Secara teoretik kebebasan pers, memang akan memunculkan pemerintahan yang
cerdas, bijaksana dan hati-hati. Logikanya, melalui kebebasan pers, masyarakat
akan dapat mengetahui berbagai peristiwa, sehingga memunculkan kontrol terhadap
kekuasaan, sekaligus kontrol terhadap masyarakat sendiri.
Kenyataannya itu tidak sepenuhnya demikian.
Kendati sejak 1999 pers Indonesia
makin bebas, tapi korupsi dan berbagai penyimpangan tetap saja masih marak. Kebebasan
pers di negeri ini belum mampu mendorong perubahan yang signifikan terhadap
kualitas bangsa. Efek yang terjadi justru memunculkan kesan “kebablasan“. Kepercayaan
masyarakat terhadap media sebagai alat kontrolpun dirasa semakin merosot.
Kritikan terhadap media begitu marak, tak
jarang media dituduh ikut memperburuk situasi, dan memerosotkan moral sosial.
Kebebasan Media selama ini justru dianggap sering memunculkan ironi. Secara teoretik James Curran dalam Rethingking Media and Democracy (2000:
121-154), menunjukkan, kebebasan yang identik dengan liberalisme acapkali mendorong media melakukan korupsi dan bias
mekanisme pasar. Kebebasan, pada kenyataannya malah menghambat freedom to publish, karena media
menjadi big business, sehingga hanya dimainkan oleh beberapa elite,
kapitalis.
Di era kebebasan, media massa justru cenderung semakin terkonsentrasi
kepemilikannya di kalangan elite tertentu. Media menjadi alat-alat kapitalis,
sekaligus alat politik praktis yang sering berseberangan dengan kepentingan
publik. Kalau di masa Orde Baru media dikuasai negara, di era demokrasi yang
berbau liberal ini, media dikuasi oleh individu-individu atau korporasi
kapitalis, yang tak jarang sekaligus pemain politik.
Media-media komersial sekarang ini, menempatkan audience sebagai consumer, bukan warga negara (citizens). Tujuan utamanya adalah generate profits for owners and stockholders,
bukan promoting active citizen.
Dengan komunikasi massa
yang mereka lakukan, khalayak didorong untuk enjoy themselves view ads, and buy product. Karena itu apa yang
dianggap menarik bagi media tersebut, adalah apapun yang populer atau laku di
masyarakat. Tak peduli apakah itu melecehkan logika, mengacak-acak budaya, menumpulkan
hati nurani, atau mengabaikan public
interest, asalkan laku, itu yang mereka layani.
Dengan demikian
tujuan ideal media to promote active citizenship via information, education and social
integration telah tenggelam dengan gelombang komersialisasi. Inilah yang
menurut Robert Mc Chesney dalam buku Rich Media Poor Democracy (2000: 15),
disebut sebagai hyper commercialization
of culture. Dimana seluruh ukuran keberhasilan semata-mata ditentukan oleh profit.
Untuk
menghindari media massa
menjadi power without responsibility,
harus ada gerakan untuk mengontrol media. Karena media massa tanpa kontrol akan menjadi kekuatan
yang tidak bertanggung jawab, atau power
without responsibility (Curran & Seaton, 2002). Padahal isi media menurut Curran, tidak saja
memiliki konsekuensi yang luas, tetapi media juga mampu membentuk khalayak,
menciptakan kelas, dan selera tertentu. Menciptakan hyper reality atas
kepentingan-kepentingan tersembunyi. Karenanya kekuatan media harus dikontrol
untuk kepentingan publik.
Kontrol
terhadap media bukan berarti, mereka harus dijerat dengan restriksi. Bukan pula
“diancam“ oleh kekuatan negara melalui berbagai regulasi. Namun dalam sistem
yang demokratis, pemerintah justru “tidak dibenarkan” mengatur media. Asumsinya
pemerintah adalah penylenggara kekuasaan, yang harus diawasi media, agar terwujud
clean and good governance, Menjadi terbalik jika pemerintah mengatur media,
atau mengawasinya.
Jadi kontrol
terhadap media, tetap dibutuhkan, tapi bukan oleh pemerintah. Melainkan, oleh
kekuatan tertentu yang independen, bisa dari asosiasi profesi wartawan, Dewan Pers,
Komisi Penyiaran, atau juga dari publik yang aktif. Di berbagai negara maju,
warga negara sebagai bagian dari publik, acapkali membentuk kelompok penekan
untuk mengawasi media. Membentuk group
pressure as social movement, yang cara kerjanya bisa melalui kegiatan promoting media literacy, promoting self
regulation, boycotts, maupun dalam bentuk
creating legislative pressure
(Jamiason & Campbell 2001, 283-291).
Dengan demikian hubungan media dengan masyarakat akan
terjadi mekanisme check and balances.
Sayangnya, hingga kini publik di
Indonesia belum memiliki kemampuan yang cukup memadahi untuk mengontrol media.
Peran Media watch masih amat lemah,
baik dari jumlah, kekuatan, maupun kualitas kontrol yang dilakukan. Akibatnya
ada kekecewaan masyarakat terhadap kebebasan media. Kekhawatiran dan kekecewaan
tersebut bisa berdampak negatif jika dibiarkan berlarut-larut. Karena
masyarakat yang tidak sabar lalu banyak menyalahkan media, bahkan ada yang mendorong
pemerintah untuk menutup kran-kran kebebasan.
Dalam konteks ini pemerintah pusat
maupun daerah dituntut memiliki peran
besar untuk mendorong, memfasilitasi, sekaligus bermitra dengan berbagai
kekuatan masyarakat atau publik yang aktiv ini. Fasilitasi tersebut bisa berupa
kerjasama secara terstruktur antara pemerintah dan LSM pemantau media. Misalnya
pemerintah membantu dalam program capacity
buidings. Memfasilitasi program media literacy, hingga penyediaan
bahan-bahan informasi untuk mengkritisi
media.
Media Literacy
Demokratisasi media, tidak mungkin dipasrahkan pada mekanisme pasar, dan
mengharap kebaikan (political will)
para pemilik dan pengelola media. Demokratisasi sistem media harus diwujudkan selain
melalui regulasi juga dengan “tekanan
publik“, gerakan sosial, dan media literacy.
Melalui media literacy atau kemampuan untuk selalu kritis terhadap media massa, masyarakat akan
memiliki bargaining position yang
kuat. Jika ini terjadi, maka akan meningkatkan pengawasan terhadap media, yang
dengan sendirinya akan menuntut peningkatan profesionalisme penyelenggara media.
Tanpa public empowering, sulit
kiranya mewujudkan sistem media yang berkualitas.
Media literacy sendiri
diartikan bermacam macam. Stanley J Baran misalnya,
mendifinisikannya sebagai “when speaking
specifically of participation in mass communication, this is ability is called
media literacy”, selanjutnya dikatakan “is
the idea that media consumers must develop the ability or facility to better
interpret media content” (Baran,
2002: 50).
Art Silverblatt
(1995) mengungkapkan elemen dasar media literacy adalah adanya karakteristik sebagai berikut:
(1) An awarness of
impact of media.
(2) An
understanding of the process of communication.
(3) Strategies for
analyzing and discussing media messages.
(4) An
understanding of media content as a text that provides
insight into culture and our lives.
(5) The ability to
enjoy, understanding, and appreciate media content.
(6) An understanding of ethical and moral
obligations of media practitioners.
(7) Development of
appropriate and effective production skills.
James Potter
(1998) mengungkapkan bahwa media literacy
itu harus terus dikembangkan. Sifatnya multidimensi, berkait dengan
kesadaran dan kemampuan kognitif (bagaimana cara berpikir), emosi (dimensi
perasaan), estetis (berkait dengan kemampuan menikmati, mengerti dan mengapresiasi)
serta berkait dengan moral domein (Kemampuan
untuk menyimpulkan nilai-nilai yang ada di balik pesan).
Seseorang
dikatakan memiliki kemampuan media
literacy yaitu apabila (1) Dia paham
tentang isu-isu liputan media. (2)
Menyadari bahwa hubungannya dengan media tiap hari bisa mempengaruhi gaya hidup, sikap dan
nilai. (3) Bisa menginterpretasi pesan
media. (4) Mengembangkan sensitifitas kecenderungan isi media sebagai sarana untuk mempelajari
kebudayaannya. (5) Memahami bahwa persoalan pemilikan, finansial, dan regulasi
memiliki pengaruh terhadap industri media.
(6) Memperhitungkan peran media dalam membuat keputusan individual
(Silverblatt, 1995).
Sayangnya
gerakan melakukan media literacy ini
masih amat terbatas. Belum banyak media
watch yang melakukannya. Yang banyak dikerjakan barulah mengecam media dan
isinya tetapi tidak meningkatkan kualitas civic
education di masyarakat. Akibatnya yang terjadi justru seringnya muncul
tindakan-tindakan terhadap media yang dilakukan di luar koridor demokrasi.
Misalnya melakukan ancaman fisik pada wartawan. Penyerbuan ke media massa, atau
tindakan-tindakan lain diluar hukum dan etika demokrasi.
Jika hal semacam itu terjadi, yang dirugikan bukan hanya
media yang bersangkutan, yang menjadi sasaran. Namun negarapun dirugikan.
Karena setiap ada peristiwa kekerasan terhadap media, maka Negara tersebut akan
dipandang belum matang dalam berdemokrasi, tidak stabil, hingga penilaian yang
lemah terhadap pemerintahan. Oleh sebab itu, pentingnya media literacy juga
merupakan kepentingan Negara atau kepentingan pemerintah. Kndisi yang buruk
terhadap iklim komunikasi dan media, akan menjadi indikator yang buruk terhadap
kinerja pemerintahan pula. Disinilah pentingnya pemerintah untuk selalu ikut
aktif di dalam mensosialisasikan media
literacy.
Istilah media literacy, sebenarnya merupakan gerakan
dari khalayak media yang tidak setuju dengan
industri media yang semakin powerful. Mereka berjuang memperkuat posisi konsumen
media. Cara itu secara resmi dimulai 17
Maret 1996 dengan dideklarasikannya Cultural
Environment Movement (CEM) di AS. Yaitu sebuah organisasi independen yang
didukung 150 organisasi yang berasal dari 64 negara. Salah satu tokoh pendirinya
adalah Robert McChesney, kritikus dan sejarawan media.
Media literacy
pada dasarnya bukan hanya kemampuan bertindak kritis terhadap media, tapi juga
bisa berpengaruh terhadap isi dan kebijakan media. Menurut Jamieson dan Cambell
(2002), dalam How To Influence The Media,
ada beberapa cara yang biasa dilakukan untuk mempengaruhi media. Salah satunya
yang umum adalah dengan individual
complaints.
Di era internet
ini, individual complaint sering
diwujudkan dalam surat elektronik (email),
yang dikirim ke redaksi media, maupun ke sejumlah mailing list untuk dimintakan tanggapan ke berbagai pihak,
sekaligus kritik pada media yang dimaksud. Individual
complaint juga bisa dalam bentuk respon interaktif melalui telepon, ataupun
surat pembaca. Keluhan
individu ini bisa merupakan kritikan terhadap materi isi media, maupun perilaku
wartawan dalam peliputan. Kritikan pada materi pemberitaan dalam istilah hukum
media disini adalah hak koreksi, ataupun juga hak jawab, yaitu apabila media
tersebut dirasa merugikan secara langsung orang yang mengirim komplain.
How to influence media, menurut kathleen Hall Jamiesen dan
Karlyn Kohrs Campbell
juga bisa dilakukan melalui group
pressure, yaitu tekanan sosial yang dilakukan secara kolektif. Wujudnya
bisa berupa tindakan boycotts, legal actions, maupun melakukan desakan
pada media untuk promoting self
regulation. Tindakan lain bisa pula berupa creating legislative pressure, yaitu memberi masukan pada proses
legislasi yang berkait dengan persoalan aturan media, baik di tingkat nasional maupun daerah.
Misalnya memberikan masukan pada KPI dan KPID dalam hal menetapkan Pedoman Perilaku
Penyiaran, dan Standard Program Siaran, maupun dalam hal pemberian ijin pada
media-media yang “nakal”.
Di Amerika
Serikat, pernah terjadi kasus dimana organisasi Parent Teacher Association
(PTA), suatu hari memutuskan untuk melakukan analisis terhadap adegan kekerasan
pada program-program televisi. PTA menyatakan bahwa, jika program-program
televisi ini masih belum juga berkurang, mereka akan menyerukan pada masyarakat
untuk memboikot produk dari iklan-iklan yang ditayangkan dalam acara televisi yang
mengandung kekerasan tersebut. Ancaman
ini membuat sejumlah perusahaan seperti Kodak, General Foods, General Motors,
dan Sears jadi ikut mendukung seruan
tersebut. Mereka
sependendapat meminta agar ada pengurangan adegan kekerasan di televisi.
Setahun kemudian, jumlah adegan
kekerasan pada televisipun menjadi berkurang.
PTA dipercaya, mendapat dukungan dan sukses karena organisasi dan para
aktivisnya tidak mencari keuntungan pribadi.
Musim panas
tahun 1999, National Association for the
Advancement of The Colored People (NAACP) mengkomplain media AS, karena sebagian besar programnya
tidak menampilkan orang—orang African American dan orang Hispanic. January 2000,
komplain tersebut ditanggapi oleh ABC, dan kemudian memberikan tempat lebih
banyak bagi orang-orang African American dan Hispanic pada program-program
mereka. Hal itu diikuti pula oleh jaringan TV lain yaitu CBS dan Fox (Jamieson,
Campbell, 2002: 291).
Tahun 1975,
gerakan sosial wanita di AS memprotes iklan di Amerika, dalam laporannya yang
disebut Advertising and Woman.
Menurut laporan itu iklan-iklan di AS lebih banyak menggambarkan wanita hanya
sebagai istri atau ibu rumah tangga. Mereka ingin agar wanita juga digambarkan
sebagai pengusaha yang sukses, atau berpendidikan tinggi. Desakan itupun
ditanggapi oleh pihak pengiklan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar