pengalaman inderawi (sensory experience). Pikiran dan perasaan bukanlah penyebab perilaku, tetapi disebabkan oleh perilaku masa lalu (Rakhmat, 1995: 21).
            Sedangkan Psikoanalisis tokohnya Sigmund Freud (1856-1939), yang melihat manusia itu sebagai homo valens, mahkluk berkeinginan. Perilaku manusia merupakan hasil dari interaksi tiga subsistem Id, Ego, Superego. Id merupakann bagian manusia yang menyimpan dorongan-dorongan biologis manusia, sebagai pusat instink. Id bergerak berdasarkan prinsip kesenangan (plasure principle), bersifat egoistis, tidak bermoral, dan tidak mau tahu dengan kenyataan (tabiat hewani manusia). Ego, merupakan subsistem yang bergerak berdasar pinsip realitas (reality principles), berfungsi menjembatani Id dengan realitas di luar. Ego merupakan mediator antara hasrat dengan tuntutan rasional.  Ego lah yang menyebabkan manusia mampu menundukkan hasrat hewaninya dalam hidup yang rasional atau pribadi yang normal. Sedangkan Superego adalah polisi kepribadian, mewakili yang ideal. Superego adalah hati nurani yang merupakan internalisasi dari dari norma-norma sosial. Secara singkat dalam psikoanalisis perilaku manusia merupakan interaksi antara komponen biologis (Id), komponen psikologis (Ego) dan komponen sosial yaitu Superego.
            Adapun Behaviorisme yang juga berkembang saat itu, merupakan perspektif psikologi, yang memiliki perhatian pada perilaku yang dianggap merupakan hasil dari proses stimulus respon. Behaviorisme (yang radikal) menyangkal atau tak mau menghubungkan proses mental tersembunyi yang terjadi saat stimuli muncul dan respon dipancarkan. Thorndike dan Watson, berpendirian, organisme dilahirkan tanpa sifat-sifat sosial atau psikologis, perilaku adalah hasil pengalaman, digerakkan atau dimotivasi oleh kebutuuhan untuk membperbanyak kesenangan, atau mengurangi penderitaan. Asumsi ini ditembah dengan sumbangan pemikiran biologi abad 19, yang menganggap manusia adalah kelanjutan dari organisme yang lebih rendah. Karena itu  kita dapat memahami manusia dengan meneliti perilaku organisme bukan manusia. Asumsi bahwa pengalaman adalah hal yang paling berpengaruh pada manusia, menyiratkan betapa plastisnya manusia. Ia seakan mudah dibentuk dengan apapun yang relevan.
            Sedangkan Pragmatisme adalah pemikiran filsafat yang menganggap realitas sebenarnya tak ada di luar dunia nyata. Realitas diciptakan secara aktif saat kita bertindak  di dalam dan terhadap dunia nyata. Manusia mengiingat dan mmendasarkan dunia nyata pada apa yang telah terbukti berguna bagi mereka. Manusia mendefinisikan obyek sosial dan fisik yang mereka temui di dunia nyata menurut kegunaannya bagi mereka. Tokoh filsafat pragmatisme adalah John Dewey. Tokoh inilah yang banyak mempengaruhi Mead dalam pandangan-pandangannya (Ritzer & Goodman, 2005: 266-267).  
            Jadi boleh dikatakan konteks keilmuwan pada saat Mead menyampaikan teori interaksionisme simbolik, merupakan reaksi dan pengembangan dari pemikiran-pemikiran yang sudah ada sebelumnya, sekaligus menciptakan filsafat baru yang juga original. Karenanya interaksionisme simbolik adalah sebuah teori psikologi sosial yang ingin menjelaskan tentang apa dan bagaimana manusia itu, khususnya dalam hal berperilaku.

3. Latar Belakang Sosial Dan Pribadi Mead
Berdasar catatan, Mead lahir di South Hatley Massachusetts, 27 Februari 1863. Ia merupakan anak kedua dari profesor Hiram Mead dari Obelin Theological Seminary.  Mead  mendapatkan pendidikan terutama di bidang filsafat dan aplikasinya terhadap psikologi sosial. Awalnya ia belajar di perguruan dimana ayahnya bekerja, Oberlin College, hingga mendapatkan sarjana muda pada tahun 1883. Mead dan teman dekatnya, Henry Northrup Castle, menjadi murid yang bersemangat mempelajari sastra, puisi, dan sejarah. Saat itu, Mead amat tertarik dengan karangan-karangan, Shelley, Carlyle, Shakespeare, Keats, dan Milton. Beberapa tahun kemudian Mead menjadi guru Sekolah Dasar, tapi hanya berlangsung selama empat bulan. Kemudian ia   menjadi mantri ukur di perusahaan KA, di Wisconsin Central Rail Road Company, sembari memberikan les prifat.
Tahun 1887 ia melanjutkan kuliah di Harvard, hingga memperoleh gelar Master di bidang filsafat. Di musim gugur 1888, Mead, mengikuti temannya Henry Nortrup ke Leipzig Jerman untuk menempuh program Ph.D dalam bidang philosophy dan physiological psychology. Selama tahun akademik 1888-1889 di University of Leipzig, Mead tertarik pada teori Darwinism dan belajar kepada Wilhelm Wundt (1832-1920) dan G. Stanley Hall (1844-1924) (dua orang penemu utama experimental psychology). Atas rekomendasi Hall, Mead pindah ke University of Berlin pada tahun 1889. Disitulah dia kemudian konsentrasi mempelajari teori ekonomi dan psikologi sosial.
 Sayangnya Mead tidak pernah menyelesaikan gelar doktornya.   Tahun 1891 ia ditawari mengajar di Universitas Michigan. Tahun 1894 atas undangan John Dewey, ia diajak bergabung  mengajar di Jurusan Filsafat Universitas Chicago. Di Chicago inilah Mead bertahan hingga akhir hayatnya.  Saat itu Mead dan Dewey menjadi  teman akrab yang sering saling bertukar pikiran. Bahkan dalam derajad  tertentu kedua teoritisi ini memiliki kemiripian dalam perspektif filosofi mereka (Ritzer, 2005: 272). Hanya saja John Dewey  lebih berkonsentrasi pada filsafat dan pendidikan, sedangkan Herbert Mead lebih banyak bekerja untuk sumbangan pemikirannya pada isu-isu dasar dalam psikologi sosial dan sosiologi.
Mead menikah dengan Helen Castle di Berlin pada bulan Oktober, 1891. Sebelumnya kakak Helen, Henry Northrup Castle, yang merupakan teman akrab Mead menikah terlebih dahulu juga di Berlin dengan Frieda Stechner dari Leipzig. Kemudian Henry and dan pasangannya kembali pindah ke Cambridge, Massachusetts, dimana Henry melanjutkan sekolahnya di Jurusan Hukum di Harvard University. George Herbert Mead punya anak satu satunya yang bernama Henry Castle Albert Mead, yang lahir di Ann Arbor pada tahun 1892. Anak Mead tersebut setelah dewasa menjadi seorang psikiater (http://www.utm.edu/research/iep/m/mead.htm).
Mead adalah seorang pengajar yang baik, namun bukan seorang penulis yang baik, karenanya dia tidak pernah menyelesaikan sebuah penulisan buku. Kesulitannya menulis itu pernah diucapkannya, “Saya sangat tertekan dengan ketidakmampuan saya menuliskan sesuatu yang saya inginkan.” (G.Cook, 1993:xii). Sisi kelemahan Mead yang lain,  Ia juga tidak pernah lulus doktor, namun murid muridnya amat mengaguminya. Para muridnya mengakui bahwa setiap kuliah prof Mead, isinya selalu menarik, dan disampaikan secara mengalir. Salah satu muridnya, Herbert Blumer, pada tahun 1937 memberi julukan pemikiran Mead itu sebagai teori Interaksionisme Simbolik (Baert, 1998: 67) .
Sebagai tambahan dalam aktivitas akademiknya, Mead aktif dalam reformasi sosial. Dia percaya bahwa ilmu pengetahuan dapat digunakan untuk mengatasi problem sosial. Makanya dia terlibat aktif dalam  pengumpulan dana dan pembuat kebijakan berkenaan dengan pemukiman sosial Universitas Chicago. Dalam hal ini ia memegang peran kunci dalam riset sosial di sana. Sayangnya, Mead terlibat konflik yang menyakitkan antara departemen yang dia pimpin dengan rektor (presiden) universitas Chicago. Hal ini yang menyebabkan  Mead   mengirim surat pengunduran diri ketika dia masih terbaring di rumah sakit. Pada tahun 1931 Mead meninggal dunia akibat gagal jantung. Komentar John Dewey, sebagai teman dekat, menganggap Mead merupakan “pemikir filosofi paling orisinil dari generasi terakhir Amerika” (G Cook, 1993, 194). Kedekatan sosial Mead dengan John Dewey baik dalam kehidupan sosial maupun persahabatannya, nampak berpengaruh terhadap teori dan pemikiran Mead.
Latar belakang Mead yang sederhana sebagai guru, kemudian kedekatannya dengan teman seperti Henry Northrup, John Dewey, yang banyak membantu dia dalam sekolah dan pekerjaan, serta keterlibatannya dalam konflik-konflik, telah menghantarkan Mead pada pengamatan hal-hal yang sifatnya everyday life, kehidupan sehari-hari. Disitulah Mead nampak memiliki perhatian yang besar terhadap persoalan psikologi sosial. Dari pengamatan pada kehidupan orang-orang di sekitarnya dalam kehidupan sehari-hari itulah, yang kemudian memunculkan pemikiran teori interaksionisme simbolik. Hal ini dapat kita simak dalam tulisan berikut.
Mead spent the rest of his life in Chicago. He was full professor from 1907 until his death in 1931. During those years, Mead made substantial contributions in both social psychology and philosophy. Mead's major contribution to the field of social psychology was his attempt to show how the human self arises in the process of social interaction, especially by way of linguistic communication ("symbolic interaction"). In philosophy, as already mentioned, Mead was one of the major American Pragmatists. As such, he pursued and furthered the Pragmatist program and developed his own distinctive philosophical outlook centered around the concepts of sociality and temporality. His concept was developed from averyday life that has been observed (see below) (http://www.utm.edu/research/iep/m/mead.htm, diakses 5 januari 2006)..
             
4. Pertanyaan Yang Diajukan
            Interaksionisme simbolik dari George Herbert Mead pada dasarnya mengajukan pertanyaan berkenaan dengan fokus analisis utamanya. Yaitu menyangkut pertanyaan, “Mengapa manusia bertindak?” dan   Apa makna tindakan itu?  Dalam menjawab pertanyaan ini Mead mengungkap juga pertanyaan yang berkait dengan “Bagaimana manusia berpikir tentang dirinya dan masyarakat?” Itulah yang kemudian dalam pemikirannya Mead bicara tentang bagaimana munculnya konsep diri, the emergent of the self, dan the self as social emergent.  Juga  mengungkap bagaimana interaksi antara “I” dan “Me”. Serta bagaimana dialektika yang terjadi antara The self dan The other.   
Ketika menjawab mengapa manusia bertindak, Mead hampir sama dengan pendekatan behavioristik dan memusatkan perhatian pada rangsangan. Tapi menurut Mead, stimulus tidak menghasilkan respon secara otomatis melainkan melalui proses yang dipikirkan, itulah yang disebut sebagai mind.
            Mead mengidentifikasi empat basis dan tahap tindakan yang saling berhubungan  (Schmitt dan Schmitt, 1996:28). Tahap pertama adalah dorongan hati atau impulse yang meliputi stimulasi spontan yang berhubungan dengan alat indera, dan reaksi aktor terhadap rangsangan itu. Rasa lapar adalah contoh yang tepat dari impuls. Aktor secara spontan memberikan reaksi atas impuls, tapi manusia akan memikirkan bagaimana reaksi yang tepat (makan sekarang atau nanti). Dalam berpikir tentang reaksi, manusia menurut Mead tak hanya mempertimbangkan situasi kini, tapi juga pengalaman masa lalu, dan mengantisipasi akibat dari tindakannya di masa depan.
            Tahap kedua adalah persepsi. Aktor menyelidiki dan bereaksi terhadap yang berhubungan dengan impuls. Manusia mempunyai kapasitas untuk merasakan dan memahami stimuli melalui pendengaran, senyuman, rasa, dan sebagainya. Persepsi melibatkan rangsangan yang baru masuk maupun citra mental yang ditimbulkannya. Aktor tidak secara spontan menanggapi stimuli dari luar, tapi memikirkannya sebentar dan  menilainya melalui bayangan mental (Ritzer & Goodman, 2005: 275).  Artinya, dalam hal ini manusia tak hanya tunduk pada sebuah rangsangan dari luar, mereka secara aktif juga memilih di antara sekumpulan rangsangan. Manusia memiliki kapasitas untuk memilih mana yang perlu diperhatikan dan yang mana perlu diabaikan. Tindakan memahami obyek itulah yang menyebabkan sesuatu itu menjadi obyek seseorang dan hal ini berhubungan secara dialektis.
            Tahap ketiga adalah manipulasi (manipulation). Segera setelah impuls menyatakan dirinya sendiri dan obyek telah dipahami, langkah selanjutnya adalah manipulasi obyek, atau mengambil tindakan berkenaan obyek itu. Tahap manipulasi ini merupakan tahap jeda yang penting dalam proses tindakan agar tanggapan tak diwujudkan secara spontan, melainkan diolah secara cerdik (Ritzer & Goodman, 2005 : 275). Sebagai contoh ketika lapar dan menemukan cendawan, besar kemungkinan tidak langsung dimakan, tapi diperiksa terlebih dahulu, beracun apa tidak, kemudian baru dimasak atau diolah terlebih dahulu sebelum dimakan. Dalam hal ini aktor secara mental menguji berbagai macam hipotesis tentang apakah yang akan terjadi jika cendawan itu dimakan secara langsung.
            Tahap berikutnya adalah tahap konsumasi (consummation) atau mengambil tindakan yang memuaskan dorongan hati. Tahap ini dilakukan setelah melalui tahap-tahap sebelumnya dengan berbagai perhitungan dan pemikiran yang berbeda dengan binatang. John Baldwin mengatakan, ‘Meski keempat tahap tindakan itu kadang-kadang tampak berangkai menurut urutan garis lurus, sebenarnya keempatnya saling merasuk sehingga membentuk sebuah proses organis. Segi-segi setiap bagian muncul sepanjang waktu mulai dari awal hingga akhir tindakan sehinggga dengan demikian setiap bagian mempengaruhi bagian yang lain.’ (Baldwin, 1986 : 55-56).
            Sementara tindakan itu ada yang hanya melibatkan satu orang, tapi ada pula tindakan sosial yang melibatkan dua orang atau lebih. Disinilah Mead mengungkapkan konsep Gesture atau isyarat.  Gesture adalah gerakan organisme pertama yang bertindak sebagai rangsangan khusus yang menimbulkan tanggapan yang tepat dari organisme kedua. Sebagaimana binatang manusia terkadang juga terlibat dalam interaksi menggunakan isyarat yang spontan tanpa dipikir tetapi naluriah, seperti ketika orang sedang bertinju yang ini disebut sebagai isyarat non signifikan (non significant gesture). Sedangkan isyarat yang memerlukan pemikiran aktor sebelum bereaksi adalah significant gesture.
            Isyarat menjadi signifikan bila muncul dari invidu yang membuat simbol-simbol itu sama dengan sejenis tanggapan yang diperoleh dari orang yang menjadi sasaran isyarat.  Manusia sebenarnya hanya dapat berkomunikasi bila mempunyai simbol yang signifikan. Disini bahasa menjadi kumpulan isyarat suara yang signifikan. Menurut Mead, bahasa kini menjadi simbol yang signifikan dan memberitahukan makna tertentu. Dalam percakapan dengan isyarat, hanya isyarat itu sendiri yang dikomunikasikan. Tetapi dengan bahasa, yang dikomunikasikan adalah isyarat dan maknanya (Mead, 1934, dalam Ritzer dan Goodman, 2005 : 278).   
            Yang sangat penting dari teori Mead adalah fungsi simbol signifikan, yakni memungkinkan proses mental yaitu berpikir. Hanya melalui simbol signifikan --khususnya melalui bahasa-- manusia bisa berpikir. Mead mendefinisikan berpikir (thingking) sebagai percakapan individu dengan dirinya sendiri dengan memakai isyarat. Bahkan Mead menyatakan, “Berpikir adalah sama dengan berbicara dengan orang lain” (Ritzer dan Goodman, 2005: 279).     

5. Proposisi Yang Ditawarkan
Proposisi yang ditawarkan dalam interaksionisme simbolik adalah konsep-konsep tentang Mind (pikiran),  Self (diri) dan Society (masyarakat). Tiga konsep itu dan hubungan di antara ketiganya merupakan inti pemikiran Mead, sekaligus key words dalam teori tersebut. Interaksionisme simbolis secara khusus menjelaskan tentang bahasa, interaksi sosial dan reflektivitas.
Mind atau pikiran, menurut  Mead muncul bersamaan dengan proses sosial dan tidak dapat dipahami sebagai bagian dari proses itu sendiri. Proses komunikasi melibatkan dua fase yaitu: (1) the "conversation of gestures" dan (2) language (bahasa), atau  the "conversation of significant gestures."  (http://www.utm.edu/research/iep/m/ mead.htm, diakses 5 Januari 2006).  Kedua fase tersebut mensyaratkan suatu konteks sosial dimana dua atau lebih individu berinteraksi dengan satu atau yang lainnya.  Mind, merupakan fenomena sosial yang berupa proses percakapan seseorang dengan dirinya sendiri. Pikiran muncul dan berkembang dalam proses sosial dan merupakan bagian integral dari proses sosial.
Mead walaupun menolak pandangan tradisional bahwa the mind secara substansial terpisah dari the body, juga menolak kalau dikatakan mind semata-mata merupakan istilah physiology atau neurology. Namun Mead setuju dengan pandangan kaum behavioristik dengan mengatakan “We can explain mind behaviorally if we deny its existence as a substantial entity and view it instead as a natural function of human organisms. But it is neither possible nor desirable to deny the existence of mind altogether”. (http://www.utm.edu/research/iep/m/ mead.htm, diakses 5 Januari 2006).    Jadi Mind sebenarnya merupakan kemampuan individu untuk memunculkan dalam dirinya sendiri tidak hanya satu respon saja tetapi juga respon komunitas secara keseluruhan. Itulah yang dinamakan mind menurut Mead.
 The self atau diri, menurut Mead merupakan ciri khas dari manusia. Yang tidak dimiliki oleh binatang.    Diri adalah kemampuan untuk menerima diri sendiri sebagai sebuah objek dari perspektif yang berasal dari orang lain, atau masyarakat. Tapi diri juga merupakan kemampuan khusus sebagai subjek.  Diri muncul dan berkembang  melalui aktivitas interaksi sosial dan bahasa. Menurut Mead, mustahil membayangkan diri muncul dalam ketiadaan pengalaman sosial. Karena itu ia bertentangan dengan konsep diri yang soliter dari Cartesian Picture. The self juga memungkinkan orang berperan dalam percakapan dengan orang lain karena adanya sharing of simbol. Artinya, seseorang bisa berkomunikasi, selanjutnya menyadari apa yang dikatakannya dan akibatnya mampu menyimak apa yang sedang dikatakan dan menentukan atau mengantisipasi apa yang akan dikatakan selanjutnya.
Mead menggunakan istilah significant gestures (isyarat-isyarat yang bermakna) dan significant communication dalam menjelaskan bagaimana orang berbagi makna tentang simbol dan merefleksikannya. Ini berbeda dengan binatang, anjing yang menggonggong mungkin akan memunculkan reaksi pada anjing yang lain, tapi reaksi itu hanya sekedar insting, yang tidak pernah diantisipasi oleh anjing pertama. Dalam kehidupan manusia kemampuan mengantisipasi dan memperhitungkan orang lain merupakan cirikhas kelebihan manusia. Menurut Mead kata-kata simbolik yang digunakan manusia dalam interaksi sosial juga mencakup isyarat non verbal (non verbal gestures), dan komunikasi non verbal.
Jadi the self berkait dengan proses refleksi diri, yang secara umum sering disebut sebagai self  control atau  self monitoring. Melalui refleksi diri itulah menurut Mead individu mampu menyesuaikan dengan keadaan di mana mereka berada, sekaligus menyesuaikan dari makna, dan efek  tindakan yang mereka lakukan. Dengan kata lain orang secara tak langsung menempatkan diri mereka dari sudut pandang orang lain. Dari sudut pandang demikian orang memandang dirinya sendiri dapat menjadi individu khusus atau menjadi kelompok sosial sebagai suatu kesatuan. Dalam hal ini Mead berbeda dengan behavioralismenya Watson. Psikologi Sosial Mead amat menentang determinisme eksternal yang ekstrim. Manusia itu berbeda dengan binatang, karena manusia memiliki konsep diri. Konsep diri dan reflektivitas itu berjalan beriringan, sehingga implikasinya perilaku manusia tidak dapat dijelaskan, atau diprediksi dengan mudah, sebagaimana mekanisme stimulus respon dari Watson.
Mead membedakan antara “I” (saya) dan “me” (aku). I (Saya) merupakan bagian yang aktif dari diri (the self) yang mampu menjalankan perilaku.  “Me” atau aku, merupakan konsep diri tentang yang lain, yang harus mengikuti aturan main, yang diperbolehkan atau tidak.  I (saya) memiliki kapasitas untuk berperilaku, yang dalam batas-batas tertentu  sulit untuk diramalkan, sulit diobservasi, dan tidak terorganisir berisi pilihan perilaku bagi seseorang. Sedangkan “me” (aku) memberikan kepada I (saya) arahan berfungsi untuk mengendalikan I (saya), sehingga hasilnya perilaku manusia lebih bisa diramalkan, atau setidak-tidaknya tidak begitu kacau. Karena itu dalam kerangka pengertian tentang the self (diri), terkandung esensi interaksi sosial. Interaksi antara “I” (saya) dan “me” (aku).  Disini individu secara inheren mencerminkan proses sosial. Dikatakan oleh Mead, bahwa:
There is a dialectical relationship between society and the individual; and this dialectic is enacted on the intra-psychic level in terms of the polarity of the "me" and the "I." The "me" is the internalization of roles which derive from such symbolic processes as linguistic interaction, playing, and gaming; whereas the "I" is a "creative response" to the symbolized structures of the "me". (http://www.utm.edu/research/iep/m/mead.htm).
Konsep Mead tidak bebas dari kritik. Patrick Baert mengkritik Mead atas validitas beberapa argumen inti filosofi yang dikemukakannya. Menurut Patrick inti pemikiran Mead ada pada posisi kesimpulan bahwa the self itu bersifat  sosial. Tapi menurutnya, Mead tidak jelas dalam memberikan pengertian konsep tersebut.  Dan Mead dianggap tidak konsisten dalam hal pertentangannya dengan konsep Cartesian   maupun behavioralismenya Watson (Baert, 1998: 71).


 6. Jenis Realitas
Jenis realitas dalam ilmu sosial dipahami dalam dua konsepsi, yaitu realitas objektif dan realitas subyektif. Realitas objektif  bersifat empiris diatur oleh hukum-hukum dan mekanisme alamiah yang berlaku secara universal,  dapat diukur dengan standard tertentu, dan digeneralisasi, serta terbebas dari konteks dan waktu. Sedangkan realitas subyektif bersifat interpretif, merupakan hasil konstruksi mental dari individu-individu pelaku sosial, karenanya realitas itu dipahami secara beragam oleh setiap individu. Pengkonstruksian terhadap realitas subyektif tersebut senantiasa dipengaruhi oleh pengalaman dan konteks lokal yang khas sesuai kondisi individu yang bersangkutan.
George Herbert Mead dalam interaksionisme simbolik pada dasarnya lebih banyak menjelaskan realitas sosial objektif yang sifatnya mikro.  Menurutnya dalam setiap individu, terdapat konsep the self atau diri yang  menentukan perilaku individu tersebut, dalam hubungannya dengan masyarakat. The self atau diri merupakan ciri khas dari manusia. Yang tidak dimiliki oleh mahkluk lain.   Diri adalah kemampuan untuk menerima diri sendiri sebagai sebuah objek dari perspektif yang berasal dari luar atau orang lain. Tapi diri juga merupakan kemampuan khusus sebagai subyek.  Diri muncul dan berkembang  melalui aktivitas interaksi sosial dan bahasa.  Sebenarnya, pemikiran Mead ini termasuk strukturalis. Bahwa masyarakat  sebagai struktur dipahami oleh individu dan mempengaruhi cara berpikir hingga menentukan bagaimana diri menyesuaikan terhadap struktur (Fisher, 1986: 233). Realitas sosial mikro  tentang diri inilah yang banyak dianalisis dan dikupas oleh Mead.
            Sedangkan realitas sosial objektif yang bersifat yang makro, kurang banyak dibahas oleh teori Mead. Walau Mead mengungkap konsep society atau masyarakat, namun konsepsi itu lebih didasarkan pada persepsi individual. Menjadi proses sosial tanpa henti yang mendahului pikiran dan diri. Meski masyarakat memiliki posisi sentral dalam sistem teorinya, tetapi Mead sedikit sekali bicara tentang masyarakat (Ritzer & Goodman, 2005: 287). Bahkan John Baldwin yang melihat banyaknya komponenn masyarakat  (makro) dalam pemikiran Mead, terpaksa mengakui: “Komponen makro sistem teori Mead tak sama baik perkembangannya dengan komponen mikro.” (Baldwin, 1986: 123).

7. Lingkup Realitas
Realitas sosial, pada dasarnya bisa dilihat dalam lingkup tataran makro yaitu masyarakat, juga bisa dilihat lingkupnya pada tataran Mikro, yaitu individu individu. Menurut pandangan Mead, dalam menerangkan pengalaman sosial, ia berbeda dengan psikologi sosial tradisional memulainya dengan psikologi individual. Mead sebaliknya justru selalu memberikan prioritas pada kehidupan sosial terlebih dahulu sebelum memahami pengalaman sosial individu.  Mead menjelaskan, “Menurut psikologi sosial, kita tidak membangun perilaku kelompok, dilihat dari sudut perilaku masing-masing individu yang membentuknya, kita bertolak dari keseluruhan sosial  dari aktivitas kelompok kompleks tertentu, dan dimana kita menganalisis perilaku masing-masing individu yang membentuknya. Kita lebih berupaya untuk menerangkan perilaku kelompok sosial ketimbang menerangkan perilaku terorganisir kelompok sosial dilihat dari sudut   perilaku masing masing individu yang membentuknya”. (Mead, 1962:7 dalam Miller 1982:2).
Jadi menurut Mead, keseluruhan sosial mendahului pemikiran individual baik secara logika maupun secara temporer. Individu yang berpikir dan sadar diri, itu mustakhil secara logika, tanpa didahului kelompok sosial terlebih dahulu. Dari kelompok sosial tersebut akan menghasilkan perkembangan keadaan mental kesadaran diri (Ritzer & Goodman, 2005: 273).
Dari sini nampak lingkup realitas yang dijelaskan oleh pemikiran Mead adalah dua realitas yaitu mikro dan makro. Yaitu realitas yang berkait dengan individu dan realitas masyarakat. Karena pada dasarnya pemikiran Mind, Self, and Society  memang membahas  interaksi diantara unsur masyarakat dan individu.  Menurut Mead, untuk mempunyai diri, individu harus mampu mencapai masyarakat (society), keadaan di luar dirinya sendiri, sehingga mampu mengevaluasi diri sendiri. Untuk berbuat demikian, individu harus menempatkan dirinya dalam bidang pengalaman yang sama dengan orang lain atau dalam istilah Mead, taking the role of the other, berarti harus memahami masyarakatnya. Tiap orang adalah bagian penting dari situasi yang dialami bersama, dan tiap orang harus memperhatikan diri sendiri agar mampu bertindak rasional dalam situasi tertentu. Dikatakan Mead, “Ha nya dengan mengambil peran orang lainlah kita mampu kembali ke diri kita sendiri” (Ritzer & Goodman, 2005: 282).
 Mead juga melihat “me” memungkinkan individu hidup nyaman dalam kehidupan sosial, sedangkan “I” memungkinkan terjadinya perubahan masyarakat. Dengan demikian “I” dan “Me” merupakan bagian dari keseluruhan proses sosial, yang memperlihatkan bahwa individu sebenarnya tidak pernah bisa dipisahkan dengan masyarakat melalui interaksionisme simbolik itu sendiri (Mead , 1934/1962: 197).

8. Aktor
            Dalam teori sosial peran aktor bisa dikatagorikan ke dalam dua macam kemungkinan. Pertama, aktor bersifat otonom, yaitu memiliki kehendak bebas, atau valuntaristik dalam proses sosial. Kemungkinan kedua aktor tidak bersifat otonom yang berarti aktor itu dalam proses sosial tidak dapat berpikir lain kecuali mengikuti struktur yang ada.  
Interaksionisme Simbolik dari George Herbert Mead melihat aktor, yaitu individu-individu di dalam masyarakat memiliki otonomi, tetapi tidak begitu saja mengabaikan struktur. Terutama kalau dilihat dari aspek konsep the self  yaitu “I“, yang merupakan sebuah kehendak bebas, berupa keinginan dan dorongan yang ada pada setiap diri individu. Maka disitu ada unsur aktor yang bersifat valuntaristik. Hanya saja karena “I“ senantiasa dikendalikan dalam interaksinya dengan “Me“. Ada kecenderungan seakan melihat aktor dipaksa oleh keadaan psikologis internal atau kekuatan struktural berskala luas. Hal itu terjadi karena teori ini melihat semuanya itu dipahami sebagai proses.  Orientasi khususnya mengarah pada kapasitas mental aktor dan hubungannya dengan tindakan dan interaksi. Karena itu secara garis besar aktor dalam interasionisme simbolik otonom-nya hanyalah sedikit. Namun demikian tetap manusia dapat membuat pilihan tindakan di mana mereka terlibat. Orang tak harus menyetujui arti dan simbol yang dipaksakan kepada mereka. Berdasar penafsiran mereka sendiri, manusia mampu membentuk arti baru terhadap situasi.
Jadi disini aktor bersifat otonom, memiliki pilihan-pilihan valuntaristik. Mereka tak semata-mata sekadar dibatasi  atau ditentukan oleh strukrur, namun mereka mampu membuat pilihan yang unik dan bebas. Begitu pula mereka mampu membangun kehidupan dengan gaya yang unik (Perinbayanagam, 1985:53).
            Interaksionisme simbolik menunjukkan kemampuan kreatif manusia dalam konsep mereka tentang definisi situasi. Kemampuan berpikir manusia hingga melakukan pilihan-pilihan merupakan karakteristik sifat valuntaristik aktor yang ditunjukkan dalam teori interaksionisme simbolik. Hal ini dapat dilihat dari beberapa prinsip dasar interaksionisme simbolik yang berasal dari Mead dan dirangkum oleh tokoh-tokoh (Blumer, 1969a; Manis dan Meltzer 1978, Rose 1962, Snow 2001), yaitu antara lain: Manusia mampu mengubah arti dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi  berdasarkan penafsiran mereka terhadap situasi. Manusia mampu membuat kebijakan  modifikasi dan perubahan, sebagian karena kemampuan berinteraksi  dengan diri mereka sendiri, yang memungkinkan mereka menguji serangkaian peluang tindakan. Pola tindakan dan interaksi yang saling berkaitan akan membentuk kelompok dan masyarakat (Ritzer & Goodman, 2005: 289).   

9. Lokus Realitas:
Bicara tentang lokus realitas, berarti membahas tentang mana yang lebih menentukan dalam tindakan sosial, antara badan (body) atau unsur-unsur biologis dari manusia, atau jiwa (mind), yaitu kemampuan berpikir manusia? Dari judul buku yang terkenal dalam interaksi simbolik, Mind, Self and Society, maka lokus realitas yang disoroti atau dijelaskan oleh teori ini memang lebih mengarah pada mind. Artinya manusia itu bukan sekadar benda hidup (body) yang dibentuk oleh lingkungannya sebagaimana behaviorisme, melainkan memiliki kehendak yang dipikirkan (mind), yang dalam melakukan tindakan senantiasa melibatkan proses interaksi secara simbolik dengan society dan unsur-unsur the self, yaitu “I” dan “me”. Interaksi internal pada diri atau the self  inilah menjadi lokus teori interaksi simbolik. Dengan demikian bisa dikatakan Mead lebih memperhatikan manusia pada aspek mind dibandingkan dengan body.
Interaksionisme simbolik Mead memusatkan perhatian pada dampak dari makna dan simbol  terhadap tindakan dan interaksi manusia. Mead membedakan antara perilaku lahiriah dan perilaku tersembunyi.  Perilaku tersembunyi adalah proses berpikir yang melibatkan simbol dan arti. Perilaku lahiriah adalah perilaku  sebenarnya  yang dilakukan oleh sang aktor. Beberapa perilaku lahiriah tidak melibatkan proses berpikir, karena hanya sebagai tanggapan terhadap rangsangan eksternal. Tetapi sebagian besar manusia melibatkan kedua jenis perilaku itu (Ritzer & Goodman, 2005: 293). Perilaku tersembunyi yaitu proses berpikir yang ada dalam mind inilah menjadi perhatian utama interaksionisme simbolik. Sementara perilaku lahiriah menjadi sasaran perhatian utama teoritisi pertukaran atau penganut behaviorisme tradisional.
            Pikiran (mind), yang didefinisikan Mead sebagai proses percakapan seseorang dengan dirinya sendiri, merupakan fenomena sosial. Pikiran muncul dan berkembang dalam proses sosial dan merupakan bagian integral dari proses sosial. Proses sosial dalam hal ini mendahului pikiran, proses sosial bukan produk dari pikiran. Karektistik dari pikiran adalah kemampuan individu untuk memunculkan dalam dirinya sendiri tidak hanya satu respon saja tetapi juga respon komunitas secara keseluruhan. Itulah yang dinamakan mind menurut Mead.
            Menurut Mead, mind diyakini berhubungan secara dialektis dengan diri (the self). Artinya, di satu pihak Mead menyatakan bahwa tubuh bukanlah diri, dan baru akan menjadi diri bila pikiran telah berkembang. Di lain pihak, diri dan refleksitas adalah penting bagi perkembangan pikiran. Disini mustahil memisahkan pikiran dengan diri, karena diri adalah proses mental antara “ I” dan “me”, sekaligus proses sosial. Dikatakan oleh Mead, “Keseluruhan proses sosial menghasilkan pengalaman individu tang terlibat di dalamnya. Dengan cara demikian individu bisa menerima sikap orang lain terhadap dirinya, individu secara sadar mampu menyesuaikan dirinya sendiri terhadap proses sosial, dan mampu mengubah proses yang dihasilkan dalam tindakan sosial tertentu dilihat dari sudut penyesuaian dirinya terhadap tindakan sosial itu (Mead, 1962:134).
            Jadi disini interaksionisme simbolik terjadi karena ada proses berpikir (mind), yaitu secara sadar menyesuaikan diri terhadap proses sosial. Melalui mind lah interaksi antara diri dan masyarakat dalam sudut pandang individu itu terjadi. Karena itu interaksionisme simbolik amat memandang penting proses yang terjadi pada mind ini. Lebih dari itu, menurut teori ini, pemikiran membentuk proses interaksi, dan dalam kebanyakan interaksi, aktor harus memperhatikan orang lain dan menentukan kapan dan bagaimana cara menyesuaikan aktivitasnya terhadap orang lain. Disitu semakin nampak bahwa proses yang terjadi pada aspek mind jauh lebih penting dalam interaksionisme dibanding body.
               
10. Jenis Penjelasan
            Ada empat jenis penjelasan dalam teori sosial. Pertama penjelasan yang melihat dari aspek fungsional, penjelasan historis atau penelusuran asal-usul (geneology), penjelasan tentang makna, dan penjelasan rasional atau cost benefit.
            Teori interaksionisme simbolik merupakan teori yang menjelaskan tentang makna. Mead menjelaskan tentang makna suatu tindakan manusia, yang bukan sekedar hasil respons terhadap stimuli dari luar. Dalam hal itu Mead juga menjelaskan tentang makna pemahaman dunia luar (masyarakat) oleh individu dalam membentuk konsep diri. Mead juga menjelaskan makna konsep diri yang dimiliki individu itu sendiri, hingga makna komunikasi, atau interaksi dalam membentuk diri.   Karena itu Mead dalam menjelaskan mengenai mengapa manusia bertindak, diawali dengan penjelasan tentang makna dari konsep diri yang muncul karena komunikasi. Tanpa bahasa, diri tidak akan berkembang. Manusia unik karena mereka memiliki kemampuan manipulasi simbol-simbol berdasarkan kesadaran (Douglas, 1973: 215). Selanjutnya Mead menekankan pentingnya komunikasi, khususnya melalui bahasa. Isyarat vokalah yang potensial menjadi seperangkat simbol yang bermakna yang membentuk bahasa. Simbol adalah suatu  rangsangan yang mengandung makna dan nilai yang dipelajari bagi manusia, dan respons manusia terhadap simbol adalah dalam pengertian makna dan nilainya.
            Suatu simbol oleh Mead disebut signifikan atau memiliki makna bila simbol itu membangkitkan pada individu yang menyampaikannya respon yang sama, seperti yang juga muncul pada individu yang dituju. Menurut Mead hanya apabila kita memiliki simbol-simbol yang bermakna, kita berkomunikasi dalam arti yang sesungguhnya.
Dalam hubungan antara individu dengan masyarakat, Mead menjelaskan tentang makna orang berpikir. Dalam buku Mind, Self, and  Society, dijelaskan melalui proses berpikirlah manusia bisa memahami masyarakat atau dunia luar, sekaligus mempengaruhi konsep diri dan tindakan. Penjelasan ini mencerminkan luasnya fakta yang diakui oleh Mead sebagai kehidupann sosial yang berpengaruh terhadap pikiran dan individu. Inilah penjelasan pemikiran teori Interaksionisme Simbolik dari George Herbert Mead mengenai makna pikiran manusia, diri individu, dan masyarakat.

11. Asumsi Tentang Masyarakat dan Individu
Masyarakat diasumsikan oleh George Herbert Mead sebagai proses sosial yang tiada henti yang mendahului pikiran dan diri individu. Masyarakat sebagai proses sosial dalam hal ini bertindak memaksakan konsep diri, definisi situasi, dan peluang dan perulangan perilaku yang mengikat dan memandu interaksi yang terjadi.  Namun di sisi yang lain masyarakat juga dilihat sebagai hasil dari pola tindakan dan interaksi yang saling berkaitan, yang kemudian kembali berpengaruh terhadap cara berpikir individu.  Dalam hal ini Mead menjelaskan, masyarakat mencerminkan sekumpulan tanggapan terorganisir yang diambil alih oleh individu dalam bentuk aku (Me).  Menurut pengertian individual ini masyarakat mempengaruhi mereka, memberi mereka kemampuan melalui kritik diri, untuk mmengenadilkan diri mereka sendiri.
Menurut Interaksinisme simbolik masyarakat tidak tersusun dari struktur makro. Esensi masyarakat terdapat pada aktor dan tindakan. Masyarakat terdiri dari manusia yang bertindak, dan kehidupan masyarakat dapat dilihat sebagai terdiri dari tindakan mereka. Masyarakat manusia adalah tindakan, kehidupan kelompok adalah “kompleks aktivitas tanpa henti“. Namun masyarakat tidak tersusun dari pemeran tindakan yang saling terisolasi. Juga ada tindakan kolektif, yang memerlukan “penyesuaian tindakan masing-masing individual menjadi sebuah garis tindakan masing-masing aktor saling memberikan tanda satu sama lain, tidak hanya kepada diri sendiri. Inilah yang menimbulkan apa yang disebut oleh Mead sebagai social action atau tindakan sosial dan yang disebut Blumer sebagai tindakan bersama (Ritzer dan Goodman, 2005: 307).
Pada tingkat kemasyarakatan yang lebih khusus, Mead mempunyai sejumlah pemikiran tentang pranata sosial yang didefinisikan sebagai “tanggapan bersama dalam komunitas“  atau “kebiasaan hidup komunitas“. Secara lebih khusus Mead menunjukkan proses terbentuknya pranata. Keseluruhan tindakan komunitas tertuju pada individu berdasarkan pada keadaan tertentu menurut cara yang sama, berdasarkan keadaan itu pula terdapat respon yang sama di pihak komunitas. Proses itulah pembentukan pranata sosial (Ritzer, & Goodman, 2005; 287).   

12. Metodologi
             Metodologi menyangkut bagaimana penelitian harus dilakukan, atau data dapat diperoleh. Interaksionisme simbolik termasuk ke dalam salah satu dari sejumlah tradisi penelitian kualitatif yang berasumsi bahwa penelitian sistematik harus dilakukan dalam suatu lingkungan yang alamiah.  Jadi interaksionisme simbolik indentik dengan penggunaan metodologi kualitiatif, yang bersifat interpretif. Interaksionisme simbolik menganalisis manusia dari aspek perilaku tersembunyi, yaitu proses mental yang namanya berpikir. Karenanya untuk menganalisis realitas yang tersembunyi, dan kedalaman data, yang paling sesuai dan tepat adalah metodologi kualitatif.
Sedangkan dari aspek ontologinya (the nature of reality) mendasarkan pada paradigma konstruktivis. Dalam paradigma construtivism ataupun relativism mengasumsikan, realitas itu merupakan hasil konstruksi mental dari individu-individu pelaku sosial, karenanya realitas itu dipahami secara beragam oleh setiap individu. Jadinya realitas bersifat pluralisme, dan dunia itu terus berubah sesuai dengan proses pemahaman itu. Paradigma konstruktivis dari aspek axiologisnya, menganggap nilai, etika dan pilihan moral merupakan bagian tak terpisahkan dari pengembangan ilmu dan penelitian. Ilmuwan atau peneliti berlaku sebagai passionate partisipant, fasilitator yang menjembatani keragaman subyektivitas pelaku sosial. Tujuannya, untuk merekonstruksi realitas sosial secara dialektis antara peneliti dengan pelaku sosial yang diteliti.
            Menurut Herbert Blumer, kaum interaksionisme simbolik harus meneliti apa yang berlangsung dalam kepala manusia. Metodologinya menekankan kebutuhan untuk secara jelas (insightful), merasakan pengalaman aktor. Pengamat perilaku manusia harus masuk  ke dalam dunia sang aktor dan melihat dunia itu sebagaimana sang aktor melihatnya, karena perilaku sang aktor berlangsung berdasarkan maknanya sendiri yang khusus. Melalui introspeksi simpatetik, peneliti harus mengambil titik berdiri (stand point) orang atau kelompok yang bertindak yang perilakunya ia teliti dan harus menggunakan katagori-katagori setiap aktor dalam menangkap dunia makna sang aktor (Mulyana, 2001: 151). Pendekatan intuitif verstehende ini lebih menekankan pemahaman intim dari pada kesepakatan intersubyektif di antara para peneliti (Jorgensen, 1989; 20-21).    Secara lebih spesifik, Dezin (1978: 20-21) mengemukakan tujuh prinsip metodologis berdasarkan teori interaksionisme simbolik, yaitu:
  1. Simbol dan interaksi harus dipadukan sebelum penelitian tuntas.
  2. Peneliti harus mengambil perspektif atau peran orang lain yang bertindak (the acting other) dan memandang  dunia dari sudut pandang subyek.
  3. Peneliti harus mengaitkan simbol dan definisi subjek dengan hubungan sosial dan kelompok-kelompok yang memberikan konsepsi demikian.
  4. Setting perilaku dalam interaksi tersebut dan pengamatan ilmiah harus dicatat.
  5. Metode penelitian harus mampu mencerminkan proses atau perubahan, juga bentuk perilaku yang statis.
  6. Pelaksanaan penelliitian paling baikdipandang sebagai suatu tindakan interaksi simbolik.
  7. Penggunaan konsep-konsep yang layak adalah pertama-tama mengarahkan (sensitizing) dan kemudian  operasional, teori yang layak menjadi teori formal, bukan grand theory  atau teori menengah. Proposisi yang dibangun menjadi interaksional dan universal.
13. Unit Analisis:
Unit analisis yang dipakai dalam pemikiran George Herbert Mead adalah interaksi yang terjadi dalam individu. Di setiap individu menurut Mead di dalamnya memiliki konsep diri dan kemampuan melakukan  self interaction.  Yaitu interaksi di dalam diri yang berperan mengidentifikiasi  diri mereka sendiri, sekaligus untuk melakukan evaluasi dan analisis terhadap hal-hal yang telah direncanakan ke depan, termasuk kepada orang lain Dengan adanya self interaction perilaku individu dipahami tidak sekadar respon terhadap lingkungan (masyarakat), melainkan juga hasil dari kebutuhan, sikap, motif yang tidak disadari, dan juga nilai-nilai sosial.  Melalui interaksi dengan diri mereka sendiri, orang dapat mengantisipasi berbagai efek yang mungkin muncul dikarenakan perilaku ataupun pilihan-pilihan di antara mereka.
Interaksi yang terjadi pada setiap individu inilah yang menjadi unit analisis dari teori interasionisme simbolik. Namun karena interaksi itu sendiri prosesnya kompleks atau tidak sederhana, melibatkan penggunaan bahasa atau isyarat, juga berkait dengan proses sosial yang ada di masyarakat, maka teori ini juga menganalisa realitas makro, yaitu masyarakat. Tapi masyarakat atau orang lain selalu ada di dalam diri individu. Walau Mead kurang memperhatikan kehidupan masyarakat secara makro. Masyarakat hanya dipandang secara umum sebagai proses sosial tanpa henti yang mendahului pikiran dan diri. Pranata Sosial (social institutions) didefinisikan tak lebih dari sekadar sebagai kebiasaan-kebiasaan (habits) kolektif (Ritzer & Goodman, 20005, 318).  Tetapi bagi Mead yang terpenting bahwa di setiap diri individu di dalamnya juga terdapat orang lain, dan terjadi interaksi.
Jadi unit analisis untuk penelitian yang menggunakan teori interaksionisme simbolik adalah individu aktor yang diteliti, yaitu meneliti apa yang berlangsung dalam dunia subyektif sang aktor, merasakan pengalaman aktor, dan menangkap dunia makna sang aktor.

14. Bias/ Keberpihakan.
Pemikiran Interaksionisme Simbolik George Herbert Mead dianggap berpihak pada nilai yang menganggap aktor itu yang lebih menentukan,  dan agak meremehkan  atau mengabaikan peran struktur berskala luas. Fokus interaksionalisme simbolik lebih banyak ke persoalan mikro individu dan kurang memperhatikan fenomena tingkat makro. Mead membahas masyarakat terlalu umum, sehingga dinilai bias karena terlalu menitik beratkan pada proses berpikir individu. Seakan-akan hal yang paling penting dalam proses sosial terjadi pada level individu. Tapi disisi yang lain  interaksionisme simbolik dianggap bias dengan mengabaikan faktor-faktor psikologis seperti kebutuhan motif, tujuan, dan aspirasi (Meltzer, Pertras dan Reynolds 1975; Stryker, 1980). Teoretisi interaksi simbolik malah memusatkan perhatian pada arti simbol, tindakan, dan interaksi. Mereka mengabaikan faktor psikologis yang mungkin membatasi atau menekan aktor. Dalam kasus ini teoretisi interaksionisme simbolik dituduh membuat ”pemujaan mutlak” terhadap kehidupan sehari hari. Bias lain interaksionisme simbolik adalah berbagai konsep dasarnya dinilai keliru, tidak tepat, oleh teoretisi lain, karena tak mampu menyediakan basis yang kuat untuk membangun teori dan riset (Ritzer & Goodman, 205: 309). Konsep-konsepnya terlalu abstrak karena bersifat mentalistis, sulit dioperasionalkan, akibatnya tak dapat menghasilkan proposisi-proposisi  yang dapat diuji dalam penelitian (Stryker, 1980: 310).
Jadi boleh George Herbert Mead menyampaikan teori interaksionisme simbolik, merupakan reaksi dan pengembangan dari pemikiran-pemikiran yang sudah ada sebelumnya, sekaligus menciptakan filsafat baru yang juga original. Interaksionisme simbolik adalah sebuah teori psikologi sosial yang ingin menjelaskan tentang apa dan bagaimana manusia itu, khususnya dalam hal berperilaku. Karenanya interaksionisme simbolik diirasakan bias atau berpihak pada pentingnya individu atau aktor dalam berinteraksi.


DAFTAR PUSTAKA

Baert, Patrick, 1995, Social Theory In The Twentieth Century, SAGE Publications,
       London-Thousand Oaks – New Delhi.

Baldwin, John C, 1986, George Herbert Mead: A Unifiying Theory for Sosiology,
       Newbury Park, Calif, Sage Publication.

Charon, Joel M, 2000, Symbolic Interactionism: An Introduction, an Interpretation. An
        Integration, 7th ed, Englewood Cliffs, N.J, Prentice Hall.
    
Cook, Gary, 1993, George Herbert Mead: The Making of Social Pragmatist, Urbana
       University of Illinois Press.

Denzin, 1978, The Research Act, A Theoritical  Introduction  to  Sociological Methods,
       New York, Mc Graw Hill.

Fisher, Aubrey, B., 1986,  Teori-Teori Komunikasi, Remadja Karya CV, Bandung.

Malcolm Waters, 1994, Modern Sociological Theory, Sage Publications, London-
        Thousand Oaks – New Delhi.

Mead, George Herbert Mead, 1934/1962, Mind, Self an Society: From The Stand Point of
        Social Behaviorist, Chicago, University of Chicago Press.

Mulyana, Deddy., 2001, Metode Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasi
        dan Ilmu Sosial Lainnya, Rosda Karya, Bandung.

Rahkmat Jalaludin, 1995, Psikologi Komunikasi, Remaja Rosda Karya, Bandung.

Ritzer, George dan Goodman Douglas J, 2005.,  Teori Sosiologi Modern, (Edisi
       Keenam),  Penerbit Kencana, Jakarta.

Stryker, Sheldon., (1980), Symbolic Interactionism: A Social Structural Version, Menlo
       Park, Calif, Benyamin/Cummings.

Weber, Max., 1973, The Definitions of Soiology, Social Action and Sosial Relationship,
       dalam Keneth Thompson dan Jjeremy Tunsttall, Sosiological Perspectives,
       Balitimore Pinguin.   


Non Buku

http://www.utm.edu/research/iep/m/mead.htm#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar