George Herbert Mead, filosof
ini identik dengan pemikiran interaksionisme
Simbolik. Sebuah pemikiran yang membedah interaksi diri dengan masyarakat, dan
itulah yang dikemukakan dalam buku Mind, The
self and Society (1934). Interaksionisme simbolik pada dasarnya merupakan sintesa pemikiran
filsafat pragmatisme dengan psikologi behavioralisme, karena itu Mead diposisikan sebagai pemikir Psikologi Sosial.
1. Konteks Sosial Yang
Melahirkan Teori Interaksionisme Simbolik
Pemikiran
Mead lahir pada awal abad 20, yaitu sekitar tahun 1900-an dan baru dibukukan
tahun 1937. Saat itu Amerika Serikat sedang gencar melakukan industrialisasi, tetapi saat
itu juga dunia sedang dilanda Perang Dunia Pertama (1914- 1918). Pengalaman dan
pengamatan Mead selama di Amerika Serikat maupun sewaktu sekolah di Leipzig dan
Berlin Jerman banyak mempengaruhi pemikirannya. Munculnya konsepsi tentang Mind, self dan Society tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial pada saat itu.
Sebagaimana kita ketahui
konsep itu muncul tatkala Mead mengajar psikologi sosial di Chicago sekitar
tahun 1916-1928. Waktu itu dunia sedang dilanda perang besar antara Jerman bersama
Austria melawan Perancis, Inggris dan negara-negara sekutu, termasuk Amerika
Serikat. Setelah selesai Perang Dunia
Pertama, Amerika Serikat mengalami
depresi ekonomi yang sangat berat. Pada saat itu di Amerika Serikat banyak terjadi
persoalan sosial. Dari masalah pengangguran, tingginya kriminalitas,
prostitusi, munculnya kasus-kasus perceraian
di masyarakat, hingga banyaknya orang yang mengidap depresi dan persoalan
sosial lain yang mengidab masyarakat urban yang sekulair. Itulah problema
masyarakat modern yang menjadi perhatian ilmuwan social pada masa itu.
Keadaan itu nampaknya
mendorong Mead mengamati everyday life kehidupan
manusia, terutama mengenai bagaimana
individu melakukan interaksi. Kemudian mengembangkan
teori Psikologi sosial. Pada dasarnya dia percaya bahwa ilmu pengetahuan bisa memberikan
solusi terhadap berbagai persoalan sosial (Ritzer & Goodman, 2005: 273). Untuk
itu selain dia memformulasikan pemikirannya dalam teori interaksi simbolik, keseharian
Mead juga aktif dalam kegiatan reformasi sosial. Dia terlibat kegiatan pengumpulan dana yang
berkenaan dengan kebijakan di bidang pemukiman sosial di Universitas Chicago. Kondisi
eksternal semacam itulah yang menjadi setting sosial ketika Mead menghasilkan
pemikiran- pemikirannya.
Karena itu tidaklah mengherankan
jika kajian tentang Mind, Mead
melihat mind secara pragmatis. Yakni mind atau pikiran melibatkan proses
berpikir yang mengarah pada penyelesaian masalah. Saat itu Mead berasumsi,
dunia nyata penuh dengan masalah (sesuai dengan keadaan saat itu), dan fungsi
pikiranlah untuk mencoba menyelesaikan masalah dan memungkinkan orang lebih
efektif dalam kehidupan (Ritzer dan Goodman, 2005: 280).
Begitu pula dalam membahas konsep
The Self, George Herbert Mead senantiasa
memperhitungkan faktor struktural, yaitu society.
Karena pada dasarnya menurut pengamatan Mead konsep diri (the self) yang dia sebut sebagai “I” menentukan kehendak, keinginan, termasuk
ambisi-ambisi dari mahkluk yang namanya manusia. Namun disisi lain diri manusia
juga memiliki konsepsi “Me”, yang
sangat memperhitungkan keadaan sekelilingnya.
“Me” senantiasa dipengaruhi
oleh interaksi internal yang dikaitkan dengan keadaan masyarakat. Itulah
struktur sosial yang berpengaruh
terhadap konsepsi the self.
2. Pemikiran dan Teori Yang Berpengaruh
Ilmuwan lain yang banyak
mempengaruhi pemikiran George Herbert Mead adalah Emile Durkeim, Weber, dan juga
John Dewey. Sebagian pakar berpendapat,
teori interaksi simbolik dari Mead sebenarnya di bawah payung teori tindakan
sosial yang dikemukakan filosof sekaligus sosiolog Jerman, Max Weber
(1864-1920). Tapi George Herbert Mead tidaklah secara harafiah mengembangkan
teori Weber, atau teori Mead diilhami teori Weber. Hanya memang ada kemiripan kedua
tokoh tersebut mengenai tindakan manusia.
Weber mendefinisikan tindakan
sosial sebagai semua perilaku manusia ketika dan sejauh individu memberikan
suatu makna subyektif terhadap perilaku tersebut. Tindakan bisa bersifat
terbuka atau tersembunyi, bisa merupakan intervensi positif dalam suatu situasi
atau berdiam diri sebagai tanda setuju dalam situasi tersebut. Menurut Weber, tindakan bermakna sosial sejauh berdasarkan
makna subyektifnya yang diberikan oleh individu atau individu-individu,
tindakan itu mempertimbangkan perilaku orang lain dan karenanya diorientasikan
dalam penampilannnya (Weber 1971: 128). Bagi Weber, jelas bahwa tindakan
manusia pada dasarnya bermakna, melibatkan penafsiran, berpikir dan
kesengajaan. Baginya tindakan sosial adalah tindakan disengaja, disengaja bagi
orang lain dan bagi sang aktor sendiri, yang pikiran-pikirannya aktif saling
menafsirkan perilaku orang lainnya, berkomunikasi
satu sama lain dan mengendalikan
perilaku dirinya dirinya masing-masing sesuai dengan maksud komunikasinya.
Pemikiran Weber ini tidak jauh berbeda
dengan pemikiran Mead dalam teori interaksionisme simbolik.
Untuk Dewey, sahabatnya ini, Mead amat menghargainya. “Mr Dewey bukan saja seorang dengan
pemikiran orisinal dan luar biasa, tapi juga seorang pemikir paling dihormati
yang pernah saya temui. Saya mendapatkan banyak hal darinya, daripada orang
lain” (Dinyatakan dalam G Cook, 1993: 22). Kesimpulan
tersebut benar adanya terutama pada awal karir Mead di Chicago. Bahkan dia
mengikuti Dewey dalam hal teori
pendidikan. Walau demikian, pemikiran Mead melepaskan diri dari pemikiran Dewey
dan mengembangkan teori Psikologi Sosial.
Pada saat Mead mengemukakan teorinya, ilmu sosial sudah
mengenal pemikiran Empirisme, Psikoanalisis, Behaviorisme dan Prakmatisme.
Masing-masing pemikiran itu sedang banyak dibahas di berbagai Universitas,
sekaligus menjadi isu ilmiah yang tidak saja dikritik, tapi juga saling
melengkapi. Pemikiran Mead nampak sekali
merupakan kritik terhadap Empirisme, psikoanalisis, sekaligus mengembangkan
pemikiran berdasar behaviorisme dan pragmatisme (Charon, 2000:45).
Empirisme merupakan aliran awal ilmu sosial, salah satu
tokohnya adalah John Locke (1632 – 1704). Menurut aliran ini, manusia itu pada
waktu lahir tidak mempunyai “warna mental”. Warna ini didapat dari pengalaman. Pengalaman
adalah satu-satunya jalan untuk pemilikan pengetahuan. Menurut aliran ini,
bukan ide yang menghasilkan pengetahuan,
tetapi baik ide maupun pengetahuan adalah produk pengalaman. Jadi
seluruh perilaku manusia, kepribadian, dan temperamen, ditentukan oleh
pengalaman inderawi (sensory experience).
Pikiran dan perasaan bukanlah penyebab perilaku, tetapi disebabkan oleh
perilaku masa lalu (Rakhmat, 1995: 21).
Sedangkan
Psikoanalisis tokohnya Sigmund Freud (1856-1939), yang melihat manusia itu
sebagai homo valens, mahkluk berkeinginan. Perilaku manusia merupakan hasil dari interaksi
tiga subsistem Id, Ego, Superego. Id merupakann bagian manusia yang menyimpan dorongan-dorongan biologis
manusia, sebagai pusat instink. Id bergerak
berdasarkan prinsip kesenangan (plasure
principle), bersifat egoistis, tidak bermoral, dan tidak mau tahu dengan
kenyataan (tabiat hewani manusia). Ego,
merupakan subsistem yang bergerak berdasar pinsip realitas (reality principles), berfungsi
menjembatani Id dengan realitas di
luar. Ego merupakan mediator antara hasrat dengan tuntutan rasional. Ego
lah yang menyebabkan manusia mampu menundukkan hasrat hewaninya dalam hidup
yang rasional atau pribadi yang normal. Sedangkan Superego adalah polisi
kepribadian, mewakili yang ideal. Superego adalah hati nurani yang merupakan
internalisasi dari dari norma-norma sosial. Secara singkat dalam psikoanalisis
perilaku manusia merupakan interaksi antara komponen biologis (Id), komponen psikologis (Ego) dan komponen sosial yaitu Superego.
Adapun Behaviorisme
yang juga berkembang saat itu, merupakan perspektif psikologi, yang memiliki
perhatian pada perilaku yang dianggap merupakan hasil dari proses stimulus
respon. Behaviorisme (yang radikal) menyangkal atau tak mau menghubungkan
proses mental tersembunyi yang terjadi saat stimuli muncul dan respon
dipancarkan. Thorndike dan Watson, berpendirian, organisme dilahirkan tanpa
sifat-sifat sosial atau psikologis, perilaku adalah hasil pengalaman,
digerakkan atau dimotivasi oleh kebutuuhan untuk membperbanyak kesenangan, atau
mengurangi penderitaan. Asumsi ini ditembah dengan sumbangan pemikiran biologi
abad 19, yang menganggap manusia adalah kelanjutan dari organisme yang lebih
rendah. Karena itu kita dapat memahami manusia dengan meneliti
perilaku organisme bukan manusia. Asumsi bahwa pengalaman adalah hal yang
paling berpengaruh pada manusia, menyiratkan betapa plastisnya manusia. Ia
seakan mudah dibentuk dengan apapun yang relevan.
Sedangkan
Pragmatisme adalah pemikiran filsafat yang menganggap realitas sebenarnya tak
ada di luar dunia nyata. Realitas diciptakan secara aktif saat kita
bertindak di dalam dan terhadap dunia
nyata. Manusia mengiingat dan mmendasarkan dunia nyata pada apa yang telah
terbukti berguna bagi mereka. Manusia mendefinisikan obyek sosial dan fisik
yang mereka temui di dunia nyata menurut kegunaannya bagi mereka. Tokoh
filsafat pragmatisme adalah John Dewey. Tokoh inilah yang banyak mempengaruhi
Mead dalam pandangan-pandangannya (Ritzer & Goodman, 2005: 266-267).
Jadi
boleh dikatakan konteks keilmuwan pada saat Mead menyampaikan teori
interaksionisme simbolik, merupakan reaksi dan pengembangan dari
pemikiran-pemikiran yang sudah ada sebelumnya, sekaligus menciptakan filsafat
baru yang juga original. Karenanya interaksionisme simbolik adalah sebuah teori
psikologi sosial yang ingin menjelaskan tentang apa dan bagaimana manusia itu,
khususnya dalam hal berperilaku.
3. Latar Belakang Sosial Dan Pribadi
Mead
Berdasar catatan, Mead lahir
di South Hatley Massachusetts, 27 Februari 1863. Ia merupakan anak kedua dari
profesor Hiram Mead dari Obelin Theological Seminary. Mead
mendapatkan pendidikan terutama di bidang filsafat dan aplikasinya
terhadap psikologi sosial. Awalnya ia belajar di perguruan dimana ayahnya
bekerja, Oberlin College, hingga mendapatkan sarjana muda pada tahun 1883. Mead
dan teman dekatnya, Henry Northrup Castle, menjadi murid yang bersemangat
mempelajari sastra, puisi, dan sejarah. Saat itu, Mead
amat tertarik dengan karangan-karangan, Shelley, Carlyle, Shakespeare, Keats,
dan Milton.
Beberapa tahun kemudian Mead menjadi guru Sekolah Dasar, tapi hanya berlangsung
selama empat bulan. Kemudian ia menjadi
mantri ukur di perusahaan KA, di
Wisconsin Central Rail Road Company, sembari
memberikan les prifat.
Tahun 1887 ia melanjutkan kuliah di Harvard, hingga
memperoleh gelar Master di bidang filsafat. Di musim gugur 1888, Mead,
mengikuti temannya Henry Nortrup ke Leipzig Jerman untuk menempuh program Ph.D
dalam bidang philosophy dan physiological psychology. Selama tahun akademik 1888-1889
di University of Leipzig, Mead tertarik pada teori
Darwinism dan belajar kepada Wilhelm Wundt (1832-1920) dan G. Stanley Hall
(1844-1924) (dua orang penemu utama experimental psychology). Atas rekomendasi
Hall, Mead pindah ke University
of Berlin pada tahun
1889. Disitulah dia kemudian
konsentrasi mempelajari teori ekonomi dan psikologi sosial.
Sayangnya Mead tidak pernah menyelesaikan
gelar doktornya. Tahun 1891 ia ditawari
mengajar di Universitas Michigan. Tahun 1894 atas undangan John Dewey, ia
diajak bergabung mengajar di Jurusan
Filsafat Universitas Chicago. Di Chicago inilah Mead bertahan hingga akhir
hayatnya. Saat itu Mead dan Dewey
menjadi teman akrab yang sering saling
bertukar pikiran. Bahkan dalam derajad
tertentu kedua teoritisi ini memiliki kemiripian dalam perspektif
filosofi mereka (Ritzer, 2005: 272). Hanya saja John Dewey lebih berkonsentrasi pada filsafat dan
pendidikan, sedangkan Herbert Mead lebih banyak bekerja untuk sumbangan pemikirannya
pada isu-isu dasar dalam psikologi sosial dan sosiologi.
Mead menikah dengan Helen
Castle di Berlin pada bulan Oktober, 1891. Sebelumnya kakak Helen, Henry
Northrup Castle, yang merupakan teman akrab Mead menikah terlebih dahulu juga
di Berlin dengan Frieda Stechner dari Leipzig. Kemudian Henry and dan
pasangannya kembali pindah ke Cambridge, Massachusetts, dimana Henry
melanjutkan sekolahnya di Jurusan Hukum di Harvard University. George Herbert
Mead punya anak satu satunya yang bernama Henry Castle Albert Mead, yang lahir
di Ann Arbor pada tahun 1892. Anak Mead tersebut setelah dewasa menjadi seorang
psikiater (http://www.utm.edu/research/iep/m/mead.htm).
Mead adalah seorang pengajar
yang baik, namun bukan seorang penulis yang baik, karenanya dia tidak pernah
menyelesaikan sebuah penulisan buku. Kesulitannya menulis itu pernah
diucapkannya, “Saya sangat tertekan dengan ketidakmampuan saya menuliskan
sesuatu yang saya inginkan.” (G.Cook, 1993:xii). Sisi kelemahan Mead yang
lain, Ia juga tidak pernah lulus doktor,
namun murid muridnya amat mengaguminya. Para muridnya mengakui bahwa setiap
kuliah prof Mead, isinya selalu menarik, dan disampaikan secara mengalir. Salah
satu muridnya, Herbert Blumer, pada tahun 1937 memberi julukan pemikiran Mead
itu sebagai teori Interaksionisme Simbolik (Baert, 1998: 67) .
Sebagai tambahan dalam
aktivitas akademiknya, Mead aktif dalam reformasi sosial. Dia percaya bahwa
ilmu pengetahuan dapat digunakan untuk mengatasi problem sosial. Makanya dia
terlibat aktif dalam pengumpulan dana
dan pembuat kebijakan berkenaan dengan pemukiman sosial Universitas Chicago. Dalam hal ini ia memegang peran kunci
dalam riset sosial di sana. Sayangnya, Mead terlibat konflik yang menyakitkan
antara departemen yang dia pimpin dengan rektor (presiden) universitas Chicago.
Hal ini yang menyebabkan Mead mengirim surat pengunduran diri ketika dia
masih terbaring di rumah sakit. Pada tahun 1931 Mead meninggal dunia akibat
gagal jantung. Komentar John Dewey, sebagai teman dekat, menganggap Mead
merupakan “pemikir filosofi paling orisinil dari generasi terakhir Amerika” (G
Cook, 1993, 194). Kedekatan sosial Mead dengan John Dewey baik dalam kehidupan
sosial maupun persahabatannya, nampak berpengaruh terhadap teori dan pemikiran
Mead.
Latar belakang Mead yang
sederhana sebagai guru, kemudian kedekatannya dengan teman seperti Henry
Northrup, John Dewey, yang banyak membantu dia dalam sekolah dan pekerjaan,
serta keterlibatannya dalam konflik-konflik, telah menghantarkan Mead pada
pengamatan hal-hal yang sifatnya everyday
life, kehidupan sehari-hari. Disitulah Mead nampak memiliki perhatian yang
besar terhadap persoalan psikologi sosial. Dari pengamatan pada kehidupan
orang-orang di sekitarnya dalam kehidupan sehari-hari itulah, yang kemudian
memunculkan pemikiran teori interaksionisme simbolik. Hal
ini dapat kita simak dalam tulisan berikut.
Mead spent the rest of his life in Chicago. He was full professor from 1907
until his death in 1931. During those years, Mead made substantial contributions
in both social psychology and philosophy. Mead's major contribution to the
field of social psychology was his attempt to show how the human self arises in
the process of social interaction, especially by way of linguistic
communication ("symbolic interaction"). In philosophy, as already
mentioned, Mead was one of the major American Pragmatists. As such, he pursued
and furthered the Pragmatist program and developed his own distinctive
philosophical outlook centered around the concepts of sociality and
temporality. His concept was developed from averyday life that has been
observed (see below) (http://www.utm.edu/research/iep/m/mead.htm,
diakses 5 januari 2006)..
4. Pertanyaan Yang Diajukan
Interaksionisme simbolik dari George Herbert Mead pada
dasarnya mengajukan pertanyaan berkenaan dengan fokus analisis utamanya. Yaitu
menyangkut pertanyaan, “Mengapa manusia
bertindak?” dan Apa
makna tindakan itu? Dalam menjawab
pertanyaan ini Mead mengungkap juga pertanyaan yang berkait dengan “Bagaimana
manusia berpikir tentang dirinya dan masyarakat?” Itulah
yang kemudian dalam pemikirannya Mead bicara tentang bagaimana munculnya konsep
diri, the emergent of the self, dan the self as social emergent. Juga mengungkap bagaimana interaksi
antara “I” dan “Me”. Serta bagaimana dialektika yang terjadi antara The self dan The other.
Ketika menjawab mengapa
manusia bertindak, Mead hampir sama dengan pendekatan behavioristik dan
memusatkan perhatian pada rangsangan. Tapi menurut Mead, stimulus tidak
menghasilkan respon secara otomatis melainkan melalui proses yang dipikirkan,
itulah yang disebut sebagai mind.
Mead
mengidentifikasi empat basis dan tahap tindakan yang saling berhubungan (Schmitt dan Schmitt, 1996:28). Tahap pertama
adalah dorongan hati atau impulse yang meliputi stimulasi spontan yang
berhubungan dengan alat indera, dan reaksi aktor terhadap rangsangan itu. Rasa
lapar adalah contoh yang tepat dari impuls. Aktor secara spontan memberikan reaksi
atas impuls, tapi manusia akan memikirkan bagaimana reaksi yang tepat (makan
sekarang atau nanti). Dalam berpikir tentang reaksi, manusia menurut Mead tak
hanya mempertimbangkan situasi kini, tapi juga pengalaman masa lalu, dan
mengantisipasi akibat dari tindakannya di masa depan.
Tahap
kedua adalah persepsi. Aktor menyelidiki dan bereaksi terhadap
yang berhubungan dengan impuls. Manusia mempunyai kapasitas untuk merasakan dan
memahami stimuli melalui pendengaran, senyuman, rasa, dan sebagainya. Persepsi
melibatkan rangsangan yang baru masuk maupun citra mental yang ditimbulkannya.
Aktor tidak secara spontan menanggapi stimuli dari luar, tapi memikirkannya
sebentar dan menilainya melalui bayangan
mental (Ritzer & Goodman, 2005: 275). Artinya, dalam hal ini manusia tak hanya
tunduk pada sebuah rangsangan dari luar, mereka secara aktif juga memilih di
antara sekumpulan rangsangan. Manusia memiliki kapasitas untuk memilih mana
yang perlu diperhatikan dan yang mana perlu diabaikan. Tindakan memahami obyek
itulah yang menyebabkan sesuatu itu menjadi obyek seseorang dan hal ini
berhubungan secara dialektis.
Tahap ketiga adalah manipulasi (manipulation).
Segera setelah impuls menyatakan dirinya sendiri dan obyek telah dipahami,
langkah selanjutnya adalah manipulasi obyek, atau mengambil tindakan berkenaan
obyek itu. Tahap manipulasi ini merupakan tahap jeda yang penting dalam proses
tindakan agar tanggapan tak diwujudkan secara spontan, melainkan diolah secara
cerdik (Ritzer & Goodman, 2005 : 275). Sebagai contoh ketika lapar dan
menemukan cendawan, besar kemungkinan tidak langsung dimakan, tapi diperiksa
terlebih dahulu, beracun apa tidak, kemudian baru dimasak atau diolah terlebih
dahulu sebelum dimakan. Dalam hal ini aktor secara mental menguji berbagai macam
hipotesis tentang apakah yang akan terjadi jika cendawan itu dimakan secara
langsung.
Tahap
berikutnya adalah tahap konsumasi (consummation) atau mengambil tindakan
yang memuaskan dorongan hati. Tahap ini dilakukan setelah melalui tahap-tahap
sebelumnya dengan berbagai perhitungan dan pemikiran yang berbeda dengan
binatang. John Baldwin mengatakan, ‘Meski keempat tahap tindakan itu
kadang-kadang tampak berangkai menurut urutan garis lurus, sebenarnya keempatnya
saling merasuk sehingga membentuk sebuah proses organis. Segi-segi setiap
bagian muncul sepanjang waktu mulai dari awal hingga akhir tindakan sehinggga
dengan demikian setiap bagian mempengaruhi bagian yang lain.’ (Baldwin, 1986 :
55-56).
Sementara
tindakan itu ada yang hanya melibatkan satu orang, tapi ada pula tindakan
sosial yang melibatkan dua orang atau lebih. Disinilah Mead mengungkapkan konsep
Gesture atau isyarat. Gesture
adalah gerakan organisme pertama yang bertindak sebagai rangsangan khusus yang
menimbulkan tanggapan yang tepat dari organisme kedua. Sebagaimana binatang
manusia terkadang juga terlibat dalam interaksi menggunakan isyarat yang spontan
tanpa dipikir tetapi naluriah, seperti ketika orang sedang bertinju yang ini
disebut sebagai isyarat non signifikan (non
significant gesture). Sedangkan isyarat yang memerlukan pemikiran aktor
sebelum bereaksi adalah significant
gesture.
Isyarat
menjadi signifikan bila muncul dari invidu yang membuat simbol-simbol itu sama
dengan sejenis tanggapan yang diperoleh dari orang yang menjadi sasaran
isyarat. Manusia sebenarnya hanya dapat
berkomunikasi bila mempunyai simbol yang signifikan. Disini bahasa menjadi kumpulan isyarat suara
yang signifikan. Menurut Mead, bahasa kini
menjadi simbol yang signifikan dan memberitahukan makna tertentu. Dalam
percakapan dengan isyarat, hanya isyarat itu sendiri yang dikomunikasikan.
Tetapi dengan bahasa, yang dikomunikasikan adalah isyarat dan maknanya (Mead,
1934, dalam Ritzer dan Goodman, 2005 : 278).
Yang
sangat penting dari teori Mead adalah fungsi simbol signifikan, yakni
memungkinkan proses mental yaitu berpikir. Hanya melalui simbol signifikan --khususnya
melalui bahasa-- manusia bisa berpikir. Mead mendefinisikan berpikir (thingking) sebagai percakapan individu
dengan dirinya sendiri dengan memakai isyarat. Bahkan Mead menyatakan,
“Berpikir adalah sama dengan berbicara dengan orang lain” (Ritzer dan Goodman,
2005: 279).
5. Proposisi Yang Ditawarkan
Proposisi
yang ditawarkan dalam interaksionisme simbolik adalah konsep-konsep tentang Mind (pikiran), Self (diri) dan Society
(masyarakat). Tiga konsep itu dan hubungan di antara ketiganya merupakan
inti pemikiran Mead, sekaligus key words
dalam teori tersebut. Interaksionisme simbolis secara khusus menjelaskan
tentang bahasa, interaksi sosial dan reflektivitas.
Mind atau pikiran,
menurut Mead muncul bersamaan dengan
proses sosial dan tidak dapat dipahami sebagai bagian dari proses itu sendiri. Proses komunikasi melibatkan dua fase yaitu: (1) the "conversation of gestures" dan (2) language (bahasa), atau the
"conversation of significant gestures." (http://www.utm.edu/research/iep/m/
mead.htm, diakses 5 Januari 2006). Kedua fase tersebut mensyaratkan suatu
konteks sosial dimana dua atau lebih individu berinteraksi dengan satu atau
yang lainnya. Mind, merupakan fenomena sosial yang berupa proses percakapan
seseorang dengan dirinya sendiri. Pikiran muncul dan berkembang dalam proses
sosial dan merupakan bagian integral dari proses sosial.
Mead walaupun menolak pandangan tradisional bahwa the mind secara substansial terpisah
dari the body, juga menolak kalau
dikatakan mind semata-mata merupakan
istilah physiology atau neurology. Namun Mead setuju dengan
pandangan kaum behavioristik dengan mengatakan “We can explain mind behaviorally if we deny its existence as a
substantial entity and view it instead as a natural function of human
organisms. But it is neither possible nor desirable to deny the existence of
mind altogether”. (http://www.utm.edu/research/iep/m/
mead.htm, diakses 5 Januari 2006). Jadi Mind sebenarnya merupakan kemampuan
individu untuk memunculkan dalam dirinya sendiri tidak hanya satu respon saja
tetapi juga respon komunitas secara keseluruhan. Itulah yang dinamakan mind menurut Mead.
The self atau diri, menurut Mead
merupakan ciri khas dari manusia. Yang tidak dimiliki oleh binatang. Diri adalah kemampuan untuk menerima diri
sendiri sebagai sebuah objek dari perspektif yang berasal dari orang lain, atau
masyarakat. Tapi diri juga merupakan kemampuan khusus sebagai subjek. Diri muncul dan berkembang melalui aktivitas interaksi sosial dan
bahasa. Menurut Mead, mustahil membayangkan diri muncul dalam ketiadaan pengalaman
sosial. Karena itu ia bertentangan dengan konsep diri yang soliter dari Cartesian Picture. The self juga
memungkinkan orang berperan dalam percakapan dengan orang lain karena adanya sharing of simbol. Artinya, seseorang
bisa berkomunikasi, selanjutnya menyadari apa yang dikatakannya dan akibatnya
mampu menyimak apa yang sedang dikatakan dan menentukan atau mengantisipasi apa
yang akan dikatakan selanjutnya.
Mead menggunakan istilah significant
gestures (isyarat-isyarat yang bermakna) dan significant communication dalam menjelaskan bagaimana orang berbagi
makna tentang simbol dan merefleksikannya. Ini berbeda dengan binatang, anjing
yang menggonggong mungkin akan memunculkan reaksi pada anjing yang lain, tapi
reaksi itu hanya sekedar insting, yang tidak pernah diantisipasi oleh anjing
pertama. Dalam kehidupan manusia kemampuan mengantisipasi dan memperhitungkan
orang lain merupakan cirikhas kelebihan manusia. Menurut Mead kata-kata
simbolik yang digunakan manusia dalam interaksi sosial juga mencakup isyarat
non verbal (non verbal gestures), dan
komunikasi non verbal.
Jadi the self
berkait dengan proses refleksi diri, yang secara umum sering disebut sebagai self
control atau self monitoring. Melalui refleksi diri
itulah menurut Mead individu mampu menyesuaikan dengan keadaan di mana mereka
berada, sekaligus menyesuaikan dari makna, dan efek tindakan yang mereka lakukan. Dengan kata
lain orang secara tak langsung menempatkan diri mereka dari sudut pandang orang
lain. Dari sudut pandang demikian orang memandang dirinya sendiri dapat menjadi
individu khusus atau menjadi kelompok sosial sebagai suatu kesatuan. Dalam hal
ini Mead berbeda dengan behavioralismenya Watson. Psikologi Sosial Mead amat
menentang determinisme eksternal yang ekstrim. Manusia itu berbeda dengan
binatang, karena manusia memiliki konsep diri. Konsep diri dan reflektivitas
itu berjalan beriringan, sehingga implikasinya perilaku manusia tidak dapat
dijelaskan, atau diprediksi dengan mudah, sebagaimana mekanisme stimulus respon
dari Watson.
Mead membedakan antara “I” (saya) dan “me” (aku). I
(Saya) merupakan bagian yang aktif dari diri (the self) yang mampu menjalankan perilaku. “Me” atau aku, merupakan konsep diri tentang
yang lain, yang harus mengikuti aturan main, yang diperbolehkan atau
tidak. I (saya) memiliki kapasitas untuk
berperilaku, yang dalam batas-batas tertentu
sulit untuk diramalkan, sulit diobservasi, dan tidak terorganisir berisi
pilihan perilaku bagi seseorang. Sedangkan “me” (aku) memberikan kepada I
(saya) arahan berfungsi untuk mengendalikan I (saya), sehingga hasilnya
perilaku manusia lebih bisa diramalkan, atau setidak-tidaknya tidak begitu
kacau. Karena itu dalam kerangka pengertian tentang the self (diri), terkandung esensi interaksi sosial. Interaksi
antara “I” (saya) dan “me” (aku). Disini
individu secara inheren mencerminkan proses sosial. Dikatakan oleh Mead, bahwa:
“There is a
dialectical relationship between society and the individual; and this dialectic
is enacted on the intra-psychic level in terms of the polarity of the
"me" and the "I." The "me" is the internalization
of roles which derive from such symbolic processes as linguistic interaction,
playing, and gaming; whereas the "I" is a "creative response"
to the symbolized structures of the "me". (http://www.utm.edu/research/iep/m/mead.htm).
Konsep Mead tidak bebas dari
kritik. Patrick Baert mengkritik Mead atas validitas beberapa argumen inti
filosofi yang dikemukakannya. Menurut Patrick inti pemikiran Mead ada pada
posisi kesimpulan bahwa the self itu
bersifat sosial. Tapi menurutnya, Mead
tidak jelas dalam memberikan pengertian konsep tersebut. Dan Mead dianggap tidak konsisten dalam hal
pertentangannya dengan konsep Cartesian
maupun behavioralismenya Watson (Baert, 1998: 71).
6. Jenis
Realitas
Jenis realitas dalam ilmu
sosial dipahami dalam dua konsepsi, yaitu realitas objektif dan realitas
subyektif. Realitas objektif bersifat
empiris diatur oleh hukum-hukum dan mekanisme alamiah
yang berlaku secara universal, dapat
diukur dengan standard tertentu, dan digeneralisasi, serta terbebas dari
konteks dan waktu. Sedangkan realitas subyektif bersifat interpretif, merupakan hasil
konstruksi mental dari individu-individu pelaku sosial, karenanya realitas itu
dipahami secara beragam oleh setiap individu. Pengkonstruksian terhadap
realitas subyektif tersebut senantiasa dipengaruhi oleh pengalaman dan konteks
lokal yang khas sesuai kondisi individu yang bersangkutan.
George Herbert Mead dalam
interaksionisme simbolik pada dasarnya lebih banyak menjelaskan realitas sosial
objektif yang sifatnya mikro. Menurutnya
dalam setiap individu, terdapat konsep the
self atau diri yang menentukan
perilaku individu tersebut, dalam hubungannya dengan masyarakat. The self atau diri merupakan ciri khas
dari manusia. Yang tidak dimiliki oleh mahkluk lain. Diri adalah kemampuan untuk menerima diri
sendiri sebagai sebuah objek dari perspektif yang berasal dari luar atau orang
lain. Tapi diri juga merupakan kemampuan khusus sebagai subyek. Diri muncul dan berkembang melalui aktivitas interaksi sosial dan
bahasa. Sebenarnya, pemikiran Mead ini
termasuk strukturalis. Bahwa masyarakat
sebagai struktur dipahami oleh individu dan mempengaruhi cara berpikir
hingga menentukan bagaimana diri menyesuaikan terhadap struktur (Fisher, 1986: 233).
Realitas sosial mikro tentang diri
inilah yang banyak dianalisis dan dikupas oleh Mead.
Sedangkan
realitas sosial objektif yang bersifat yang makro, kurang banyak dibahas oleh
teori Mead. Walau Mead mengungkap konsep society
atau masyarakat, namun konsepsi itu lebih didasarkan pada persepsi
individual. Menjadi proses sosial tanpa henti yang mendahului pikiran dan diri.
Meski masyarakat memiliki posisi sentral dalam sistem teorinya, tetapi Mead
sedikit sekali bicara tentang masyarakat (Ritzer & Goodman, 2005: 287). Bahkan
John Baldwin yang melihat banyaknya komponenn masyarakat (makro) dalam pemikiran Mead, terpaksa
mengakui: “Komponen makro sistem teori Mead tak sama baik perkembangannya
dengan komponen mikro.” (Baldwin, 1986: 123).
7. Lingkup Realitas
Realitas sosial, pada dasarnya
bisa dilihat dalam lingkup tataran makro yaitu masyarakat, juga bisa dilihat lingkupnya
pada tataran Mikro, yaitu individu individu. Menurut pandangan Mead, dalam
menerangkan pengalaman sosial, ia berbeda dengan psikologi sosial tradisional
memulainya dengan psikologi individual. Mead sebaliknya justru selalu
memberikan prioritas pada kehidupan sosial terlebih dahulu sebelum memahami
pengalaman sosial individu. Mead
menjelaskan, “Menurut psikologi sosial, kita tidak membangun perilaku kelompok,
dilihat dari sudut perilaku masing-masing individu yang membentuknya, kita
bertolak dari keseluruhan sosial dari
aktivitas kelompok kompleks tertentu, dan dimana kita menganalisis perilaku
masing-masing individu yang membentuknya. Kita lebih berupaya untuk menerangkan
perilaku kelompok sosial ketimbang menerangkan perilaku terorganisir kelompok
sosial dilihat dari sudut perilaku
masing masing individu yang membentuknya”. (Mead, 1962:7 dalam Miller 1982:2).
Jadi menurut Mead, keseluruhan
sosial mendahului pemikiran individual baik secara logika maupun secara
temporer. Individu yang berpikir dan sadar diri, itu mustakhil secara logika,
tanpa didahului kelompok sosial terlebih dahulu. Dari kelompok sosial tersebut
akan menghasilkan perkembangan keadaan mental kesadaran diri (Ritzer &
Goodman, 2005: 273).
Dari sini nampak lingkup
realitas yang dijelaskan oleh pemikiran Mead adalah dua realitas yaitu mikro
dan makro. Yaitu realitas yang berkait dengan individu dan realitas masyarakat.
Karena pada dasarnya pemikiran Mind, Self, and Society memang membahas interaksi diantara unsur masyarakat dan
individu. Menurut Mead, untuk mempunyai
diri, individu harus mampu mencapai masyarakat (society), keadaan di luar dirinya sendiri, sehingga mampu
mengevaluasi diri sendiri. Untuk berbuat demikian, individu harus menempatkan
dirinya dalam bidang pengalaman yang sama dengan orang lain atau dalam istilah
Mead, taking the role of the other, berarti
harus memahami masyarakatnya. Tiap orang adalah bagian penting dari situasi
yang dialami bersama, dan tiap orang harus memperhatikan diri sendiri agar
mampu bertindak rasional dalam situasi tertentu. Dikatakan Mead, “Ha nya dengan mengambil peran
orang lainlah kita mampu kembali ke diri kita sendiri” (Ritzer & Goodman,
2005: 282).
Mead juga melihat “me”
memungkinkan individu hidup nyaman dalam kehidupan sosial, sedangkan “I”
memungkinkan terjadinya perubahan masyarakat. Dengan demikian “I” dan “Me”
merupakan bagian dari keseluruhan proses sosial, yang memperlihatkan bahwa individu
sebenarnya tidak pernah bisa dipisahkan dengan masyarakat melalui
interaksionisme simbolik itu sendiri (Mead , 1934/1962: 197).
8. Aktor
Dalam
teori sosial peran aktor bisa dikatagorikan ke dalam dua macam kemungkinan. Pertama,
aktor bersifat otonom, yaitu memiliki kehendak bebas, atau valuntaristik dalam
proses sosial. Kemungkinan kedua aktor tidak bersifat otonom yang berarti aktor
itu dalam proses sosial tidak dapat berpikir lain kecuali mengikuti struktur
yang ada.
Interaksionisme Simbolik dari
George Herbert Mead melihat aktor, yaitu individu-individu di dalam masyarakat
memiliki otonomi, tetapi tidak begitu saja mengabaikan struktur. Terutama kalau dilihat dari aspek konsep the self yaitu “I“, yang merupakan sebuah kehendak
bebas, berupa keinginan dan dorongan yang ada pada setiap diri individu. Maka
disitu ada unsur aktor yang bersifat valuntaristik. Hanya saja karena “I“ senantiasa dikendalikan dalam
interaksinya dengan “Me“. Ada kecenderungan seakan melihat
aktor dipaksa oleh keadaan psikologis internal atau kekuatan struktural
berskala luas. Hal itu terjadi karena teori ini melihat semuanya itu dipahami
sebagai proses. Orientasi khususnya
mengarah pada kapasitas mental aktor dan hubungannya dengan tindakan dan
interaksi. Karena itu secara garis besar aktor dalam interasionisme simbolik
otonom-nya hanyalah sedikit. Namun demikian tetap manusia dapat membuat pilihan
tindakan di mana mereka terlibat. Orang tak harus menyetujui arti dan simbol
yang dipaksakan kepada mereka. Berdasar penafsiran mereka sendiri, manusia mampu membentuk arti baru
terhadap situasi.
Jadi disini aktor bersifat otonom,
memiliki pilihan-pilihan valuntaristik. Mereka tak semata-mata sekadar
dibatasi atau ditentukan oleh strukrur,
namun mereka mampu membuat pilihan yang unik dan bebas. Begitu pula mereka
mampu membangun kehidupan dengan gaya yang unik (Perinbayanagam, 1985:53).
Interaksionisme
simbolik menunjukkan kemampuan kreatif manusia dalam konsep mereka tentang
definisi situasi. Kemampuan berpikir manusia hingga melakukan pilihan-pilihan
merupakan karakteristik sifat valuntaristik aktor yang ditunjukkan dalam teori interaksionisme
simbolik. Hal ini dapat dilihat dari beberapa prinsip dasar interaksionisme
simbolik yang berasal dari Mead dan dirangkum oleh tokoh-tokoh (Blumer, 1969a;
Manis dan Meltzer 1978, Rose 1962, Snow 2001), yaitu antara lain: Manusia mampu
mengubah arti dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan penafsiran mereka terhadap situasi.
Manusia mampu membuat kebijakan
modifikasi dan perubahan, sebagian karena kemampuan berinteraksi dengan diri mereka sendiri, yang memungkinkan
mereka menguji serangkaian peluang tindakan. Pola tindakan dan interaksi yang
saling berkaitan akan membentuk kelompok dan masyarakat (Ritzer & Goodman,
2005: 289).
9. Lokus Realitas:
Bicara tentang lokus realitas,
berarti membahas tentang mana yang lebih menentukan dalam tindakan sosial,
antara badan (body) atau unsur-unsur
biologis dari manusia, atau jiwa (mind),
yaitu kemampuan berpikir manusia? Dari judul buku yang terkenal dalam interaksi
simbolik, Mind, Self and Society,
maka lokus realitas yang disoroti atau dijelaskan oleh teori ini memang lebih
mengarah pada mind. Artinya manusia
itu bukan sekadar benda hidup (body)
yang dibentuk oleh lingkungannya sebagaimana behaviorisme, melainkan memiliki
kehendak yang dipikirkan (mind), yang
dalam melakukan tindakan senantiasa melibatkan proses interaksi secara simbolik
dengan society dan unsur-unsur the self, yaitu “I” dan “me”. Interaksi
internal pada diri atau the self inilah menjadi lokus teori interaksi
simbolik. Dengan demikian bisa dikatakan Mead lebih memperhatikan manusia pada aspek
mind dibandingkan dengan body.
Interaksionisme simbolik Mead
memusatkan perhatian pada dampak dari makna dan simbol terhadap tindakan dan interaksi manusia. Mead
membedakan antara perilaku lahiriah dan
perilaku tersembunyi. Perilaku tersembunyi adalah proses berpikir
yang melibatkan simbol dan arti. Perilaku lahiriah adalah perilaku sebenarnya yang dilakukan oleh sang aktor. Beberapa
perilaku lahiriah tidak melibatkan proses berpikir, karena hanya sebagai
tanggapan terhadap rangsangan eksternal. Tetapi sebagian besar manusia
melibatkan kedua jenis perilaku itu (Ritzer & Goodman, 2005: 293). Perilaku
tersembunyi yaitu proses berpikir yang ada dalam mind inilah menjadi perhatian utama interaksionisme simbolik.
Sementara perilaku lahiriah menjadi sasaran perhatian utama teoritisi
pertukaran atau penganut behaviorisme tradisional.
Pikiran
(mind), yang didefinisikan Mead
sebagai proses percakapan seseorang dengan dirinya sendiri, merupakan fenomena
sosial. Pikiran muncul dan berkembang dalam proses sosial dan merupakan bagian
integral dari proses sosial. Proses sosial dalam hal ini mendahului pikiran,
proses sosial bukan produk dari pikiran. Karektistik dari pikiran adalah
kemampuan individu untuk memunculkan dalam dirinya sendiri tidak hanya satu
respon saja tetapi juga respon komunitas secara keseluruhan. Itulah yang
dinamakan mind menurut Mead.
Menurut
Mead, mind diyakini berhubungan
secara dialektis dengan diri (the self).
Artinya, di satu pihak Mead
menyatakan bahwa tubuh bukanlah diri, dan baru akan menjadi diri bila pikiran
telah berkembang. Di lain pihak, diri dan refleksitas adalah penting bagi
perkembangan pikiran. Disini
mustahil memisahkan pikiran dengan diri, karena diri adalah proses mental
antara “ I” dan “me”, sekaligus proses sosial. Dikatakan oleh Mead,
“Keseluruhan proses sosial menghasilkan pengalaman individu tang terlibat di
dalamnya. Dengan cara demikian individu bisa menerima sikap orang lain terhadap
dirinya, individu secara sadar mampu menyesuaikan dirinya sendiri terhadap
proses sosial, dan mampu mengubah proses yang dihasilkan dalam tindakan sosial
tertentu dilihat dari sudut penyesuaian dirinya terhadap tindakan sosial itu
(Mead, 1962:134).
Jadi
disini interaksionisme simbolik terjadi karena ada proses berpikir (mind), yaitu secara sadar menyesuaikan
diri terhadap proses sosial. Melalui mind
lah interaksi antara diri dan masyarakat dalam sudut pandang individu itu
terjadi. Karena itu interaksionisme simbolik amat memandang penting proses yang
terjadi pada mind ini. Lebih dari
itu, menurut teori ini, pemikiran membentuk proses interaksi, dan dalam
kebanyakan interaksi, aktor harus memperhatikan orang lain dan menentukan kapan
dan bagaimana cara menyesuaikan aktivitasnya terhadap orang lain. Disitu
semakin nampak bahwa proses yang terjadi pada aspek mind jauh lebih penting dalam interaksionisme dibanding body.
10. Jenis Penjelasan
Ada empat jenis penjelasan dalam
teori sosial. Pertama penjelasan yang melihat dari aspek fungsional, penjelasan
historis atau penelusuran asal-usul (geneology),
penjelasan tentang makna, dan penjelasan rasional atau cost benefit.
Teori interaksionisme simbolik merupakan teori
yang menjelaskan tentang makna. Mead menjelaskan tentang makna suatu tindakan
manusia, yang bukan sekedar hasil respons terhadap stimuli dari luar. Dalam hal
itu Mead juga menjelaskan tentang makna pemahaman dunia luar (masyarakat) oleh
individu dalam membentuk konsep diri. Mead juga menjelaskan makna konsep diri
yang dimiliki individu itu sendiri, hingga makna komunikasi, atau interaksi
dalam membentuk diri. Karena itu Mead dalam menjelaskan mengenai mengapa
manusia bertindak, diawali dengan penjelasan tentang makna dari konsep diri yang
muncul karena komunikasi. Tanpa bahasa, diri tidak akan berkembang. Manusia
unik karena mereka memiliki kemampuan manipulasi simbol-simbol berdasarkan
kesadaran (Douglas, 1973: 215). Selanjutnya Mead menekankan pentingnya komunikasi,
khususnya melalui bahasa. Isyarat vokalah yang potensial menjadi seperangkat
simbol yang bermakna yang membentuk bahasa. Simbol adalah suatu rangsangan yang mengandung makna dan nilai yang
dipelajari bagi manusia, dan respons manusia terhadap simbol adalah dalam
pengertian makna dan nilainya.
Suatu
simbol oleh Mead disebut signifikan atau memiliki makna bila simbol itu
membangkitkan pada individu yang menyampaikannya respon yang sama, seperti yang
juga muncul pada individu yang dituju. Menurut Mead hanya apabila kita memiliki
simbol-simbol yang bermakna, kita berkomunikasi dalam arti yang sesungguhnya.
Dalam hubungan antara individu
dengan masyarakat, Mead menjelaskan tentang makna orang berpikir. Dalam buku Mind, Self, and Society, dijelaskan melalui proses
berpikirlah manusia bisa memahami masyarakat atau dunia luar, sekaligus
mempengaruhi konsep diri dan tindakan. Penjelasan ini mencerminkan luasnya
fakta yang diakui oleh Mead sebagai kehidupann sosial yang berpengaruh terhadap
pikiran dan individu. Inilah penjelasan pemikiran teori Interaksionisme
Simbolik dari George Herbert Mead mengenai makna pikiran manusia, diri
individu, dan masyarakat.
11. Asumsi Tentang Masyarakat dan Individu
Masyarakat diasumsikan oleh
George Herbert Mead sebagai proses sosial yang tiada henti yang mendahului
pikiran dan diri individu. Masyarakat sebagai proses sosial dalam hal ini
bertindak memaksakan konsep diri, definisi situasi, dan peluang dan perulangan
perilaku yang mengikat dan memandu interaksi yang terjadi. Namun di sisi yang lain masyarakat juga
dilihat sebagai hasil dari pola tindakan dan interaksi yang saling berkaitan,
yang kemudian kembali berpengaruh terhadap cara berpikir individu. Dalam hal ini Mead menjelaskan, masyarakat
mencerminkan sekumpulan tanggapan terorganisir yang diambil alih oleh individu
dalam bentuk aku (Me). Menurut pengertian individual ini masyarakat
mempengaruhi mereka, memberi mereka kemampuan melalui kritik diri, untuk
mmengenadilkan diri mereka sendiri.
Menurut Interaksinisme
simbolik masyarakat tidak tersusun dari struktur makro. Esensi masyarakat
terdapat pada aktor dan tindakan. Masyarakat terdiri dari manusia yang
bertindak, dan kehidupan masyarakat dapat dilihat sebagai terdiri dari tindakan
mereka. Masyarakat manusia adalah tindakan, kehidupan kelompok adalah “kompleks
aktivitas tanpa henti“. Namun masyarakat tidak tersusun dari pemeran tindakan
yang saling terisolasi. Juga ada tindakan kolektif, yang memerlukan
“penyesuaian tindakan masing-masing individual menjadi sebuah garis tindakan
masing-masing aktor saling memberikan tanda satu sama lain, tidak hanya kepada
diri sendiri. Inilah yang menimbulkan apa yang disebut oleh Mead sebagai social action atau tindakan sosial dan
yang disebut Blumer sebagai tindakan bersama (Ritzer dan Goodman, 2005: 307).
Pada tingkat kemasyarakatan
yang lebih khusus, Mead mempunyai sejumlah pemikiran tentang pranata sosial
yang didefinisikan sebagai “tanggapan bersama dalam komunitas“ atau “kebiasaan hidup komunitas“. Secara
lebih khusus Mead menunjukkan proses terbentuknya pranata. Keseluruhan tindakan
komunitas tertuju pada individu berdasarkan pada keadaan tertentu menurut cara
yang sama, berdasarkan keadaan itu pula terdapat respon yang sama di pihak
komunitas. Proses itulah pembentukan pranata sosial (Ritzer, & Goodman,
2005; 287).
12. Metodologi
Metodologi
menyangkut bagaimana penelitian harus dilakukan, atau data dapat diperoleh. Interaksionisme
simbolik termasuk ke dalam salah satu dari sejumlah tradisi penelitian
kualitatif yang berasumsi bahwa penelitian sistematik harus dilakukan dalam
suatu lingkungan yang alamiah. Jadi
interaksionisme simbolik indentik dengan penggunaan metodologi kualitiatif,
yang bersifat interpretif. Interaksionisme
simbolik menganalisis manusia dari aspek perilaku tersembunyi, yaitu proses
mental yang namanya berpikir. Karenanya untuk menganalisis realitas yang
tersembunyi, dan kedalaman data, yang paling sesuai dan tepat adalah metodologi
kualitatif.
Sedangkan dari aspek ontologinya (the nature of reality) mendasarkan pada paradigma konstruktivis. Dalam
paradigma construtivism ataupun relativism
mengasumsikan, realitas itu merupakan hasil konstruksi mental dari
individu-individu pelaku sosial, karenanya realitas itu dipahami secara beragam
oleh setiap individu. Jadinya realitas bersifat pluralisme, dan dunia itu terus
berubah sesuai dengan proses pemahaman itu. Paradigma konstruktivis dari aspek
axiologisnya, menganggap nilai, etika dan pilihan moral merupakan bagian tak
terpisahkan dari pengembangan ilmu dan penelitian. Ilmuwan atau peneliti
berlaku sebagai passionate partisipant, fasilitator yang menjembatani
keragaman subyektivitas pelaku sosial. Tujuannya, untuk merekonstruksi realitas
sosial secara dialektis antara peneliti dengan pelaku sosial yang diteliti.
Menurut
Herbert Blumer, kaum interaksionisme simbolik harus meneliti apa yang
berlangsung dalam kepala manusia. Metodologinya menekankan kebutuhan untuk
secara jelas (insightful), merasakan
pengalaman aktor. Pengamat perilaku manusia harus masuk ke dalam dunia sang aktor dan melihat dunia
itu sebagaimana sang aktor melihatnya, karena perilaku sang aktor berlangsung
berdasarkan maknanya sendiri yang khusus. Melalui introspeksi simpatetik,
peneliti harus mengambil titik berdiri (stand
point) orang atau kelompok yang bertindak yang perilakunya ia teliti dan
harus menggunakan katagori-katagori setiap aktor dalam menangkap dunia makna
sang aktor (Mulyana, 2001: 151). Pendekatan intuitif verstehende ini lebih menekankan pemahaman intim dari pada
kesepakatan intersubyektif di antara para peneliti (Jorgensen, 1989; 20-21). Secara
lebih spesifik, Dezin (1978: 20-21) mengemukakan tujuh prinsip metodologis
berdasarkan teori interaksionisme simbolik, yaitu:
- Simbol dan interaksi harus dipadukan sebelum penelitian tuntas.
- Peneliti harus mengambil perspektif atau peran orang lain yang bertindak (the acting other) dan memandang dunia dari sudut pandang subyek.
- Peneliti harus mengaitkan simbol dan definisi subjek dengan hubungan sosial dan kelompok-kelompok yang memberikan konsepsi demikian.
- Setting perilaku dalam interaksi tersebut dan pengamatan ilmiah harus dicatat.
- Metode penelitian harus mampu mencerminkan proses atau perubahan, juga bentuk perilaku yang statis.
- Pelaksanaan penelliitian paling baikdipandang sebagai suatu tindakan interaksi simbolik.
- Penggunaan konsep-konsep yang layak adalah pertama-tama mengarahkan (sensitizing) dan kemudian operasional, teori yang layak menjadi teori formal, bukan grand theory atau teori menengah. Proposisi yang dibangun menjadi interaksional dan universal.
13. Unit Analisis:
Unit analisis yang dipakai dalam pemikiran George Herbert
Mead adalah interaksi yang terjadi dalam individu. Di setiap individu menurut Mead di dalamnya memiliki konsep diri
dan kemampuan melakukan self interaction. Yaitu interaksi di dalam diri yang berperan
mengidentifikiasi diri mereka sendiri,
sekaligus untuk melakukan evaluasi dan analisis terhadap hal-hal yang telah
direncanakan ke depan, termasuk kepada orang lain Dengan adanya self interaction perilaku individu dipahami
tidak sekadar respon terhadap lingkungan (masyarakat), melainkan juga hasil
dari kebutuhan, sikap, motif yang tidak disadari, dan juga nilai-nilai
sosial. Melalui interaksi dengan diri
mereka sendiri, orang dapat mengantisipasi berbagai efek yang mungkin muncul
dikarenakan perilaku ataupun pilihan-pilihan di antara mereka.
Interaksi yang terjadi pada
setiap individu inilah yang menjadi unit analisis dari teori interasionisme
simbolik. Namun karena interaksi itu
sendiri prosesnya kompleks atau tidak sederhana, melibatkan penggunaan bahasa
atau isyarat, juga berkait dengan proses sosial yang ada di masyarakat, maka
teori ini juga menganalisa realitas makro, yaitu masyarakat. Tapi masyarakat
atau orang lain selalu ada di dalam diri individu. Walau Mead kurang
memperhatikan kehidupan masyarakat secara makro. Masyarakat hanya dipandang
secara umum sebagai proses sosial tanpa henti yang mendahului pikiran dan diri.
Pranata Sosial (social institutions)
didefinisikan tak lebih dari sekadar sebagai kebiasaan-kebiasaan (habits) kolektif (Ritzer & Goodman,
20005, 318). Tetapi bagi Mead yang
terpenting bahwa di setiap diri individu di dalamnya juga terdapat orang lain,
dan terjadi interaksi.
Jadi unit analisis untuk
penelitian yang menggunakan teori interaksionisme simbolik adalah individu
aktor yang diteliti, yaitu meneliti apa yang berlangsung dalam dunia subyektif
sang aktor, merasakan pengalaman aktor, dan menangkap dunia makna sang aktor.
14. Bias/ Keberpihakan.
Pemikiran Interaksionisme
Simbolik George Herbert Mead dianggap berpihak pada nilai yang menganggap aktor
itu yang lebih menentukan, dan agak meremehkan atau mengabaikan peran struktur berskala
luas. Fokus interaksionalisme
simbolik lebih banyak ke persoalan mikro individu dan kurang memperhatikan
fenomena tingkat makro. Mead membahas masyarakat terlalu umum, sehingga dinilai
bias karena terlalu menitik beratkan pada proses berpikir individu. Seakan-akan hal yang paling penting dalam proses sosial terjadi pada
level individu. Tapi disisi yang lain interaksionisme simbolik dianggap bias dengan
mengabaikan faktor-faktor psikologis seperti kebutuhan motif, tujuan, dan
aspirasi (Meltzer, Pertras dan Reynolds 1975; Stryker, 1980). Teoretisi interaksi simbolik malah
memusatkan perhatian pada arti simbol, tindakan, dan interaksi. Mereka
mengabaikan faktor psikologis yang mungkin membatasi atau menekan aktor. Dalam
kasus ini teoretisi interaksionisme simbolik dituduh membuat ”pemujaan mutlak”
terhadap kehidupan sehari hari. Bias lain interaksionisme simbolik adalah
berbagai konsep dasarnya dinilai keliru, tidak tepat, oleh teoretisi lain, karena
tak mampu menyediakan basis yang kuat untuk membangun teori dan riset (Ritzer
& Goodman, 205: 309). Konsep-konsepnya terlalu abstrak karena bersifat mentalistis,
sulit dioperasionalkan, akibatnya tak dapat menghasilkan
proposisi-proposisi yang dapat diuji
dalam penelitian (Stryker, 1980: 310).
Jadi boleh George Herbert Mead
menyampaikan teori interaksionisme simbolik, merupakan reaksi dan pengembangan
dari pemikiran-pemikiran yang sudah ada sebelumnya, sekaligus menciptakan
filsafat baru yang juga original. Interaksionisme simbolik adalah sebuah teori
psikologi sosial yang ingin menjelaskan tentang apa dan bagaimana manusia itu,
khususnya dalam hal berperilaku. Karenanya interaksionisme simbolik diirasakan
bias atau berpihak pada pentingnya individu atau aktor dalam berinteraksi.
DAFTAR PUSTAKA
Baert, Patrick,
1995, Social Theory In The Twentieth
Century, SAGE Publications,
London-Thousand
Oaks – New Delhi.
Baldwin, John C,
1986, George Herbert Mead: A Unifiying
Theory for Sosiology,
Newbury
Park, Calif, Sage
Publication.
Charon, Joel M,
2000, Symbolic Interactionism: An
Introduction, an Interpretation. An
Integration, 7th
ed, Englewood Cliffs, N.J, Prentice Hall.
Cook, Gary,
1993, George Herbert Mead: The Making of
Social Pragmatist, Urbana
University of Illinois Press.
Denzin, 1978, The Research Act, A Theoritical Introduction to Sociological Methods,
New
York, Mc Graw Hill.
Fisher, Aubrey,
B., 1986, Teori-Teori Komunikasi, Remadja Karya CV, Bandung.
Malcolm Waters,
1994, Modern Sociological Theory,
Sage Publications, London-
Thousand Oaks –
New Delhi.
Mead, George
Herbert Mead, 1934/1962, Mind, Self an
Society: From The Stand Point of
Social Behaviorist,
Chicago, University
of Chicago Press.
Mulyana, Deddy.,
2001, Metode Penelitian Kualitatif,
Paradigma Baru Ilmu Komunikasi
dan Ilmu Sosial Lainnya, Rosda Karya, Bandung.
Rahkmat
Jalaludin, 1995, Psikologi Komunikasi,
Remaja Rosda Karya, Bandung.
Ritzer, George dan Goodman Douglas J, 2005., Teori Sosiologi Modern,
(Edisi
Keenam), Penerbit Kencana, Jakarta.
Stryker,
Sheldon., (1980), Symbolic Interactionism:
A Social Structural Version, Menlo
Park, Calif,
Benyamin/Cummings.
Weber, Max.,
1973, The Definitions of Soiology, Social
Action and Sosial Relationship,
dalam Keneth Thompson dan Jjeremy Tunsttall,
Sosiological Perspectives,
Balitimore Pinguin.
Non Buku
http://www.utm.edu/research/iep/m/mead.htm#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar