Senin, 09 April 2012

PERAN IDEAL MEDIA MASSA DALAM PILKADA

Oleh :  Dr. Henry Subiakto
Dosen Program Pascasarjana
 Studi Media dan Komunikasi Universitas Airlangga


Ada tiga fungsi utama media massa yang melekat dalam pekerjaan mereka, yaitu memberikan informasi, memberikan pendidikan, dan menghibur masyarakat. Melalui informasi media dapat membantu khalayaknya untuk membentuk pendapat tentang berbagai persoalan. Dengan menggunakan media massa masyarakat dapat meningkatkan ketrampilan, pengetahuan dan belajar tentang perkembangan penting dalam berbagai aspek kehidupan. Begitu pula dalam hal hiburan, banyak masyarakat memanfaatkan waktu luangnya untuk menggunakan media agar memperoleh hiburan yang menyenangkan. Dalam hal ini hiburan yang berbobot tinggi pada saat yang sama mempunyai sifat informatif dan mendidik.
Idealnya, media harus menyediakan berbagai informasi yang dibutuhkan masyarakat supaya mereka dapat membentuk pendapat dan membuat keputusan sendiri tentang berbagai aspek kehidupan, termasuk persoalan politik.
Fungsi mendidik melalui informasi inilah merupakan tugas utama media dalam sistem sosial di mana institusi itu berada. Semakin mampu media massa tersebut memperkuat dan mendukung khalayaknya sebagai warga negara yang berperan di dalam proses demokrasi (promoting active citizen), maka semakin baik media itu. Karena itu, kalangan jurnalis banyak yang tidak ragu-ragu merasa, secara ideal profesi mereka adalah memberikan informasi agar warga negara mampu memainkan peran demokratiknya secara signifikan.
Dalam pelaksanaan Pilkada beberapa tahun terakhir ini, media massa di Indonesia juga diharapkan memiliki peran cukup besar terhadap political empowerment terhadap warga negara di berbagai daerah. Pers diharapkan bukan hanya menyukseskan dengan, menyebarkan electorate information tentang bagaimana cara memberikan suara dalam pilkada. Tapi juga dituntut melalui pemberitaannya melakukan voters education, pendidikan pada pemilih. Mendidik masyarakat tentang relevansi pilkada pada kepentingan masyarakat. Serta mendiskusikan, apa dan bagaimana pentingnya pilkada langsung bagi masyarakat. Dengan demikian media massa juga mengajak publik untuk bersama-sama melakukan watching to the political process dalam pilkada tersebut.

Mengawasi Kemungkinan Penyimpangan
Dalam pelaksanaan pilkada, ada banyak sekali kemungkinan persoalan. Kekhawatiran dan ketidakpercayaan terhadap lembaga pelaksana, bisa memunculkan ketidakpuasan bahkan prasangka-prasangka yang ujung-ujungnya bisa memunculkan banyak masalah, yang puncaknya adalah penolakan terhadap hasil pilkada. Dan apabila  itu terjadi, keadaannya akan begitu rumit. Di sinilah peran media massa amat diperlukan, baik untuk mengawasi proses, maupun pendidikan politik pada semua pihak, dalam semua tahapan pilkada.
Hal lain yang juga penting diantisipasi untuk pilkada ini adalah masalah dana kampanye. Dengan aturan yang rumit di level nasional saja, sebagaimana pada pemilu lalu, pelaksanaannya banyak penyimpangan, apalagi kalau aturannya longgar.  Yang dikeluhkan menyangkut persoalan dana ini, adalah tidak adanya sanksi yang tegas, terhadap pelanggarnya. Sebagai misal kalau ada temuan laporan penyumbang fiktif,  yang ternyata memang melanggar aturan, beranikah KPUD melakukan diskualifikasi pada pasangan calon yang terbukti memiliki penyumbang fiktif setelah dilakukan audit dari akuntan publik?
Sebuah pertanyaan yang sejak pemilu presiden 2004 dan 2009 lalu banyak dilontarkan media massa dan aktivis.  Selama ini penyimpangan dana kampanye lebih banyak dihindari untuk tidak ditangani, daripada resiko munculnya krisis ataupun konflik besar. Inilah yang harus diantisipasi pada pelaksanaan pilkada ke depan.
            Pada hari pelaksanaan dan paska pemungutan suara-pun merupakan masa yang rawan. Dengan jumlah pemilih yang tidak terlampau  besar, sehingga perolehan suara yang menang dengan yang kalah bisa hanya terkait selisih yang tidak terlampau besar. Jadinya suara sekecil apapun bisa punya makna amat menentukan terhadap menang kalahnya suatu pasangan calon. Karena itu kecurangan sekecil apapun bisa berpengaruh besar terhadap hasil akhir. 
Kita tahu bahwa Indonesia telah berhasil secara struktural melaksanakan demokrasi, setelah pemilu 2004 berjalan lancar dan aman. Tetapi sebenarnya bangsa ini belum sepenuhnya berhasil berdemokrasi  secara kultural. Secara formal, apa yang tampak  sudah diakui banyak negara asing, dan pemantau internasional. Tetapi secara  material demokrasi kita masih banyak kelemahan di sana-sini. Mudahnya muncul konflik kekerasan dan amuk massa,  masih merupakan momok yang sering dikhawatirkan. Juga kultur sulitnya elite politik menerima kekalahan. Dalam pilkada nanti, peran media perlu digalakkan untuk lebih mendesiminasikan kultur demokrasi di seluruh lapisan masyarakat. Baik elite maupun masyarakat biasa.
Pada tahapan kampanye pilkada, salah satu hal klasik yang diperkirakan akan muncul adalah persoalan politik uang. Yaitu fenomena kampanye dengan membagi-bagi uang untuk membeli dukungan. Politik uang juga dikhawatirkan akan muncul pada saat tahapan pemungutan suara, yang umumnya dilakukan melalui gerilya, atau “operasi subuh” dan sebagainya.
“Operasi subuh”  ini pada tahapan pemungutan suara lebih terbuka untuk dilakukan, karena pilkada langsung memungkinkan pasangan calon atau partai yang mengusung, memiliki peta kekuatan suara. Selanjutnya dapat menghitung-hitung suara  yang mungkin diperoleh sehingga dapat memaksimalkan upaya mempengaruhi pemilih dengan menebar uang atau bentuk politik uang lainnya.
 Politik uang memang diperkirakan akan subur terjadi pada pemilihan kepala daerah langsung, karena pada pemilihan itu kepentingan para pemilih dan daerah lebih berkait secara langsung dibanding pemilu nasional lalu.  Dengan demikian “harga” suara yang ditawarkan kepada pemilih menjadi lebih tinggi, sehingga makin menumbuh suburkan praktik politik uang nantinya.  Sekali lagi tugas media di sini amat berat, yaitu bukan hanya untuk melaporkan penyimpangan yang terjadi, tapi yang lebih baik adalah menekan supaya penyimpangan atau politik uang tidak terjadi.
            Repotnya, berkaca pada pengalaman pemilu 2004 dan 2009, masalah politik uang ini, pembuktiannya relatif sulit sehingga kasusnya sulit berlanjut. Bahkan seandainya bukti terkumpul, dan media juga sudah memberitakannya, ternyata para saksinya tidak bersedia dilibatkan dalam kasus di pengadilan. Sudah begitu, sanksinya ringan. Jadinya pelanggaran semacam ini dibiarkan begitu saja tanpa proses berarti. Akhirnya kita berdemokrasi dengan banyak toleransi terhadap pelanggaran di sana sini.
            Mungkin dalam pemilu, masalah pelanggaran semacam itu tidak menjadi harga mati yang dituntut warga, namun dalam pilkada hal semacam itu amat rawan mengundang persoalan konflik.             Untuk itu  media harus paham betul terhadap persoalan ini. Media bersama aktivis demokrasi  harus bersama-sama berjuang mengurangi terjadinya krisis maupun konflik horizontal selama pilkada. Kuncinya mendesakkan supaya semua aturan bisa ditegakkan dan dilaksanakan secara transparan. Untuk itu perlu adanya upaya pencegahan agar tidak terjadi kondisi yang buruk pada pilkada nanti. Upaya pencegahan dan kesiapan juga berlaku bahkan amat penting bagi wartawan dan media massa. Semua ini, membutuhkan sikap media yang netral, dan obyektif, agar kredibilitas media terjaga sehingga bisa berperan.

Ironi Kondisi Ideal Versus Kenyataan
Berikut ini beberapa poin yang harus diperhatikan dan dipersiapkan kalangan media untuk melakukan civic education sekaligus watching to the political process selama Pilkada: 

1.      Idealnya wartawan mempelajari seluruh ketentuan pilkada. Agar media bisa ikut melakukan pendidikan politik dan pengawasan. Ironinya hingga sekarang masih banyak wartawan dan media yang tidak paham ketentuan dan aturan pilkada, atau bahkan tidak menghiraukan aturan-aturan tersebut. Jadinya bukannya melakukan pendidikan politik dan mengontrol jalannya proses pilkada, tetapi malah ikut menciptakan keruwetan dan kebingungan.

2.      Idealnya media mempelajari cara-cara penyimpangan  yang mungkin terjadi selama masa kampanye, saat pencoblosan maupun perhitungan suara, sehingga media siap  mengawasinya. Misalnya, penyimpangan yang bersifat umum, seperti pembelian suara, operasi subuh, intimidasi pada pemilih, lokasi dan letak TPS yang rawan kecurangan, juga masalah pendaftaran calon pemilih dan lain-lain. Ironinya hal seperti ini walau sederhana menjadi sulit ketika di lapangan  banyak wartawan dan media justru menjadi pemain. Tak sedikit wartawan atau medianya menjadi bagian dari tim sukses kandidat calon tertentu. Sehingga pelanggaran, misalnya black campaign by design malah melibatkan media massa. Kalau ada pelanggaran, media sebenarnya tahu tetapi enggan karena menyangkut kelompok kepentingan politiknya.

3.      Idealnya media senantiasa menjaga kredibilitas liputannya, dengan berpedoman pada indepedensi, akurasi dan fairness. Harus berpikir bahwa khalayak memiliki daya ingat yang panjang sejauh menyangkut kesalahan fakta informasi dan pemihakan. Jika masyarakat tahu akan kesalahan dan pemihakan media, orang akan mengingat hal itu selama bertahun-tahun. Jika kesalahan itu dilakukan berkali-kali, khalayak akan mempertanyakan setiap informasi yang disuguhkan, meskipun informasi itu sudah akurat dan benar. Ironinya prinsip mulia ini di lapangan banyak yang diabaikan, karena di antara para pelaku media ternyata banyak yang hanya mengejar “berkah” pilkada, tanpa memperhitungkan apa yang namanya kredibilitas, obyektivitas, apalagi untuk bersikap netral.

4.      Media hendaknya membuat aturan internal untuk menjaga kredibilitas pribadi wartawan. Misalnya mengharuskan wartawan untuk non partisan. Apalagi menjadi tim sukses harus dihindarkan. Karena sebenarnya masyarakat akan mengukur tingkat kepercayaannya pada berita dipengaruhi oleh aktivitas keseharian para wartawan dalam berpolitik. Ironinya, yang sudah melakukan seperti ini baru satu dua media. Sebagian besar pemilik media, pemred, atau redakturnya, secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi malah menjadi tim sukses, atau anggota partai politik. Jadinya bukannya non partisan, tapi malah berlomba mendekati para kandidat agar ”dirangkul“ menjadi bagian dari mereka.

5.      Media idealnya menyusun standard atau pedoman dalam melakukan liputan politik untuk semua tahapan pilkada.  Misalnya membuat pedoman ketika ada beberapa aktivitas calon Kepala Daerah berkampanye dalam waktu yang bersamaan. Bagaimana meliputnya? Bagaimana mendeskripsikan jumlah peserta kampanye massal yang sedang melakukan reli politik? Bagaimana membagi space untuk berita-berita yang berbarengan tadi, juga untuk opini dan analisis? Hingga aturan atau mekanisme pemasangan iklan kampanye bagi para calon kepala daerah.  Intinya prinsip memberikan kesempatan yang sama terhadap semua peserta pilkada, baik  dalam berita maupun iklan dapat dioperasionalkan melalui pembuatan standard jauh-jauh hari. Ironinya, ini semua hanya dianggap teori. Banyak media maupun wartawan tidak risi ketika mereka menyajikan berita ataupun iklan dalam bentuk berita, atau feature yang nyata-nyata hanya menguntungkan kandidat tertentu.

6.      Media massa idealnya berperan menjadi megaphone untuk publik. Yaitu memfasilitasi suara masyarakat agar lebih terdengar, terutama kelompok yang termarginalisasi. Baik berkaitan dengan aspirasi yang ingin disampaikan, maupun pertanyaan yang ada pada mereka.  Untuk itu media hendaknya melakukan interview ke masyarakat terutama kelompok marginal tersebut, atau bisa juga dengan melakukan Focus Group Discussion (FGD). Ironinya dalam kenyataan, media lebih banyak sebagai megaphone for political elite. Menyuarakan kepentingan tokoh atau elite yang menguntungkan mereka. Jadinya alih-alih FGD dan memfasilitasi suara rakyat, yang sering terjadi justru membingkai kepentingan politik elite seakan atas nama masyarakat. Contohnya munculnya banyak polling pesanan di media massa. Atau wawancara ke masyarakat, tapi yang dimunculkan hanya yang menguntungkan calon yang didukung.

7.      Media idealnya selalu memberikan kesempatan yang sama pada semua peserta pilkada atau calon kepala daerah, baik yang berasal dari partai besar maupun partai kecil, baik yang incumbent ataupun yang belum terkenal. Keadilan harus menjadi prinsip utama bagi wartawan yang baik (etis). Sangatlah tidak profesional jika berasumsi bahwa hanyalah politisi terkenal, atau yang kaya, dan hanya dari partai politik besar yang layak untuk menjadi kepala daerah. Karena itu peran medialah yang menentukan bagaimana publik menjadi well informed, sehingga bisa menentukan pilihannya secara lebih rasional. Tuntutan ideal ini masih banyak kendala. Ironinya, yang sering muncul, justru sebaliknya. Media tidak memberlakukan secara sama terhadap semua kandidat. Kalau diberitakan bersama-sama, kandidat yang dia dukung diberitakan dalam perspektif yang menguntungkan, sementara yang lain justru dibingkai dalam berita yang bisa kontra produktif atau merugikan. Mengapa demikian media bukan lagi sebagai sarana yang netral, melainkan sudah menjadi agen politik, atau bagian dari perjuangan kekuatan politik tertentu.

8.      Media harus concern tarhadap pendidikan politik. Misalnya mendeskripsikan bagaimana proses pemberian suara secara benar, tunjukkan contoh surat suara, tunjukkan contoh cara perhitungan hingga mekanisme penetapan pemenang pilkada. Selain itu media hendaknya memberi banyak informasi tentang pentingnya keikut sertaan masyarakat dalam pilkada langsung tersebut. Juga kemukakan isu-isu utama yang dijanjikan oleh para kandidat kepala daerah dalam kampanye mereka. Hal-hal tersebut disampaikan secara berulang, supaya publik  lebih gamblang menilai masing-masing calon. Untuk yang satu ini,  banyak yang sudah dilakukan media, namun dalam koridor kepentingan media juga.

9.      Media massa sebaiknya berusaha memperdalam materi kampanye dan janji janji calon kepala daerah. Dengan interview mendalam, agar bisa digali bagaimana solusi (atau visi misi) yang ditawarkan untuk menyelesaikan persoalan di daerah masing-masing. Juga bisa ditanyakan fokus prioritas program yang ditawarkan, kemudiaan menyampaikan pada pemilih tentang bagaimana janji para peserta pilkada ini untuk dicatat sebagai kontrak politik mereka. Materi ini hendaknya disimpan sebagai bahan database journalism untuk waktu mendatang. Ironinya, hal yang amat ideal di lapangan sulit dilakukan, tak lain karena teman-teman  media banyak yang sejak awal, telah memposisikan dirinya sebagai bagian dari tim sukses.

10.  Media hendaknya hingga pasca pilkada konsisten mempertahankan sikap obyektif dan netral. Agar menjadi sumber informasi yang dipercaya oleh semua kelompok masyarakat. Diusahakan dalam setiap pemberitaan,  satu berita berasal dari banyak sumber, bukan satu sumber untuk banyak berita. Kemudian media harus menghindari sumber berita yang tidak mau disebutkan namanya, atau mereka yang sudah tidak kredibel, karena pernah terbukti berbohong, tapi menyampaikan pesan yang rawan, menyerang pihak lain. Wartawan profesional tidak akan hanya memilih pihak-pihak yang mereka sukai, ataupun menulis berita dengan tujuan balas dendam. Ironinya karena sejak awal beberapa media sudah berpihak, walhasil prinsip ini banyak yang tidak dijalankan.

11.  Untuk menjaga akurasi berita, kecepatan bukan merupakan ukuran utama. Tidak ada gunanya memperoleh berita dengan cepat tapi tidak benar. Walau media harus bersaing dengan yang lain, hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar lebih penting dari pada sekedar mengejar kecepatan berita. Maka wartawan harus mengecek fakta yang akan diberitakan. Harus mendasarkan informasi dari orang yang  kompeten. Jika ada dua pihak yang harus dipertimbangkan, kedua belah pihak harus diberi kesempatan. Wartawan hendaknya tidak malas memeriksa ejaan, pengucapan nama,  jabatan, lokasi, ucapan kutipan, istilah-istilah yang dipakai. Kalau ada kesalahan segera dikoreksi. Ironinya  prinsip akurasi dan ketelitian ini justru merupakan unsur utama yang banyak menjadi kendala atau kelemahan wartawan dan media massa kita. Karena sudah terbiasa tidak akurat, akibatnya kesalahan fatal semacam itu sudah dianggap biasa. Kritikan dan koreksi hanya dianggap sebagai bagian dari rasa tidak suka belaka.


12.  Jika dalam pilkada ada konflik di antara kekuatan politik, maka wartawan harus belajar dan memahami konflik yang akan diliput. Khalayak bisa bingung untuk memahami laporan wartawan, jika yang meliput sendiri tidak paham atau tidak menguasai konflik yang sedang terjadi. Dalam meliput konflik, media harus tetap seimbang dari kedua sudut yang berkonflik. Wartawan dan media bukanlah penengah konflik, tapi laporan yang seimbang dan tidak memihak dapat menjembatani pihak-pihak yang terpecah. Tapi pada prakteknya, di sini amat sulit karena sering media sudah pada posisi menjadi bagian dari konflik itu sendiri, atau mengambil keuntungan dari konflik yang muncul.

13.  Media massa hendaknya memiliki perencanaan, atau kesiapan internal jika terjadi krisis. Misalnya ada kekerasan terhadap wartawannya, atau serbuan ke kantor medianya. Perencanaan ini dilengkapi dengan mekanisme yang harus dilakukan, termasuk tim yang bertanggung jawab, dan diuji melalui diskusi dan simulasi. Wartawan dan personal lain telah disiapkan dan dilatih menghadapi semua persoalan krisis ini. Bahkan kalau perlu personal media diasuransikan, sehingga memunculkan rasa lebih aman, atau ada jaminan  bagi mereka selama melakukan peliputan. Ironinya hal sederhana ini masih banyak yang tidak melakukan, bahkan untuk memikirkan saja enggan. Jadi di negeri ini terkadang orang justru ditertawakan tatkala berpikir ideal. Dianggap utopia, berkhayal, tidak membumi, tidak realistis. Karena Sebagian besar orang sudah enggan berpikir panjang, apalagi melalui proses yang lama. Kecenderungan kita lebih banyak hanya berpikir keuntungan jangka pendek dan instan, walau sebenarnya itu semakin memperjauh kita dari terbentuknya sistem media massa yang terpercaya. Wassalam.
  





Tidak ada komentar:

Posting Komentar