Oleh:
Henry
Subiakto*
Abstract
The advancement of Information Communication
Technology (ICT) has influenced changes in the pattern of communication in
society. Web 2.0 digital technology has helped social activists act more
critically and push forward issue on democracy, transparancy and independency. State-level
clandestein activities and secretive communications are being uncovered by
wistle-blower sites (WikiLeaks). Conventional media no longer holds monopoly on
public opinion. Rather, they are being influenced by the flow of buzz and
discussions held at social media cummunities. Government PR’s strategy needs to
adapt to these changes. They need to analyze infuential individual and the
change of topics. This leads to the creation of the virtual spokesperson
concept, a concept with the main goal to provide fact based information at
social media communities that discuss issues on government affairs.
Keywords: ICT era Web 2.0,
Government Public Relations, Anatomy of Buzz and virtual spokesperson.
Perkembangan Teknologi
Informasi dan Komunikasi (TIK) telah mempengaruhi perubahan pola komunikasi
masyarakat. Para aktivis dengan teknologi
digital di era Web 2.0 semakin kritis mendorong demokratisasi, transparansi dan
independensi. Komunikasi rahasia dan aktivitas tersembunyi yang dilakukan oleh
negara-pun dibongkar oleh situs situs pembocor (WikiLeaks). Opini publik tidak
lagi ditentukan oleh media konvensional, melainkan dipengaruhi pula oleh aliran
informasi, isu-isu, dan diskusi di komunitas komunitas sosial media. Strategi
Humas Pemerintah (GPR) pun dituntut untuk berubah. Mereka harus menganalisis
pergerakan isu, dan orang-orang yang berpengaruh. Munculah konsep “Juru Penerang
virtual”, sebuah konsep yang bertujuan memberikan informasi berdasar
fakta-fakta pada diskusi yang membahas persoalan pemerintahan di
komunitas-komunitas sosial media.
Kata Kunci: ICT era Web 2.0,
Humas Pemerintah, Anatomi pergerakan isu dan Juru Penerang virtual.
Perkembangan teknologi telah mengubah dunia. Dulu tidak ada orang membayangkan, dunia yang begitu luas akan menjadi desa global. Saat Marshall Mc Luhan mengemukakan konsep itu dalam buku Understanding Media (1964), banyak orang yang sulit mengerti konsepsi global village tadi. Barulah kemudian, khalayak memahami setelah terjadinya perkembangan tekonologi media, khususnya televisi. Hal yang sama orang tidak membayangkan sebelumnya, bahwa umat manusia terkoneksi dalam jaringan komunikasi digital, yang memungkinkan berbagai kemudahan komunikasi antar manusia dimanapun. Munculah konsep The World is Flat dari Thomas Friedman (2005) dimana para pengguna ICT di seluruh dunia memiliki kesempatan yang sama dalam hal berkomunikasi, dan melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan ICT. Kemudian muncul pula konsep Global Brain, dimana penduduk dunia terdiri milyaran manusia, tak ubahnya seperti otak manusia yang juga terdiri dari milyaran sel, otak dan dunia menjadi cerdas luar biasa karena adanya interkoneksi, dan saling membagikan informasi di antara sel sel di dalamnya.
Dewasa ini tatkala teknologi informasi (ICT) perkembang begitu pesat, dengan fenomena konvergensi, yaitu ketika teknologi komputer, telekomunikasi, dan media massa menyatu dalam lingkungan digital secara bersama, atau “the coming together of computing, telecommunications, and media in a digital environment is known as convergence” Pavlik dan McIntosh (2004 : 19), munculah sebuah era teknologi komunikasi yang disebut era Web 2.0. Di era teknologi ”smart phone” itu, penduduk Dunia menjadi saling terhubung semakin erat di dunia maya. Teknologi komunikasi telah mereduksi persoalan jarak dan waktu. Komunikasi menjadi mudah di hampir semua aspek kehidupan. Dari bertukar informasi, budaya, perdagangan, investasi, pariwisata, intelejen, politik, hingga persoalan pribadi. Dunia diwarnai oleh maraknya digital networks yang berkembang luar biasa, sehingga media jejaring sosial membawa banyak perubahan di berbagai sektor.
Perkembangan ICT dengan media jejaring sosial tidak hanya mempengaruhi cara masyarakat berkomunikasi, ataupun memunculkan life style baru dalam masyarakat modern, tetapi teknologi Web 2.0 itu juga menuntut perubahan paradigma lama yang akrab dengan budaya ketertutupan (cultural secrecy). Aktivitas pemerintahan dengan cultural secrecy yang banyak dilakukan berbagai negara, termasuk Amerika Serikat, dituntut harus berubah ke budaya baru yang lebih terbuka dan jujur. Tidak ada lagi tempat untuk mengembangkan negara berparadigma Arcana imperii atau mengagungkan rahasia negara. Berkat teknologi komunikasi dan semangat keterbukaan, negara sekuat dan secanggih AS, intelejen dan informasi rahasianya-pun bisa dibobol dan dibocorkan ke publik oleh kelompok anak muda peretas WikiLeaks. Dengan kecanggihan teknologi dan semangat keterbukaan, dunia maya sebagai public sphere yang bebas telah menjadi ajang ”perang” komunikasi antara otoritas negara (termasuk super power AS), melawan aktivis civil society yang makin menguat di jejaring sosial. Terjadilah global civil society walau keberadaannya saling berjauhan, mereka bisa saling menggalang hubungan melalui teknologi komunikasi, saling mendukung, menciptakan solidaritas, dan membangun agenda bersama, serta tidak terlalu peduli dengan ”peti kemas” nation state.
Negara adidaya Amerika Serikat ”ditelanjangi” oleh WikiLeaks atas perilakunya yang arogan, buruk bahkan jahat. WikiLeaks telah menyebarkan melalui situsnya apa yang disebut Afghan War Diary (April 2010), Iraq War Logs (Oktober 2010) berisi kekejaman tentara Amerika Serikat di Afganistan dan Irak. WikiLeaks juga membocorkan informasi ke publik, tentang perilaku AS yang biasa mendikte banyak negara lain, dan bertindak sewenang wenang kepada siapapun. Salah satunya dalam suatu kawat tertanggal Februari 2007 AS melarang Jerman menangkap dan menahan 13 agen CIA yang terlibat salah tangkap di Jerman terhadap orang yang dicurigai sebagai pelaku terorisme. Dalam kawat tersebut AS mengancam apabila Jerman menangkap para agen CIA tersebut, hubungan Jerman AS akan terganggu (Kompas, 10/12/2010). WikiLeaks juga mengungkap bagaimana banyak negara ditekan soal iklim oleh AS. Kawat-kawat diplomatik yang dibocorkan itu, menunjukkan AS memanipulasi perjanjian soal iklim, dengan menggunakan peran mata-mata, melakukan ancaman dan janji-janji bantuan, tujuannya untuk meraih dukungan demi terciptanya kesepakatan Kopenhagen pada Desember 2009 (Kompas, 12/12/2010). AS juga berupaya meredam PBB agar tidak memperpanjang Kyoto Protocol, yang mewajibkan negara-negara kaya mengurangi polusi. AS merupakan polluter terbesar di dunia yang sejak awal menentang protokol itu.
Dalam informasi yang dibocorkan WikiLeaks menunjukkan bagaimana wajah AS yang sesungguhnya. Wajah yang suka menekan, mengabaikan kepentingan negara lain, dan berupaya memarginalkan negara negara yang menentangnya serta membicaraakan keburukan negara-negara lain dalam ”perspektif Amerika”. Dengan mengungkapan informasi diplomatik dari kantor perwakilan AS di berbagai negara, terungkap pula perilaku pemerintahan negara-negara sahabat AS, yang ternyata sering berbohong terhadap rakyatnya. Negara-negara Arab Teluk dan Arab Saudi misalnya, di permukaan mereka tampak sebagai musuh klasik Israel, tetapi ternyata banyak melakukan kontak diplomatik rahasia, bahkan meminta AS dan Israel menyerang dan menghentikan nuklir Iran. Dari kawat para diplomat AS di Arab Saudi, dibocorkan pula informasi bahwa para diplomat AS yang sering diundang pesta minuman keras oleh keluarga kerajaan. Pendeknya WikiLeaks mengungkap berbagai borok dan kebohongan AS, beserta negara-negara sekutunya.
”Ditelanjangi” demikian tentu saja AS tidak tinggal diam. WikiLeaks beserta pimpinannya, Julian Assange dianggap melanggar hukum pidana dan keamanan. Julian dituduh telah melakukan spionase yang membahayakan negara AS. Selanjutnya Julian Assange pun ditahan di Inggris dengan tuduhan melakukan pelecehan seksual terhadap dua mantan karyawannya. Agar tidak terjadi kebocoran lagi, AS segera membatasi akses ke database Deplu. Di Washington, Deplu AS memutus berkas-berkas komputernya dari jaringan SIPRNet (Secret Internet Protocol Router Network) milik Pentagon. Badan-badan pemerintah federal AS mengeluarkan peringatan, setiap pegawai negeri di negara itu yang membaca bocoran WikiLeaks bisa dipecat dari pekerjaannya. Belakangan beredar surat elektronik yang berisi peringatan pelajar dan mahasiswa yang ketahuan membaca dokumen rahasia WikeLeaks, atau sekadar memasang link menuju dokumen atau mengomentari isinya di situs jejaring sosial bisa terancam tak akan diterima bekerja sebagai pegawai negeri AS. Amerika Serikat yang dikenal sebagai negara bebas, yang menjunjung tinggi kemerdekaan pers, dan kebebasan mendapatkan informasi, tiba-tiba memiliki kebijakan yang bertentangan dengan kesan yang selama ini ada. Pemerintah AS berpendapat, dokumen dokumen tersebut masih berstatus rahasia meski sudah beredar luas di internet maupun di media massa. Membaca menyebarkan dan mengomentarinya, bisa dianggap sebagai pelanggaran terhadap Executive Order 13526 tentang Informasi Keamanan Nasional rahasia.
Menghadapi tekanan dan ancaman AS beserta negara sekutunya, para aktivis pendukung Wikileaks melawan dan menentang penahanan Julian Assange. Para pendukung WikiLeaks mengobarkan perang data di internet serta menyerang situs pihak-pihak yang dianggap anti WikiLeaks. Situs perusahaan kartu kredit Visa cabang Eropa dan situs resmi Pemerintah Swedia menjadi sasaran kelompok hacktivist bernama Anonymous. Sebelumnya hactivist juga menyerang lembaga layanan keuangan The PayPalBlog.com, situs Bank Post Finance di Swiss, situs jaksa penuntut Swedia, situs pengacara dua wanita Swedia yang melaporkan pendiri WikiLeaks Julian Assange dalam kasus pelecehan seksual, dan situs dua politisi AS penentang WikiLeaks, Sarah Palin dan senator Joe Lieberman. Juru bicara Anonimous, Colblood dalam wawancara dengan BBC mengatakan telah merekrut sedikitnya 4000 hecker di seluruh dunia yang siap menyerang pihak-pihak yang anti WikiLeaks dalam sebuah gerakan yang dinamakan Operation Payback. Mereka berupaya agar internet tetap bebas dan terbuka, tidak dibatasi oleh kepentingan pemerintah manapun. ”Keep us strong. Help WikiLeaks government open”, demikian tulisan yang tertera di situs WikiLeaks. Walhasil Julian Assange mendapat dukungan luas dari kalangan aktivis dan tokoh-tokoh kebebasan. Mereka bersedia memberikan uang jaminan untuk pembebasan Julian, yang kemudian pembebasan bersyarat itu dikabulkan oleh The Royal Court of Justice di London.
Perkembangan ICT dan Demokrasi Panggung
Semakin nyata perkembangan teknologi komunikasi secara signifikan menempatkan kebebasan dan transparansi sebagai tujuan yang penting. Akumulasinya berimbas ke berbagai sektor kehidupan, dan menuntut adanya perubahan struktur komunikasi. Negara yang pada awalnya dipandang merupakan kekuatan otoritas yang powerful dan mampu menutupi ”kepentingan kepentingan nasional” tiba-tiba kesulitan menghadapi serangan kalangan hacktivist yang tidak terikat dengan nasionalisme. Kalangan aktivis kebebasan ini juga tidak hanya menyerang negara, namun juga menyerang situs situs milik perusahaan-perusahaan besar, yang merupakan simbol kapitalisme global seperti Visa dan Master Card yang sebelumnya memblokir kiriman dana untuk WikiLeaks.
Perkembangan ICT benar-benar telah dimanfaatkan sekelompok aktivis yang mengatas namakan civil society, dan telah ditunjukkan bagaimana peran mereka untuk mengontrol negara maupun kekuatan kapitalis yang dianggap menghalangi kebebasan pers. Fenomena WikiLeaks tidak akan bisa dibendung, karena pada dasarnya keberadaan mereka merupakan refleksi trend demokrasi, transparansi dan kebebasan yang semakin terakomodasi oleh perkembangan ICT. Karena itu tidak heran kalau sekarang muncul situs-situs pembocor lain yang marak di berbagai negara. Selain WikeLeaks muncul pula situs-situs serupa misalnya Openleaks.Org, Balkanleaks.eu, Indoleaks.org, Rospil.info, Brusseleaks.com, Cryptome.Org, OpenSecret.org, Wikispooks.com, Govecn.org dan masih banyak yang lain. Sistem kerja mereka sebagian besar sama, yaitu selain melakukan intersep atau penyadapan, juga menampung bocoran informasi dari kolaborator atau siapapun yang ingin mengungkap ”kebenaran” yang mereka ketahui.
Hampir semua negara menghadapi ancaman dari aktivis gerakan ”Transparansi Ekstrim” ini. Sebagai pelopor demokrasi Amerika Serikatlah yang dijadikan sasaran utama, dan dianggap sebagai pembohong, dengan banyak melakukan tekanan ke berbagai negara dan pihak-pihak tertentu. Gerakan Julain Assange dan teman temannya adalah jelas, yaitu melalui WikiLeaks dan situs sejenis berupaya menciptakan transparansi dan kebebasan memperoleh informasi seluas-luasnya. Mereka ingin mempertahankan internet sebagai public sphere yang otonom, bebas dari tekanan manapun, sebagaimana konsepsi public sphere yang pernah dikemukakan oleh Jurgen Habermas (1992).
Menurut Habermas, dalam ruang publik yang bebas dan
otonomlah para individu bertindak sebagai political
persons untuk memp`erbincangkan dan melaksanakan apa yang telah disepakati
bersama sebagai kepentingan bersama. Tanpa adanya kebebasan yang memadahi untuk
memperbincangkan isu-isu publik, maka keberadaan ruang publik menjadi tidak
berarti bagi kepentingan publik. Menurut Habermas untuk itu harus dilenyapkan
perintang komunikasi bebas. Bagi Habermas, penangkal masalah rasionalisasi tindakan
rasional purposif terletak pada rasionalisasi tindakan komunikatif. Rasionalisasi tindakan
komunikatif berperan penting membebaskan komunikasi dari dominasi, memerdekakan
dan membuka komunikasi. Rasionalitas disini meliputi emansipasi, menyingkirkan
penghalang komunikasi (Ritzer, & Goodman 2005 : 188). Menurut Habermas,
publik apabila diberi kebebasan komunikasi, maka mereka akan menjadi lebih
kuat, dan tidak terhegemoni oleh kekuatan dominan. Dari situlah para aktivis
beranggapan harus berupaya mewujudkan kebebasan itu dengan mengesampingkan semua
motif kecuali motif pencarian kebenaran kooperatif (Habermas
http://en.wikipedia).
Itulah yang sedang terjadi, kalangan aktivis memanfaatkan
kecanggihan ICT dan kemampuan mereka sebagai hecker, sedang berusaha untuk menentang kebohongan AS dan
negara-negara sekutu US Imperialism.
Upaya itu menuai hasil karena teknologi ICT yang menciptakan Global Civil Society ternyata mampu
mengungkap arogansi AS. Gerakan WikiLeaks yang didukung kalangan aktivis internasional
ini menujukkan fenomena secara konseptual terjadinya The Power of Civil Society yang
telah menandingi bahkan melampaui The
Power of State. Sebelumnya yang bisa “mengalahkan” The Power of State hanyalah The Power of Capital (Keliat,
1997, 25).
Memang sebelumnya tercatat, yang paling banyak memanfaatkan perkembangan ICT selain militer atau negara adalah kalangan kapitalis global, khususnya pelaku pasar modal dan pasar uang (Sachs & Radelet, 1998). William Greider dalam buku One World, Ready or Not, The Manic Logic of Global Capitalism (1999), menunjukkan peran teknologi informasi dalam perdagangan uang global. Para pelaku pasar uang dunia yang berpusat di New York, London dan Tokyo, dalam suatu transaksi, sekali pencet tombol atau cursor, bisa bertransaksi lebih dari 100 juta dolar. Seperti yang dilakukan Rob Johnson, George Sorros, ataupun teman-teman seprofesinya yang konon sedunia jumlahnya tak lebih 200 ribu orang tetapi menguasai lebih dari 425 bilyun US dollar. Informasi dan rumor menjadi dasar kapan mereka menjual dan kapan pula mereka membeli, ibarat flying geese, mereka hanya mau hinggap ditempat yang aman dan menguntungkan. Permainan rumor dan informasi inilah yang kemudian menciptakan dunia yang begitu rentan terhadap krisis ekonomi, karena pergerakan arus finasial yang massif yang mampu meruntuhkan ekonomi suatu negara.. Aktivitas kalangan kapitalis financial ini begitu dahsyat mempengaruhi kehidupan ratusan juta manusia, dan kebangkrutan banyak negara. Itulah yang disebut The Power of Capital telah melampaui The power of State (Keliat, 1997, 25).
Perkembangan teknologi hingga memasuki era Web 2.0 masih diwarnai oleh dominasi kekuatan kapitalis dan Negara serta lemahnya civil society. Dalam aktivitas ekonomi misalnya, kalangan kapitalis memanfaatkan informasi hanya semata untuk kepentingan bisnis mereka. Perilaku greedy kapitalis global, secara rapat dapat ditutupi dalam berbagai manipulasi finansial sehingga publik dirugikan secara luas. Itulah yang kemudian dikenal dengan skandal Subprime Mortgage di AS tahun 2008, suatu skandal yang menguak kejahatan finansial yang dilakukan kalangan kapitalis di AS dalam bisnis kredit kepemilikan rumah, yang dijaminkan beberapa kali. Tercatat nama Bernie Madoff yang memperdaya ribuan masyarakat sebagai investor yang mempercayakan dana milyaran dollar kepadanya. Selama dua dekade terakhir ia menciptakan skema investasi bodong yang menarik perhatian selebritis, yayasan dan investor institusi lainnya. Awalnya Madoff memberikan keuntungan rutin, namun belakangan terbukti bahwa Ia tidak menginvestasikan dana-dana tersebut tetapi hanya menyimpannya di bank dan sebagian dana itu dia tilap. Kerugian akibat akal-akalan tersebut ditaksir mencapai 50 miliar dollar AS. Perilaku kapitalis yang greedy ini sempat membuat Amerika Serikat diterpa krisis ekonomi, karena banyak warga negaranya yang jatuh bangkrut kehilangan uang dan tabungan bahkan kepemilikan rumah, serta runtuhnya kepercayaan kepada lembaga keuangan. Krisis ekonomi di AS inipun sempat menular dan berpengaruh ke beberapa Negara lain. Disitulah kemudian Negara, seperti AS mulai membatasi perilaku liberal kalangan pasar uang dan modal dengan berbagai regulasi. Sementara civil society ataupun kalangan aktivis tidak banyak melakukan tindakan yang signifikan terhadap kejahatan dan kebohongan yang dilakukan kalangan pelaku kapitalisme, seperti dalam kasus Subprime Mortgage, maupun kejahatan kapitalis yang lain.
Sementara dalam kehidupan politik, sebagaimana yang dibocorkan oleh WikiLeaks, diplomasi internasional yang dilakukan pemerintah AS ternyata tak jauh beda dengan kalangan kapitalis yang juga akrab dalam melakukan kebohongan. Aktivitas diplomasi lebih banyak dilakukan sebagai bagian dari kepentingan front stage, suatu istilah dari Sosiolog Erving Goffman untuk perilaku komunikasi yang mengacu pada pemandangan fisik yang biasanya harus ada atau tampak ketika aktor memainkan perannya (Ritzer & Goodman, 2003: 298). Atau dalam istilah Eric Louw (2005, 18) hal yang sama disebut hype, untuk menunjuk tindakan komunikasi politik yang muncul di media massa untuk kepentingan legitimasi dan pencitraan.
Sementara realitas politik yang sebenarnya tidak pernah muncul di publik ataupun media. Oleh para politisi ataupun pemerintah AS, realitas itu dibalut, atau disembunyikan sebagai bagian dari back stage dari dramaturgi politik. Karena itu aktivitas politik yang tampak dan dikonsumsi publik tak lain hanyalah drama kebohongan sebagaimana panggung depan yang ditonton oleh khalayak di sebuah theater. Inilah kemudian oleh Wilson Bryan Key (1997) era komunikasi komunikasi yang penuh kepura-puraan itu disebut sebagai The age of Manipulation. Dimana dimensi politik untuk aspek Hype lebih penting daripada substansi atau kenyataan. Publik hanya dijadikan sebagai penonton panggung dramaturgi politik, yang kesemuanya penuh dengan kepura-puraan sebagaimana sebuah front stage, yang sangat berbeda dengan keadaan di back stage.
Nampaknya politik sebagai drama dan hype terus saja berjalan hingga era konvergensi atau web 2.0 di akhir 2010. Pelaku utama politik hype itu ternyata justru Amerika Serikat, negara yang selama ini dikenal sebagai pelopor demokrasi, pelopor keterbukaan, dan pioneer hak asasi manusia. Kenyataannya AS menyimpan begitu banyak kebohongan, dan manipulasi yang tidak cocok dengan demokrasi. Itulah yang kemudian dibongkar oleh WikiLeaks hingga memunculkan kehebohan. Yang jelas kasus ini menjadi pelajaran baru dari fenomena perkembangan ICT, sekaligus menunjukkan semakin kuatnya peran civil society dalam mengontrol negara dan industri. Kasus ini juga memberi pelajaran bahwa demokrasi Amerika pada dasarnya adalah demokrasi “panggung”. Dalam konteks ini demokrasi hanya merupakan “tools” atau sarana politik, yang boleh dimanipulasi. Atas nama kepentingan nasional segalanya bisa dilakukan, termasuk tindakan tindakan yang jelas-jelas bertentangan dengan demokrasi itu sendiri.
Masalahnya sudah siapkah para diplomat, elite dan birokrasi pemerintah, termasuk di Indonesia menghadapi transparansi, yang bisa dikuak melalui ICT seperti kasus WikiLeaks di atas? Memang terdapat pro dan kontra tentang WikiLeaks. Ada yang menganggap bahwa aktivitas WikiLeaks pada dasarnya telah mengobarkan apa yang disebut sebagai “Transparansi Radikal”, sebuah konsep yang justru amat berbahaya dan bisa bertentangan dengan moralitas demokrasi. Misalnya ketika menyebutkan nama-nama pejuang demokrasi di Negara-negara seperti China, Rusia dan Kuba justru bias membahayakan mereka dari operasi intelejen Negara-negara yang bersangkutan. Tetapi terlepas dari apapun penilaiannya terhadap WikiLeaks, harus kita akui bahwa teknologi komunikasi di era Web 2.0, memang menuntut perubahan cara pandang kita terhadap berbagai hal, termasuk diplomasi dan komunikasi politik. Hanya bangsa yang mampu melakukan transformasi sesuai dengan perkembangan teknologilah yang akan bisa survive dan berjaya. Sebagai bangsa besar, Indonesia harus sudah mengantisipasi semua itu. Baik dalam aktivitas politik yang berskala nasional maupun internasional. Artinya pemerintah Indonesia dalam menghadapi kebebasan dan keterbukaan informasi dan globalisasi ini, harus memiliki manajemen yang jelas dalam kebijakan, maupun dalam mengelola informasi, baik di dalam negeri, maupun di luar negeri.
Revolusi komunikasi sudah terjadi, dan Indonesia sudah menghadapinya. Simak data dari Nielsen, dalam Marketing and Media Presentation, Desember 2010. Pertumbuhan komputer, laptop, Black Berry, ponsel, hingga iPad, telah melebihi pertumbuhan media konvensional seperti televisi dan radio.. Dalam tiga minggu di bulan November 2010, telah terjual 12.000 Netbooks di Indonesia. Semantara Smart phone yang mampu menyajikan layanan canggih internet di ponsel, penjualannya meningkat 78%. Sedangkan Tiras Media Cetak turun drastis, radio dan televisi cenderung stagnasi, namun internet mengalami kenaikan yang signifikan. Terjadi booming Net Generation, kalangan pasangan muda (yuppie couples) menurut data Nielsen itu untuk meng up date informasi dan berita, kalangan ini 69% telah menggunakan acces online dibandingkan dengan media konvensional surat kabar yang hanya 19%. Tentu saja perubahan-perubahan ini menuntut strategi komunikasi untuk publikpun juga berubah.
Kembali ke Konsep Dasar GPR
Perkembangan ICT dan fenomena pembocoran informasi oleh WikiLeaks menjadi pelajaran yang berharga bagi banyak pihak. Perkembangan ICT yang dibarengi dengan meningkatnya peran aktivis untuk menyuarakan kebebasan informasi secara ektrim memunculkan tantangan pada semua pihak yang sejak lama memelihara cultural secrecy, atau budaya ketertutupan. Bagi pemerintah misalnya, harus ada koreksi terhadap konsep konsep yang selama ini dianggap benar dan aman. Atau dengan kata lain di era Web 2.0 sekarang ini penggunaan teknologi internet memang mendapatkan perhatian tinggi dan menuntut semua pihak melakukan transformasi. Ini berlaku juga bagi bentuk komunikasi pemerintah atau negara. Salah satunya adalah konsep transformasi tentang government public relations. Pada dasarnya prinsip public relations tidak banyak berubah, prinsip-pronsip utamanya justru harus diperkuat. Hanya kemudian strateginya dituntut harus disesuaikan dengan perkembangan jaman. Ada banyak hal yang harus ditambahkan terutama untuk mengantisipasi ICT di era Web 2.0 sekarang ini.
Secara konseptual, konsep Government Public Relations (GPR) telah ditulis secara baik oleh Marguerite H. Sullivan, mantan penasehat komunikasi gedung putih dalam buku A Responsible Press Office, An Insider’s Guide (2002). Buku itu menunjukkan tentang begitu pentingnya peran Kantor Penerangan dan Juru Bicara Pemerintah di era kebebasan informasi seperti sekarang ini.
“A popular government without popular information or the means of acquiring it is but prologue to a farce or tragedy or perhaps both”. Ini adalah pernyataan president James Madison tahun 1822, yang walaupun sudah amat lama masih relevan menjadi dasar pemikiran pentingnya informasi yang tersebar dengan sarana yang memadahi bagi pemerintahan yang populair, tanpa itu hanya akan menjadi lelucon atau tragedi, atau malah keduanya. Pemikiran klasik yang juga masih relevan adalah ucapan Presiden Abraham Lincoln tahun 1864 “ Let the people know the facts, and the country will be safe. Mereka bicara tentang bagaimana demokrasi seharusnya berjalan, dan itulah dasar sebuah pemerintahan yang baik. Pernyataan ini sederhana, tetapi substansinya tinggi dan belum tentu bisa dilaksanakan dengan baik, termasuk oleh pemerintah AS sendiri sekarang ini.
Menurut Sullivan, pemerintah yang baik hanya bisa terjadi bila mereka mengambil keputusan berdasarkan informasi yang memadahi serta membuat penilaian yang independen. Hal demikian hanya bisa dicapai bila mereka memiliki informasi yang faktual dan terpercaya. Dan itu hanya bisa didapat dari pers atau media yang bebas, yang berfungsi sebagai watchdog masyarakat atas pemerintah (Sullivan, 2002: 7). Jadi menurut Sullivan, kebebasan pers itu bukan musuh pemerintah, melainkan justru necescery conditions adanya informasi faktual dan terpercaya. Persoalannya apakah pemerintah juga siap menghadai keterbukaan ekstrim seperti yang diperjuangkan oleh WikiLeaks dan kalangan hacktivist yang sekarang sedang terjadi. Nampaknya pemerintah AS pun mengalami persoalan, mereka ternyata “mengabaikan” ajaran James Madison dan Abraham Lincoln, konsep dasar tentang demokrasi dan transparansi ternyata dalam praktek banyak ditinggalkan. Disinilah ketika WikiLeaks muncul, suka atau tidak suka justru AS dituntut untuk kembali pada prinsip dasar demokrasi dan transparansi yang menjadi pilar awal keberadaan mereka. Bukan kebohongan yang selama ini telah ditutupi dengan dalih “Kepentingan Nasional”. Disinilah GPR perlu menempatkan perannya secara strategis mengembalikan prinsip-prinsip demokrasi.
Secara teoritis, GPR tugasnya secara umum adalah menjelaskan dampak program dan kebijakan pemerintah terhadap warganya, termasuk kalau ada isu-isu kontroversial. GPR ini bertugas menyampaikan kebijakan dan rencana resmi pemerintah pada masyarakat sehingga publik bisa memahami bagaimana berbagai masalah itu mempengaruhi kehidupan mereka.
“Pemerintah mempunyai begitu banyak informasi sehingga perlu cara efektif untuk menyampaikannya pada publik, dan disinilah kementrian informasi dan juru bicara pemerintah harus berperan” ujar Mike Mc Curry, Mantan juru Bicara Presiden Bill Clinton. “Juru bicara berfungsi layaknya reporter yang bekerja di dalam institusi pemerintah mengumpulkan informasi sebanyak mungkin untuk disebarkan ke masyarakat” (Sullivan, 2002: 8). Persoalannya, bagaimana menyebarkan informasi pemerintah itu? Apakah cukup menggunakan media konvensional seperti selama ini, atau justru harus ada perubahan mengingat pengguna internet sebagai sumber informasi dan sarana komunikasi mereka semakin meningkat perannya, hingga meninggalkan sumber informasi sebelumnya yaitu surat kabar.
Secara konseptual Government Public Relations
(GPR), atau Humas pemerintah mempunyai peran ganda. Saat berurusan dengan
media maupun publik, mereka harus mendukung posisi pemerintah, menjelaskan
manfaat langkah-langkah yang diambil pemerintah. Meralat informasi yang keliru
serta berusaha menjelaskan sedemikian rupa informasi yang ada sehingga mudah
dipahami. Di sisi lain mereka juga harus mendukung media dan kepentingan
publik. Menyalurkan keperluan media atau wartawan dan publik, misalnya membicarakan
topik yang mungkin belum siap untuk dibahas oleh para pejabat. Namun sudah ramai dibicarakan di media ataupun di social networks. Dalam beberapa hal, para
petugas GPR (termasuk juru bicara) tak jarang harus melakukan tugas seperti seorang
reporter, mengumpulkan informasi untuk pers dan publik kemudian menerjemahkan
ucapan para pakar pemerintah ke media dan jejaring sosial. Jadi prinsip-prinsip dasar GPR di negara
demokratis tidak banyak berubah, di era Web
2.0 ini hanya perlu modifikasi dengan menyesuaikan pada perkembangan
teknologi dan tuntutan transparansi yang menuntut kejujuran.
Salah satu kunci mewujudkan
citra yang baik dari suatu pemerintahan atau negara, adalah harus dimulai dari
perbaikan di dalam negeri terlebih dahulu. Keadaan dalam negeri yang baik,
kemudian didukung oleh strategi public relations yang baik pula, pasti
akan berimbas pada penerimaan informasi yang memadahi. Jika informasi itu memadahi, maka publik
dimanapun akan memiliki opini yang positif. Tetapi jika publik tidak memiliki
informasi yang cukup, mereka cenderung berpikir secara salah, dan emosional
(Cutlip & Center, 2000: 236).
Kenapa public relations dengan
media dan masyarakat di dalam negeri menjadi amat penting? Karena hampir
sebagian besar isu kontroversi itu di mulai atau berkait dengan kebijakan
pemerintah di dalam negeri. Publik di luar negeri mengetahui berbagai hal itu
lebih banyak berasal dari agen-agen informasi modern, baik itu media massa,
kantor berita, cyber media dan
jejaring sosial di internet. Diplomat sebagai “an honest man sent abroad to
lie for his country” seperti yang dikemukakan Sir Henry Wotton pada abad
XVII sudah tidak tepat lagi. Kawat-kawat diplomatik yang berisi kebohongan
maupun tekanan-tekanan pada negara lain, sudah saatnya dievaluasi. Globalisasi
dan perkembangan teknologi serta semangat transparansi telah merubah cara
pandang penyebaran informasi di luar negeri. Apakah publik akan percaya dengan perkataan seorang
diplomat, ataupun pejabat pemerintah sementara media dan para hacktivist seperti WikiLeaks menyiarkan informasi yang amat kontras dengan perkataan
penyataan para diplomat.
Sekarang ini politik di luar
negeri, maupun penyebaran informasi internasional mengenai suatu negara
merupakan perpanjangan dari kondisi dan penyebaran informasi di dalam negeri. Sehebat
apapun diplomat dan juru warta di luar negeri, kalau kondisi dalam negeri dan
sistem informasinya tidak memadahi, niscaya penyebaran informasi di luar
negeripun akan banyak yang mengalami distrorsi. Karena itu pembenahan dan
pembangunamn sistem di dalam negeri mutlak harus dilakukan terlebih dahulu,
baru kemudian penataan sistem luar negeri secara terintegratif.
Jika keadaan riil semakin
membaik, dan pelayanan informasi di dalam negeri juga berjalan baik, maka opini
publik tentang pemerintah dan negaranya pun cenderung favourable pula.
Opini Publik, yang pada dasarnya kumpulan dari the pictures in people’s
heads senantiasa dipengaruhi oleh realitas simbolik, dan realitas obyektif
sosial. Realitas simbolik adalah gambaran tentang realitas yang ada di dunia
simbol, di dunia wacana, di dalam isi media massa, dan perbincangan orang
(Berger, 1979 : 13). Realitas simbolik inilah yang merupakan hasil
pengkonstruksian realitas yang dilakukan para pelaku sosial yang harus
diperhatikan oleh petugas public
relations. Namun opini publik juga diwarnai oleh orientasi langsung mereka
pada apa yang benar-benar terjadi, yang mereka lihat dan mereka rasakan, atau
dalam istilah Peter Berger disebut realitas obyektif sosial (Berger, 1979 :
13). Orang senantiasa mempersepsi sesuatu dari apa yang dia lihat dan rasakan,
tapi juga dari apa yang mereka beroleh dari dari dunia simbol melalui proses
komunikasi. Karena komunikasi menjadi begitu penting pengaruhnya terhadap opini
publik.
Jika opini publik di dalam
negeri fovourable, maka ini akan berdampak pula pada opini publik
internasional. Mengingat komunikasi
internasional di era global ini telah memungkinkan munculnya komunikasi baru
yang menembus batas yuridiksi suatu negara (borderless communication).
Sebagaimana kita lihat, komunikasi internasional telah dipenuhi oleh bentuk
komunikasi baru melalui penggunaan internet, e-mail, cyber media, VOIP,
Blog, Skype, Face Book, You Tube, Tweeter dan lain-lain. Semua perkembangan
itu telah membuka potensi informal contact, yang amat luas, warga dunia
telah terinterkoneksi oleh kemajuan ICT, sehingga isu-isu yang dulunya bersifat
nasional bisa mengglobal sebagai isu bersama digital networks dunia.
Lalu bagaimana jadinya jika
persepsi dan opini kalangan warga negara tentang negaranya itu buruk, kemudian
mereka sampaikan pada relasinya di berbagai negara, bukankah ini menjadi informal
public relations yang negatif, yang kekuatannya bisa mengalahkan formal
public relations yang dilakukan kantor-kantor resmi? Karena itu tidak-bisa
tidak, kerja keras perbaikan berbagai hal di dalam negeri dan peningkatan
pelayanan informasi di dalam negeri amatlah penting, sebelum ke langkah
berikutnya untuk pelayanan informasi luar negeri.
Persoalannya, di dalam negeri
sendiri publik acapkali tidak memiliki informasi yang cukup mengenai governmental affairs, akibatnya opini
yang muncul miskin dari informasi yang benar, sehingga cenderung emosional atau
bersifat negatif. Karena itu tugas terpenting
humas pemerintah adalah memberikan informasi yang cukup sesuai kebutuhan
publik. Pekerjaan humas bukan untuk memaksa publik memikirkan hal tertentu atau
what to think about seperti dalam
propaganda. Tapi humas lebih menekankan kerjanya pada how to
think about, bagaimana publik seharusnya berpikir, atau berkaitan dengan
kualitas hasil pemikiran. Humas jangan sampai terkacaukan dengan propaganda
yang membenarkan kebohongan. Sebab itu keterbukaan, kelengkapan dan kejujuran
serta jiwa besar untuk mengakui kesalahan dan bersedia melakukan perbaikan ke
dalam amat penting untuk public relations dalam manajemen pemerintahan.
Sebagaimana dikemukakan oleh Courtland L. Bovee dan John V. Thill “ Do tell
the whole strory, opently, completely, and honestly, if you are at foult
opologize ( Bovee & Thill, 2005 : 14).
Seandainya prinsip utama yang merupakan dasar dari
ajaran public relations sebagaimana
diungkapkan Courtland Bovee itu dilaksanakan, maka tidak ada kekhawatiran
terhadap kebocoran maupun penyadapan. Mereka tidak akan ada masalah dengan
serangan WikiLeaks ataupun konsep transparansi ekstrim yang sekarang diteriakkan
kalangan hacktivist. Persoalannya
tuntutan teoritis supaya melakukan komunikasi secara opently, completely, and honestly, ternyata
dalam praktek justru hanya menjadi jargon hype
of politics. AS yang telah memiliki pengalaman luas justru tidak melaksanakan
prinsip-prinsip dasar keterbukaan itu. Walhasil kasus WikiLeaks menjadi “tamparan” akan kebohongan demokrasi Amerika
Serikat dan sekutunya. Jadi di sini
jelas, bahwa menciptakan citra yang baik, dimulai dengan kerja keras melakukan
perbaikan ke dalam dan melaksanakan prinsip-prinsip dasar demokrasi dan
transparansi secara sungguh-sungguh.
Pemerintah Amerika Serikat yang modern dan dikenal demokratis,
sebenarnya telah lama menerapkan manajemen goverment public relations.
Mereka memiliki kantor Penerangan atau Press Officer, yang juga bertindak
sebagai juru bicara (spokesperson) pemerintah. Tiap departemen atau
kemetrian memiliki press officer yang berada di bawah kooordinasi Press
officer Gedung Putih (Kepresidenan). Press officer ini
memiliki akses langsung pada pejabat yang mereka wakili, memahami prinsip
pejabat tersebut dan dapat langsung berhubungan tanpa melalui staf lain dalam
keadaan apapun. Menurut Sullivan “ The spokesperson’s job
requires balancing many relationships with government officials, with other top
level government staff, with the press, and with the permanent bureaucracy” (Sullivan,
2002 : 13).
Keberadaan press officer ataupun spokesperson
dalam konteks PR pemerintah amatlah penting. Mereka merupakan pejabat
sekaligus kementrian yang bertanggung jawab mengumpulkan informasi secara
lengkap tentang berbagai isu yang akan dibahas dan disampaikan pada publik.
Mereka berfungsi melakukan koordinasi sehingga semua komponen pemerintahan
memiliki informasi yang cukup, rasional, dan jujur, serta menghindari
munculnnya pernyataan yang saling bertentangan (conflicting statements).
Koordinasi informasi ini merupakan tugas dan
wewenang yang paling penting bagi kementrian informasi, tidak saja dengan
departemen atau kemetrian lain, tapi sampai pada kantor gubernur dan perwakilan
pemerintah di luar negeri (Sullivan, 2002 Hal: 12). Kordinasi ini menyangkut
banyak hal, dari persoalan materi kebijakan pemerintah yang dibahas, penentuan
siapa yang berwenang memberikan keterangan, apakah harus ada konsultasi
terlebih dahulu dengan pejabat terkait, sampai bentuk penyampaian informasinya.
“Tanpa kordinasi, semuanya tak akan berjalan lancar,” ujar Susan King, mantan Asisstant
Secretary for Public Affairs for U.S. Departements of Labor and Housing and Urban
Development. Menurutnya yang akan terjadi “setiap orang seolah merasa perlu
untuk berbicara dengan mengatas namakan atasannya”.
Sistem ini sebenarnya sudah benar dan akan jalan
dengan baik apabila semua yang dikordinasikan itu merupakan informasi yang faktual
dan menerapkan prinsip kejujuran. Semua menjadi
berantakan ketika informasi yang mengalir ternyata mengandung banyak
kebohongan dan bertentangan dengan apa yang dikesankan diluar Walhasil sistem
yang melibatkan kordinasi banyak orang itupun justru menjadi titik lemah dari
peluang munculnya pembocoran akrena adanya ketidak jujuran tersebut. Kordinasi yang awalnya merupakan kunci untuk mengatur
dan mengawasi isu-isu komunikasi penting yang muncul, sekaligus untuk sistem
respon yang cepat justru menjadi peluang munculnya pembocoran informasi.
Karena WikiLeaks
kredibilitas pemerintah AS merosot, kredibilitas pemerintah dengan para
diplomat maupun petugas informasinya sedang mengalami krisis kepercayaan. Maka
tidak bisa tidak mereka harus kembali membangun kredibilitasnya. Syarat
profesionalisme kembali menjadi sangat penting. Para diplomat dan juru bicara
tidak hanya dituntut persyaratan klise seperti harus berstamina tinggi, punya
rasa ingin tahu, ingin membantu, kuat ingatannya, sopan, tenang, mengerti
psikologi, mampu memperhitungkan dan menangani sesuatu secara mendetail, tetapi
mereka juga harus mampu mempelajari fakta secara cepat dan dapat menangani
hal-hal tak terduga, termasuk bisa beraksi cepat. Dan yang tidak kalah penting
adalah bersikap objektif dengan memiliki etika dan integritas tinggi (Hess,
1998). Itu lagi-lagi mereka harus membangun sistem yang lebih menjamin adanya
kejujuran.
Kejujuran amat penting karena kredibiltas tidak
akan ada jika para diplomat dan petugas informasi tidak dipercaya pers atau
publik, hanya karena berseberangan dengan informasi yang muncul di masyarakat. Walau
transparansi dan kejujuran ini kadang menjengkelkan, sulit, dan membuat
frustrasi, petugas informasi pemerintah wajib membantu pers untuk mendapatkan
berita yang benar. Itulah inti demokrasi” (Sullivan, 2002 : 15).
Menghadapi era Web
2.0, strategi komunikasi untuk GPR perlu beberapa modifikasi. Selain tetap memberikan pelayanan sebagaimana prinsip GPR
secara umum ada beberapa hal yang perlu ditambahkan. Kecara konseptual, ada
beberapa bentuk komunikasi yang bisa disediakan untuk pelayanan informasi untuk
media dan publik. Bentuknya yang konvensional adalah yang berkait dengan
strategi media relations, yaitu
antara lain: Siaran pers (press release), pemberitahuan kepada media (media
advisory), lembaran fakta atau latar belakang (fact sheet or
backgrounder), gambar (visual), biografi, daftar pakar, media kit,
daftar pertanyaan, pitch letter, siaran berita audio maupun visual, jalur
telepon, konferensi pers, wawancara, rapat dengan redaksi, rapat off the record, artikel untuk opini,
naskah pidato, tur untuk media, feature,
pesan-pesan untuk internet, email, dan photo ops. Kesemuanya disediakan
untuk membantu mempermudah kerja kalangan wartawan, atau media.
Untuk yang langsung kepada
publik GPR perlu mengembangkan sistem layanan informasi ke dalam dan ke luar
negeri. Disini diperlukan sebuah lembaga yang bertanggung jawab menangani
isu-isu public relations yang berpengaruh terhadap kebijakan dan
kepentingan negara serta hubungan diplomatik dengan negara lain. AS misalnya
memiliki USIA (United States Information
Agencies), Inggris memiliki GIS (Government
Information Service). USIA menurut Mantan Persiden AS Jimmy Carter berberan “Membangun dua jembatan saling pengertian antara warga
negara Amerika Serikat dengan warga negara lain di seluruh dunia” (Cutlip, Center, & Broom, 2000: 493). USIA bertanggung jawab untuk meluruskan informasi dan melakukan counter
terhadap propaganda yang bertentangan dengan realitas. Jadi lembaga ini
dituntut menyajikan gambaran yang menyeluruh dan apa adanya (a full and fair
picture) tentang Amerika Serikat. Dengan demikian diharapkan bangsa lain
dapat memahami motif dan tujuan kebijakan luar negeri AS.
Ada dua tujuan utama program layanan informasi yang diperlukan oleh
pemerintah: (1) Meng-counter
penyebaran propaganda yang dilakukan oleh lawan-lawan negara, sekaligus memelihara
pengertian yang baik dengan negara sahabat agar mereka memahami kebijakan
pemerintah. (2). Memberikan bantuan pengetahuan teknis kepada masyarakat yang
membutuhkan (Cutlip, Center & Broom, 2000 : 494).
Untuk Indonesia,
peran Government Public Relations ini
bisa dilakukan oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika. Sementara
spokespersonnya bisa diperankan oleh Menkominfo, dan juru bicara Kepresidenan,
tapi dukungan operasional dan informasinya harus terintergrasi dari Kementrian
komunikasi. Jadi, nantinya ada bagian operasional yang melayani informasi di
luar negeri, dan ada pula yang berperan sebagai Humas Pemerintah di dalam
negeri. Tentu saja semua konsep pemikiran tersebut perlu dikaji terlebih dahulu
dengan kondisi riil di lapangan.
Hampir sebagian besar negara maju menempatkan
“komunikasi” sebagai sebuah fenomena yang amat penting. Biasanya mereka
memiliki lembaga yang bertanggung jawab terhadap komunikasi, agar komunikasi
antara rakyat dan pemerintah bisa berjalan lancar, termasuk pula dengan publik
di luar negeri. Lembaga atau Kementrian komunikasi bertanggung jawab
menyeimbangkan dua kepentingan yang berbeda antara public’s right to know dengan
how to make favourable image.
Analysis of Buzz dan Virirtual “Jupen”
Perkembangan teknologi komunikasi mengharuskan Government Public Relations juga merubah
strategi dalam komunikasinya ke pada publik. GPR dituntut melakukan komunikasi
terhadap publik tidak lagi sebatas pengertian media relations. Kemampuan GPR mengelola image lembaga atau pemerintah dengan memanfaatkan orang ketiga (third party endoser) telah menjadi
tuntutan yang tidak bisa dihindarkan. Alih-alih sekedar berkutat pada media,
GPR dituntut untuk memahami dan menganalisis pola persebaran isu (buzz), yang pada akhirnya sampai ke
pada khalayak luas atau publik.
Hal ini tidak lain
karena semakin marak dan perkembangnya penggunaan sosial media semacam Face book, Tweeter, dan bentuk smart phone dengan black berry dan lain-lain. Dengan perkembangan itu semua, munculnya
opini publik dan arah dukungannya sekarang ini tidak semata-mata karena agenda
media konvensional, namun juga dikarenakan isu-isu yang dibahas di jaringan social media. Seiring dengan itu
klasterisasi khalayak dengan pola perilaku komunikasinya menjadi sesuatu yang
penting untuk dianalisis. GPR pun harus mampu mengembangkan strategi komunikasi
untuk komunitas-komunitas yang ada dalam social
media. Dengan mengidentifikasi dan menganalisis orang-orang yang
berkompeten (influencer), mereka bisa
digunakan menjadi media untuk komunitas virtual tersebut. Berkait dengan
berubahan komunikasi dan penggunaan media, seperti semakin banyaknya kalangan
muda meninggalkan media cetak, menuntut GPR menerapkan strategi strategi baru
yang mampu langsung ke publik tanpa
harus melalui media massa
konvensional. Disinilah pentingnya
menggunakan anatomy of buzz, yaitu dengan menganalisis peta pergerakkan
isu atau bahan perbincangan, dari sebuah kelompok ke kelompok lain, maupun
menganalisis siapa yang paling berpengaruh dalam kelompok perbincangan itu. GPR
hendaknya mengidentifikasi karateristik orang-orang seperti apa yang memiliki
pengaruh, siapa yang menjadi sumber informasinya (opinion leader), dan berapa banyak yang menjadi pengikut
pendapatnya. (Wasesa, 2010: 2)
Analisis terhadap
komunikasi yang dilakukan di social media
merupakan tuntutan perkembangan sejarah. Hal itu berkait dengan semakin
banyaknya orang berkomunikasi secara virtual di dunia maya. Terlebih sebagian
besar aktivis dan para wartawan, merupakan orang orang muda yang sebagian besar
masuk dalam net generation, atau yuppie. Minimal kalaupun mereka sudah
senior termasuk kalangan yang “melek
terhadap ICT, atau pengguna aktif social
media. Dengan demikian memahami apa yang terjadi di dunia maya atau social media, bisa mengantisipasi pula
apa yang akan menjadi kecenderungan opini publik di media massa konvensional. Diskusi-diskusi di social media yang realtime, cenderung akan muncul atau mempengaruhi diskusi yang
muncul dalam agenda setting media
konvensional. Hampir dipastikan orang-orang yang muncul atau memberi statemen di media, juga merupakan
orang-oranmg yang aktif di internet. Informasi yang dia peroleh di internert
akan menjadi dasar pernyataan mereka di media massa konvensional. Hal itu terlihat dari
fenomena WikiLeaks di tataran global,
atau kasus Prita Mulyasari di Indonesia. Hampir dipastikan apa yang dibahas di
media massa
akan muncul di diskusi di social media,
begitu pula sebaliknya. Inilah agenda
dynamics antara social media dan
media konvensional yang saling pengaruh mempengaruhi.
GPR harus
mengantisipasi perkembangan semacam ini. Salah satu strategi yang layak
dilakukan setelah melakukan Analysis of
Buzz, adalah melakukan tindakan-tindakan komunikasi yang sesuai dengan
hasil anatomi tersebut. Selain memanfaatkan infuencer
atau opinion leader yang sudah ada
untuk digunakan sebagai media, GPR bisa pula mengembangkan strategi menciptakan
influencer baru. Yaitu melakukan upaya mempengaruhi perbincangan di social media dengan memasukkan infiltran
pada diskusi-diskusi yang opininya cenderung negatif. Setelah menganatomi
aliran perbincangan, GPR bisa melaukan intervensi dengan memasukkan staf atau
pasukannya yang sudah dibekali informasi yang memadahi, untuk ikut membahas isu-isu
yang kontroversial. Staf GPR ini diibaratkan seperti Juru Penerang (Jupen) di Departemen Penerangan pada masa
Orde Baru lalu, bedanya Jupen GPR tidak harus tersebar di pelosok-pelosok
melainkan tersebar di komunitas-komunitas virtual yang ada di ranah social media.
Tugas Jupen virtual adalah memberikan informasi pada diskusi diskusi
yang membahas governmental affairs.
Mereka di bawah kordinasi kelengkapan GPR yaitu News room yang melakukan pemantauan dan analysis of buzz tadi. Hasilnya setelah dilengkapi dengan informasi
yang lengkap digunakan untuk kordinasi dengan para jupen virtual untuk masuk
dalam diskusi di komunitas komunitas maya. Tugas mereka adalah memberikan informasi
yang dasarnya fakta-fakta. Melalui pengkayaan informasi yang berdasar fakta
tersebut, diyakini opini publik yang terbentukpun akan lebih objektif dan
rasional. Biasanya opini publik itu cenderung negatif, terutama jika hanya berdasarkan
pada prasangka sosial (social prejudice),
atau dengan dasar informasi yang lemah. Disinilah GPR memiliki tugas memperkaya
informasi yang dimiliki oleh para aktivis dan wartawan melalui aktivitas para
juru penerang virtual.
Penutup
Perkembangan
teknologi komunikasi senantiasa memiliki dampak terhadap kehidupan sosial.
Perubahan itu mencakup life style,
pola komunikasi hingga semakin kuatnya tuntutan demokrasi hingga bentuk bentuk
transparansi yang ekstrim. Orang boleh
saja tidak setuju terhadap hal itu, namun itulah keniscayaan sejarah.
Sebagaimana perkembangan ICT, tuntutan demokrasi dan transparansipun juga
merupakan keniscayaann sejarah. Karenanya transformasi inipun harus dihadapi
secara cerdas oleh komunikasi pemerintah yang dilakukan melalui GPR. Komunikasi
yang jujur, informasi yang transparan serta strategi yang tepat untuk
penyebaran informasi harus dilakukan sesuai tuntutan era Web 2.0. Perubahan pola komunikasi, menyebabkan opini publik tidak lagi ditentukan oleh media
konvensional, aliran informasi atau isu-isu, dan diskusi di komunitas komunitas
sosial media ikut menentukan arah opini publik. Karena itu strategi government public relations dituntut
untuk berubah. Mereka harus mampu menganalisis pergerakan isu (Anatomy of Buzz), dan mengidentifikasi
orang-orang yang berpengaruh dalam komunitas komunitas tersebut. Selanjutnya negara
memerlukan “Juru Penerang virtual”, untuk memberikan atau menyeimbangkan informasi
berdasar fakta-fakta terhadap diskusi-diskusi mengenai persoalan pemerintahan
di komunitas sosial media. Informasi dan peran juru penerang ini penting untuk meniadakan lack of information mengenai persoalan
pemerintahan yang sering terjadi dalam komunitas-komunitas virtual. Berangkat
dari sanalah opini publik diharapkan akan menjadi semakin rasional, karena
sebagian besar aktivis dan penentu opini publik (the significant number of people) juga merupakan orang-orang yang
aktif dan banyak mengakses informasi secara online.
Daftar Pustaka
Agung Wasesa, Silih., dan
Macnamara, Jim, 2010., Strategi Public Relations,
Gramedia.
Berger, Peter
and Luckman, Thomas, 1979, The Social Contructions of Reality, Pinguin
Press, New
York.
Bovee, L Courtland,
and Thill, John, 2005, Business
Communication Today, Sage
Publication New
York.
Cutlip, M
Scott., Center, H Allen., and Broom, M Glen, 2000, Efective Public Relations,
8th edition, Prentice Hall, New Jersey
Friedman,
Thomas, 2005, The World is Flat., A
Brief Hystory of The Twenty First
Century, Publised by Farar,
Straus and Giroux
Louw, Eric., 2005., The Media and Political Process, Sage
Publication New York
Heath,L, Hand
Book of Public Relations, 2001, Prentice Hall, New
Jersey.
George Ritzer, & Douglas Goodman, 2005., Teori
Sosiologi Modern, Kencana, Jakarta.
Hess,
Stepen, 1998., The Government Press
Connection, The Free Press, Paper Back
New York.
Keliat
Makmur, 1997, Negara dan Globalisasi, dalam Basis Susilo Masyarakat dan
Negara, Airlangga
University Press, Surabaya.
Pavlik, John & Shawn McIntosh, 2004, Converging Media: An Introduction to
Mass
Communication, USA
Person.
Sullivan,
H. Marguerite, 2002., A Responsible Press
Office, An Insider’s Guide, United
States Public Affairs.
Wilson
Bryan Key, 1997, The Age of Manipulation,
The Coin in Confidence The Sin in
sincere, Madison Book, Boston.
Sumber Non Buku
Harian Kompas, 12
Desember 2010
Harian Kompas, 10
Desember 2010
www.http//WikiLeaks.org diakses 13 Desember 2010
Juni
2010
John
Millne’s Maode Blog, The Digital Divide
and Web 2.0, 1 August 2008, diakses 13
Desember 2010
Alumnus Program Doktor Ilmu Sosial Universitas Airlangga (2009), Alumnus Bea Siswa British
Chevening Award, untuk Studi di Public
Administration International, London UK (2000). Alumnus Pasca Sarjana
Komunikasi UI (1995), Alumnus Jurusan Komunikasi FISIPOL UGM (1987), dan
Alumnus Fakultas Hukum UII (1987).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar