Senin, 09 April 2012

GOVERNMENT PUBLIC RELATIONS (GPR) DI ERA TRANSPARANSI RADIKAL (WIKILEAKS) DAN WEB 2.0


Oleh:
Henry Subiakto*
Abstract
The advancement of Information Communication Technology (ICT) has influenced changes in the pattern of communication in society. Web 2.0 digital technology has helped social activists act more critically and push forward issue on democracy, transparancy and independency. State-level clandestein activities and secretive communications are being uncovered by wistle-blower sites (WikiLeaks). Conventional media no longer holds monopoly on public opinion. Rather, they are being influenced by the flow of buzz and discussions held at social media cummunities. Government PR’s strategy needs to adapt to these changes. They need to analyze infuential individual and the change of topics. This leads to the creation of the virtual spokesperson concept, a concept with the main goal to provide fact based information at social media communities that discuss issues on government affairs.
Keywords: ICT era Web 2.0, Government Public Relations, Anatomy of Buzz and virtual spokesperson.
Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) telah mempengaruhi perubahan pola komunikasi masyarakat. Para aktivis dengan teknologi digital di era Web 2.0 semakin kritis mendorong demokratisasi, transparansi dan independensi. Komunikasi rahasia dan aktivitas tersembunyi yang dilakukan oleh negara-pun dibongkar oleh situs situs pembocor (WikiLeaks). Opini publik tidak lagi ditentukan oleh media konvensional, melainkan dipengaruhi pula oleh aliran informasi, isu-isu, dan diskusi di komunitas komunitas sosial media. Strategi Humas Pemerintah (GPR) pun dituntut untuk berubah. Mereka harus menganalisis pergerakan isu, dan orang-orang yang berpengaruh. Munculah konsep “Juru Penerang virtual”, sebuah konsep yang bertujuan memberikan informasi berdasar fakta-fakta pada diskusi yang membahas persoalan pemerintahan di komunitas-komunitas sosial media.  
Kata Kunci: ICT era Web 2.0, Humas Pemerintah, Anatomi pergerakan isu dan Juru Penerang virtual.
 
Perkembangan teknologi telah mengubah dunia. Dulu tidak ada orang membayangkan, dunia yang begitu luas akan menjadi desa global. Saat Marshall Mc Luhan mengemukakan konsep itu dalam buku Understanding Media (1964), banyak orang yang sulit mengerti konsepsi global village tadi. Barulah kemudian, khalayak memahami setelah terjadinya perkembangan tekonologi media, khususnya televisi. Hal yang sama orang tidak membayangkan sebelumnya, bahwa umat manusia terkoneksi dalam jaringan komunikasi digital, yang memungkinkan berbagai kemudahan komunikasi antar manusia dimanapun. Munculah konsep  The World is Flat dari Thomas Friedman (2005) dimana para pengguna ICT di seluruh dunia memiliki kesempatan yang sama dalam hal berkomunikasi, dan melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan ICT. Kemudian muncul pula konsep Global Brain, dimana penduduk dunia terdiri milyaran manusia, tak ubahnya seperti otak manusia yang juga terdiri dari milyaran sel, otak dan dunia menjadi cerdas luar biasa karena adanya interkoneksi, dan saling membagikan informasi di antara sel sel di dalamnya.
Dewasa ini tatkala teknologi informasi (ICT) perkembang begitu pesat, dengan fenomena konvergensi, yaitu ketika teknologi komputer, telekomunikasi, dan media massa menyatu dalam lingkungan digital secara bersama, atau “the coming together of computing, telecommunications, and media in a digital environment is known as convergence Pavlik dan McIntosh (2004 : 19), munculah sebuah era teknologi komunikasi yang disebut era Web 2.0. Di era teknologi ”smart phone” itu, penduduk Dunia menjadi saling terhubung semakin erat di dunia maya. Teknologi komunikasi telah mereduksi persoalan jarak dan waktu.  Komunikasi menjadi mudah di hampir semua aspek kehidupan. Dari bertukar informasi, budaya, perdagangan, investasi, pariwisata, intelejen, politik, hingga persoalan pribadi. Dunia diwarnai oleh maraknya digital networks yang berkembang luar biasa, sehingga media jejaring sosial membawa banyak perubahan di berbagai sektor.
Perkembangan ICT dengan media jejaring sosial tidak hanya mempengaruhi cara masyarakat berkomunikasi, ataupun memunculkan life style baru dalam masyarakat modern, tetapi teknologi Web 2.0 itu juga menuntut perubahan paradigma lama yang akrab dengan budaya ketertutupan (cultural secrecy). Aktivitas pemerintahan dengan cultural secrecy yang banyak dilakukan berbagai negara, termasuk Amerika Serikat, dituntut harus berubah ke budaya baru yang lebih terbuka dan jujur. Tidak ada lagi tempat untuk mengembangkan negara berparadigma Arcana imperii atau mengagungkan rahasia negara. Berkat teknologi komunikasi dan semangat keterbukaan, negara sekuat dan secanggih AS, intelejen dan informasi rahasianya-pun bisa dibobol dan dibocorkan ke publik oleh kelompok anak muda peretas WikiLeaks. Dengan kecanggihan teknologi dan semangat keterbukaan, dunia maya sebagai public sphere yang bebas telah menjadi ajang ”perang” komunikasi antara otoritas negara (termasuk super power AS), melawan aktivis civil society yang makin menguat di jejaring sosial. Terjadilah global civil society walau keberadaannya saling berjauhan, mereka bisa saling menggalang hubungan melalui teknologi komunikasi,  saling mendukung, menciptakan solidaritas, dan membangun agenda bersama, serta tidak terlalu peduli dengan ”peti kemas” nation state.
Negara adidaya Amerika Serikat ”ditelanjangi” oleh WikiLeaks atas perilakunya yang arogan, buruk bahkan jahat. WikiLeaks telah menyebarkan melalui situsnya apa yang disebut Afghan War Diary (April 2010), Iraq War Logs (Oktober 2010) berisi kekejaman tentara Amerika Serikat di Afganistan dan Irak. WikiLeaks juga membocorkan informasi ke publik, tentang perilaku AS yang biasa mendikte banyak negara lain, dan bertindak sewenang wenang kepada siapapun. Salah satunya dalam suatu kawat tertanggal Februari 2007 AS melarang Jerman menangkap dan menahan 13 agen CIA yang terlibat salah tangkap di Jerman terhadap orang yang dicurigai sebagai pelaku terorisme. Dalam kawat tersebut AS mengancam apabila Jerman menangkap para agen CIA tersebut, hubungan Jerman AS akan terganggu (Kompas, 10/12/2010). WikiLeaks juga mengungkap bagaimana banyak negara ditekan soal iklim oleh AS. Kawat-kawat diplomatik yang dibocorkan itu, menunjukkan AS memanipulasi perjanjian soal iklim, dengan menggunakan peran mata-mata, melakukan ancaman dan janji-janji bantuan, tujuannya untuk meraih dukungan demi terciptanya kesepakatan Kopenhagen pada Desember 2009 (Kompas, 12/12/2010).  AS juga berupaya meredam PBB agar tidak memperpanjang Kyoto Protocol, yang mewajibkan negara-negara kaya mengurangi polusi.  AS merupakan polluter terbesar di dunia yang sejak awal menentang protokol itu.
 Dalam informasi yang dibocorkan WikiLeaks menunjukkan bagaimana wajah AS yang sesungguhnya. Wajah yang suka menekan, mengabaikan kepentingan negara lain, dan berupaya memarginalkan negara negara yang menentangnya serta membicaraakan keburukan negara-negara lain dalam ”perspektif Amerika”. Dengan mengungkapan informasi diplomatik dari kantor perwakilan AS di berbagai negara, terungkap pula perilaku pemerintahan negara-negara sahabat AS, yang ternyata sering berbohong terhadap rakyatnya. Negara-negara Arab Teluk dan Arab Saudi misalnya, di permukaan mereka tampak sebagai musuh klasik Israel, tetapi ternyata banyak melakukan kontak diplomatik rahasia, bahkan meminta AS dan Israel menyerang dan menghentikan nuklir Iran. Dari kawat para diplomat AS di Arab Saudi, dibocorkan pula informasi bahwa para diplomat AS yang sering diundang pesta minuman keras oleh keluarga kerajaan. Pendeknya WikiLeaks mengungkap berbagai borok dan kebohongan AS, beserta negara-negara sekutunya.
”Ditelanjangi” demikian tentu saja AS tidak tinggal diam. WikiLeaks beserta pimpinannya, Julian Assange dianggap melanggar hukum pidana dan keamanan. Julian dituduh telah melakukan spionase yang membahayakan negara AS. Selanjutnya Julian Assange pun ditahan di Inggris dengan tuduhan melakukan pelecehan seksual terhadap dua mantan karyawannya. Agar tidak terjadi kebocoran lagi, AS segera membatasi akses ke database Deplu.  Di Washington, Deplu AS memutus berkas-berkas komputernya dari jaringan SIPRNet (Secret Internet Protocol Router Network) milik Pentagon.  Badan-badan pemerintah federal AS mengeluarkan peringatan, setiap pegawai negeri di negara itu yang membaca bocoran WikiLeaks bisa dipecat dari pekerjaannya.  Belakangan beredar surat elektronik yang berisi peringatan pelajar dan mahasiswa yang ketahuan membaca dokumen rahasia WikeLeaks, atau sekadar memasang link menuju dokumen atau mengomentari isinya di situs jejaring sosial  bisa terancam tak akan diterima bekerja sebagai pegawai negeri AS. Amerika Serikat yang dikenal sebagai negara bebas, yang menjunjung tinggi kemerdekaan pers, dan kebebasan mendapatkan informasi, tiba-tiba memiliki kebijakan yang bertentangan dengan kesan yang selama ini ada. Pemerintah AS berpendapat, dokumen dokumen tersebut masih berstatus rahasia meski sudah beredar luas di internet maupun di media massa.  Membaca menyebarkan dan mengomentarinya, bisa dianggap sebagai pelanggaran terhadap Executive Order 13526 tentang Informasi Keamanan Nasional rahasia.
Menghadapi tekanan dan ancaman AS beserta negara sekutunya, para aktivis pendukung Wikileaks melawan dan menentang penahanan Julian Assange.  Para pendukung WikiLeaks mengobarkan perang data di internet serta menyerang situs pihak-pihak yang dianggap anti WikiLeaks.  Situs perusahaan kartu kredit Visa cabang Eropa dan situs resmi Pemerintah Swedia menjadi sasaran kelompok hacktivist bernama Anonymous.  Sebelumnya hactivist juga menyerang lembaga layanan keuangan The PayPalBlog.com, situs Bank Post Finance di Swiss, situs jaksa penuntut Swedia, situs pengacara dua wanita Swedia yang melaporkan pendiri WikiLeaks Julian Assange dalam kasus pelecehan seksual, dan situs dua politisi AS penentang WikiLeaks, Sarah Palin dan senator Joe Lieberman.  Juru bicara Anonimous, Colblood dalam wawancara dengan BBC mengatakan telah merekrut sedikitnya 4000 hecker di seluruh dunia yang siap menyerang pihak-pihak yang anti WikiLeaks dalam sebuah gerakan yang dinamakan Operation Payback.  Mereka berupaya agar internet tetap bebas dan terbuka, tidak dibatasi oleh kepentingan pemerintah manapun. ”Keep us strong. Help WikiLeaks government open”, demikian tulisan yang tertera di situs WikiLeaks. Walhasil Julian Assange mendapat dukungan luas dari kalangan aktivis dan tokoh-tokoh kebebasan. Mereka bersedia memberikan uang jaminan untuk pembebasan Julian, yang kemudian pembebasan bersyarat itu dikabulkan oleh The Royal Court of Justice di London.  
 
Perkembangan ICT dan Demokrasi Panggung
Semakin nyata perkembangan teknologi komunikasi secara signifikan menempatkan kebebasan dan transparansi sebagai tujuan yang penting. Akumulasinya berimbas ke berbagai sektor kehidupan, dan menuntut adanya perubahan struktur komunikasi. Negara yang pada awalnya dipandang merupakan kekuatan otoritas yang powerful dan mampu menutupi ”kepentingan kepentingan nasional” tiba-tiba kesulitan menghadapi serangan kalangan hacktivist yang tidak terikat dengan nasionalisme.  Kalangan aktivis kebebasan ini juga tidak hanya menyerang negara, namun juga menyerang situs situs milik perusahaan-perusahaan besar, yang merupakan simbol kapitalisme global seperti Visa dan Master Card yang sebelumnya memblokir kiriman dana untuk WikiLeaks
Perkembangan ICT benar-benar telah dimanfaatkan sekelompok aktivis yang mengatas namakan civil society,  dan telah ditunjukkan bagaimana peran mereka untuk mengontrol negara maupun kekuatan kapitalis yang dianggap menghalangi kebebasan pers. Fenomena WikiLeaks tidak akan bisa dibendung, karena pada dasarnya keberadaan mereka merupakan refleksi trend demokrasi, transparansi dan kebebasan yang semakin terakomodasi oleh perkembangan ICT. Karena itu tidak heran kalau sekarang muncul situs-situs pembocor lain  yang marak di berbagai negara. Selain WikeLeaks muncul pula situs-situs serupa misalnya Openleaks.Org, Balkanleaks.eu, Indoleaks.org, Rospil.info, Brusseleaks.com, Cryptome.Org, OpenSecret.org, Wikispooks.com, Govecn.org dan masih banyak yang lain. Sistem kerja mereka sebagian besar sama, yaitu selain melakukan intersep atau penyadapan, juga menampung bocoran informasi dari kolaborator atau siapapun yang ingin mengungkap ”kebenaran” yang mereka ketahui.
Hampir semua negara menghadapi ancaman dari aktivis gerakan ”Transparansi Ekstrim” ini. Sebagai pelopor demokrasi Amerika Serikatlah yang dijadikan sasaran utama, dan dianggap sebagai pembohong, dengan banyak melakukan tekanan ke berbagai negara dan pihak-pihak tertentu. Gerakan Julain Assange dan teman temannya adalah jelas, yaitu melalui WikiLeaks dan situs sejenis berupaya menciptakan transparansi dan kebebasan memperoleh informasi seluas-luasnya. Mereka ingin mempertahankan internet sebagai public sphere yang otonom, bebas dari tekanan manapun, sebagaimana konsepsi public sphere yang pernah dikemukakan oleh Jurgen Habermas (1992).
Menurut Habermas, dalam ruang publik yang bebas dan otonomlah para individu bertindak sebagai political persons untuk memp`erbincangkan dan melaksanakan apa yang telah disepakati bersama sebagai kepentingan bersama. Tanpa adanya kebebasan yang memadahi untuk memperbincangkan isu-isu publik, maka keberadaan ruang publik menjadi tidak berarti bagi kepentingan publik. Menurut Habermas untuk itu harus dilenyapkan perintang komunikasi bebas. Bagi Habermas, penangkal masalah rasionalisasi tindakan rasional purposif terletak pada rasionalisasi tindakan  komunikatif. Rasionalisasi tindakan komunikatif berperan penting membebaskan komunikasi dari dominasi, memerdekakan dan membuka komunikasi. Rasionalitas disini meliputi emansipasi, menyingkirkan penghalang komunikasi (Ritzer, & Goodman 2005 : 188). Menurut Habermas, publik apabila diberi kebebasan komunikasi, maka mereka akan menjadi lebih kuat, dan tidak terhegemoni oleh kekuatan dominan. Dari situlah para aktivis beranggapan harus berupaya mewujudkan kebebasan itu dengan mengesampingkan semua motif kecuali motif pencarian kebenaran kooperatif (Habermas http://en.wikipedia). 
Itulah yang sedang terjadi, kalangan aktivis memanfaatkan kecanggihan ICT dan kemampuan mereka sebagai hecker, sedang berusaha untuk menentang kebohongan AS dan negara-negara sekutu US Imperialism. Upaya itu menuai hasil karena teknologi ICT yang menciptakan Global Civil Society ternyata mampu mengungkap arogansi AS. Gerakan WikiLeaks yang didukung kalangan aktivis internasional ini menujukkan fenomena secara konseptual terjadinya  The Power of Civil Society yang telah menandingi bahkan melampaui The Power of State. Sebelumnya yang bisa “mengalahkan” The Power of State hanyalah The Power of Capital  (Keliat, 1997, 25).
Memang sebelumnya tercatat, yang paling banyak memanfaatkan perkembangan ICT selain militer atau negara adalah kalangan kapitalis global, khususnya pelaku pasar modal dan pasar uang (Sachs & Radelet, 1998). William Greider dalam buku One World, Ready or Not, The Manic Logic of Global Capitalism (1999), menunjukkan peran teknologi informasi dalam perdagangan uang global.  Para pelaku pasar uang dunia yang berpusat di New York, London dan Tokyo, dalam suatu transaksi, sekali pencet tombol atau cursor, bisa bertransaksi lebih dari 100 juta dolar. Seperti yang dilakukan Rob Johnson, George Sorros, ataupun teman-teman seprofesinya yang konon sedunia jumlahnya tak lebih 200 ribu orang tetapi menguasai lebih dari 425 bilyun US dollar. Informasi dan rumor menjadi dasar kapan mereka menjual dan kapan pula mereka membeli, ibarat flying geese, mereka hanya mau hinggap ditempat yang aman dan menguntungkan. Permainan rumor dan informasi inilah yang kemudian menciptakan dunia yang begitu rentan terhadap krisis ekonomi, karena pergerakan arus finasial yang massif yang mampu meruntuhkan ekonomi suatu negara.. Aktivitas kalangan kapitalis financial ini begitu dahsyat mempengaruhi kehidupan ratusan juta manusia, dan kebangkrutan banyak negara. Itulah yang disebut The Power of Capital telah melampaui The power of State  (Keliat, 1997, 25).
Perkembangan teknologi hingga memasuki era Web 2.0 masih diwarnai oleh dominasi kekuatan kapitalis dan Negara serta lemahnya civil society. Dalam aktivitas ekonomi misalnya, kalangan kapitalis memanfaatkan informasi hanya semata untuk kepentingan bisnis mereka. Perilaku greedy kapitalis global, secara rapat dapat ditutupi dalam berbagai manipulasi finansial sehingga publik dirugikan secara luas. Itulah yang kemudian dikenal dengan skandal Subprime Mortgage di AS tahun 2008, suatu skandal yang menguak kejahatan finansial yang dilakukan kalangan kapitalis di AS dalam bisnis kredit kepemilikan rumah, yang dijaminkan beberapa kali. Tercatat nama Bernie Madoff  yang memperdaya ribuan masyarakat sebagai investor yang mempercayakan dana milyaran dollar kepadanya. Selama dua dekade terakhir ia menciptakan skema investasi bodong yang menarik perhatian selebritis, yayasan dan investor institusi lainnya. Awalnya Madoff memberikan keuntungan rutin, namun belakangan terbukti bahwa Ia tidak menginvestasikan dana-dana tersebut tetapi hanya menyimpannya di bank dan sebagian dana itu dia tilap. Kerugian akibat akal-akalan tersebut ditaksir mencapai 50 miliar dollar AS. Perilaku kapitalis yang greedy ini sempat membuat Amerika Serikat diterpa krisis ekonomi, karena banyak warga negaranya yang jatuh bangkrut kehilangan uang dan tabungan bahkan kepemilikan rumah, serta runtuhnya kepercayaan kepada lembaga keuangan. Krisis ekonomi di AS inipun sempat menular dan berpengaruh ke beberapa Negara lain. Disitulah kemudian Negara, seperti AS mulai membatasi perilaku liberal kalangan pasar uang dan modal dengan berbagai regulasi. Sementara civil society ataupun kalangan aktivis tidak banyak melakukan tindakan yang signifikan terhadap kejahatan dan kebohongan yang dilakukan kalangan pelaku kapitalisme, seperti dalam kasus Subprime Mortgage, maupun kejahatan kapitalis yang lain.
Sementara dalam kehidupan politik, sebagaimana yang dibocorkan oleh WikiLeaks, diplomasi internasional yang dilakukan pemerintah AS ternyata tak jauh beda dengan kalangan kapitalis yang juga akrab dalam melakukan kebohongan. Aktivitas diplomasi lebih banyak dilakukan sebagai bagian dari kepentingan front stage, suatu istilah dari Sosiolog Erving Goffman untuk perilaku komunikasi yang mengacu pada pemandangan fisik yang biasanya harus ada atau tampak ketika aktor memainkan perannya (Ritzer & Goodman, 2003: 298). Atau dalam istilah Eric Louw (2005, 18) hal yang sama disebut hype, untuk menunjuk tindakan komunikasi politik yang muncul di media massa untuk kepentingan legitimasi dan pencitraan. 
Sementara realitas politik yang sebenarnya tidak pernah muncul di publik ataupun media. Oleh para politisi ataupun pemerintah AS, realitas itu dibalut, atau disembunyikan sebagai bagian dari back stage dari dramaturgi politik. Karena itu aktivitas politik yang tampak dan dikonsumsi publik tak lain hanyalah drama kebohongan sebagaimana panggung depan yang ditonton oleh khalayak di sebuah theater. Inilah kemudian oleh Wilson Bryan Key (1997) era komunikasi komunikasi yang penuh kepura-puraan itu disebut sebagai The age of Manipulation. Dimana dimensi politik untuk aspek Hype lebih penting daripada substansi atau kenyataan. Publik hanya dijadikan sebagai penonton panggung dramaturgi politik, yang kesemuanya penuh dengan kepura-puraan sebagaimana sebuah front stage, yang sangat berbeda dengan keadaan di back stage.
Nampaknya politik sebagai drama dan hype terus saja berjalan hingga era konvergensi atau web 2.0 di akhir 2010. Pelaku utama politik hype itu ternyata justru Amerika Serikat, negara yang selama ini dikenal sebagai pelopor demokrasi, pelopor keterbukaan, dan pioneer hak asasi manusia. Kenyataannya AS menyimpan begitu banyak kebohongan, dan manipulasi yang tidak cocok dengan demokrasi. Itulah yang kemudian dibongkar oleh WikiLeaks hingga memunculkan kehebohan. Yang jelas kasus ini menjadi pelajaran baru dari  fenomena perkembangan ICT, sekaligus menunjukkan semakin kuatnya peran civil society dalam mengontrol negara dan industri. Kasus ini juga memberi pelajaran bahwa demokrasi Amerika pada dasarnya adalah demokrasi “panggung”. Dalam konteks ini demokrasi hanya merupakan “tools” atau  sarana politik, yang boleh dimanipulasi. Atas nama kepentingan nasional segalanya bisa dilakukan, termasuk tindakan tindakan yang jelas-jelas bertentangan dengan demokrasi itu sendiri.
            Masalahnya sudah siapkah para diplomat, elite dan birokrasi pemerintah, termasuk di Indonesia menghadapi transparansi, yang bisa dikuak melalui ICT seperti kasus WikiLeaks di atas? Memang terdapat pro dan kontra tentang WikiLeaks. Ada yang menganggap bahwa aktivitas WikiLeaks pada dasarnya telah mengobarkan apa yang disebut sebagai “Transparansi Radikal”, sebuah konsep yang justru amat berbahaya dan bisa bertentangan dengan moralitas demokrasi. Misalnya ketika menyebutkan nama-nama pejuang demokrasi di Negara-negara seperti China, Rusia dan Kuba justru bias membahayakan mereka dari operasi intelejen Negara-negara yang bersangkutan. Tetapi terlepas dari apapun penilaiannya terhadap WikiLeaks, harus kita akui bahwa teknologi komunikasi di era Web 2.0, memang menuntut perubahan cara pandang kita terhadap berbagai hal, termasuk diplomasi dan komunikasi politik. Hanya bangsa yang mampu melakukan transformasi sesuai dengan perkembangan teknologilah yang akan bisa survive dan berjaya. Sebagai bangsa besar,  Indonesia harus sudah mengantisipasi semua itu. Baik dalam aktivitas politik yang berskala nasional maupun internasional. Artinya pemerintah Indonesia dalam menghadapi kebebasan dan keterbukaan informasi dan globalisasi ini, harus memiliki manajemen yang jelas dalam kebijakan, maupun dalam mengelola informasi, baik di dalam negeri, maupun di luar negeri.
          Revolusi komunikasi sudah terjadi, dan Indonesia sudah menghadapinya. Simak data dari Nielsen, dalam Marketing and Media Presentation, Desember 2010. Pertumbuhan komputer, laptop, Black Berry, ponsel, hingga iPad, telah melebihi pertumbuhan media konvensional seperti televisi dan radio.. Dalam tiga minggu di bulan November 2010, telah terjual 12.000 Netbooks di Indonesia. Semantara Smart phone yang mampu menyajikan layanan canggih internet di ponsel, penjualannya meningkat 78%. Sedangkan Tiras Media Cetak turun drastis, radio dan televisi cenderung stagnasi, namun internet mengalami kenaikan yang signifikan. Terjadi booming Net Generation, kalangan pasangan muda (yuppie couples) menurut data Nielsen itu untuk meng up date informasi dan berita, kalangan ini 69% telah menggunakan acces online dibandingkan dengan media konvensional surat kabar yang hanya 19%. Tentu saja perubahan-perubahan ini menuntut strategi komunikasi untuk publikpun juga berubah.
 
Kembali ke Konsep Dasar GPR
Perkembangan ICT dan fenomena pembocoran informasi oleh WikiLeaks menjadi pelajaran yang berharga bagi banyak pihak. Perkembangan ICT yang dibarengi dengan meningkatnya peran aktivis untuk menyuarakan kebebasan informasi secara ektrim memunculkan tantangan pada semua pihak yang sejak lama memelihara cultural secrecy, atau budaya ketertutupan. Bagi pemerintah misalnya, harus ada koreksi terhadap konsep konsep yang selama ini dianggap benar dan aman. Atau dengan kata lain di era Web 2.0 sekarang ini penggunaan teknologi internet memang mendapatkan perhatian tinggi dan menuntut semua pihak melakukan transformasi. Ini berlaku juga bagi bentuk komunikasi pemerintah atau negara. Salah satunya adalah konsep transformasi  tentang government public relations. Pada dasarnya prinsip public relations tidak banyak berubah, prinsip-pronsip utamanya justru harus diperkuat. Hanya kemudian strateginya dituntut harus disesuaikan dengan perkembangan jaman. Ada banyak hal yang harus ditambahkan terutama untuk mengantisipasi ICT di era Web 2.0 sekarang ini.
 Secara konseptual, konsep Government Public Relations (GPR) telah ditulis secara baik oleh Marguerite H. Sullivan, mantan penasehat komunikasi gedung putih dalam buku A Responsible Press Office, An Insider’s Guide (2002). Buku itu menunjukkan tentang begitu pentingnya peran Kantor Penerangan dan Juru Bicara Pemerintah di era kebebasan informasi seperti sekarang ini.
“A popular government without popular information or the means of acquiring it is but prologue to a farce or tragedy or perhaps both”. Ini adalah pernyataan president James Madison  tahun 1822, yang walaupun sudah amat lama masih relevan menjadi dasar pemikiran pentingnya informasi yang tersebar dengan sarana yang memadahi bagi pemerintahan yang populair, tanpa itu hanya akan menjadi lelucon atau tragedi, atau malah keduanya. Pemikiran klasik yang juga masih relevan adalah ucapan Presiden Abraham Lincoln tahun 1864 “ Let the people know the facts, and the country will be safe. Mereka bicara tentang bagaimana demokrasi seharusnya berjalan, dan itulah dasar sebuah pemerintahan yang baik. Pernyataan ini sederhana, tetapi substansinya tinggi dan belum tentu bisa dilaksanakan dengan baik, termasuk oleh pemerintah AS sendiri sekarang ini.
Menurut Sullivan, pemerintah yang baik hanya bisa terjadi bila mereka mengambil keputusan berdasarkan informasi yang memadahi serta membuat penilaian yang independen. Hal demikian hanya bisa dicapai bila mereka memiliki informasi yang faktual dan terpercaya. Dan itu hanya bisa didapat dari pers atau media yang bebas, yang berfungsi sebagai watchdog masyarakat atas pemerintah (Sullivan, 2002: 7). Jadi menurut Sullivan, kebebasan pers itu bukan musuh pemerintah, melainkan justru necescery conditions adanya informasi faktual dan terpercaya. Persoalannya apakah pemerintah juga siap menghadai keterbukaan ekstrim seperti yang diperjuangkan oleh WikiLeaks dan kalangan hacktivist yang sekarang sedang terjadi. Nampaknya pemerintah AS pun mengalami persoalan, mereka ternyata “mengabaikan” ajaran James Madison dan Abraham Lincoln,  konsep dasar tentang demokrasi dan transparansi ternyata dalam praktek banyak ditinggalkan. Disinilah ketika WikiLeaks muncul, suka atau tidak suka justru AS dituntut untuk kembali pada prinsip dasar demokrasi dan transparansi yang menjadi pilar awal keberadaan mereka. Bukan kebohongan yang selama ini telah ditutupi dengan dalih “Kepentingan Nasional”. Disinilah GPR perlu menempatkan perannya secara strategis mengembalikan prinsip-prinsip demokrasi.
Secara teoritis, GPR tugasnya secara umum adalah menjelaskan dampak program dan kebijakan pemerintah terhadap warganya, termasuk kalau ada isu-isu kontroversial. GPR ini bertugas menyampaikan kebijakan dan rencana resmi pemerintah pada masyarakat sehingga publik bisa memahami bagaimana berbagai masalah itu mempengaruhi kehidupan mereka.
“Pemerintah mempunyai begitu banyak informasi sehingga perlu cara efektif untuk menyampaikannya pada publik, dan disinilah kementrian informasi dan juru bicara pemerintah harus berperan” ujar Mike Mc Curry, Mantan juru Bicara Presiden Bill Clinton. “Juru bicara berfungsi layaknya reporter yang bekerja di dalam institusi pemerintah mengumpulkan informasi sebanyak mungkin untuk disebarkan ke masyarakat” (Sullivan, 2002: 8).  Persoalannya, bagaimana menyebarkan informasi pemerintah itu? Apakah cukup menggunakan media konvensional seperti selama ini, atau justru harus ada perubahan mengingat pengguna internet sebagai sumber informasi dan sarana komunikasi mereka semakin meningkat perannya, hingga meninggalkan sumber informasi sebelumnya yaitu surat kabar.
Secara konseptual Government Public Relations (GPR), atau Humas pemerintah mempunyai peran ganda. Saat berurusan dengan media maupun publik, mereka harus mendukung posisi pemerintah, menjelaskan manfaat langkah-langkah yang diambil pemerintah. Meralat informasi yang keliru serta berusaha menjelaskan sedemikian rupa informasi yang ada sehingga mudah dipahami. Di sisi lain mereka juga harus mendukung media dan kepentingan publik. Menyalurkan keperluan media atau wartawan dan publik, misalnya membicarakan topik yang mungkin belum siap untuk dibahas oleh para pejabat. Namun sudah ramai dibicarakan di media ataupun di social networks. Dalam beberapa hal, para petugas GPR (termasuk juru bicara) tak jarang harus melakukan tugas seperti seorang reporter, mengumpulkan informasi untuk pers dan publik kemudian menerjemahkan ucapan para pakar pemerintah ke media dan jejaring sosial. Jadi prinsip-prinsip dasar GPR di negara demokratis tidak banyak berubah, di era Web 2.0 ini hanya perlu modifikasi dengan menyesuaikan pada perkembangan teknologi dan tuntutan transparansi yang menuntut kejujuran.
Salah satu kunci mewujudkan citra yang baik dari suatu pemerintahan atau negara, adalah harus dimulai dari perbaikan di dalam negeri terlebih dahulu. Keadaan dalam negeri yang baik, kemudian didukung oleh strategi public relations yang baik pula, pasti akan berimbas pada penerimaan informasi yang memadahi.  Jika informasi itu memadahi, maka publik dimanapun akan memiliki opini yang positif. Tetapi jika publik tidak memiliki informasi yang cukup, mereka cenderung berpikir secara salah, dan emosional (Cutlip & Center, 2000: 236).
Kenapa public relations dengan media dan masyarakat di dalam negeri menjadi amat penting? Karena hampir sebagian besar isu kontroversi itu di mulai atau berkait dengan kebijakan pemerintah di dalam negeri. Publik di luar negeri mengetahui berbagai hal itu lebih banyak berasal dari agen-agen informasi modern, baik itu media massa, kantor berita, cyber media dan jejaring sosial di internet. Diplomat sebagai “an honest man sent abroad to lie for his country” seperti yang dikemukakan Sir Henry Wotton pada abad XVII sudah tidak tepat lagi. Kawat-kawat diplomatik yang berisi kebohongan maupun tekanan-tekanan pada negara lain, sudah saatnya dievaluasi. Globalisasi dan perkembangan teknologi serta semangat transparansi telah merubah cara pandang penyebaran informasi di luar negeri. Apakah publik akan percaya dengan perkataan seorang diplomat, ataupun pejabat pemerintah sementara media dan para hacktivist seperti WikiLeaks menyiarkan informasi yang amat kontras dengan perkataan penyataan para diplomat.
Sekarang ini politik di luar negeri, maupun penyebaran informasi internasional mengenai suatu negara merupakan perpanjangan dari kondisi dan penyebaran informasi di dalam negeri. Sehebat apapun diplomat dan juru warta di luar negeri, kalau kondisi dalam negeri dan sistem informasinya tidak memadahi, niscaya penyebaran informasi di luar negeripun akan banyak yang mengalami distrorsi. Karena itu pembenahan dan pembangunamn sistem di dalam negeri mutlak harus dilakukan terlebih dahulu, baru kemudian penataan sistem luar negeri secara terintegratif.
Jika keadaan riil semakin membaik, dan pelayanan informasi di dalam negeri juga berjalan baik, maka opini publik tentang pemerintah dan negaranya pun cenderung favourable pula. Opini Publik, yang pada dasarnya kumpulan dari the pictures in people’s heads senantiasa dipengaruhi oleh realitas simbolik, dan realitas obyektif sosial. Realitas simbolik adalah gambaran tentang realitas yang ada di dunia simbol, di dunia wacana, di dalam isi media massa, dan perbincangan orang (Berger, 1979 : 13). Realitas simbolik inilah yang merupakan hasil pengkonstruksian realitas yang dilakukan para pelaku sosial yang harus diperhatikan oleh petugas public relations. Namun opini publik juga diwarnai oleh orientasi langsung mereka pada apa yang benar-benar terjadi, yang mereka lihat dan mereka rasakan, atau dalam istilah Peter Berger disebut realitas obyektif sosial (Berger, 1979 : 13). Orang senantiasa mempersepsi sesuatu dari apa yang dia lihat dan rasakan, tapi juga dari apa yang mereka beroleh dari dari dunia simbol melalui proses komunikasi. Karena komunikasi menjadi begitu penting pengaruhnya terhadap opini publik.
Jika opini publik di dalam negeri fovourable, maka ini akan berdampak pula pada opini publik internasional.  Mengingat komunikasi internasional di era global ini telah memungkinkan munculnya komunikasi baru yang menembus batas yuridiksi suatu negara (borderless communication). Sebagaimana kita lihat, komunikasi internasional telah dipenuhi oleh bentuk komunikasi baru melalui penggunaan internet, e-mail, cyber media, VOIP, Blog, Skype, Face Book, You Tube, Tweeter dan lain-lain. Semua perkembangan itu telah membuka potensi informal contact, yang amat luas, warga dunia telah terinterkoneksi oleh kemajuan ICT, sehingga isu-isu yang dulunya bersifat nasional bisa mengglobal sebagai isu bersama digital networks dunia.
Lalu bagaimana jadinya jika persepsi dan opini kalangan warga negara tentang negaranya itu buruk, kemudian mereka sampaikan pada relasinya di berbagai negara, bukankah ini menjadi informal public relations yang negatif, yang kekuatannya bisa mengalahkan formal public relations yang dilakukan kantor-kantor resmi? Karena itu tidak-bisa tidak, kerja keras perbaikan berbagai hal di dalam negeri dan peningkatan pelayanan informasi di dalam negeri amatlah penting, sebelum ke langkah berikutnya untuk pelayanan informasi luar negeri.
Persoalannya, di dalam negeri sendiri publik acapkali tidak memiliki informasi yang cukup mengenai governmental affairs, akibatnya opini yang muncul miskin dari informasi yang benar, sehingga cenderung emosional atau bersifat negatif. Karena itu tugas terpenting humas pemerintah adalah memberikan informasi yang cukup sesuai kebutuhan publik. Pekerjaan humas bukan untuk memaksa publik memikirkan hal tertentu atau  what to think about seperti dalam propaganda. Tapi humas lebih menekankan kerjanya pada how to think about, bagaimana publik seharusnya berpikir, atau berkaitan dengan kualitas hasil pemikiran. Humas jangan sampai terkacaukan dengan propaganda yang membenarkan kebohongan. Sebab itu keterbukaan, kelengkapan dan kejujuran serta jiwa besar untuk mengakui kesalahan dan bersedia melakukan perbaikan ke dalam amat penting untuk public relations dalam manajemen pemerintahan. Sebagaimana dikemukakan oleh Courtland L. Bovee dan John V. Thill “ Do tell the whole strory, opently, completely, and honestly, if you are at foult opologize ( Bovee & Thill, 2005 : 14).
Seandainya prinsip utama yang merupakan dasar dari ajaran public relations sebagaimana diungkapkan Courtland Bovee itu dilaksanakan, maka tidak ada kekhawatiran terhadap kebocoran maupun penyadapan. Mereka tidak akan ada masalah dengan serangan WikiLeaks ataupun konsep transparansi ekstrim yang sekarang diteriakkan kalangan hacktivist. Persoalannya tuntutan teoritis supaya melakukan komunikasi secara  opently, completely, and honestly, ternyata dalam praktek justru hanya menjadi jargon hype of politics. AS yang telah memiliki pengalaman luas justru tidak melaksanakan prinsip-prinsip dasar keterbukaan itu. Walhasil kasus WikiLeaks menjadi “tamparan” akan kebohongan demokrasi Amerika Serikat dan sekutunya.  Jadi di sini jelas, bahwa menciptakan citra yang baik, dimulai dengan kerja keras melakukan perbaikan ke dalam dan melaksanakan prinsip-prinsip dasar demokrasi dan transparansi secara sungguh-sungguh.
Pemerintah Amerika Serikat yang modern dan dikenal demokratis, sebenarnya telah lama menerapkan manajemen goverment public relations. Mereka memiliki kantor Penerangan atau Press Officer, yang juga bertindak sebagai juru bicara (spokesperson) pemerintah. Tiap departemen atau kemetrian memiliki press officer yang berada di bawah kooordinasi Press officer Gedung Putih (Kepresidenan). Press officer ini memiliki akses langsung pada pejabat yang mereka wakili, memahami prinsip pejabat tersebut dan dapat langsung berhubungan tanpa melalui staf lain dalam keadaan apapun. Menurut Sullivan “ The spokesperson’s job requires balancing many relationships with government officials, with other top level government staff, with the press, and with the permanent bureaucracy” (Sullivan, 2002 : 13).
Keberadaan press officer ataupun spokesperson dalam konteks PR pemerintah amatlah penting. Mereka merupakan pejabat sekaligus kementrian yang bertanggung jawab mengumpulkan informasi secara lengkap tentang berbagai isu yang akan dibahas dan disampaikan pada publik. Mereka berfungsi melakukan koordinasi sehingga semua komponen pemerintahan memiliki informasi yang cukup, rasional, dan jujur, serta menghindari munculnnya pernyataan yang saling bertentangan (conflicting statements).
Koordinasi informasi ini merupakan tugas dan wewenang yang paling penting bagi kementrian informasi, tidak saja dengan departemen atau kemetrian lain, tapi sampai pada kantor gubernur dan perwakilan pemerintah di luar negeri (Sullivan, 2002 Hal: 12). Kordinasi ini menyangkut banyak hal, dari persoalan materi kebijakan pemerintah yang dibahas, penentuan siapa yang berwenang memberikan keterangan, apakah harus ada konsultasi terlebih dahulu dengan pejabat terkait, sampai bentuk penyampaian informasinya. “Tanpa kordinasi, semuanya tak akan berjalan lancar,” ujar Susan King, mantan Asisstant Secretary for Public Affairs for U.S. Departements of Labor and Housing and Urban Development. Menurutnya yang akan terjadi “setiap orang seolah merasa perlu untuk berbicara dengan mengatas namakan atasannya”.
Sistem ini sebenarnya sudah benar dan akan jalan dengan baik apabila semua yang dikordinasikan itu merupakan informasi yang faktual dan menerapkan prinsip kejujuran. Semua menjadi  berantakan ketika informasi yang mengalir ternyata mengandung banyak kebohongan dan bertentangan dengan apa yang dikesankan diluar Walhasil sistem yang melibatkan kordinasi banyak orang itupun justru menjadi titik lemah dari peluang munculnya pembocoran akrena adanya ketidak jujuran tersebut.  Kordinasi yang awalnya merupakan kunci untuk mengatur dan mengawasi isu-isu komunikasi penting yang muncul, sekaligus untuk sistem respon yang cepat justru menjadi peluang munculnya pembocoran informasi.  
Karena WikiLeaks kredibilitas pemerintah AS merosot, kredibilitas pemerintah dengan para diplomat maupun petugas informasinya sedang mengalami krisis kepercayaan. Maka tidak bisa tidak mereka harus kembali membangun kredibilitasnya. Syarat profesionalisme kembali menjadi sangat penting. Para diplomat dan juru bicara tidak hanya dituntut persyaratan klise seperti harus berstamina tinggi, punya rasa ingin tahu, ingin membantu, kuat ingatannya, sopan, tenang, mengerti psikologi, mampu memperhitungkan dan menangani sesuatu secara mendetail, tetapi mereka juga harus mampu mempelajari fakta secara cepat dan dapat menangani hal-hal tak terduga, termasuk bisa beraksi cepat. Dan yang tidak kalah penting adalah bersikap objektif dengan memiliki etika dan integritas tinggi (Hess, 1998). Itu lagi-lagi mereka harus membangun sistem yang lebih menjamin adanya kejujuran.
Kejujuran amat penting karena kredibiltas tidak akan ada jika para diplomat dan petugas informasi tidak dipercaya pers atau publik, hanya karena berseberangan dengan informasi yang muncul di masyarakat. Walau transparansi dan kejujuran ini kadang menjengkelkan, sulit, dan membuat frustrasi, petugas informasi pemerintah wajib membantu pers untuk mendapatkan berita yang benar. Itulah inti demokrasi” (Sullivan, 2002 : 15).
Menghadapi era Web 2.0, strategi komunikasi untuk GPR perlu beberapa modifikasi. Selain tetap memberikan pelayanan sebagaimana prinsip GPR secara umum ada beberapa hal yang perlu ditambahkan. Kecara konseptual, ada beberapa bentuk komunikasi yang bisa disediakan untuk pelayanan informasi untuk media dan publik. Bentuknya yang konvensional adalah yang berkait dengan strategi media relations, yaitu antara lain: Siaran pers (press release), pemberitahuan kepada media (media advisory), lembaran fakta atau latar belakang (fact sheet or backgrounder), gambar (visual), biografi, daftar pakar, media kit, daftar pertanyaan, pitch letter, siaran berita audio maupun visual, jalur telepon, konferensi pers, wawancara, rapat dengan redaksi, rapat off the record, artikel untuk opini, naskah pidato, tur untuk media, feature, pesan-pesan untuk internet, email, dan photo ops. Kesemuanya disediakan untuk membantu mempermudah kerja kalangan wartawan, atau media.
Untuk yang langsung kepada publik GPR perlu mengembangkan sistem layanan informasi ke dalam dan ke luar negeri. Disini diperlukan sebuah lembaga yang bertanggung jawab menangani isu-isu public relations yang berpengaruh terhadap kebijakan dan kepentingan negara serta hubungan diplomatik dengan negara lain. AS misalnya memiliki USIA (United States Information Agencies), Inggris memiliki GIS (Government Information Service). USIA menurut  Mantan Persiden AS Jimmy Carter berberan “Membangun dua jembatan saling pengertian antara warga negara Amerika Serikat dengan warga negara lain di seluruh dunia (Cutlip, Center, & Broom, 2000: 493). USIA bertanggung jawab untuk meluruskan informasi dan melakukan counter terhadap propaganda yang bertentangan dengan realitas. Jadi lembaga ini dituntut menyajikan gambaran yang menyeluruh dan apa adanya (a full and fair picture) tentang Amerika Serikat. Dengan demikian diharapkan bangsa lain dapat memahami motif dan tujuan kebijakan luar negeri AS.
Ada dua tujuan utama program layanan informasi yang diperlukan oleh pemerintah: (1) Meng-counter penyebaran propaganda yang dilakukan oleh lawan-lawan negara, sekaligus memelihara pengertian yang baik dengan negara sahabat agar mereka memahami kebijakan pemerintah. (2). Memberikan bantuan pengetahuan teknis kepada masyarakat yang membutuhkan (Cutlip, Center & Broom, 2000 : 494).
Untuk Indonesia, peran Government Public Relations ini bisa dilakukan oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika. Sementara spokespersonnya bisa diperankan oleh Menkominfo, dan juru bicara Kepresidenan, tapi dukungan operasional dan informasinya harus terintergrasi dari Kementrian komunikasi. Jadi, nantinya ada bagian operasional yang melayani informasi di luar negeri, dan ada pula yang berperan sebagai Humas Pemerintah di dalam negeri. Tentu saja semua konsep pemikiran tersebut perlu dikaji terlebih dahulu dengan kondisi riil di lapangan.
Hampir sebagian besar negara maju menempatkan “komunikasi” sebagai sebuah fenomena yang amat penting. Biasanya mereka memiliki lembaga yang bertanggung jawab terhadap komunikasi, agar komunikasi antara rakyat dan pemerintah bisa berjalan lancar, termasuk pula dengan publik di luar negeri. Lembaga atau Kementrian komunikasi bertanggung jawab menyeimbangkan dua kepentingan yang berbeda antara public’s right to know dengan how to make favourable image.

Analysis of Buzz dan Virirtual “Jupen”
Perkembangan teknologi komunikasi mengharuskan Government Public Relations juga merubah strategi dalam komunikasinya ke pada publik. GPR dituntut melakukan komunikasi terhadap publik tidak lagi sebatas pengertian media relations. Kemampuan GPR mengelola image lembaga atau pemerintah  dengan memanfaatkan orang ketiga (third party endoser) telah menjadi tuntutan yang tidak bisa dihindarkan. Alih-alih sekedar berkutat pada media, GPR dituntut untuk memahami dan menganalisis pola persebaran isu (buzz), yang pada akhirnya sampai ke pada khalayak luas atau publik.
            Hal ini tidak lain karena semakin marak dan perkembangnya penggunaan sosial media semacam Face book, Tweeter, dan bentuk smart phone dengan black berry dan lain-lain. Dengan perkembangan itu semua, munculnya opini publik dan arah dukungannya sekarang ini tidak semata-mata karena agenda media konvensional, namun juga dikarenakan isu-isu yang dibahas di jaringan social media. Seiring dengan itu klasterisasi khalayak dengan pola perilaku komunikasinya menjadi sesuatu yang penting untuk dianalisis. GPR pun harus mampu mengembangkan strategi komunikasi untuk komunitas-komunitas yang ada dalam social media. Dengan mengidentifikasi dan menganalisis orang-orang yang berkompeten (influencer), mereka bisa digunakan menjadi media untuk komunitas virtual tersebut. Berkait dengan berubahan komunikasi dan penggunaan media, seperti semakin banyaknya kalangan muda meninggalkan media cetak, menuntut GPR menerapkan strategi strategi baru yang mampu langsung  ke publik tanpa harus melalui media massa konvensional.  Disinilah pentingnya menggunakan anatomy of buzz,  yaitu dengan menganalisis peta pergerakkan isu atau bahan perbincangan, dari sebuah kelompok ke kelompok lain, maupun menganalisis siapa yang paling berpengaruh dalam kelompok perbincangan itu. GPR hendaknya mengidentifikasi karateristik orang-orang seperti apa yang memiliki pengaruh, siapa yang menjadi sumber informasinya (opinion leader), dan berapa banyak yang menjadi pengikut pendapatnya. (Wasesa, 2010: 2)
            Analisis terhadap komunikasi yang dilakukan di social media merupakan tuntutan perkembangan sejarah. Hal itu berkait dengan semakin banyaknya orang berkomunikasi secara virtual di dunia maya. Terlebih sebagian besar aktivis dan para wartawan, merupakan orang orang muda yang sebagian besar masuk dalam net generation, atau yuppie. Minimal kalaupun mereka sudah senior  termasuk kalangan yang “melek terhadap ICT, atau pengguna aktif social media. Dengan demikian memahami apa yang terjadi di dunia maya atau social media, bisa mengantisipasi pula apa yang akan menjadi kecenderungan opini publik di media massa konvensional. Diskusi-diskusi di social media yang realtime, cenderung akan muncul atau mempengaruhi diskusi yang muncul dalam agenda setting media konvensional. Hampir dipastikan orang-orang yang muncul atau memberi statemen di media, juga merupakan orang-oranmg yang aktif di internet. Informasi yang dia peroleh di internert akan menjadi dasar pernyataan mereka di media massa konvensional. Hal itu terlihat dari fenomena WikiLeaks di tataran global, atau kasus Prita Mulyasari di Indonesia. Hampir dipastikan apa yang dibahas di media massa akan muncul di diskusi di social media, begitu pula sebaliknya. Inilah agenda dynamics antara social media dan media konvensional yang saling pengaruh mempengaruhi.
            GPR harus mengantisipasi perkembangan semacam ini. Salah satu strategi yang layak dilakukan setelah melakukan Analysis of Buzz, adalah melakukan tindakan-tindakan komunikasi yang sesuai dengan hasil anatomi tersebut. Selain memanfaatkan infuencer atau opinion leader yang sudah ada untuk digunakan sebagai media, GPR bisa pula mengembangkan strategi menciptakan influencer baru. Yaitu melakukan upaya mempengaruhi perbincangan di social media dengan memasukkan infiltran pada diskusi-diskusi yang opininya cenderung negatif. Setelah menganatomi aliran perbincangan, GPR bisa melaukan intervensi dengan memasukkan staf atau pasukannya yang sudah dibekali informasi yang memadahi, untuk ikut membahas isu-isu yang kontroversial. Staf GPR ini diibaratkan seperti Juru Penerang  (Jupen) di Departemen Penerangan pada masa Orde Baru lalu, bedanya Jupen GPR tidak harus tersebar di pelosok-pelosok melainkan tersebar di komunitas-komunitas virtual yang ada di ranah social media.
            Tugas Jupen virtual adalah memberikan informasi pada diskusi diskusi yang membahas governmental affairs. Mereka di bawah kordinasi kelengkapan GPR yaitu News room yang melakukan pemantauan dan analysis of buzz tadi. Hasilnya setelah dilengkapi dengan informasi yang lengkap digunakan untuk kordinasi dengan para jupen virtual untuk masuk dalam diskusi di komunitas komunitas maya. Tugas mereka adalah memberikan informasi yang dasarnya fakta-fakta. Melalui pengkayaan informasi yang berdasar fakta tersebut, diyakini opini publik yang terbentukpun akan lebih objektif dan rasional. Biasanya opini publik itu cenderung negatif, terutama jika hanya berdasarkan pada prasangka sosial (social prejudice), atau dengan dasar informasi yang lemah. Disinilah GPR memiliki tugas memperkaya informasi yang dimiliki oleh para aktivis dan wartawan melalui aktivitas para juru penerang virtual.

Penutup
Perkembangan teknologi komunikasi senantiasa memiliki dampak terhadap kehidupan sosial. Perubahan itu mencakup life style, pola komunikasi hingga semakin kuatnya tuntutan demokrasi hingga bentuk bentuk transparansi yang ekstrim.  Orang boleh saja tidak setuju terhadap hal itu, namun itulah keniscayaan sejarah. Sebagaimana perkembangan ICT, tuntutan demokrasi dan transparansipun juga merupakan keniscayaann sejarah. Karenanya transformasi inipun harus dihadapi secara cerdas oleh komunikasi pemerintah yang dilakukan melalui GPR. Komunikasi yang jujur, informasi yang transparan serta strategi yang tepat untuk penyebaran informasi harus dilakukan sesuai tuntutan era Web 2.0.  Perubahan pola komunikasi, menyebabkan opini publik tidak lagi ditentukan oleh media konvensional, aliran informasi atau isu-isu, dan diskusi di komunitas komunitas sosial media ikut menentukan arah opini publik. Karena itu strategi government public relations dituntut untuk berubah. Mereka harus mampu menganalisis pergerakan isu (Anatomy of Buzz), dan mengidentifikasi orang-orang yang berpengaruh dalam komunitas komunitas tersebut. Selanjutnya negara memerlukan “Juru Penerang virtual”, untuk memberikan atau menyeimbangkan informasi berdasar fakta-fakta terhadap diskusi-diskusi mengenai persoalan pemerintahan di komunitas sosial media. Informasi dan peran juru penerang  ini penting untuk meniadakan lack of information mengenai persoalan pemerintahan yang sering terjadi dalam komunitas-komunitas virtual. Berangkat dari sanalah opini publik diharapkan akan menjadi semakin rasional, karena sebagian besar aktivis dan penentu opini publik (the significant number of people) juga merupakan orang-orang yang aktif dan banyak mengakses informasi secara online.

Daftar Pustaka
Agung Wasesa, Silih.,  dan  Macnamara, Jim,  2010., Strategi Public Relations,
              Gramedia.

Berger, Peter and Luckman, Thomas, 1979, The Social Contructions of Reality, Pinguin
             Press, New York.

Bovee, L Courtland, and Thill, John, 2005, Business Communication Today,  Sage
              Publication  New York.
                                                                                            
Cutlip, M Scott., Center, H Allen., and Broom, M Glen, 2000, Efective Public Relations,
              8th edition, Prentice Hall, New Jersey

Friedman, Thomas,  2005, The World is Flat., A Brief Hystory of The Twenty First
              Century, Publised by Farar, Straus and Giroux

Louw, Eric.,  2005., The Media and Political Process,  Sage Publication New York

Heath,L, Hand Book of Public Relations, 2001, Prentice Hall,  New Jersey.

George Ritzer, & Douglas Goodman,  2005., Teori Sosiologi Modern, Kencana, Jakarta.

Hess, Stepen, 1998., The Government Press Connection, The Free Press, Paper Back
                New York.

Keliat Makmur, 1997, Negara dan Globalisasi, dalam Basis Susilo Masyarakat dan
                Negara, Airlangga University Press, Surabaya.

Pavlik, John & Shawn McIntosh, 2004, Converging Media: An Introduction to Mass
                Communication, USA Person.
Sullivan, H. Marguerite, 2002., A Responsible Press Office, An Insider’s Guide,  United
                   States Public Affairs.
              
Wilson Bryan Key, 1997, The Age of Manipulation, The Coin in Confidence The Sin in
                   sincere, Madison Book, Boston.
Sumber Non Buku


Harian Kompas, 12 Desember  2010


Harian Kompas, 10 Desember  2010


www.http//WikiLeaks.org diakses 13 Desember 2010

                Juni  2010

John Millne’s Maode Blog, The Digital Divide and Web 2.0, 1 August 2008, diakses 13
                 Desember 2010



Alumnus Program Doktor Ilmu Sosial Universitas Airlangga (2009),   Alumnus Bea Siswa  British Chevening Award, untuk Studi di Public Administration International, London UK (2000). Alumnus Pasca Sarjana Komunikasi UI (1995), Alumnus Jurusan Komunikasi FISIPOL UGM (1987), dan Alumnus Fakultas Hukum UII (1987).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar