Rabu, 01 Februari 2012

MEDIA, DIPO ALAM DAN ANCAMAN DEMOKRASI

“Power tends to corrupt but absolute power corrupts absolutely”, demikian istilah lama yang dikemukakan oleh John Emerich Edward Dahlberg First Baron Acton 1887 di Inggris. Menurut tokoh yang dikenal dengan Lord Acton ini,  manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung menyalahgunakannya, apalagi kalau kekuasaan itu absolut, pasti akan disalahgunakan. Demokratisasi abad 19 dan 20, “power” yang cenderung  disalahgunakan itu pengertiannya lebih diarahkan pada kekuasaam negara, atau pemerintah. Sementara  media massa merupakan komponen penting untuk mengontrol pemerintah sebagai “Power”. Disini media diposisikan sebagai “watch dog” kekuasaan, yang harus dijamin kebebasannya sebagai the fourth estate of democracy. Untuk mewujudkan pemerintahan yang hati-hati, cerdas, dan bijaksana,

Pergeseran pengertian “Power”.
Perkembangan teknologi komunikasi, globalisasi, liberalisasi, dan komersialisasi telah memunculkan pergeseran. Media massa tumbuh tidak hanya menjadi kekuatan pengontrol kekuasaan, tapi telah menjadi kekuatan politik, ekonomi, dan budaya. Media telah menjadi “Power” baru, yang apabila dibiarkan liar, justru bisa menjadi ancaman tersendiri bagi demokrasi.
Noam Chomsky melihat media dalam era kapitalis liberal, sarat dengan “kongkalingkong”.  Gejalanya terlihat ketika bisnis media mulai diatur oleh tokoh-tokoh yang punya kekuatan politik dan uang.  Para elite kekuasaan dan elit bisnis berkolaborasi mengatur isi media. Akibatnya, menurut Chomsky kebebasan pers yang dijiwai demokrasi dan liberalisme, telah disusupi corong-corong  propaganda segelintir orang. Setiap keping informasi telah disusupi kepentingan tertentu. Setiap suara berita telah dimodali kekuatan politik dan bisnis.
Chomsky menganalisis adanya konspirasi para elit yang melakukan kontrol pemberitaan dan informasi. Dengan menggunakan istilah Manufacturing Consent, tokoh kritis ini melihat media menjadi alat kepentingan politik, ekonomi, dan kultur kalangan eksklusif. Menurutnya para gate keeper media menjadi pion politisi dan pengusaha untuk mencari keuntungan. Media dijadikan instrumen untuk kepentingan mereka. Chomsky dan Herman,  menggambarkan model propaganda kelompok pemilik modal yang mampu menetapkan premis-premis wacana publik, menentukan informasi apa yang boleh dikonsumsi publik, dan terus menerus mengelola pendapat publik melalui propaganda. Karena itu media massa sebagai instrumen, isinya banyak dipenuhi oleh framing hingga kebohongan (Herman & Chomsy 2000: 179).
Sementara Peter Golding dan Graham Murdock, melihat ideologi kapitalisme telah meresap dalam institusi media, cenderung menjadi semakin menggurita menjangkau kemana-mana, tetapi kontrol pemilikannya semakin terkonsentrasi hanya pada beberapa elite saja. “Media as a political and economic vehicle, tend to be controlled by conglomerates and media barons who are becoming fewer in number…(Peter Golding & Graham Murdock,  2000  71)  Lalu apa jadinya jika kekuatan media sebagai produsen budaya, produsen informasi politik, dan kekuatan ekonomi, hanya terkonsentrasi pada beberapa orang? Apalagi pemiliknya juga sebagai pemain politik sekaligus pemain bisnis yang powerful? Itulah gejala yang memprihatinkan dewasa ini. Padahal demokratis tidaknya suatu negara, tidak cukup hanya dari sistem politiknya, tapi juga sistem medianya. Itulah kemudian diingatkan oleh Mc Chesney; ”Millions of people who had never though much about media are now actively working to make media and  to change media policies  to blast open the system. It is becoming an accepted observation  that any effort to democratize  society must include a campaign to change the media system or else the prospect or success will be far lower”. (Mc Chesney dalam Hacket. & Carroll,  Remaking Media,   The Struggle to Democratize Public Communication,   2006: x).   

Penyiaran
Salah satu bentuk media massa yang paling dominan sekarang, tapi sekaligus memiliki kekhasan adalah media penyiaran, khususnya televisi.  Penyiaran menggunakan ranah publik, yaitu frekuensi yang jumlahnya terbatas, sehingga diperlakukan secara berbeda dengan media cetak. Penyiaran senantiasa sarat dengan aturan (highly regulated), baik infrastruktur maupun isinya (McQuail, 2002:  208).  Karena itu mekanisme pengaturan sistem penyiaran justru menjadi salah satu refleksi demokratis tidaknya negara yang bersangkutan
            Di era demokrasi liberal seperti sekarang, media penyiaran, tidak cukup dipandang hanya sebagai kekuatan civil society yang harus dijamin kebebasannya, namun harus juga dilihat sebagai kekuatan kapitalis, bahkan politik elite tertentu. Kekuatan media ini bisa mengkooptasi, bahkan menghegemoni negara, hingga masyarakat. Ini yang perlu dicermati secara kritis oleh para pendukung demokrasi termasuk para jurnalis. Jangan sampai kekuatan demokrasi dibelokkan “atas nama kebebasan pers” untuk kepentingan politik dari para kapitalis penguasa media.
            Gejala ini amat kentara dan nyata terlihat pada model pemberitaan atau program current issue di televisi swasta yang mengkhususkan pada berita. Impartialitas acapkali   diabaikan. Pemilik yang sedang getol memobilisasi dukungan politik, bisa muncul setiap saat bak pahlawan di medianya. Sementara “lawan politiknya” cenderung dicerca habis dengan mengabaikan imparsialitas. Secara kasat mata media TV oleh pemiliknya dipakai sebagai political tool gerakan yang dipimpinnya.
Padahal regulasi tentang keharusan imparsialitas bagi media penyiaran itu adalah kewajiban yang berlaku global di berbagai negara demokrasi. Terlebih telah diatur dalam  UU 32/2002 tentang Penyiaran pasal 36 ayat 4 yang menyebutkan “Isi siaran Wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan”.  Kemudian berdasar aturan KPI no 9/2004 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran pasal 5 ayat e; “Lembaga penyiaran menjunjung tinggi prinsip ketidakberpihakan dan keakuratan”. Dilengkapi pasal 9 tentang prinsip Jurnalistik: Lembaga Penyiaran harus menyajikan informasi dalam program factual dengan senantiasa mengindahkan prinsip akurasi, keadilan dan ketidakberpihakan (imparsialitas).
Persoalannya bagaimana ketika prinsip dan ketentuan imparsialitas ini sudah begitu lama diabaikan. Sementara UU dan aturan KPI diterjang. Sebenarnya KPI sudah memperingatkan media televisi yang sedang bermasalah ini. Tapi nampaknya tabiat melanggar imparsialitas itu terus saja kembali diulang. Media tersebut sebagai kekuatan pembangun opini jelas-jelas telah mengabaikan aturan dan prinsip-prinsip demokrasi. Karena itu bisa dipahami jika ada pernyataan keras, dari kalangan yang merasa diperlakukan tidak adil. Reaksi keras seruan boikot Dipo Alam tentu tidak lepas dari persoalan di atas.  Ada  abuse of power yang dilakukan politisi tertentu dalam menggunakan media yang dimilikinya. Tapi dramapun kembali berulang. Televisi itu lagi-lagi justru semakin kencang mengabaikan imparsialitas, mengabaikan UU dan aturan KPI. Malah makin menyerang, menyalahkan bahkan cenderung mengadili, tanpa memberi tempat pada perspektif yang berbeda. Itu yang dilakukan pada Pak Dipo Alam sekarang ini. Yang dimunculkan lebih banyak dari informasi atau nara sumber yang sejalan, nara sumber yang memiliki kepentingan agar bisa tampil di televisi, atau mereka yang tidak menguasai persoalan. Walhasil kebebasan pers kembali terhegemoni oleh kepentingan elite. Kepentingan politik pemilik media, yang terkadang diboncengi para petualang politik yang mengaku sebagai civil society.
            Sayangnya, hal ini banyak tidak dipahami, mungkin benar kata Eric Louw, the problem is that journalists are not skeptical enough—they only focus their skepticism on others, but never on themselves (Eric Louw, 2006:5).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar