Kemerdekaan
pers merupakan indikator demokrasi yang paling signifikan dari suatu sistem
politik. Dengan kemerdekaan pers, kontrol terhadap sistem politik, dan sistem sosial, dapat
terjadi secara terus menerus, setiap hari, setiap saat. Secara teoretik kontrol
dan kritik melalui pers tersebut akan menciptakan pemerintahan yang cerdas,
bersih dan bijaksana.
Kemerdekaan
pers juga memunculkan keterbukaan atas berbagai peristiwa. Menjadikan
masyarakat memperoleh berbagai informasi yang semakin transparan, ---termasuk
yang dulu sulit diketahui melalui pers---
seakan sekarang tidak ada lagi hal yang sensitif untuk diberitakan,
semua menjadi lumrah diketahui masyarakat. Kemerdekaan pers juga mempunyai
konsekuensi menjadikan pers sebagai agen informasi yang semakin besar perannya
dalam pembentukan opini publik.
Disadari atau tidak, diakui atau
tidak, dalam alam yang memberikan jaminan pada
kebebasan pers seperti sekarang, peran pengelola media atau wartawan menjadi semakin signifikan. Para
gate keeper informasi ini, tidak lagi
harus “bersaing” dengan kekuatan struktur kekuasaan atau negara, dalam hal
memutuskan informasi mana yang dipilih menjadi berita. Kebijakan pemberitaan, dan cara penyampaiannya menjadi semakin “independen”
berada di ”pundak” para “pengelola media”. Kalaupun masih ada kekuatan luar
yang kemungkinan menekan, arahnya lebih banyak berasal dari kekuatan pemilik
modal, penyokong finasial atau kepentingan bisnis mereka dan kelompok-kelompok masyarakat yang
fanatis.
Sayangnya dalam kondisi bebas seperti sekarang, malah banyak media massa
justru kehilangan pedoman dan prinsip paling dasar dari etika jurnalisme. Padahal
ketika kebebasan itu tinggi, sebenarnya tuntutan akan penerapan etika juga akan
semakin besar. Akibatnya, kebebesan pers sering dinilai kebablasan dan banyak
memunculkan masalah di masyarakat.
Pentingnya Etika
Etika pada dasarnya merupakan aliran filsafat yang memfokuskan pada ajaran moral. Secara etimologi etika berasal
dari kata “ethos” yang berarti watak
kesusilaan atau adat. Identik dengan perkataan moral yang berasal dari bahasa
latin yaitu “mos”, yang dalam bentuk jamaknya disebut “mores”. Etika memberikan penekanan pada tindakan
manusia, agar ada kesadaran moral, bersusila, dan sesuai dengan norma-norma
yang berlaku. Sekalipun tidak ada yang melihat, dengan etika, tindakan yang bermoral selalu akan dilakukan.
Sebab tindakannya didasarkan pada kesadaran, bukan karena keterpaksaan, atau
pengaruh kekuasaan tertentu.
Sebagai ajaran moral,
etika berlaku bagi semua tindakan manusia, yang berimplikasi pada manusia lain.
Atau
dengan kata lain sepanjang suatu tindakan itu bisa berimplikasi pada orang
lain, maka berlakulah ajaran moral yang namanya etika. Salah satu pekerjaan yang berimplikasi pada
orang lain adalah komunikasi. Komunikasi mempunyai implikasi kepada orang yang
terlibat dalam proses transaksi pesan. Pesan yang salah atau tidak berdasarkan
fakta, akan berimplikasi pada pemahaman yang salah pada orang lain yang diajak berkomunikasi.
Terlebih lagi, jika pesan tersebut disampaikan melalui media massa, implikasinyapun akan ada pada orang
yang semakin banyak. Bahkan bisa berpengaruh terhadap konteks yang lebih luas,
baik itu menyangkut persoalan politik, ekonomi, maupun budaya. Nah disinilah
mengapa suatu ajaran etika menjadi penting dalam dunia komunikasi massa.
Persoalannya,
kapan suatu tindakan yang berimplikasi pada orang lain dikatakan tidak etis
atau melanggar etika? Suatu tindakan dikatakan tidak etis itu tak lain apabila
tindakan seseorang tersebut tidak sesuai dengan harapan (expectation) pihak lain.
Dalam konteks komunikasi melalui media massa, pihak lain ini adalah lingkungan
sosialnya, yaitu khalayak yang menggunakan media tersebut. Bukan lingkungan komunitas fisik di mana ia
berasal, melainkan lingkungan sosial yang luas yang berhubungan dengan posisi
sosialnya, yaitu sebagai pengelola media (wartawan). Dengan kata lain,
seseorang yang bekerja di media massa
dapat membedakan secara jelas antara kepentingan yang bertolak dari tuntutan
pribadi atau komunitas fisiknya, dengan posisi sosial yang bertolak dari
tututan lingkungan sosial yang luas (audience-nya),
yang menjadi dasar kehadiran atau
eksistensi peran sosialnya.
Sayangnya,
batas-batas kapan suatu tindakan itu etis atau tidak itu amatlah abstrak.
Artinya, ajaran etika itu bersifat samar, dan amat luas, sehingga harus
dipahami melalui kajian yang kritis dan rasional. Nah, untuk memudahkan
menangkap ajaran etika ini, kalangan profesi tertentu mencoba untuk merumuskan
ajaran etika yang khas profesinya ke dalam ajaran yang kongkrit, dalam bentuk
aturan-aturan yang acapkali disebut sebagai kode etik. Jadi kode etik
jurnalistik merupakan rumusan etika yang tertulis yang berlaku bagi organisasi
profesi kewartawanan yang merumuskan kode etik tersebut. Sementara etika
komunikasi, merupakan ajaran moral yang aturan-aturannya masih merupakan kajian
abstrak, dan luas, yang mengatur mengenai bagaimana komunikasi seharusnya
dilakukan.
Kode Etik Wartawan Indonesia
Seperti halnya negara-negara lain, masyarakat
pers Indonesia juga telah menyusun kode etik jurnalistik. Kode etik jurnalistik
di Indonesia sempat berkali-kali berganti, dan muncul dalam berbagai versi.
Pada awalnya hingga pada masa Orde Baru, kode etik jurnalistik yang dikenal
hanyalah kode etik yang dirumuskan oleh PWI, yang sudah beberapa kali
diperbaiki. Namun setelah reformasi, berbarengan dengan munculnya banyak
organisasi kewartawanan, berkembang pula rumusan kode etik jurnalistik tersebut
sesuai dengan ragam organisasi yang ada. Ada kode etik wartawan PWI, ada kode
etik AJI, ada IJTI, dan sebagainya. Selanjutnya pada bulan Agustus 1999,
sebanyak 22 organisasi kewartawanan sepakat merumuskan suatu kode etik
jurnalistik “bersama”, yang diberi nama
Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI).
Kode Etik Wartawan
Indonesia terdiri dari 7 pasal yang tujuannya untuk meningkatkan
profesionalisme kerja wartawan Indonesia, sehingga dengan profesionalisme kerja
tersebut tercipta fungsi media yang optimal bagi masyarakat, terhindar dari
tindakan yang merugikan masyarakat, dan sekaligus melindungi profesi wartawan.
Adapun beberapa pasal kode etik tersebut adalah berbunyi sebagai berikut:
1.
Wartawan Indonesia
menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar. Pasal ini dimaksudkan untuk memberikan penekanan pada wartawan agar mereka
memenuhi hak masyarakat atas informasi yang benar. Artinya mereka dituntut
secara etis agar melaporkan dan menyiarkan informasi secara faktual dan jelas
sumbernya. Tidak menyembunyikan fakta serta pendapat yang penting dan menarik
yang perlu diketahui publik sebagai hak masyarakat untuk memperoleh informasi
yang benar, akurat.
2.
Wartawan Indonesia
menempuh cara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta
memberikan identitas kepada sumber informasi. Pasal ini dimaksudkan, bahwa wartawan dalam memperoleh informasi dari nara
sumber, termasuk dalam memperoleh dokumen dan memotret, hendaknya dilakukan
dengan cara-cara yang dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum, kaidah-kaidah kewartawanan, kecuali dalam hal investigative reporting.
3.
Wartawan Indonesia
menghormati azas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan fakta dan opini,
berimbang, dan selalu meneliti kebenaran informasi, serta tidak melakukan
plagiat. Pasal ini berarti bahwa, wartawan Indonesia dalam
melaporkan dan menyiarkan informasi tidak dibenarkan menghakimi atau membuat
kesimpulan kesalahan seseorang, terlebih lagi untuk kasus-kasus yang masih
dalam proses pengadilan. Wartawan tidak dibenarkan memasukkan opini pribadinya.
Sebaiknya dalam melaporkan informasi perlu meneliti kembali kebenaran informasi
itu. Dalam pemberitaan kasus sengketa dan perbedaan pendapat, masing-masing
pihak harus diberikan ruang waktu pemberitaan secara berimbang.
4.
Wartawan Indonesia tidak
menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis dan cabul, serta tidak
menyebutkan identitas korban kejahatan susila. Maksudnya, wartawan tidak dibenarkan menyebarkan informasi yang tidak
jelas sumber dan kebenarannya, rumor atau tuduhan tanpa dasar yang bersifat
sepihak, informasi yang secara gamblang memperlihatkan aurat yang bisa
menimbulkan nafsu atau mengundang kontroversi publik. Untuk kasus tindak
perkosaan atau pelecehan seksual, tidak menyebutkan identitas korban, untuk
menjaga dan melindungi kehormatan korban.
5.
Wartawan Indonesia tidak
menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi. Maksud pasal ini untuk menjaga
kehormatan profesi, melarang pada wartawan
menerima imbalan dalam bentuk apapun dari sumber berita/nara sumber,
yang berkaitan dengan tugas-tugas kewartawanannya, dan tidak menyalahgunakan
profesi untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
6.
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak,
menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang dan off the record
sesuai kesepakatan. Maksud
pasal ini, wartawan hendaklah melindungi nara
sumber yang tidak bersedia disebut nama dan identitasnya. Berdasarkan
kesepakatan, jika nara
sumber meminta informasi yang diberikan
untuk ditunda pemuatannya, harus dihargai. Hal ini juga berlaku untuk informasi
latar belakang.
7.
Wartawan Indonesia segera mencabut dan
meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani hak Jawab. Maksud
pasal ini, wartawan hendaknya segera
mencabut dann meralat pemberitaan yang keliru dan tidak akurat dengan disertai
permintaan maaf. Ralat ditempatkan pada halaman yang sama dengan informasi yang
salah atau tidak akurat. Dalam hal
pemberitaan yang merugikan seseorang atau kelompok, pihak yang dirugikan harus
diberi kesempatan untuk melakukan klarifikasi.
Dengan
mengikuti pedoman etika maupun yang sudah dirumuskan dalam kode etik. Media massa Indonesia
akan semakin kredibel dalam liputannya. Karena melalui penerapan kode etik tersebut indepedensi,
akurasi dan fairness media massa akan lebih terjaga.
Ini amat penting mengingat khalayak pada dasarnya memiliki daya ingat yang
panjang sejauh menyangkut kesalahan fakta informasi dan pemihakan. Jika
masyarakat tahu akan kesalahan dan pemihakan media, mereka akan mengingat hal
itu selama bertahun-tahun. Jika kesalahan tersebut dilakukan berkali-kali,
khalayak akan mempertanyakan setiap informasi yang disuguhkan, meskipun
informasi itu sudah akurat dan benar.
Namun terkadang kode etik di atas
perlu diterjemahkan dengan lebih luas untuk kebaikan jurnalisme. Misalnya
kendati tidak disebutkan secara eksplisit dalam hal menjaga obyektivitas dan
netralitas, tapi melalui prinsip-prinsip di atas, bisa pula diartikan bahwa,
secara etis dituntut agar dalam setiap pemberitaannya, suatu berita hendaknya berasal dari banyak
sumber, bukan satu sumber untuk banyak berita. Wartawan harus menghindari
sumber berita yang tidak mau disebutkan namanya tapi menyampaikan pesan yang
rawan. Apalagi yang sudah tidak kredibel, karena pernah terbukti berbohong.
Wartawan profesional tidak akan memilih pihak-pihak yang mereka sukai, ataupun
menulis berita dengan tujuan balas dendam, atau hanya sekedar sensasi.
Kemudian
dari 7 kode etik itu juga dapat ditarik kesimpulan bahwa, kecepatan bukan
merupakan ukuran utama. Tidak ada gunanya memperoleh berita dengan cepat tapi
tidak benar. Walau media harus bersaing dengan yang lain, hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar lebih penting dari pada sekedar mengejar
kecepatan berita. Maka wartawan harus mengecek fakta yang akan diberitakan.
Harus mendasarkan informasi dari orang yang
kompeten. Jika ada dua pihak yang harus dipertimbangkan, kedua belah
pihak harus diberi kesempatan. Wartawan hendaknya tidak malas memeriksa ejaan,
pengucapan nama, jabatan, lokasi, ucapan
kutipan, istilah-istilah yang dipakai. Kalau ada kesalahan segera dikoreksi.
Sayangnya prinsip akurasi dan ketelitian
ini justru merupakan unsur utama yang banyak menjadi kendala atau kelemahan
wartawan dan media massa kita.
Hak Sumber Berita Menurut Hukum Media
Sumber berita pada dasarnya
merupakan bagian masyarakat yang berada di luar pers (bukan pengelola pers),
yang informasi atau tidakannya sering dijadikan obyek pemberitaan. Mereka bisa
berupa kalangan elite politik, birokrat pemerintah, pengusaha, manajer-manajer
suasta, pimpinan ormas, aktivis LSM, aktivis mahasiswa, pengamat, aktivis
buruh, maupun kelompok masyarakat lainnya. Ada beberapa hak yang dimiliki
sumber berita, berdasar UU no 40 tahun 1999.
1. Hak Jawab (pasal 5, ayat 2), yaitu, hak seseorang atau sekelompok orang
untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta
yang merugikan nama baiknya.
2. Hak koreksi (pasal 5, ayat 3), yaitu hak setiap orang untuk mengoreksi atau
membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang
dirinya maupun tentang orang lain.
3.
Hak mengadu kepada Dewan
Pers, apabila orang atau sekelompok
orang tersebut merasa diberitakan secara tidak benar, dan tidak mendapatkan
tanggapan yang layak. Dan Dewan Pers akan memberikan pertimbangan
dan upaya menyelesaikan pengaduan itu (pasal 15, ayat 2d).
4.
Hak untuk
melaporkan kepada penyidik atau polisi, apabila hak jawab tidak dilayani
oleh pers yang bersangkutan. Berdasarkan ketentuan hukum pidana sebagaimana
termuat pada pasal 18 ayat 2 UU no 40 tahun 1999, pers tersebut dapat didenda
sebesar 500 juta rupiah.
5.
Hak menuntut pers secara hukum perdata, yaitu
berupa somasi hingga penuntutan membayar ganti rugi, apabila pemberitaan pers
benar-benar dirasakan merugikan sumber berita, karena kesalahan atau
ketidakprofesionalan mereka dalam memberitakan.
Sedangkan
konsumen pers adalah semua orang atau masyarakat yang menggunakan jasa pers
untuk pemenuhan kebutuhan komunikasinya. Mereka ini bisa berupa masyarakat
umum, atau siapapun, yang penting dia merupakan orang yang biasa menggunakan pers. Karena itu sumber berita-pun sebenarnya
juga termasuk konsumen pers. Menurut Undang-undang no 40 tahun 1999, konsumen
pers mempunyai hak-hak sebagai berikut:
a.
Hak masyarakat untuk tahu (pasal 6 ayat a).
Hak ini biasanya dikaitkan dengan hak masyarakat untuk mendapatkan berbagai
informasi dari pers yang merdeka, pers yang tidak dikenakan penyensoran,
pembreidelan atau pelarangan penyiaran. Hal demikian dapat dirunut pada pasal 4
ayat 2.
b.
Hak memperoleh informasi yang tepat, akurat
dan benar (pasal 9 ayat c). Mengenai hak ini, memang tidak secara eksplisit
disebutkan sebagai hak masyarakat (konsumen pers), namun pada pasal 9 tersebut
secara tegas pers nasional disebutkan melaksanakan peran untuk mengembangkan
pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat dan benar.
c.
Masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk
mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang
diperlukan. Yaitu memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum,
etika dan kekeliruan teknis pemberitaan
yang dilakukan oleh pers (pasal 17 ayat 2). Menyampaikan usulan dan saran
kepada Dewan Pers, dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional
(pasal 2 ayat b).
Kemudian
apabila konsumen pers ini, kebetulan menjadi obyek pemberitaan, atau
diberitakan, atau mempunyai kepentingan dengan pemberitaan, merekapun memiliki
hak sebagaimana yang dimiliki sumber berita.
Yaitu hak jawab, hak koreksi, hak mengadu pada Dewan Pers, hak melapor
pada penyidik, ataupun juga memperkarakan secara perdata.
Hak Pers atas Sumber Berita
Selain hak, bagi sumber berita ataupun
konsumen pers, menurut UU 40 tahun 1999 tersebut, pers juga mempunyai hak yang
berkaitan dengan sumber berita dan masyarakat. Adapun beberapa pasal yang mengatur hak pers
tersebut antara lain:
·
Pasal 4 ayat 2, menyebutkan pers
nasional tidak dikenakan penyensoran, pembreidelan atau pelarangan penyiaran.
·
Pasal 4 ayat 3, menyebutkan untuk
menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak untuk
mencari, memperoleh, dan
menyebarluaskan gagasan dan
informasi.
·
Pasal 6 bagian a, pers nasional
berhak memenuhi hak masyarakat untuk tahu.
·
Pasal 6 bagian d menyebutkan pers
nasional berhak untuk melakukan
pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kepentingan umum.
·
Pasal 4 ayat 4 menyebutkan, dalam
mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum wartawan mempunyai Hak tolak,
yaitu hak wartawan, untuk menolak mengungkapkan nama atau identitas sumber
berita yang harus dirahasiakan
·
Pasal 8, dalam melaksanakan
profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.
Hak-Hak
yang dimiliki oleh pers atau kalangan wartawan tersebut, khususnya untuk pasal
4 ayat 2 dan 3, apabila dilanggar oleh
sumber berita, masyarakat, aparat ataupun subyek hukum yang lain, si pelanggar
dapat dikenakan sanksi pidana. Sebagaimana hal itu dikemukakan dalam pasal 18
ayat 1, yaitu: Setiap orang yang secara
melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau
menghalangi pelaksaanaan pasal 4 ayat 2 dan ayat 3, dipidana paling lama 2 tahun,
atau denda paling banyak 500 juta.
Sedangkan
pada pasal 8, kendati wartawan mendapatkan perlindungan hukum, namun apa yang
tertera pada pasal 4 ayat 2 dan 3 yang diatur haknya itu adalah pers sebagai
institusi, bukan wartawan sebagai perseorangan. Jadi jika terjadi pencekalan
atau pengusiran terhadap seorang wartawan, sementara wartawan lain dari media
yang sama diperbolehkan meliput, pasal 4 tersebut kesulitan untuk diberlakukan.
Atau minimal membutuhkan interpretasi yuridis yang berani dari kalangan hakim
hingga terbentuknya yurisprudensi.
Peraturan-peraturan
sebagaimana diungkapkan di muka, amat perlu dipahami oleh semua pihak, baik
para nara
sumber, masayarakat sebagai konsumen pers, maupun kalangan wartawan sendiri.
Bukan saja ini untuk meningkatkan profesionalisme wartawan agar dapat
melaksanakan tugasnya dengan lebih baik, tapi juga menghindari kemungkinan
terkena “ranjau hukum” atau the penalties
the law impases upon him when he violetes the rights. Ranjau hukum ini
harus dihindari termasuk juga oleh masyarakat dan para nara sumber.
Pencemaran Nama Baik.
Pada pasal 310 ayat 1 disebutkan “Barang siapa sengaja
menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal,
yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran
dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda…” Dalam ayat 2 ditambahkan “jika hal itu
dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukan atau
ditempel di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan penjara
pidana paling lama satu tahun empat bulan…
Pencemaran
nama baik, merupakan salah satu perbuatan pidana yang banyak terjadi. Delik ini
berkaitan dengan pihak lain yang merasa
dirugikan oleh media massa
makanya merupakan delik aduan. Biasanya media yang dituntut secara pidana telah
melakukan pencemaran nama baik, juga digugat secara perdata untuk membayar
kerugian materiil dan spiritual dengan nilai tertentu.
Penyebaran Kabar Bohong
Undang-Udang
no. 1 tahun 1946, menyebutkan bahwa barang siapa menyiarkan suatu berita atau
pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan masyarakat, sedangkan
ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong,
dihukum dengan penjara selama-lamanya tiga tahun. Di sini ada kata dapat,
berarti delik ini dapat diterapkan tanpa harus membuktikan betul-betul sudah
terjadi keonaran.
Melanggar asas praduga tak bersalah, serta tidak
melayani Hak Jawab
Pasal 18
ayat 2 UU no. 40 1999, perusahaan pers yang melanggar pasal 5 ayat 1 dan ayat 2 (kewajiban melayani hak jawab) dikenakan
denda sampai 500 juta rupiah.
*Direktur Lembaga Konsumen Media (LKM Media Watch), Ketua Program Pascasarjana Studi Media dan Komunikasi
Universitas Airlangga, Surabaya.
Alumni Komunikasi Fisipol UGM, Fak Hukum UII, Pascasarjana Komunikasi UI Jakarta, Public
Administration International, London UK.
maaf ijin copy yah
BalasHapus