Secara teoretik keberadaan Information Communication Technology (ICT) akan meningkatkan
kualitas hidup manusia, karena memudahkan
berbagai hal yang berkaitan dengan akses informasi dan komunikasi. ICT dipercaya akan menjadi pendorong
pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Pemerintah Indonesiapun
berkomitmen membangun dan meningkatkan penggunaan ICT secara produktif di
masyarakat. Beberapa program pembangunan ICT antara lain dibangunnya
infrastruktur Palapa Ring. Yaitu suatu jaringan fiber optic berskala besar melingkari Indonesia, menyambungkan
pulau-pulau wilayah timur negeri ini. Nantinya Palapa Ring terhubung dengan
infrastruktur di wilayah Indonesia barat
yang sudah terbangun. Palapa Ring ibarat “Jalan Tol” teknologi digital, akan
dilengkapi dengan program Universal
Public Obligation (USO), semacam jalan-jalan kecil, yang masuk ke kampung-kampung,
desa-desa sehingga membentuk jaringan interkoneksi Indonesia. Program yang
targetnya akan selesai tahun 2014 merupakan upaya menyatukan Indonesia melalui
ICT, makanya dinamakan “Palapa” mengingatkan kembali sumpah Maha Patih Gadjah
Mada yang menyatukan Nusantara.
Walau proyek besar Palapa Ring
dan USO belum selesai, sekarangpun Indonesia sudah termasuk negara besar
pengguna ICT. Hingga awal tahun 2010, jumlah nomer telepon selular yang dipakai
mencapai 170 juta, sementara pengakses internet aktif mencapai 35 juta lebih. Ini
merupakan angka yang amat besar dan akan terus semakin berkembang dengan
berbagai konsekuensinya.
Kontent Bermasalah
Disadari atau tidak, ICT
adalah sesuatu sarana yang netral. Ibarat sebuah pisau, ia bisa dimanfaatkan
secara positif, tapi bisa digunakan secara negatif. Contoh negatif, adalah ramainya
peredaran video porno di internet yang diduga melibatkan sejumlah artis
terkenal. ICT yang sedianya untuk meningkatkan produktivitas, ternyata justru
dimanfaatkan untuk hal-hal buruk, sensasi pornografi, memupuk instink purba
dengan mengabaikan tatanan moral keagamaan. Seluruh negeri seakan heboh oleh
peristiwa memalukan itu. Pertanyaannya, apakah penggunaan ICT untuk hal-hal seperti
ini yang kita harapkan untuk membangun Indonesia?
Berdasar data International
Telecomunication Union (ITU) yang dikeluarkan Januari 2010, dikatakan secara
global terdapat 400 juta halaman internet pornografi, dan setiap tahun
bertambah 25 juta pada periode lima tahun terakhir ini. Tiap detik terdapat
30.000 orang nge ”klik” pornografi itu. Kondisi yang demikian menyebabkan
pemerintah di beberapa negara mulai memberikan pembatasan terhadap ”content” internet. Negera semacam
Inggris dan Australia merupakan salah satu contoh yang memberlakukan pembatasan
isi internet untuk melindungi kepentingan anak-anak. Hal ini logis mengingat
pengguna ICT sekarang juga dimanfaatkan mereka yang masih berusia anak-anak.
Tindakan beberapa pemerintah
mengatur konten internet sempat ditentang kalangan aktivis yang berpaham
liberalis. Pembatasan itu dianggap menghambat kebebasan berekspresi yang
merupakan indikator sebuah negara demokrasi. Kalangan liberalis berasumsi bahwa
menusia itu bisa memilih mana yang baik dan mana yang buruk bagi dirinya.
Karenanya menurut mereka mekanisme masyarakatlah yang akan menyaring content bermasalah, tidak perlu
melibatkan pemerintah. Tugas negara menurut mereka hanyalah mencerdaskan
masyarakat supaya bisa memilih secara cerdas..
Pemerintah Inggris sudah memberlakukan aturan
itu, Australia menyusul walau diprotes keras, dasar mereka selain proteksi pada
anak-anak, juga convention on cybercrime
mengenai online child pornography. Dan yang tidak kalah penting adalah
perubahan karakter penggunaan teknologi sekarang. Dahulu kalau seseorang menginginkan
pornografi ia perlu mencarinya, sehingga hanya orang yang aktif yang memperolehnya. Sekarang berbeda, pemilik email, pemilik face
book, twitter atau pengguna black barry walau pasif bisa dikirimi
kontent-kontent pornografi oleh orang lain. Lalu bagaimana dengan anak-anak
yang sudah banyak menggunakan teknologi itu? Disinilah kemudian negara dituntut untuk aktif
melindungi warganya dari konten yang bermasalah.
Pengalaman Indonesia
Indonesia, pada dasarnya juga
sudah berinisiatif melakukan hal sebagaimana dilakukan Inggris dan Australia. Itulah
yang dikenal dengan Rancangan Peraturan
Menteri tentang Kontent Multi Media. Dalam Rapermen yang sudah dibahas sejak
tahun 2006 tersebut, diatur bahwa jika ada pengaduan dari masyarakat tentang
konten tertentu di internet, misalnya pornografi yang meresahkan, maka
pengaduan itu ditangani oleh suatu tim. Tim yang terdiri dari para ahli dan
pemerintah itulah yang mengkaji, kemudian memberi rekomendasi apa yang harus
dilakukan oleh internet service provider (ISP). Intinya ISP yang mempunyai liability terhadap kontent yang
bermasalah, tidak boleh melakukan pembiaran terhadap pengaduan masyarakat yang
sudah dianalisis oleh tim ahli tersebut.
Peraturan
semacam itu tidak ada kaitannya dengan kebebasan berekspresi dalam konteks demokrasi,
apalagi mengembalikan otoritarianisme negara dengan menghambat kebebasan pers.
Ini merupakan konsekuensi perkembangan teknologi dan tugas negara melindungi
warganya, dari pornografi maupun kontent lain yang merusak seperti blasphemy dengan cara yang amat
demokratis. Ini merupakan bagian dari perwujudan tugas pemerintah menciptakan
penggunaan internet sehat, selain melalui cara-cara konvensional seperti
pendidikan internet literacy.
UU
Pornografi sebenarnya memberikan tugas dan wewenang kepada pemerintah untuk
mencegah pembuatan, penyebarluasan dan penggunaan pornografi. Di pasal 18 UU no
44 tahun 2008 itu disebutkan, pemerintah
berwenang melakukan pemutusan jaringan, termasuk pemblokiran terhadap internet.
Pasal ini jelas bisa menjadi dasar atau acuan Rapermen Kontent Multi Media,
hanya saja Rapermen kontent multi media justru memasukkan aspek demokratis
yaitu melibatkan tim ahli yang berasal dari masyarakat, dan merekalah yang
merekomendasikan cara menangani konten yang bermasalah tersebut.
Persoalannya,
tujuan baik dalam melindungi warga
negara, terkadang dimaknai mambahayakan kebebasan berekspresi. Prinsip-prinsip
liberalisme seakan identik dengan demokrasi itu sendiri, padahal demokrasi juga
menjunjung tinggi hak atas mereka yang lemah, termasuk anak-anak. Tetapi prasangka
buruk nampaknya sudah menjadi tradisi baru bagi sebagian bangsa ini. Mudah-mudahan
dengan adanya persoalan maraknya
pornografi sekarang ini, kita menjadi lebih peka dan bersedia belajar, untuk mencegah agar tidak terjadi hal yang
lebih buruk di masa mendatang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar