Rabu, 08 Februari 2012

ICT DAN PORNOGRAFI



Secara teoretik keberadaan Information Communication Technology (ICT) akan meningkatkan kualitas hidup manusia,  karena memudahkan berbagai hal yang berkaitan dengan akses informasi dan komunikasi. ICT dipercaya akan menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. 
Pemerintah Indonesiapun berkomitmen membangun dan meningkatkan penggunaan ICT secara produktif di masyarakat. Beberapa program pembangunan ICT antara lain dibangunnya infrastruktur Palapa Ring. Yaitu suatu jaringan fiber optic berskala besar melingkari Indonesia, menyambungkan pulau-pulau wilayah timur negeri ini. Nantinya Palapa Ring terhubung dengan infrastruktur  di wilayah Indonesia barat yang sudah terbangun. Palapa Ring ibarat “Jalan Tol” teknologi digital, akan dilengkapi dengan program Universal Public Obligation (USO), semacam jalan-jalan kecil, yang masuk ke kampung-kampung, desa-desa sehingga membentuk jaringan interkoneksi Indonesia. Program yang targetnya akan selesai tahun 2014 merupakan upaya menyatukan Indonesia melalui ICT, makanya dinamakan “Palapa” mengingatkan kembali sumpah Maha Patih Gadjah Mada yang menyatukan Nusantara.
Walau proyek besar Palapa Ring dan USO belum selesai, sekarangpun Indonesia sudah termasuk negara besar pengguna ICT. Hingga awal tahun 2010, jumlah nomer telepon selular yang dipakai mencapai 170 juta, sementara pengakses internet aktif mencapai 35 juta lebih. Ini merupakan angka yang amat besar dan akan terus semakin berkembang dengan berbagai konsekuensinya.

Kontent Bermasalah
Disadari atau tidak, ICT adalah sesuatu sarana yang netral. Ibarat sebuah pisau, ia bisa dimanfaatkan secara positif, tapi bisa digunakan secara negatif. Contoh negatif, adalah ramainya peredaran video porno di internet yang diduga melibatkan sejumlah artis terkenal. ICT yang sedianya untuk meningkatkan produktivitas, ternyata justru dimanfaatkan untuk hal-hal buruk, sensasi pornografi, memupuk instink purba dengan mengabaikan tatanan moral keagamaan. Seluruh negeri seakan heboh oleh peristiwa memalukan itu. Pertanyaannya, apakah penggunaan ICT untuk hal-hal seperti ini yang kita harapkan untuk membangun Indonesia?
Berdasar data International Telecomunication Union (ITU) yang dikeluarkan Januari 2010, dikatakan secara global terdapat 400 juta halaman internet pornografi, dan setiap tahun bertambah 25 juta pada periode lima tahun terakhir ini. Tiap detik terdapat 30.000 orang nge ”klik” pornografi itu. Kondisi yang demikian menyebabkan pemerintah di beberapa negara mulai memberikan pembatasan terhadap ”content” internet. Negera semacam Inggris dan Australia merupakan salah satu contoh yang memberlakukan pembatasan isi internet untuk melindungi kepentingan anak-anak. Hal ini logis mengingat pengguna ICT sekarang juga dimanfaatkan mereka yang masih berusia anak-anak.
Tindakan beberapa pemerintah mengatur konten internet sempat ditentang kalangan aktivis yang berpaham liberalis. Pembatasan itu dianggap menghambat kebebasan berekspresi yang merupakan indikator sebuah negara demokrasi. Kalangan liberalis berasumsi bahwa menusia itu bisa memilih mana yang baik dan mana yang buruk bagi dirinya. Karenanya menurut mereka mekanisme masyarakatlah yang akan menyaring content bermasalah, tidak perlu melibatkan pemerintah. Tugas negara menurut mereka hanyalah mencerdaskan masyarakat supaya bisa memilih secara cerdas..
 Pemerintah Inggris sudah memberlakukan aturan itu, Australia menyusul walau diprotes keras, dasar mereka selain proteksi pada anak-anak, juga convention on cybercrime mengenai online child pornography. Dan yang tidak kalah penting adalah perubahan karakter penggunaan teknologi sekarang. Dahulu kalau seseorang menginginkan pornografi ia perlu mencarinya, sehingga hanya orang yang aktif yang memperolehnya.  Sekarang berbeda, pemilik email, pemilik face book, twitter atau pengguna black barry walau pasif bisa dikirimi kontent-kontent pornografi oleh orang lain. Lalu bagaimana dengan anak-anak yang sudah banyak menggunakan teknologi itu?  Disinilah kemudian negara dituntut untuk aktif melindungi warganya dari konten yang bermasalah.

Pengalaman Indonesia
Indonesia, pada dasarnya juga sudah berinisiatif melakukan hal sebagaimana dilakukan Inggris dan Australia. Itulah yang dikenal dengan Rancangan  Peraturan Menteri tentang Kontent Multi Media. Dalam Rapermen yang sudah dibahas sejak tahun 2006 tersebut, diatur bahwa jika ada pengaduan dari masyarakat tentang konten tertentu di internet, misalnya pornografi yang meresahkan, maka pengaduan itu ditangani oleh suatu tim. Tim yang terdiri dari para ahli dan pemerintah itulah yang mengkaji, kemudian memberi rekomendasi apa yang harus dilakukan oleh internet service provider (ISP). Intinya ISP yang mempunyai liability terhadap kontent yang bermasalah, tidak boleh melakukan pembiaran terhadap pengaduan masyarakat yang sudah dianalisis oleh tim ahli tersebut.
            Peraturan semacam itu tidak ada kaitannya dengan   kebebasan berekspresi dalam konteks demokrasi, apalagi mengembalikan otoritarianisme negara dengan menghambat kebebasan pers. Ini merupakan konsekuensi perkembangan teknologi dan tugas negara melindungi warganya, dari pornografi maupun kontent lain yang merusak seperti blasphemy dengan cara yang amat demokratis. Ini merupakan bagian dari perwujudan tugas pemerintah menciptakan penggunaan internet sehat, selain melalui cara-cara konvensional seperti pendidikan internet literacy.
            UU Pornografi sebenarnya memberikan tugas dan wewenang kepada pemerintah untuk mencegah pembuatan, penyebarluasan dan penggunaan pornografi. Di pasal 18 UU no 44 tahun 2008 itu disebutkan,  pemerintah berwenang melakukan pemutusan jaringan, termasuk pemblokiran terhadap internet. Pasal ini jelas bisa menjadi dasar atau acuan Rapermen Kontent Multi Media, hanya saja Rapermen kontent multi media justru memasukkan aspek demokratis yaitu melibatkan tim ahli yang berasal dari masyarakat, dan merekalah yang merekomendasikan cara menangani konten yang bermasalah tersebut.
            Persoalannya,  tujuan baik dalam melindungi warga negara, terkadang dimaknai mambahayakan kebebasan berekspresi. Prinsip-prinsip liberalisme seakan identik dengan demokrasi itu sendiri, padahal demokrasi juga menjunjung tinggi hak atas mereka yang lemah, termasuk anak-anak. Tetapi prasangka buruk nampaknya sudah menjadi tradisi baru bagi sebagian bangsa ini. Mudah-mudahan dengan adanya persoalan  maraknya pornografi sekarang ini, kita menjadi lebih peka dan bersedia belajar,  untuk mencegah agar tidak terjadi hal yang lebih buruk di masa mendatang.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar