Oleh : Henry Subiakto
(Dosen Pascasarjana Studi Media dan Komunikasi Universitas
Airlangga)
Pertelevisian Indonesia
akan memasuki era baru dengan teknologi
baru, yaitu digital terestrial. Dalam waktu dekat masyarakat akan memasuki era
teknologi baru pertelevisian, sekaligus mengakhiri sistem televisi analog
seperti yang kita tonton selama ini. Rencananya April ini Pemerintah masuk ke
tahapan seleksi peminat penyelenggara infrastruktur TV Digital. Kemudian Oktober 2012 di pulau Jawa dan
Kepulauan Riau, siaran simulcast TV Digital sudah dimulai. Targetnya TV
analog sudah harus cut off di Jawa dan Kepualan Riau akhir 2015. Sedang untuk keseluruhan Indonesia selesai
tahun 2018. Kebijakan inipun memunculkan
kontroversi, tak sedikit yang menentang, tapi banyak juga yang melihat
kebijakan migrasi TV Digital ini sebagai titik masuk perbaikan sistem
pertelevisian di Indonesia.
Sebenarnya sistem digital akan memberikan
banyak keuntungan (digital deviden) kepada masyarakat luas, industri, negara,
dan pelaku demokrasi. Bagi masyarakat, dengan TV Digital akan terbuka
alternatif pilihan saluran televisi yang makin banyak, dan beragam, dengan kualitas
gambar dan suara yang semakin bagus. Migrasi TV Digital juga akan mendorong
semakin membaiknya kualitas layanan telekomunikasi dan internet, karena akan ada
frekuensi “baru” yang ditinggalkan stasiun TV analog, untuk melayani kebutuhan broadband
internet, dan telekomunikasi yang semakin tinggi permintaannya di indonesia.
Ini berarti negara juga diuntungkan, karena frekuensi bisa dimanfaatkan secara
optimal untuk kepentingan publik yang lebih luas, sekaligus bertambahnya income
negara.
Migrasi TV digital akan mengubah model
bisnis pertelevisian. Kalau sistem analog, satu lembaga penyiaran menguasai satu
frekuensi sekaligus satu saluran televisi, sehingga boros. Dalam sistem digital,
akan terbagi dua. Ada penyelenggara penyiaran yang bergerak di bidang menara
pemancar dengan menguasai frekuensi (Mux), disebut Lembaga Penyiaran
Penyelenggara Penyiaran Multipleksing (LP3M). Kemudian ada lembaga penyiaran yang
bergerak di bidang saluran televisi atau content siaran, disebut Lembaga
Penyiaran Penyelenggara Program Siaran (LP3ES). Pada sistem digital, satu
frekuensi (Mux) bisa berisi antara 6 sampai 12 saluran TV, sehingga efisien.
Untuk jenis Standard Digital TV (SDTV) bisa sampai 12 saluran. Tapi kalau semuanya
menggunakan High Digital TV (HDTV) hanya bisa
6 saluran. Karena HD membutuhkan bandwidth yang lebih lebar.
Di era digital Indonesia dibagi 15 zona, masing-masing
zona disiapkan 6 frekuensi (Mux) oleh pemerintah. Satu Mux diberikan pada LPP TVRI,
sisanya 5 Mux akan dikelola Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) yang memiliki ijin
berdasarkan hasil seleksi. Misal zona 4 Jakarta Banten, akan memilikit 6 Mux.
Berarti akan ada 72 saluran (SDTV) televisi digital terestrial. Hal yang sama
juga terjadi di zona lain. Bandingkan
sekarang, di Jakarta Banten hanya ada 24 saluran televisi dan sudah terisi
penuh. Sebagian besar hanya dimiliki oleh holdings atau korporasi yang
menguasi lebih dari 1 saluran TV. Melalui digitalisasi, pemain baru televisi
terestrial (free to air) kembali terbuka. Mekanisme untuk pemain baru ini harus
mengikuti proses perijinan seperti biasa, yaitu melalui Komisi Penyiaran
Indonesia Daerah (KPID), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) hingga Forum Rapat
Bersama (FRB) antara KPI dan Menteri. Keberagaman format siaran harus dijadikan
pedoman pemberian rekomendasi hingga izin. Dengan demikian di era digital akan
muncul TV TV baru, dengan berbagai format isi siaran yang beragam. Penentu
opini publik-pun menjadi tidak lagi terkonsentrasi pada pemain lama. Tentu
keadaan ini jauh lebih baik, dan lebih demokratis di banding era analog
sekarang.
Meningkatnya jumlah pemain, selain menambah
lembaga penyiaran, juga akan mendorong industri content TV, dan production
house, maupun bisnis kreatif periklanan. Ini berarti menambah lapangan
kerja baru. Tapi tidak harus 72 saluran TV yang tersedia di tiap zona mesti
dihabiskan. Jumlah lembaga penyiaran di suatu daerah senantiasa harus dikaitkan
dengan kebutuhan masyarakat, serta kemampuan ekonomi wilayah yang bersangkutan.
Tujuannya agar TV yang ada di wilayah itu bisa hidup secara sehat. Disinilah
pentingnya peran KPI dan Pemerintah dalam membatasi pemberian izin.
Membatasi Kepemilikan
Digitalisasi televisi sesuai dengan amanat
UU Penyiaran akan memperkuat diversity of ownership dan diversity of
content. Sejak awal sudah disiapkan
aturan seleksi, dimana para konglomerat media
(mogul) yang selama ini menguasai bisnis televisi dibatasi. Suatu Lembaga
Penyiaran Swasta beserta group, holding maupun afiliasinya hanya boleh
menguasai satu Mux dalam sebuah zona siaran (Permen 22/2011). Kemudian dalam
satu Mux yang mereka kuasai itu, hanya boleh memakai maksimum 3 saluran untuk
televisi di bawah afiliasinya. Sedangkan slot sisanya harus terbuka digunakan
oleh LP3S (lembaga penyiaran TV) yang lain. Artinya di satu zona, suatu holdings
hanya boleh menggunakan satu frekuensi, dengan maksimal 3 saluran TV, dari total
72 yang tersedia. Ini berarti akan semakin menjauhkan dari adanya konsentrasi
kepemilikan, apalagi monopoli.
Memang sempat ada pertanyaan mengapa yang
boleh mengikuti seleksi penguasaan Mux itu hanya berasal dari Lembaga Penyiaran
Swasta (LPS) yang sudah memiliki izin penyelenggaraan penyiaran (IPP) atau izin
spektrum radio (ISR). Mengapa tidak terbuka untuk semua pemain baru atau BUMN
supaya tidak terjadi monopoli? Kekhawatiran monopoli jelas tidak beralasan lagi
karena sejak awal sudah dibatasi. Sedangkan persyaratan
harus sudah berijin IPP atau ISR itu terkait dengan ketentuan UU Penyiaran. Bagi
LPS yang sudah memiliki ijin, berarti mereka legal, dan telah diproses oleh KPI.
Sekarang merekapun sudah berijin dan menguasai frekuensi analog, untuk digital mereka
diseleksi lagi, dari sekian banyak LPS berijin, akan diseleksi 5 di antaranya untuk
diijinkan mengelola frekuensi (Mux). Satu frekuensi (Mux) khusus diberikan
kepada LPP TVRI untuk digunakan bersama-sama LPK dan LPP Lokal. LPS yang
berijin diperbolehkan ikut seleksi, karena mereka sudah memiliki infrastruktur,
sehingga lebih siap melakukan bisnis pemancar televisi digital dibanding
pendatang baru. Ini akan meminimalisir hilangnya investasi (capital loose).
Namun yang tidak kalah penting, untuk peserta seleksi adalah kesiapan dan
komitmennya membangun infrastruktur di daerah agar memberikan pelayanan yang
baik bagi masyarakat luas. Disinilah pemain yang sudah berijin, akan lebih siap
karena sudah memiliki lahan dan pemancar, tinggal switch on ke digital.
Kalau pemain baru, amat sangat mahal dan membutuhkan waktu lama untuk
mepersiapkan lahan dan pemancar di daerah. Kebetulan benchmarking di berbagai negara yang sudah migrasi ke digital,
seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan Jepang, juga menunjukkan Mux disana
diselenggarakan oleh broadcasters yang eksisting.
Apabila program migrasi digital yang sudah direncanakan sejak tahun
2003, dan Peraturan Menterinya sudah muncul sejak tahun 2007 ini tertunda, yang
rugi Indonesia.
Pertama kondisi pertelevisian akan tetap seperti sekarang, terhegemoni oleh
kekuatan korporasi dan politik pemilik TV-TV besar. Kedua Indonesia akan
terisolir dari sistem peretelevisian dunia, karena International
Telecommunication Union (ITU) dalam The Genewa 2006 Frequency Plan
Agreement telah menetapkan 17 Juni 2015 merupakan batas waktu negara-negara
di seluruh dunia migrasi ke digital. Dengan demikian sistem globalpun menjadi
digital. Peralatan analog tidak lagi diproduksi. TV analog menjadi usang,
mahal, dan boros terutama dalam penggunaan frekuensi. Padahal kebutuhan
frekuensi untuk keperluan layanan broadband internet dan telepon seluler
melonjak terus di masyarakat. Kalau frekuensi tidak mencukupi, jaringan
telepon dan internet semakin lambat atau lemot.
Penolakan karena Kepentingan
Kendati migrasi ke digital itu amat penting dan bermanfaat untuk publik
dan sistem demokrasi di Indonesia, tapi digitalisasi ini memang tidak
“mengenakkan” banyak pihak, terutama para pemain televisi analog. Stasiun TV yang berpusat di Jakarta (TV
nasional), maupun TV lokal merasa “dirugikan”.
Bagi TV nasional, saat inilah mereka menikmati keuntungan besar dari bisnis
penyiaran maupun penguasaan kekuatan politik. Dari sisi bisnis tiap bulan mereka
tinggal menghitung keuntungan milyaran rupiah. Sedang dari sisi politik, mereka
menguasai televisi sebagai kekuatan riel yang bisa menentukan agenda setting,
hingga mempengaruhi opini publik. Keadaan yang amat strategis dan menguntungkan
ini kemudian harus berubah dengan dimulainya program TV digital. Mereka dituntut
melakukan investasi baru, dengan pengeluaran lebih besar saat simulcast
(siaran berbarengan dimana TV analog belum off masih siaran, tapi
program digital sudah harus memancar, ada double cost disitu). Kemudian
nanti harus bersaing lebih ketat dengan pemain baru, karena terbukanya kanal
baru di TV digital. Belum lagi adanya
aturan pembatasan kepemilikan dimana sebuah perusahaan dan afiliasnya paling
banyak hanya boleh memiliki 3 saluran televisi di satu zona siaran, dari 72
saluran yang tersedia. Makanya logis kalau mereka ingin mempertahankan status
quo seperti sekarang, yang sudah jelas-jelas menguntungkan dari sisi bisnis
maupun politik.
Bagi TV Lokal tak jauh berbeda. Sebagian
besar juga menolak migrasi ke digital. Alasannya mereka terlanjur berinvestasi
di sistem analog. Ijin masih beberapa tahun didapat, sudah harus migrasi.
Sebagian besar TV Lokal belum kembali modal, tapi sudah diharuskan cut off
tahun 2015 di Jawa dan Kepulauan Riau,
dan 2018 di seluruh Indonesia. Sebenarnya program tv digital sudah lama
direncanakan, banyak pihak terutama para pelaku bisnis penyiaran sudah
mengetahui, tetapi karena berbagai alasan dan kepentingan mereka begitu
antusias dan tetap saja pada mengejar izin TV analog. Akibatnya saat TV digital
akan diimplementasikan, mereka mengeluh,
merasa rugi dan menentangnya.
Hingga kini semangat menghambat kebijakan TV
digital begitu besar. Ada yang akan menggunggat pemerintah ke Pengadilan, ada
pula yang melakukan lobi ke Parlemen, hingga unjuk rasa atas nama publik. Salah satu
upaya menghambat pemberlakuan TV Digital adalah dengan mengembangkan opini seakan
diterapkannya TV digital (Permen 22/2011) akan memperkuat monopoli. Padahal penerapan
TV digital justru akan memperbaiki keadaan. Konsentrasi kepemilikan yang
terjadi sekarang akan berkurang, diversity of content dan diversity
of ownership akan semakin terjamin di era digital.
Semangat menghambat, juga muncul dengan
cara ”menyerang” dari aspek legal formal. Landasan hukum Permen 22/2011 tentang
Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial dianggap bertentangan dengan UU 32/2002
tentang Penyiaran. Padahal jelas di UU 32/2002 di Penjelasannya disebutkan,
bahwa pokok pikiran disusunnya UU Penyiaran antara lain (no 4) mengantisipasi
perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, khususnya di bidang penyiaran,
seperti teknologi digital, kompresi, komputerisasi, televisi kabel, satlit,
internet dan bentuk bentuk khusus lain dalam penyelenggaran siaran. Penyiaran
mempunyai kaitan erat dengan spektrum frekuensi radio yang merupakan sumber
daya alam terbatas sehingga pemanfaatannya perlu diatur secara efektif dan
efisien. Selanjutnya di tiga Peraturan
Pemerintah (PP) pelaksanaan UU Penyiaran secara tegas disebutkan tentang sistem penyiaran terestrial meliputi ...
penyiaran televisi secara analog atau digital: penyiaran multipleksing. Kemudian ketentuan lebih lanjut mengenai
penyiaran terestrial ini diatur dengan Peraturan Menteri. Penegasan pengaturan
melalui Peraturan Menteri ini bisa disimak di PP no 50/2005 tentang Lembaga
Penyiaran Swasta pasal 2 ayat 3, PP 11/2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik
pasal 13 ayat 3, dan PP 51/2005 tentang
Lembaga Penyiaran Komunitas, pasal 2 ayat 3. Artinya UU Penyiaran dan PP mengamanatkan pentingnya
pengaturan TV Digital, dan pengaturannya dalam bentuk Peraturan Menteri.
Kalau semua alasan sudah clear,
tapi penolakan masih dilakukan, nampaknya itu kembali pada persoalan lama. Menata
dunia penyiaran memang terlalu sarat dengan kepentingan politik. Terlalu banyak
pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap regulasi Penyiaran. Jadinya televisi digital yang jelas-jelas
persoalan perkembangan teknologipun akhirnya ditarik-tarik seakan hanya boleh
diatur di UU. Pemerintah didesak untuk menunggu revisi UU Penyiaran baru yang
tidak jelas kapan selesainya. Padahal UU
Penyiaran 32/th 2002 masih berlaku, bahkan UU beserta PPnya malah jelas jelas
memberi amanah pentingnya pengaturan penyiaran digital karena perkembangan
teknologi. Harus diakui UU memang seyogyanya mengantisipasi perkembangan
teknologi, tetapi tidak berarti setiap perkembangan teknologi yang bergerak
begitu cepat dan pesat itu harus dibuatkan UU tersendiri secara detail. Karena
kecepatan teknologi tidak akan terkejar oleh pembuatan UU. Kalau setiap
perkembangan teknologi untuk implementasinya harus menunggu UU, bisa jadi
Indonesia akan ”jalan di tempat”, dan selalu ketinggalan. Apa itu yang mereka
inginkan? Kita lihat saja nanti.
terimakasih....
BalasHapus