Kamis, 09 Februari 2012

PERANAN PEMERINTAH DALAM PENGEMBANGAN LEMBAGA PEMANTAU MEDIA



Secara teoretik kebebasan pers, memang akan memunculkan pemerintahan yang cerdas, bijaksana dan hati-hati. Logikanya, melalui kebebasan pers, masyarakat akan dapat mengetahui berbagai peristiwa, sehingga memunculkan kontrol terhadap kekuasaan, sekaligus kontrol terhadap masyarakat sendiri.
Kenyataannya itu tidak sepenuhnya demikian.  Kendati sejak 1999  pers Indonesia makin bebas, tapi korupsi dan berbagai penyimpangan tetap saja masih marak. Kebebasan pers di negeri ini belum mampu mendorong perubahan yang signifikan terhadap kualitas bangsa. Efek yang terjadi justru memunculkan kesan “kebablasan“. Kepercayaan masyarakat terhadap media sebagai alat kontrolpun dirasa semakin merosot. Kritikan terhadap media begitu marak,  tak jarang media dituduh ikut memperburuk situasi, dan memerosotkan moral sosial.  
Kebebasan Media selama ini justru dianggap sering memunculkan  ironi. Secara teoretik James Curran dalam Rethingking Media and Democracy (2000: 121-154), menunjukkan, kebebasan yang identik dengan liberalisme acapkali  mendorong media melakukan korupsi dan bias mekanisme pasar. Kebebasan, pada kenyataannya malah menghambat freedom to publish, karena media menjadi  big business, sehingga hanya dimainkan oleh beberapa elite, kapitalis.
Di era kebebasan, media massa justru cenderung semakin terkonsentrasi kepemilikannya di kalangan elite tertentu. Media menjadi alat-alat kapitalis, sekaligus alat politik praktis yang sering berseberangan dengan kepentingan publik. Kalau di masa Orde Baru media dikuasai negara, di era demokrasi yang berbau liberal ini, media dikuasi oleh individu-individu atau korporasi kapitalis, yang tak jarang sekaligus pemain politik.  
Media-media komersial sekarang ini, menempatkan audience  sebagai consumer, bukan warga negara (citizens). Tujuan utamanya adalah generate profits for owners and stockholders, bukan promoting active citizen. Dengan komunikasi massa yang mereka lakukan, khalayak didorong untuk enjoy themselves view ads, and buy product. Karena itu apa yang dianggap menarik bagi media tersebut, adalah apapun yang populer atau laku di masyarakat. Tak peduli apakah itu melecehkan logika, mengacak-acak budaya, menumpulkan hati nurani, atau mengabaikan public interest, asalkan laku, itu yang mereka layani.  
Dengan demikian tujuan ideal media  to promote active citizenship via information, education and social integration telah tenggelam dengan gelombang komersialisasi. Inilah yang menurut  Robert Mc Chesney dalam buku Rich Media Poor Democracy (2000: 15), disebut sebagai hyper commercialization of culture. Dimana seluruh ukuran keberhasilan semata-mata ditentukan oleh profit.
Untuk menghindari media massa menjadi power without responsibility, harus ada gerakan untuk mengontrol media. Karena media massa tanpa kontrol akan menjadi kekuatan yang tidak bertanggung jawab, atau power without responsibility (Curran & Seaton, 2002).  Padahal isi media menurut Curran, tidak saja memiliki konsekuensi yang luas, tetapi media juga mampu membentuk khalayak, menciptakan kelas, dan selera tertentu. Menciptakan hyper reality atas kepentingan-kepentingan tersembunyi. Karenanya kekuatan media harus dikontrol untuk kepentingan publik.
Kontrol terhadap media bukan berarti, mereka harus dijerat dengan restriksi. Bukan pula “diancam“ oleh kekuatan negara melalui berbagai regulasi. Namun dalam sistem yang demokratis, pemerintah justru “tidak dibenarkan” mengatur media. Asumsinya pemerintah adalah penylenggara kekuasaan, yang harus diawasi media, agar terwujud clean and good governance, Menjadi terbalik jika pemerintah mengatur media, atau mengawasinya.
Jadi kontrol terhadap media, tetap dibutuhkan, tapi bukan oleh pemerintah. Melainkan, oleh kekuatan tertentu yang independen, bisa dari asosiasi profesi wartawan, Dewan Pers, Komisi Penyiaran, atau juga dari publik yang aktif. Di berbagai negara maju, warga negara sebagai bagian dari publik, acapkali membentuk kelompok penekan untuk mengawasi media. Membentuk group pressure as social movement, yang cara kerjanya bisa melalui kegiatan promoting media literacy, promoting self regulation, boycotts, maupun dalam bentuk  creating legislative pressure (Jamiason & Campbell 2001, 283-291).
 Dengan demikian hubungan media dengan masyarakat akan terjadi mekanisme check and balances.  Sayangnya, hingga kini publik di Indonesia belum memiliki kemampuan yang cukup memadahi untuk mengontrol media. Peran Media watch masih amat lemah, baik dari jumlah, kekuatan, maupun kualitas kontrol yang dilakukan. Akibatnya ada kekecewaan masyarakat terhadap kebebasan media. Kekhawatiran dan kekecewaan tersebut bisa berdampak negatif jika dibiarkan berlarut-larut. Karena masyarakat yang tidak sabar lalu banyak menyalahkan media, bahkan ada yang mendorong pemerintah untuk menutup kran-kran kebebasan.
            Dalam konteks ini pemerintah pusat maupun daerah dituntut  memiliki peran besar untuk mendorong, memfasilitasi, sekaligus bermitra dengan berbagai kekuatan masyarakat atau publik yang aktiv ini. Fasilitasi tersebut bisa berupa kerjasama secara terstruktur antara pemerintah dan LSM pemantau media. Misalnya pemerintah membantu dalam program capacity buidings.  Memfasilitasi program media literacy, hingga penyediaan bahan-bahan informasi untuk  mengkritisi media.

Media Literacy
Demokratisasi media, tidak mungkin dipasrahkan pada mekanisme pasar, dan mengharap kebaikan (political will) para pemilik dan pengelola media. Demokratisasi sistem media harus diwujudkan selain melalui regulasi juga  dengan “tekanan publik“, gerakan sosial, dan  media literacy.
 Melalui media literacy atau kemampuan untuk selalu kritis terhadap media massa, masyarakat akan memiliki bargaining position yang kuat. Jika ini terjadi, maka akan meningkatkan pengawasan terhadap media, yang dengan sendirinya akan menuntut peningkatan profesionalisme penyelenggara media. Tanpa public empowering, sulit kiranya mewujudkan sistem media yang berkualitas.
Media literacy sendiri diartikan bermacam macam.  Stanley J Baran misalnya, mendifinisikannya sebagai “when speaking specifically of participation in mass communication, this is ability is called media literacy”, selanjutnya dikatakan “is the idea that media consumers must develop the ability or facility to better interpret media content”  (Baran, 2002: 50).
Art Silverblatt (1995) mengungkapkan  elemen dasar media literacy  adalah adanya karakteristik sebagai berikut:
 (1) An awarness of impact of media.
 (2) An understanding of the process of communication.
 (3) Strategies for analyzing and discussing media messages.
 (4) An understanding of media content as a text that provides
       insight  into culture and our lives.
 (5) The ability to enjoy, understanding, and appreciate media content.
            (6) An understanding of ethical and moral obligations of media practitioners.
 (7) Development of appropriate and effective production skills.  

James Potter (1998) mengungkapkan bahwa media literacy itu harus terus dikembangkan. Sifatnya multidimensi, berkait dengan kesadaran dan kemampuan kognitif (bagaimana cara berpikir), emosi (dimensi perasaan), estetis (berkait dengan kemampuan menikmati, mengerti dan mengapresiasi) serta berkait dengan moral domein (Kemampuan untuk menyimpulkan nilai-nilai yang ada di balik pesan).
Seseorang dikatakan memiliki kemampuan media literacy yaitu apabila  (1) Dia paham tentang isu-isu liputan media.  (2) Menyadari bahwa hubungannya dengan media tiap hari bisa mempengaruhi gaya hidup, sikap dan nilai.  (3) Bisa menginterpretasi pesan media. (4) Mengembangkan sensitifitas kecenderungan isi media  sebagai sarana untuk mempelajari kebudayaannya. (5) Memahami bahwa persoalan pemilikan, finansial, dan regulasi memiliki pengaruh terhadap industri media.  (6) Memperhitungkan peran media dalam membuat keputusan individual (Silverblatt, 1995).
Sayangnya gerakan melakukan media literacy ini masih amat terbatas. Belum banyak media watch yang melakukannya. Yang banyak dikerjakan barulah mengecam media dan isinya tetapi tidak meningkatkan kualitas civic education di masyarakat. Akibatnya yang terjadi justru seringnya muncul tindakan-tindakan terhadap media yang dilakukan di luar koridor demokrasi. Misalnya melakukan ancaman fisik pada wartawan. Penyerbuan ke media massa, atau tindakan-tindakan lain diluar hukum dan etika demokrasi.  
            Jika hal semacam itu terjadi, yang dirugikan bukan hanya media yang bersangkutan, yang menjadi sasaran. Namun negarapun dirugikan. Karena setiap ada peristiwa kekerasan terhadap media, maka Negara tersebut akan dipandang belum matang dalam berdemokrasi, tidak stabil, hingga penilaian yang lemah terhadap pemerintahan. Oleh sebab itu, pentingnya media literacy juga merupakan kepentingan Negara atau kepentingan pemerintah. Kndisi yang buruk terhadap iklim komunikasi dan media, akan menjadi indikator yang buruk terhadap kinerja pemerintahan pula. Disinilah pentingnya pemerintah untuk selalu ikut aktif di dalam mensosialisasikan media literacy.
Istilah media literacy, sebenarnya merupakan gerakan dari khalayak media yang tidak setuju dengan  industri media yang semakin powerful. Mereka berjuang memperkuat posisi konsumen media. Cara itu secara resmi dimulai  17 Maret 1996 dengan dideklarasikannya Cultural Environment Movement (CEM) di AS. Yaitu sebuah organisasi independen yang didukung 150 organisasi yang berasal dari 64 negara. Salah satu tokoh pendirinya adalah Robert McChesney, kritikus dan sejarawan media.
Media literacy pada dasarnya bukan hanya kemampuan bertindak kritis terhadap media, tapi juga bisa berpengaruh terhadap isi dan kebijakan media. Menurut Jamieson dan Cambell (2002), dalam How To Influence The Media, ada beberapa cara yang biasa dilakukan untuk mempengaruhi media. Salah satunya yang umum adalah dengan individual complaints.  
Di era internet ini, individual complaint sering diwujudkan dalam surat elektronik (email), yang dikirim ke redaksi media, maupun ke sejumlah mailing list untuk dimintakan tanggapan ke berbagai pihak, sekaligus kritik pada media yang dimaksud. Individual complaint juga bisa dalam bentuk respon interaktif melalui telepon, ataupun surat pembaca. Keluhan individu ini bisa merupakan kritikan terhadap materi isi media, maupun perilaku wartawan dalam peliputan. Kritikan pada materi pemberitaan dalam istilah hukum media disini adalah hak koreksi, ataupun juga hak jawab, yaitu apabila media tersebut dirasa merugikan secara langsung orang yang mengirim komplain.
How to influence media, menurut kathleen Hall Jamiesen dan Karlyn Kohrs Campbell juga bisa dilakukan melalui group pressure, yaitu tekanan sosial yang dilakukan secara kolektif. Wujudnya bisa berupa tindakan boycotts, legal actions, maupun melakukan desakan pada media untuk promoting self regulation. Tindakan lain bisa pula berupa creating legislative pressure, yaitu memberi masukan pada proses legislasi yang berkait dengan persoalan aturan media,  baik di tingkat nasional maupun daerah. Misalnya memberikan masukan pada KPI dan KPID dalam hal menetapkan Pedoman Perilaku Penyiaran, dan Standard Program Siaran, maupun dalam hal pemberian ijin pada media-media yang “nakal”.
Di Amerika Serikat, pernah terjadi kasus dimana organisasi Parent Teacher Association (PTA), suatu hari memutuskan untuk melakukan analisis terhadap adegan kekerasan pada program-program televisi. PTA menyatakan bahwa, jika program-program televisi ini masih belum juga berkurang, mereka akan menyerukan pada masyarakat untuk memboikot produk dari iklan-iklan yang ditayangkan dalam acara televisi yang mengandung kekerasan tersebut.  Ancaman ini membuat sejumlah perusahaan seperti Kodak, General Foods, General Motors, dan Sears jadi ikut  mendukung seruan tersebut. Mereka  sependendapat meminta agar ada pengurangan adegan kekerasan di televisi.  Setahun kemudian, jumlah adegan kekerasan pada televisipun menjadi berkurang.  PTA dipercaya, mendapat dukungan dan sukses karena organisasi dan para aktivisnya tidak mencari keuntungan pribadi.
Musim panas tahun 1999, National Association for the Advancement of The Colored People (NAACP) mengkomplain   media AS, karena sebagian besar programnya tidak menampilkan orang—orang African American dan orang Hispanic. January 2000, komplain tersebut ditanggapi oleh ABC, dan kemudian memberikan tempat lebih banyak bagi orang-orang African American dan Hispanic pada program-program mereka. Hal itu diikuti pula oleh jaringan TV lain yaitu CBS dan Fox (Jamieson, Campbell, 2002:  291).
Tahun 1975, gerakan sosial wanita di AS memprotes iklan di Amerika, dalam laporannya yang disebut Advertising and Woman. Menurut laporan itu iklan-iklan di AS lebih banyak menggambarkan wanita hanya sebagai istri atau ibu rumah tangga. Mereka ingin agar wanita juga digambarkan sebagai pengusaha yang sukses, atau berpendidikan tinggi. Desakan itupun ditanggapi oleh pihak pengiklan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar