Rabu, 08 Februari 2012

ETIKA DAN HUKUM MEDIA MASSA


Kemerdekaan pers merupakan indikator demokrasi yang paling signifikan dari suatu sistem politik. Dengan kemerdekaan pers, kontrol terhadap  sistem politik, dan sistem sosial, dapat terjadi secara terus menerus, setiap hari, setiap saat. Secara teoretik kontrol dan kritik melalui pers tersebut akan menciptakan pemerintahan yang cerdas, bersih dan bijaksana. 
Kemerdekaan pers juga memunculkan keterbukaan atas berbagai peristiwa. Menjadikan masyarakat memperoleh berbagai informasi yang semakin transparan, ---termasuk yang dulu sulit diketahui melalui pers---  seakan sekarang tidak ada lagi hal yang sensitif untuk diberitakan, semua menjadi lumrah diketahui masyarakat. Kemerdekaan pers juga mempunyai konsekuensi menjadikan pers sebagai agen informasi yang semakin besar perannya dalam pembentukan opini publik.
            Disadari atau tidak, diakui atau tidak, dalam alam yang memberikan jaminan pada  kebebasan pers seperti sekarang, peran pengelola media atau wartawan menjadi  semakin signifikan. Para gate keeper informasi ini, tidak lagi harus “bersaing” dengan kekuatan struktur kekuasaan atau negara, dalam hal memutuskan informasi mana yang dipilih menjadi berita. Kebijakan pemberitaan, dan cara penyampaiannya menjadi semakin “independen” berada di ”pundak” para “pengelola media”. Kalaupun masih ada kekuatan luar yang kemungkinan menekan, arahnya lebih banyak berasal dari kekuatan pemilik modal, penyokong finasial atau kepentingan bisnis  mereka dan kelompok-kelompok masyarakat yang fanatis.
Sayangnya dalam kondisi bebas seperti sekarang, malah banyak media massa justru kehilangan pedoman dan prinsip paling dasar dari etika jurnalisme. Padahal ketika kebebasan itu tinggi, sebenarnya tuntutan akan penerapan etika juga akan semakin besar. Akibatnya, kebebesan pers sering dinilai kebablasan dan banyak memunculkan masalah di masyarakat.


Pentingnya Etika
Etika pada dasarnya merupakan aliran filsafat yang memfokuskan pada  ajaran moral. Secara etimologi etika berasal dari kata “ethos”  yang berarti watak kesusilaan atau adat. Identik dengan perkataan moral yang berasal dari bahasa latin yaitu “mos”, yang dalam bentuk jamaknya disebut “mores”.   Etika memberikan penekanan pada tindakan manusia, agar ada kesadaran moral, bersusila, dan sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Sekalipun tidak ada yang melihat, dengan etika,  tindakan yang bermoral selalu akan dilakukan. Sebab tindakannya didasarkan pada kesadaran, bukan karena keterpaksaan, atau pengaruh kekuasaan tertentu. 
Sebagai ajaran moral, etika berlaku bagi semua tindakan manusia, yang berimplikasi pada manusia lain. Atau dengan kata lain sepanjang suatu tindakan itu bisa berimplikasi pada orang lain, maka berlakulah ajaran moral yang namanya etika.  Salah satu pekerjaan yang berimplikasi pada orang lain adalah komunikasi. Komunikasi mempunyai implikasi kepada orang yang terlibat dalam proses transaksi pesan. Pesan yang salah atau tidak berdasarkan fakta, akan berimplikasi pada pemahaman yang salah pada orang lain yang diajak berkomunikasi. Terlebih lagi, jika pesan tersebut disampaikan melalui media massa, implikasinyapun akan ada pada orang yang semakin banyak. Bahkan bisa berpengaruh terhadap konteks yang lebih luas, baik itu menyangkut persoalan politik, ekonomi, maupun budaya. Nah disinilah mengapa suatu ajaran etika menjadi penting dalam dunia komunikasi massa.
Persoalannya, kapan suatu tindakan yang berimplikasi pada orang lain dikatakan tidak etis atau melanggar etika? Suatu tindakan dikatakan tidak etis itu tak lain apabila tindakan seseorang tersebut tidak sesuai dengan harapan (expectation) pihak lain.  Dalam konteks komunikasi melalui media massa, pihak lain ini adalah lingkungan sosialnya, yaitu khalayak yang menggunakan media tersebut.  Bukan lingkungan komunitas fisik di mana ia berasal, melainkan lingkungan sosial yang luas yang berhubungan dengan posisi sosialnya, yaitu sebagai pengelola media (wartawan). Dengan kata lain, seseorang yang bekerja di media massa dapat membedakan secara jelas antara kepentingan yang bertolak dari tuntutan pribadi atau komunitas fisiknya, dengan posisi sosial yang bertolak dari tututan lingkungan sosial yang luas (audience-nya), yang  menjadi dasar kehadiran atau eksistensi peran sosialnya.
Sayangnya, batas-batas kapan suatu tindakan itu etis atau tidak itu amatlah abstrak. Artinya, ajaran etika itu bersifat samar, dan amat luas, sehingga harus dipahami melalui kajian yang kritis dan rasional. Nah, untuk memudahkan menangkap ajaran etika ini, kalangan profesi tertentu mencoba untuk merumuskan ajaran etika yang khas profesinya ke dalam ajaran yang kongkrit, dalam bentuk aturan-aturan yang acapkali disebut sebagai kode etik.  Jadi kode etik jurnalistik merupakan rumusan etika yang tertulis yang berlaku bagi organisasi profesi kewartawanan yang merumuskan kode etik tersebut. Sementara etika komunikasi, merupakan ajaran moral yang aturan-aturannya masih merupakan kajian abstrak, dan luas, yang mengatur mengenai bagaimana komunikasi seharusnya dilakukan.
 

Kode Etik Wartawan Indonesia

 Seperti halnya negara-negara lain, masyarakat pers Indonesia juga telah menyusun kode etik jurnalistik. Kode etik jurnalistik di Indonesia sempat berkali-kali berganti, dan muncul dalam berbagai versi. Pada awalnya hingga pada masa Orde Baru, kode etik jurnalistik yang dikenal hanyalah kode etik yang dirumuskan oleh PWI, yang sudah beberapa kali diperbaiki. Namun setelah reformasi, berbarengan dengan munculnya banyak organisasi kewartawanan, berkembang pula rumusan kode etik jurnalistik tersebut sesuai dengan ragam organisasi yang ada. Ada kode etik wartawan PWI, ada kode etik AJI, ada IJTI, dan sebagainya. Selanjutnya pada bulan Agustus 1999, sebanyak 22 organisasi kewartawanan sepakat merumuskan suatu kode etik jurnalistik “bersama”, yang  diberi nama Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI).
Kode Etik Wartawan Indonesia terdiri dari 7 pasal yang tujuannya untuk meningkatkan profesionalisme kerja wartawan Indonesia, sehingga dengan profesionalisme kerja tersebut tercipta fungsi media yang optimal bagi masyarakat, terhindar dari tindakan yang merugikan masyarakat, dan sekaligus melindungi profesi wartawan. Adapun beberapa pasal kode etik tersebut adalah berbunyi sebagai berikut:

1.    Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar. Pasal ini dimaksudkan untuk memberikan penekanan pada wartawan agar mereka memenuhi hak masyarakat atas informasi yang benar. Artinya mereka dituntut secara etis agar melaporkan dan menyiarkan informasi secara faktual dan jelas sumbernya. Tidak menyembunyikan fakta serta pendapat yang penting dan menarik yang perlu diketahui publik sebagai hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, akurat.

2.    Wartawan Indonesia menempuh cara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber informasi. Pasal ini dimaksudkan, bahwa wartawan dalam memperoleh informasi dari nara sumber, termasuk dalam memperoleh dokumen dan memotret, hendaknya dilakukan dengan cara-cara yang dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum, kaidah-kaidah  kewartawanan, kecuali dalam hal investigative reporting.

3.    Wartawan Indonesia menghormati azas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan fakta dan opini, berimbang, dan selalu meneliti kebenaran informasi, serta tidak melakukan plagiat. Pasal ini berarti bahwa, wartawan Indonesia dalam melaporkan dan menyiarkan informasi tidak dibenarkan menghakimi atau membuat kesimpulan kesalahan seseorang, terlebih lagi untuk kasus-kasus yang masih dalam proses pengadilan. Wartawan tidak dibenarkan memasukkan opini pribadinya. Sebaiknya dalam melaporkan informasi perlu meneliti kembali kebenaran informasi itu. Dalam pemberitaan kasus sengketa dan perbedaan pendapat, masing-masing pihak harus diberikan ruang waktu pemberitaan secara berimbang.

4.    Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis dan cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila. Maksudnya, wartawan tidak dibenarkan menyebarkan informasi yang tidak jelas sumber dan kebenarannya, rumor atau tuduhan tanpa dasar yang bersifat sepihak, informasi yang secara gamblang memperlihatkan aurat yang bisa menimbulkan nafsu atau mengundang kontroversi publik. Untuk kasus tindak perkosaan atau pelecehan seksual, tidak menyebutkan identitas korban, untuk menjaga dan melindungi kehormatan korban.

5.    Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi.  Maksud pasal ini untuk menjaga kehormatan profesi, melarang pada wartawan  menerima imbalan dalam bentuk apapun dari sumber berita/nara sumber, yang berkaitan dengan tugas-tugas kewartawanannya, dan tidak menyalahgunakan profesi untuk kepentingan pribadi atau kelompok.

6.    Wartawan Indonesia memiliki hak tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang dan off the record sesuai kesepakatan.  Maksud pasal ini, wartawan hendaklah melindungi nara sumber yang tidak bersedia disebut nama dan identitasnya. Berdasarkan kesepakatan, jika nara sumber meminta informasi  yang diberikan untuk ditunda pemuatannya, harus dihargai. Hal ini juga berlaku untuk informasi latar belakang.

7.    Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani hak Jawab. Maksud pasal ini, wartawan hendaknya  segera mencabut dann meralat pemberitaan yang keliru dan tidak akurat dengan disertai permintaan maaf. Ralat ditempatkan pada halaman yang sama dengan informasi yang salah atau tidak akurat. Dalam hal pemberitaan yang merugikan seseorang atau kelompok, pihak yang dirugikan harus diberi kesempatan untuk melakukan klarifikasi.

Dengan mengikuti pedoman etika maupun yang sudah dirumuskan dalam kode etik. Media massa Indonesia akan semakin kredibel dalam liputannya.  Karena melalui penerapan kode etik tersebut indepedensi, akurasi dan fairness media massa akan lebih terjaga. Ini amat penting mengingat khalayak pada dasarnya memiliki daya ingat yang panjang sejauh menyangkut kesalahan fakta informasi dan pemihakan. Jika masyarakat tahu akan kesalahan dan pemihakan media, mereka akan mengingat hal itu selama bertahun-tahun. Jika kesalahan tersebut dilakukan berkali-kali, khalayak akan mempertanyakan setiap informasi yang disuguhkan, meskipun informasi itu sudah akurat dan benar.
            Namun terkadang kode etik di atas perlu diterjemahkan dengan lebih luas untuk kebaikan jurnalisme. Misalnya kendati tidak disebutkan secara eksplisit dalam hal menjaga obyektivitas dan netralitas, tapi melalui prinsip-prinsip di atas, bisa pula diartikan bahwa, secara etis dituntut agar dalam setiap pemberitaannya,   suatu berita hendaknya berasal dari banyak sumber, bukan satu sumber untuk banyak berita. Wartawan harus menghindari sumber berita yang tidak mau disebutkan namanya tapi menyampaikan pesan yang rawan. Apalagi yang sudah tidak kredibel, karena pernah terbukti berbohong. Wartawan profesional tidak akan memilih pihak-pihak yang mereka sukai, ataupun menulis berita dengan tujuan balas dendam, atau hanya sekedar sensasi.
Kemudian dari 7 kode etik itu juga dapat ditarik kesimpulan bahwa, kecepatan bukan merupakan ukuran utama. Tidak ada gunanya memperoleh berita dengan cepat tapi tidak benar. Walau media harus bersaing dengan yang lain, hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar lebih penting dari pada sekedar mengejar kecepatan berita. Maka wartawan harus mengecek fakta yang akan diberitakan. Harus mendasarkan informasi dari orang yang  kompeten. Jika ada dua pihak yang harus dipertimbangkan, kedua belah pihak harus diberi kesempatan. Wartawan hendaknya tidak malas memeriksa ejaan, pengucapan nama,  jabatan, lokasi, ucapan kutipan, istilah-istilah yang dipakai. Kalau ada kesalahan segera dikoreksi. Sayangnya  prinsip akurasi dan ketelitian ini justru merupakan unsur utama yang banyak menjadi kendala atau kelemahan wartawan dan media massa kita.

Hak Sumber Berita Menurut Hukum Media

            Sumber berita pada dasarnya merupakan bagian masyarakat yang berada di luar pers (bukan pengelola pers), yang informasi atau tidakannya sering dijadikan obyek pemberitaan. Mereka bisa berupa kalangan elite politik, birokrat pemerintah, pengusaha, manajer-manajer suasta, pimpinan ormas, aktivis LSM, aktivis mahasiswa, pengamat, aktivis buruh, maupun kelompok masyarakat lainnya. Ada beberapa hak yang dimiliki sumber berita, berdasar UU no 40 tahun 1999.
1.    Hak Jawab (pasal 5, ayat 2), yaitu, hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
2.    Hak koreksi (pasal 5, ayat 3), yaitu hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
3.    Hak mengadu kepada Dewan Pers, apabila  orang atau sekelompok orang tersebut merasa diberitakan secara tidak benar, dan tidak mendapatkan tanggapan yang layak. Dan Dewan Pers akan memberikan pertimbangan dan upaya menyelesaikan pengaduan itu (pasal 15, ayat 2d).
4.    Hak untuk  melaporkan kepada penyidik atau polisi, apabila hak jawab tidak dilayani oleh pers yang bersangkutan. Berdasarkan ketentuan hukum pidana sebagaimana termuat pada pasal 18 ayat 2 UU no 40 tahun 1999, pers tersebut dapat didenda sebesar 500 juta rupiah.
5.    Hak menuntut pers secara hukum perdata, yaitu berupa somasi hingga penuntutan membayar ganti rugi, apabila pemberitaan pers benar-benar dirasakan merugikan sumber berita, karena kesalahan atau ketidakprofesionalan mereka  dalam memberitakan.
      Sedangkan konsumen pers adalah semua orang atau masyarakat yang menggunakan jasa pers untuk pemenuhan kebutuhan komunikasinya. Mereka ini bisa berupa masyarakat umum, atau siapapun, yang penting dia merupakan orang yang biasa menggunakan  pers. Karena itu sumber berita-pun sebenarnya juga termasuk konsumen pers. Menurut Undang-undang no 40 tahun 1999, konsumen pers mempunyai hak-hak sebagai berikut:
a.    Hak masyarakat untuk tahu (pasal 6 ayat a). Hak ini biasanya dikaitkan dengan hak masyarakat untuk mendapatkan berbagai informasi dari pers yang merdeka, pers yang tidak dikenakan penyensoran, pembreidelan atau pelarangan penyiaran. Hal demikian dapat dirunut pada pasal 4 ayat 2.
b.    Hak memperoleh informasi yang tepat, akurat dan benar (pasal 9 ayat c). Mengenai hak ini, memang tidak secara eksplisit disebutkan sebagai hak masyarakat (konsumen pers), namun pada pasal 9 tersebut secara tegas pers nasional disebutkan melaksanakan peran untuk mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat dan benar.
c.    Masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan. Yaitu memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, etika dan kekeliruan  teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers (pasal 17 ayat 2). Menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers, dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional (pasal 2 ayat b).
Kemudian apabila konsumen pers ini, kebetulan menjadi obyek pemberitaan, atau diberitakan, atau mempunyai kepentingan dengan pemberitaan, merekapun memiliki hak sebagaimana yang dimiliki sumber berita.  Yaitu hak jawab, hak koreksi, hak mengadu pada Dewan Pers, hak melapor pada penyidik, ataupun juga memperkarakan secara perdata.

Hak Pers atas Sumber Berita

Selain hak, bagi sumber berita ataupun konsumen pers, menurut UU 40 tahun 1999 tersebut, pers juga mempunyai hak yang berkaitan dengan sumber berita dan masyarakat. Adapun  beberapa pasal yang mengatur hak pers tersebut antara lain:
·         Pasal 4 ayat 2, menyebutkan pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembreidelan atau pelarangan penyiaran.
·         Pasal 4 ayat 3, menyebutkan untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak  untuk  mencari,  memperoleh,  dan  menyebarluaskan   gagasan  dan   informasi.
·         Pasal 6 bagian a, pers nasional berhak memenuhi hak masyarakat untuk tahu.
·         Pasal 6 bagian d menyebutkan pers nasional berhak  untuk melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
·         Pasal 4 ayat 4 menyebutkan, dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum wartawan mempunyai Hak tolak, yaitu hak wartawan, untuk menolak mengungkapkan nama atau identitas sumber berita yang harus dirahasiakan
·         Pasal 8, dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.
Hak-Hak yang dimiliki oleh pers atau kalangan wartawan tersebut, khususnya untuk pasal 4 ayat 2 dan  3, apabila dilanggar oleh sumber berita, masyarakat, aparat ataupun subyek hukum yang lain, si pelanggar dapat dikenakan sanksi pidana. Sebagaimana hal itu dikemukakan dalam pasal 18 ayat 1, yaitu: Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksaanaan pasal 4 ayat 2 dan ayat 3, dipidana paling lama 2 tahun, atau denda paling banyak 500 juta.
Sedangkan pada pasal 8, kendati wartawan mendapatkan perlindungan hukum, namun apa yang tertera pada pasal 4 ayat 2 dan 3 yang diatur haknya itu adalah pers sebagai institusi, bukan wartawan sebagai perseorangan. Jadi jika terjadi pencekalan atau pengusiran terhadap seorang wartawan, sementara wartawan lain dari media yang sama diperbolehkan meliput, pasal 4 tersebut kesulitan untuk diberlakukan. Atau minimal membutuhkan interpretasi yuridis yang berani dari kalangan hakim hingga terbentuknya yurisprudensi.
Peraturan-peraturan sebagaimana diungkapkan di muka, amat perlu dipahami oleh semua pihak, baik para nara sumber, masayarakat sebagai konsumen pers, maupun kalangan wartawan sendiri. Bukan saja ini untuk meningkatkan profesionalisme wartawan agar dapat melaksanakan tugasnya dengan lebih baik, tapi juga menghindari kemungkinan terkena “ranjau hukum” atau the penalties the law impases upon him when he violetes the rights. Ranjau hukum ini harus dihindari termasuk juga oleh masyarakat dan para nara sumber.


Pasal  Yang Biasa Dipakai Menutut Pers

Pencemaran Nama Baik.
Pada pasal 310 ayat 1 disebutkan “Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda…”  Dalam ayat 2 ditambahkan “jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukan atau ditempel di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan penjara pidana paling lama satu tahun empat bulan…
Pencemaran nama baik, merupakan salah satu perbuatan pidana yang banyak terjadi. Delik ini berkaitan dengan pihak lain yang  merasa dirugikan oleh media massa makanya merupakan delik aduan. Biasanya media yang dituntut secara pidana telah melakukan pencemaran nama baik, juga digugat secara perdata untuk membayar kerugian materiil dan spiritual dengan nilai tertentu.  

Penyebaran Kabar Bohong

Undang-Udang no. 1 tahun 1946, menyebutkan bahwa barang siapa menyiarkan suatu berita atau pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan masyarakat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara selama-lamanya tiga tahun. Di sini ada kata dapat, berarti delik ini dapat diterapkan tanpa harus membuktikan betul-betul sudah terjadi keonaran.

Melanggar  asas praduga tak bersalah, serta tidak melayani Hak Jawab 
Pasal 18 ayat 2 UU no. 40 1999, perusahaan pers yang melanggar pasal 5  ayat 1 dan ayat  2 (kewajiban melayani hak jawab) dikenakan denda sampai 500 juta rupiah.

Pers melakukan pelanggaran Hukum
            Pers dianggap melakukan tindakan melanggar hukum atau onrechtmatigedaad, yang diatur dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).


*Direktur Lembaga Konsumen Media (LKM Media Watch), Ketua Program Pascasarjana Studi Media dan Komunikasi Universitas Airlangga, Surabaya. Alumni Komunikasi Fisipol UGM, Fak Hukum UII, Pascasarjana  Komunikasi UI Jakarta,   Public Administration International, London UK.

1 komentar: