Senin, 09 April 2012

TV DIGITAL DAN DEMOKRASI PENYIARAN


Oleh : Henry Subiakto
(Dosen Pascasarjana Studi Media dan Komunikasi Universitas Airlangga)

Pertelevisian Indonesia akan memasuki era baru dengan  teknologi baru, yaitu digital terestrial. Dalam waktu dekat masyarakat akan memasuki era teknologi baru pertelevisian, sekaligus mengakhiri sistem televisi analog seperti yang kita tonton selama ini. Rencananya April ini Pemerintah masuk ke tahapan seleksi peminat penyelenggara infrastruktur TV Digital. Kemudian Oktober 2012 di pulau Jawa dan Kepulauan Riau, siaran simulcast TV Digital sudah dimulai. Targetnya TV analog sudah harus cut off di Jawa dan Kepualan Riau akhir  2015. Sedang untuk keseluruhan Indonesia selesai tahun 2018. Kebijakan inipun  memunculkan kontroversi, tak sedikit yang menentang, tapi banyak juga yang melihat kebijakan migrasi TV Digital ini sebagai titik masuk perbaikan sistem pertelevisian di Indonesia.   
Sebenarnya sistem digital akan memberikan banyak keuntungan (digital deviden) kepada masyarakat luas, industri, negara, dan pelaku demokrasi. Bagi masyarakat, dengan TV Digital akan terbuka alternatif pilihan saluran televisi yang makin banyak, dan beragam, dengan kualitas gambar dan suara yang semakin bagus. Migrasi TV Digital juga akan mendorong semakin membaiknya kualitas layanan telekomunikasi dan internet, karena akan ada frekuensi “baru” yang ditinggalkan stasiun TV analog, untuk melayani kebutuhan broadband internet, dan telekomunikasi yang semakin tinggi permintaannya di indonesia. Ini berarti negara juga diuntungkan, karena frekuensi bisa dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan publik yang lebih luas, sekaligus bertambahnya income negara.
Migrasi TV digital akan mengubah model bisnis pertelevisian. Kalau sistem analog, satu lembaga penyiaran menguasai satu frekuensi sekaligus satu saluran televisi, sehingga boros. Dalam sistem digital, akan terbagi dua. Ada penyelenggara penyiaran yang bergerak di bidang menara pemancar dengan menguasai frekuensi (Mux), disebut Lembaga Penyiaran Penyelenggara Penyiaran Multipleksing (LP3M). Kemudian ada lembaga penyiaran yang bergerak di bidang saluran televisi atau content siaran, disebut Lembaga Penyiaran Penyelenggara Program Siaran (LP3ES). Pada sistem digital, satu frekuensi (Mux) bisa berisi antara 6 sampai 12 saluran TV, sehingga efisien. Untuk jenis Standard Digital TV (SDTV) bisa sampai 12 saluran. Tapi kalau semuanya menggunakan High Digital TV (HDTV) hanya bisa  6 saluran. Karena HD membutuhkan bandwidth yang lebih lebar.
Di era digital Indonesia dibagi 15 zona, masing-masing zona disiapkan 6 frekuensi (Mux) oleh pemerintah. Satu Mux diberikan pada LPP TVRI, sisanya 5 Mux akan dikelola Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) yang memiliki ijin berdasarkan hasil seleksi. Misal zona 4 Jakarta Banten, akan memilikit 6 Mux. Berarti akan ada 72 saluran (SDTV) televisi digital terestrial. Hal yang sama juga terjadi di zona  lain. Bandingkan sekarang, di Jakarta Banten hanya ada 24 saluran televisi dan sudah terisi penuh. Sebagian besar hanya dimiliki oleh holdings atau korporasi yang menguasi lebih dari 1 saluran TV. Melalui digitalisasi, pemain baru televisi terestrial (free to air) kembali terbuka.  Mekanisme untuk pemain baru ini harus mengikuti proses perijinan seperti biasa, yaitu melalui Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) hingga Forum Rapat Bersama (FRB) antara KPI dan Menteri. Keberagaman format siaran harus dijadikan pedoman pemberian rekomendasi hingga izin. Dengan demikian di era digital akan muncul TV TV baru, dengan berbagai format isi siaran yang beragam. Penentu opini publik-pun menjadi tidak lagi terkonsentrasi pada pemain lama. Tentu keadaan ini jauh lebih baik, dan lebih demokratis di banding era analog sekarang.
Meningkatnya jumlah pemain, selain menambah lembaga penyiaran, juga akan mendorong industri content TV, dan production house, maupun bisnis kreatif periklanan. Ini berarti menambah lapangan kerja baru. Tapi tidak harus 72 saluran TV yang tersedia di tiap zona mesti dihabiskan. Jumlah lembaga penyiaran di suatu daerah senantiasa harus dikaitkan dengan kebutuhan masyarakat, serta kemampuan ekonomi wilayah yang bersangkutan. Tujuannya agar TV yang ada di wilayah itu bisa hidup secara sehat. Disinilah pentingnya peran KPI dan Pemerintah dalam membatasi pemberian izin.


Membatasi Kepemilikan
Digitalisasi televisi sesuai dengan amanat UU Penyiaran akan memperkuat diversity of ownership dan diversity of content.  Sejak awal sudah disiapkan aturan seleksi,  dimana para konglomerat media (mogul) yang selama ini menguasai bisnis televisi dibatasi. Suatu Lembaga Penyiaran Swasta beserta group, holding maupun afiliasinya hanya boleh menguasai satu Mux dalam sebuah zona siaran (Permen 22/2011). Kemudian dalam satu Mux yang mereka kuasai itu, hanya boleh memakai maksimum 3 saluran untuk televisi di bawah afiliasinya. Sedangkan slot sisanya harus terbuka digunakan oleh LP3S (lembaga penyiaran TV) yang lain. Artinya di satu zona, suatu holdings hanya boleh menggunakan satu frekuensi, dengan maksimal 3 saluran TV, dari total 72 yang tersedia. Ini berarti akan semakin menjauhkan dari adanya konsentrasi kepemilikan, apalagi monopoli.
Memang sempat ada pertanyaan mengapa yang boleh mengikuti seleksi penguasaan Mux itu hanya berasal dari Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) yang sudah memiliki izin penyelenggaraan penyiaran (IPP) atau izin spektrum radio (ISR). Mengapa tidak terbuka untuk semua pemain baru atau BUMN supaya tidak terjadi monopoli? Kekhawatiran monopoli jelas tidak beralasan lagi karena sejak awal sudah dibatasi. Sedangkan persyaratan harus sudah berijin IPP atau ISR itu terkait dengan ketentuan UU Penyiaran. Bagi LPS yang sudah memiliki ijin, berarti mereka legal, dan telah diproses oleh KPI. Sekarang merekapun sudah berijin dan menguasai frekuensi analog, untuk digital mereka diseleksi lagi, dari sekian banyak LPS berijin, akan diseleksi 5 di antaranya untuk diijinkan mengelola frekuensi (Mux). Satu frekuensi (Mux) khusus diberikan kepada LPP TVRI untuk digunakan bersama-sama LPK dan LPP Lokal. LPS yang berijin diperbolehkan ikut seleksi, karena mereka sudah memiliki infrastruktur, sehingga lebih siap melakukan bisnis pemancar televisi digital dibanding pendatang baru. Ini akan meminimalisir hilangnya investasi (capital loose). Namun yang tidak kalah penting, untuk peserta seleksi adalah kesiapan dan komitmennya membangun infrastruktur di daerah agar memberikan pelayanan yang baik bagi masyarakat luas. Disinilah pemain yang sudah berijin, akan lebih siap karena sudah memiliki lahan dan pemancar, tinggal switch on ke digital. Kalau pemain baru, amat sangat mahal dan membutuhkan waktu lama untuk mepersiapkan lahan dan pemancar di daerah. Kebetulan benchmarking  di berbagai negara yang sudah migrasi ke digital, seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan Jepang, juga menunjukkan Mux disana diselenggarakan oleh broadcasters yang eksisting.
Apabila program migrasi digital yang sudah direncanakan sejak tahun 2003, dan Peraturan Menterinya sudah muncul sejak tahun 2007 ini tertunda, yang rugi Indonesia. Pertama kondisi pertelevisian akan tetap seperti sekarang, terhegemoni oleh kekuatan korporasi dan politik pemilik TV-TV besar. Kedua Indonesia akan terisolir dari sistem peretelevisian dunia, karena International Telecommunication Union (ITU) dalam The Genewa 2006 Frequency Plan Agreement telah menetapkan 17 Juni 2015 merupakan batas waktu negara-negara di seluruh dunia migrasi ke digital. Dengan demikian sistem globalpun menjadi digital. Peralatan analog tidak lagi diproduksi. TV analog menjadi usang, mahal, dan boros terutama dalam penggunaan frekuensi. Padahal kebutuhan frekuensi untuk keperluan layanan broadband internet dan telepon seluler melonjak terus di masyarakat.  Kalau frekuensi tidak mencukupi, jaringan telepon dan internet semakin lambat atau lemot.

Penolakan karena Kepentingan
Kendati migrasi ke digital itu amat penting dan bermanfaat untuk publik dan sistem demokrasi di Indonesia, tapi digitalisasi ini memang tidak “mengenakkan” banyak pihak, terutama  para pemain televisi analog. Stasiun TV yang berpusat di Jakarta (TV nasional), maupun TV lokal merasa “dirugikan”.   Bagi TV nasional, saat inilah mereka menikmati keuntungan besar dari bisnis penyiaran maupun penguasaan kekuatan politik. Dari sisi bisnis tiap bulan mereka tinggal menghitung keuntungan milyaran rupiah. Sedang dari sisi politik, mereka menguasai televisi sebagai kekuatan riel yang bisa menentukan agenda setting, hingga mempengaruhi opini publik. Keadaan yang amat strategis dan menguntungkan ini kemudian harus berubah dengan dimulainya program TV digital. Mereka dituntut melakukan investasi baru, dengan pengeluaran lebih besar saat simulcast (siaran berbarengan dimana TV analog belum off masih siaran, tapi program digital sudah harus memancar, ada double cost disitu). Kemudian nanti harus bersaing lebih ketat dengan pemain baru, karena terbukanya kanal baru di  TV digital. Belum lagi adanya aturan pembatasan kepemilikan dimana sebuah perusahaan dan afiliasnya paling banyak hanya boleh memiliki 3 saluran televisi di satu zona siaran, dari 72 saluran yang tersedia. Makanya logis kalau mereka ingin mempertahankan status quo seperti sekarang, yang sudah jelas-jelas menguntungkan dari sisi bisnis maupun politik.
Bagi TV Lokal tak jauh berbeda. Sebagian besar juga menolak migrasi ke digital. Alasannya mereka terlanjur berinvestasi di sistem analog. Ijin masih beberapa tahun didapat, sudah harus migrasi. Sebagian besar TV Lokal belum kembali modal, tapi sudah diharuskan cut off tahun 2015 di Jawa dan Kepulauan Riau,  dan 2018 di seluruh Indonesia. Sebenarnya program tv digital sudah lama direncanakan, banyak pihak terutama para pelaku bisnis penyiaran sudah mengetahui, tetapi karena berbagai alasan dan kepentingan mereka begitu antusias dan tetap saja pada mengejar izin TV analog. Akibatnya saat TV digital akan diimplementasikan, mereka mengeluh,  merasa rugi  dan menentangnya.
Hingga kini semangat menghambat kebijakan TV digital begitu besar. Ada yang akan menggunggat pemerintah ke Pengadilan, ada pula yang melakukan lobi ke Parlemen,  hingga unjuk rasa atas nama publik. Salah satu upaya menghambat pemberlakuan TV Digital adalah dengan mengembangkan opini seakan diterapkannya TV digital (Permen 22/2011) akan memperkuat monopoli. Padahal penerapan TV digital justru akan memperbaiki keadaan. Konsentrasi kepemilikan yang terjadi sekarang akan berkurang, diversity of content dan diversity of ownership akan semakin terjamin di era digital.
Semangat menghambat, juga muncul dengan cara ”menyerang” dari aspek legal formal. Landasan hukum Permen 22/2011 tentang  Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial dianggap bertentangan dengan UU 32/2002 tentang Penyiaran. Padahal jelas di UU 32/2002 di Penjelasannya disebutkan, bahwa pokok pikiran disusunnya UU Penyiaran antara lain (no 4) mengantisipasi perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, khususnya di bidang penyiaran, seperti teknologi digital, kompresi, komputerisasi, televisi kabel, satlit, internet dan bentuk bentuk khusus lain dalam penyelenggaran siaran. Penyiaran mempunyai kaitan erat dengan spektrum frekuensi radio yang merupakan sumber daya alam terbatas sehingga pemanfaatannya perlu diatur secara efektif dan efisien.  Selanjutnya di tiga Peraturan Pemerintah (PP) pelaksanaan UU Penyiaran secara tegas disebutkan tentang  sistem penyiaran terestrial meliputi ... penyiaran televisi secara analog atau digital: penyiaran multipleksing. Kemudian ketentuan lebih lanjut mengenai penyiaran terestrial ini diatur dengan Peraturan Menteri. Penegasan pengaturan melalui Peraturan Menteri ini bisa disimak di PP no 50/2005 tentang Lembaga Penyiaran Swasta  pasal 2 ayat 3,  PP 11/2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik pasal 13 ayat 3, dan PP 51/2005 tentang  Lembaga Penyiaran Komunitas, pasal 2 ayat 3.  Artinya UU Penyiaran dan PP mengamanatkan pentingnya pengaturan TV Digital, dan pengaturannya dalam bentuk Peraturan Menteri.
Kalau semua alasan sudah clear, tapi penolakan masih dilakukan, nampaknya itu kembali pada persoalan lama. Menata dunia penyiaran memang terlalu sarat dengan kepentingan politik. Terlalu banyak pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap regulasi Penyiaran.  Jadinya televisi digital yang jelas-jelas persoalan perkembangan teknologipun akhirnya ditarik-tarik seakan hanya boleh diatur di UU. Pemerintah didesak untuk menunggu revisi UU Penyiaran baru yang tidak jelas kapan selesainya.  Padahal UU Penyiaran 32/th 2002 masih berlaku, bahkan UU beserta PPnya malah jelas jelas memberi amanah pentingnya pengaturan penyiaran digital karena perkembangan teknologi. Harus diakui UU memang seyogyanya mengantisipasi perkembangan teknologi, tetapi tidak berarti setiap perkembangan teknologi yang bergerak begitu cepat dan pesat itu harus dibuatkan UU tersendiri secara detail. Karena kecepatan teknologi tidak akan terkejar oleh pembuatan UU. Kalau setiap perkembangan teknologi untuk implementasinya harus menunggu UU, bisa jadi Indonesia akan ”jalan di tempat”, dan selalu ketinggalan. Apa itu yang mereka inginkan? Kita lihat saja nanti.

1 komentar: