Pencemaran nama baik dikenal dengan istilah libel. Ini merupakan konsep hukum yang menggambarkan suatu penghinaan secara tertulis (describes a written form of defamation). Maksudnya, merupakan pengghinaan palsu atau tidak benar atas nama baik seseorang. Dahulu, ada istilah lain untuk penghinaan yang dilakukan secara lisan atau ucapan yaitu slanders,
tetapi setelah munculnya media elektronik, kedua istilah ini menjadi
satu dengan pengertian sebagai fitnah. Libel dan slanders banyak
diajukan kepada media massa, bukan saja untuk media cetak, tetapi juga
pada media elektronik.
Secara historis, konsep hukum ini pertama kali muncul pada tahun 1734, yaitu tatkala Gubernur
koloni New York menuntut Peter Zenger seorang penerbit di sana agar
dipenjara karena mencetak serangan politik pada dirinya. Pengacara
Zenger menciptakan suatu yurisprudensi hukum yang sukses dan berlaku sampai sekarang, bahwa kebenaran merupakan pemmbelaan absolut untuk kasus pencemaran nama baik (truth is absolute defence in libel cases). Sejak saat itu orang hanya dapat memenangkan gugatan terhadap libel
jika keterangan yang mencemarkan itu terbukti salah. Kasus Zenger juga
memberikan preseden bahwa pencemaran nama baik merupakan pengadilan
perdata bukan pidana.
Di Amerika Serikat kendati ada Amandemen pertama dalam Bill of Right (pernyataan Hak azasi manusia) namun US Supreme Court, pengadilan tertinggi AS, menolak melindungi media dari gugatan pencemaran nama baik. Hanya saja di berbagai negara bagian memiliki ketentuan yang berbeda-beda.
Pada tahun 1964 US Supreme Court melakukan perubahan besar dalam ketentuan pengadilan kasus libel yang jauh lebih sesuai dengan jaminan pers bebas. Hal itu ditandai dengan kasus New York Times Co melawan Sullivan. Mahkamah
Agung Amerika Serikat menetapkan bahwa pejabat publik (juga kemudian
publik figur yang lain, termasuk artis, olah ragawan, penulis terkenal,
dll ) tidak akan lagi berhasil menuntut
berdasarkan nama baik kecuali jika wartawan atau redaktur terbukti
bersalah karena benar-benar melakukan kebencian “actual malice” ketika mempublikasikan pernyataan yang palsu tentang mereka.
Apa yang dimaksud dengan actual malice, menurut Willliam J Brenan, mantan Hakim Agung AS, yang menulis keputusan tentang kasus Sullivan tersebut, sebagai knowledge that the published information was false, or that it was published “with reckless, disregard of whether it was false or not. Dengan
kata lain pejabat publik tidak dapat lagi menggugat atas dasar
pencemaran nama baik hanya dengan membuktikan bahwa yang dipublikasikan
adalah salah atau palsu, namun juga harus dibuktikan bahwa wartawan
telah dengan sengaja mencetak informasi palsu (karena ada kebencian
disitu), atau tidak melakukan, atau hanya melakukan sedikit upaya untuk membedakan antara kebenaran dan kebohongan (now they have to prove that a journalist had knowingly printed false information while making little if any attemp to distinguish truth from lies).
Sementara
untuk tokoh masyarakat biasa yang merasa telah dicemarkan nama baiknya
oleh media massa lebih mudah dalam melakukan pembuktian. Mereka cukup
membuktikan bahwa wartawan yang bersangkutan telah lalai (negligence) ketika menerbitkan informasi palsu tentang diri mereka. Negligence (lalai), sebagaimana malice
(kebencian) adalah istilah hukum yang biasanya berkait dengan
kekurangtelitian di pihak wartawan atau redaktur. Masyarakat biasa
memeliki lebih banyak alasan untuk mendapat perlindungan lebih daripada
pejabat publik.
Pada bulan
April 1991, misalnnya, Victor Feazel, mantan jaksa willayah dari Texas
memenangkan vonis ganti rugi sebesar 58 juta dolar terhadap sebuah
televisi Dallas karena menuduhnya menerima suap. Dua bulan kemudian
hakim penngadilan Distrik selain mengukuhkan keputusan itu juga mencantumkan kketentuan tambahann bunga
10% setahun pada denda itu jika stasiun TV yang bersangkutan melakukan
banding tetapi kalah. Namun suatu musyawarah akhirnya dicapai setelah keputusan itu.
Mei 1991, Robert Crinkley memenangkan tuntutan 2,25 $ terhadap sebuah artikel di Wall Street Jounal, yang dituduh menyuap terhadap
sejumlah pejabat asing. Crinkley mengatakan cerita koran iitu
menyebabkan kredibilitasnya runtuh, dan tidak dapat pekerjaan.
Pengadilan sependapat bahwa ia menjadi korban fitnah kendati koran itu
menerbitkan pembetulan terhadap cerita aslinya. September
1991 denda itu dibatalkan oleh Howard Miller, hakim penggadilan yang
lebih tinggi. Miller menyatakan bukti kasus itu kurang cukup untuk
menghasilkan denda sebesar itu.
Jadi orang
yang melakukan gugatan pencemaran nama baik wajib membuktikan bahwa
mereka difitnah. Masyarakat harus membuktikan bahwa wartawan bukan saja
telah menerbitkan informasi palsu tetapi juga bertindak lalai dan penuh
dengki tanppa berusaha mengetahui apakah informasi itu betul apa tidak. Namun di Amerika tidak mengenal opini yang salah. Hampir mustahil ada wartawan atau penulis yang dianggap melakukan pencemaran nama baik jika publikasinya berkaitan dengan pendapat.
Tahun 1995 di
seorang pemilik rumah makan di New Orleans menggugat seorang pengamat
makanan yang menulis hal-hal yang tak menyenangkan tenntang usaha
makanannya itu. Tapi pengadilan Tinggi Louisiana menolak gugatan itu.
Jerry Fawel, seorang pemimpin agama di AS menuntut sebuah majalah yang
telah menerbitkan satire yang mengejek dan mempertanyakan kesalehannya.
Awalnya pengadilan negeri memenangkan Fawel dengan menghadiahi 200 000
$, karena media itu dianggap telah membuat penderitaan batin pada diri
pendeta tersohor tersebut. Tapi MA membatalkan putusan itu, satire
betapapun pedas dan menyakitkan bagi sasarannya dia merupakan bagian
dari kebebasan berpendapat.
Belakangan muncul kritik di AS terhadap kuatnya perlindungan
terhadap kasus pencemaran nama baik berdasar Amandemen pertama. Daniel
Popeo, seorang pengacara di Washington, Amandemen pertama secara tidak
adil melindungi media tetapi tidak melindungi korban peliputan media
yang tidak adil (disarikan dari tulisan Steven Pressman, Libel Law in the United States).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar