Oleh
: Dr. Henry Subiakto
Dosen Program Pascasarjana
Studi Media dan Komunikasi Universitas
Airlangga
Ada tiga fungsi utama media massa yang melekat
dalam pekerjaan mereka, yaitu memberikan informasi, memberikan pendidikan, dan
menghibur masyarakat. Melalui informasi media dapat membantu khalayaknya untuk
membentuk pendapat tentang berbagai persoalan. Dengan menggunakan media massa
masyarakat dapat meningkatkan ketrampilan, pengetahuan dan belajar tentang
perkembangan penting dalam berbagai aspek kehidupan. Begitu pula dalam hal
hiburan, banyak masyarakat memanfaatkan waktu luangnya untuk menggunakan media
agar memperoleh hiburan yang menyenangkan. Dalam hal ini hiburan yang berbobot
tinggi pada saat yang sama mempunyai sifat informatif dan mendidik.
Idealnya, media harus menyediakan berbagai
informasi yang dibutuhkan masyarakat supaya mereka dapat membentuk pendapat dan
membuat keputusan sendiri tentang berbagai aspek kehidupan, termasuk persoalan
politik.
Fungsi mendidik melalui informasi inilah merupakan
tugas utama media dalam sistem sosial di mana institusi itu berada. Semakin
mampu media massa tersebut memperkuat dan mendukung khalayaknya sebagai warga
negara yang berperan di dalam proses demokrasi (promoting active citizen), maka semakin baik media itu. Karena itu,
kalangan jurnalis banyak yang tidak ragu-ragu merasa, secara ideal profesi
mereka adalah memberikan informasi agar warga negara mampu memainkan peran
demokratiknya secara signifikan.
Dalam pelaksanaan Pilkada beberapa tahun terakhir ini,
media massa di Indonesia juga diharapkan memiliki peran cukup besar terhadap political empowerment terhadap warga
negara di berbagai daerah. Pers diharapkan bukan hanya menyukseskan dengan,
menyebarkan electorate information
tentang bagaimana cara memberikan suara dalam pilkada. Tapi juga dituntut
melalui pemberitaannya melakukan voters
education, pendidikan pada pemilih. Mendidik masyarakat tentang relevansi
pilkada pada kepentingan masyarakat. Serta mendiskusikan, apa dan bagaimana
pentingnya pilkada langsung bagi masyarakat. Dengan demikian media massa juga
mengajak publik untuk bersama-sama melakukan watching to the political process dalam pilkada tersebut.
Mengawasi
Kemungkinan Penyimpangan
Dalam pelaksanaan pilkada, ada banyak sekali
kemungkinan persoalan. Kekhawatiran dan ketidakpercayaan terhadap lembaga pelaksana,
bisa memunculkan ketidakpuasan bahkan prasangka-prasangka yang ujung-ujungnya
bisa memunculkan banyak masalah, yang puncaknya adalah penolakan terhadap hasil
pilkada. Dan apabila itu terjadi,
keadaannya akan begitu rumit. Di sinilah peran media massa amat diperlukan,
baik untuk mengawasi proses, maupun pendidikan politik pada semua pihak, dalam
semua tahapan pilkada.
Hal lain yang juga penting diantisipasi untuk
pilkada ini adalah masalah dana kampanye. Dengan aturan yang rumit di level
nasional saja, sebagaimana pada pemilu lalu, pelaksanaannya banyak
penyimpangan, apalagi kalau aturannya longgar.
Yang dikeluhkan menyangkut persoalan dana ini, adalah tidak adanya
sanksi yang tegas, terhadap pelanggarnya. Sebagai misal kalau ada temuan laporan
penyumbang fiktif, yang ternyata memang
melanggar aturan, beranikah KPUD melakukan diskualifikasi pada pasangan calon
yang terbukti memiliki penyumbang fiktif setelah dilakukan audit dari akuntan
publik?
Sebuah pertanyaan yang sejak pemilu presiden 2004
dan 2009 lalu banyak dilontarkan media massa dan aktivis. Selama ini penyimpangan dana kampanye lebih
banyak dihindari untuk tidak ditangani, daripada resiko munculnya krisis
ataupun konflik besar. Inilah yang harus diantisipasi pada pelaksanaan pilkada
ke depan.
Pada hari pelaksanaan dan
paska pemungutan suara-pun merupakan masa yang rawan. Dengan jumlah pemilih
yang tidak terlampau besar, sehingga
perolehan suara yang menang dengan yang kalah bisa hanya terkait selisih yang
tidak terlampau besar. Jadinya suara sekecil apapun bisa punya makna amat
menentukan terhadap menang kalahnya suatu pasangan calon. Karena itu kecurangan
sekecil apapun bisa berpengaruh besar terhadap hasil akhir.
Kita tahu bahwa Indonesia telah berhasil secara struktural
melaksanakan demokrasi, setelah pemilu 2004 berjalan lancar dan aman. Tetapi
sebenarnya bangsa ini belum sepenuhnya berhasil berdemokrasi secara kultural. Secara formal, apa yang
tampak sudah diakui banyak negara asing,
dan pemantau internasional. Tetapi secara
material demokrasi kita masih banyak kelemahan di sana-sini. Mudahnya
muncul konflik kekerasan dan amuk massa,
masih merupakan momok yang sering dikhawatirkan. Juga kultur sulitnya
elite politik menerima kekalahan. Dalam pilkada nanti, peran media perlu
digalakkan untuk lebih mendesiminasikan kultur demokrasi di seluruh lapisan
masyarakat. Baik elite maupun masyarakat biasa.
Pada tahapan kampanye pilkada, salah satu hal
klasik yang diperkirakan akan muncul adalah persoalan politik uang. Yaitu fenomena
kampanye dengan membagi-bagi uang untuk membeli dukungan. Politik uang juga dikhawatirkan
akan muncul pada saat tahapan pemungutan suara, yang umumnya dilakukan melalui
gerilya, atau “operasi subuh” dan sebagainya.
“Operasi subuh”
ini pada tahapan pemungutan suara lebih terbuka untuk dilakukan, karena
pilkada langsung memungkinkan pasangan calon atau partai yang mengusung,
memiliki peta kekuatan suara. Selanjutnya dapat menghitung-hitung suara yang mungkin diperoleh sehingga dapat
memaksimalkan upaya mempengaruhi pemilih dengan menebar uang atau bentuk
politik uang lainnya.
Politik
uang memang diperkirakan akan subur terjadi pada pemilihan kepala daerah
langsung, karena pada pemilihan itu kepentingan para pemilih dan daerah lebih
berkait secara langsung dibanding pemilu nasional lalu. Dengan demikian “harga” suara yang ditawarkan
kepada pemilih menjadi lebih tinggi, sehingga makin menumbuh suburkan praktik
politik uang nantinya. Sekali lagi tugas
media di sini amat berat, yaitu bukan hanya untuk melaporkan penyimpangan yang
terjadi, tapi yang lebih baik adalah menekan supaya penyimpangan atau politik
uang tidak terjadi.
Repotnya, berkaca pada
pengalaman pemilu 2004 dan 2009, masalah politik uang ini, pembuktiannya
relatif sulit sehingga kasusnya sulit berlanjut. Bahkan seandainya bukti
terkumpul, dan media juga sudah memberitakannya, ternyata para saksinya tidak
bersedia dilibatkan dalam kasus di pengadilan. Sudah begitu, sanksinya ringan.
Jadinya pelanggaran semacam ini dibiarkan begitu saja tanpa proses berarti.
Akhirnya kita berdemokrasi dengan banyak toleransi terhadap pelanggaran di sana
sini.
Mungkin dalam pemilu,
masalah pelanggaran semacam itu tidak menjadi harga mati yang dituntut warga,
namun dalam pilkada hal semacam itu amat rawan mengundang persoalan konflik. Untuk itu media harus paham betul terhadap persoalan
ini. Media bersama aktivis demokrasi
harus bersama-sama berjuang mengurangi terjadinya krisis maupun konflik
horizontal selama pilkada. Kuncinya mendesakkan supaya semua aturan bisa
ditegakkan dan dilaksanakan secara transparan. Untuk itu perlu adanya upaya
pencegahan agar tidak terjadi kondisi yang buruk pada pilkada nanti. Upaya
pencegahan dan kesiapan juga berlaku bahkan amat penting bagi wartawan dan
media massa. Semua ini, membutuhkan sikap media yang netral, dan obyektif, agar
kredibilitas media terjaga sehingga bisa berperan.
Ironi Kondisi Ideal
Versus Kenyataan
Berikut
ini beberapa poin yang harus diperhatikan dan dipersiapkan kalangan media untuk
melakukan civic education sekaligus watching to the political process selama
Pilkada:
1.
Idealnya wartawan mempelajari seluruh ketentuan pilkada.
Agar media bisa ikut melakukan pendidikan politik dan pengawasan. Ironinya hingga sekarang masih banyak
wartawan dan media yang tidak paham ketentuan dan aturan pilkada, atau bahkan
tidak menghiraukan aturan-aturan tersebut. Jadinya bukannya melakukan
pendidikan politik dan mengontrol jalannya proses pilkada, tetapi malah ikut
menciptakan keruwetan dan kebingungan.
2.
Idealnya media mempelajari cara-cara penyimpangan yang mungkin terjadi selama masa kampanye,
saat pencoblosan maupun perhitungan suara, sehingga media siap mengawasinya. Misalnya, penyimpangan yang
bersifat umum, seperti pembelian suara, operasi subuh, intimidasi pada pemilih,
lokasi dan letak TPS yang rawan kecurangan, juga masalah pendaftaran calon
pemilih dan lain-lain. Ironinya hal
seperti ini walau sederhana menjadi sulit ketika di lapangan banyak wartawan dan media justru menjadi
pemain. Tak sedikit wartawan atau medianya menjadi bagian dari tim sukses
kandidat calon tertentu. Sehingga pelanggaran, misalnya black campaign by design malah melibatkan media massa. Kalau ada
pelanggaran, media sebenarnya tahu tetapi enggan karena menyangkut kelompok
kepentingan politiknya.
3.
Idealnya media senantiasa menjaga kredibilitas
liputannya, dengan berpedoman pada indepedensi, akurasi dan fairness. Harus berpikir bahwa khalayak
memiliki daya ingat yang panjang sejauh menyangkut kesalahan fakta informasi
dan pemihakan. Jika masyarakat tahu akan kesalahan dan pemihakan media, orang
akan mengingat hal itu selama bertahun-tahun. Jika kesalahan itu dilakukan
berkali-kali, khalayak akan mempertanyakan setiap informasi yang disuguhkan,
meskipun informasi itu sudah akurat dan benar. Ironinya prinsip mulia ini di lapangan banyak yang diabaikan,
karena di antara para pelaku media ternyata banyak yang hanya mengejar “berkah”
pilkada, tanpa memperhitungkan apa yang namanya kredibilitas, obyektivitas,
apalagi untuk bersikap netral.
4.
Media hendaknya membuat aturan internal untuk menjaga
kredibilitas pribadi wartawan. Misalnya mengharuskan wartawan untuk non
partisan. Apalagi menjadi tim sukses harus dihindarkan. Karena sebenarnya
masyarakat akan mengukur tingkat kepercayaannya pada berita dipengaruhi oleh
aktivitas keseharian para wartawan dalam berpolitik. Ironinya, yang sudah melakukan seperti ini baru satu dua media.
Sebagian besar pemilik media, pemred, atau redakturnya, secara terang-terangan
atau sembunyi-sembunyi malah menjadi tim sukses, atau anggota partai politik. Jadinya
bukannya non partisan, tapi malah berlomba mendekati para kandidat agar
”dirangkul“ menjadi bagian dari mereka.
5.
Media idealnya menyusun standard atau pedoman dalam
melakukan liputan politik untuk semua tahapan pilkada. Misalnya membuat pedoman ketika ada beberapa
aktivitas calon Kepala Daerah berkampanye dalam waktu yang bersamaan. Bagaimana
meliputnya? Bagaimana mendeskripsikan jumlah peserta kampanye massal yang
sedang melakukan reli politik? Bagaimana membagi space
untuk berita-berita yang berbarengan tadi, juga untuk opini dan analisis?
Hingga aturan atau mekanisme pemasangan iklan kampanye bagi para calon kepala
daerah. Intinya prinsip memberikan
kesempatan yang sama terhadap semua peserta pilkada, baik dalam berita maupun iklan dapat
dioperasionalkan melalui pembuatan standard jauh-jauh hari. Ironinya, ini semua hanya dianggap
teori. Banyak media maupun wartawan tidak risi ketika mereka menyajikan berita
ataupun iklan dalam bentuk berita, atau feature
yang nyata-nyata hanya menguntungkan kandidat tertentu.
6.
Media massa idealnya berperan menjadi megaphone untuk publik. Yaitu
memfasilitasi suara masyarakat agar lebih terdengar, terutama kelompok yang
termarginalisasi. Baik berkaitan dengan aspirasi yang ingin disampaikan, maupun
pertanyaan yang ada pada mereka. Untuk
itu media hendaknya melakukan interview ke masyarakat terutama kelompok
marginal tersebut, atau bisa juga dengan melakukan Focus Group Discussion (FGD). Ironinya
dalam kenyataan, media lebih banyak sebagai megaphone for political elite. Menyuarakan kepentingan tokoh atau
elite yang menguntungkan mereka. Jadinya alih-alih FGD dan memfasilitasi suara
rakyat, yang sering terjadi justru membingkai kepentingan politik elite seakan
atas nama masyarakat. Contohnya munculnya banyak polling pesanan di media massa. Atau wawancara ke masyarakat, tapi
yang dimunculkan hanya yang menguntungkan calon yang didukung.
7.
Media idealnya selalu memberikan kesempatan yang sama pada
semua peserta pilkada atau calon kepala daerah, baik yang berasal dari partai
besar maupun partai kecil, baik yang incumbent
ataupun yang belum terkenal. Keadilan harus menjadi prinsip utama bagi
wartawan yang baik (etis). Sangatlah tidak profesional jika berasumsi bahwa
hanyalah politisi terkenal, atau yang kaya, dan hanya dari partai politik besar
yang layak untuk menjadi kepala daerah. Karena itu peran medialah yang
menentukan bagaimana publik menjadi well
informed, sehingga bisa menentukan pilihannya secara lebih rasional.
Tuntutan ideal ini masih banyak kendala. Ironinya,
yang sering muncul, justru sebaliknya. Media tidak memberlakukan secara sama
terhadap semua kandidat. Kalau diberitakan bersama-sama, kandidat yang dia
dukung diberitakan dalam perspektif yang menguntungkan, sementara yang lain
justru dibingkai dalam berita yang bisa kontra produktif atau merugikan.
Mengapa demikian media bukan lagi sebagai sarana yang netral, melainkan sudah
menjadi agen politik, atau bagian dari perjuangan kekuatan politik tertentu.
8.
Media harus concern
tarhadap pendidikan politik. Misalnya mendeskripsikan bagaimana proses
pemberian suara secara benar, tunjukkan contoh surat suara, tunjukkan contoh
cara perhitungan hingga mekanisme penetapan pemenang pilkada. Selain itu media
hendaknya memberi banyak informasi tentang pentingnya keikut sertaan masyarakat
dalam pilkada langsung tersebut. Juga kemukakan isu-isu utama yang dijanjikan
oleh para kandidat kepala daerah dalam kampanye mereka. Hal-hal tersebut
disampaikan secara berulang, supaya publik
lebih gamblang menilai masing-masing calon. Untuk yang satu ini, banyak yang sudah dilakukan media, namun
dalam koridor kepentingan media juga.
9.
Media massa sebaiknya berusaha memperdalam materi
kampanye dan janji janji calon kepala daerah. Dengan interview mendalam, agar
bisa digali bagaimana solusi (atau visi misi) yang ditawarkan untuk
menyelesaikan persoalan di daerah masing-masing. Juga bisa ditanyakan fokus
prioritas program yang ditawarkan, kemudiaan menyampaikan pada pemilih tentang
bagaimana janji para peserta pilkada ini untuk dicatat sebagai kontrak politik mereka. Materi
ini hendaknya disimpan sebagai bahan database
journalism untuk waktu mendatang. Ironinya,
hal yang amat ideal di lapangan sulit dilakukan, tak lain karena
teman-teman media banyak yang sejak awal,
telah memposisikan dirinya sebagai bagian dari tim sukses.
10.
Media hendaknya hingga pasca pilkada konsisten mempertahankan
sikap obyektif dan netral. Agar menjadi sumber informasi yang dipercaya oleh
semua kelompok masyarakat. Diusahakan dalam setiap pemberitaan, satu berita berasal dari banyak sumber, bukan
satu sumber untuk banyak berita. Kemudian media harus menghindari sumber berita
yang tidak mau disebutkan namanya, atau mereka yang sudah tidak kredibel,
karena pernah terbukti berbohong, tapi menyampaikan pesan yang rawan, menyerang
pihak lain. Wartawan profesional tidak akan hanya memilih pihak-pihak yang
mereka sukai, ataupun menulis berita dengan tujuan balas dendam. Ironinya karena sejak awal beberapa
media sudah berpihak, walhasil prinsip ini banyak yang tidak dijalankan.
11.
Untuk menjaga akurasi berita, kecepatan bukan merupakan
ukuran utama. Tidak ada gunanya memperoleh berita dengan cepat tapi
tidak benar. Walau media harus bersaing dengan yang lain, hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar lebih penting dari pada sekedar mengejar
kecepatan berita. Maka wartawan harus mengecek fakta yang akan diberitakan.
Harus mendasarkan informasi dari orang yang kompeten. Jika ada dua pihak yang harus
dipertimbangkan, kedua belah pihak harus diberi kesempatan. Wartawan hendaknya
tidak malas memeriksa ejaan, pengucapan nama,
jabatan, lokasi, ucapan kutipan, istilah-istilah yang dipakai. Kalau ada
kesalahan segera dikoreksi. Ironinya prinsip akurasi dan ketelitian ini justru
merupakan unsur utama yang banyak menjadi kendala atau kelemahan wartawan dan
media massa kita. Karena sudah terbiasa tidak akurat, akibatnya kesalahan fatal
semacam itu sudah dianggap biasa. Kritikan dan koreksi hanya dianggap sebagai
bagian dari rasa tidak suka belaka.
12.
Jika dalam pilkada ada konflik di antara kekuatan
politik, maka wartawan harus belajar dan memahami konflik yang akan diliput.
Khalayak bisa bingung untuk memahami laporan wartawan, jika yang meliput
sendiri tidak paham atau tidak menguasai konflik yang sedang terjadi. Dalam
meliput konflik, media harus tetap seimbang dari kedua sudut yang berkonflik.
Wartawan dan media bukanlah penengah konflik, tapi laporan yang seimbang dan
tidak memihak dapat menjembatani pihak-pihak yang terpecah. Tapi pada prakteknya, di sini amat
sulit karena sering media sudah pada posisi menjadi bagian dari konflik itu
sendiri, atau mengambil keuntungan dari konflik yang muncul.
13.
Media massa hendaknya memiliki perencanaan, atau kesiapan
internal jika terjadi krisis. Misalnya ada kekerasan terhadap wartawannya, atau
serbuan ke kantor medianya. Perencanaan ini dilengkapi dengan mekanisme yang
harus dilakukan, termasuk tim yang bertanggung jawab, dan diuji melalui diskusi
dan simulasi. Wartawan dan personal lain telah disiapkan dan dilatih menghadapi
semua persoalan krisis ini. Bahkan kalau perlu personal media diasuransikan,
sehingga memunculkan rasa lebih aman, atau ada jaminan bagi mereka selama melakukan peliputan. Ironinya hal sederhana ini masih banyak
yang tidak melakukan, bahkan untuk memikirkan saja enggan. Jadi di negeri ini
terkadang orang justru ditertawakan tatkala berpikir ideal. Dianggap utopia,
berkhayal, tidak membumi, tidak realistis. Karena Sebagian besar orang sudah
enggan berpikir panjang, apalagi melalui proses yang lama. Kecenderungan kita
lebih banyak hanya berpikir keuntungan jangka pendek dan instan, walau
sebenarnya itu semakin memperjauh kita dari terbentuknya sistem media massa yang
terpercaya. Wassalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar