Oleh : Henry Subiakto
(Ketua Program Pascasarjana Studi Media
dan Komunikasi Unair)
Berturut turut drama kekerasan politik yang
anarkhis terjadi di negeri ini. Protes, unjuk rasa, ataupun penyampaian pesan
politik, sepertinya kurang afdol jika tanpa tindak kekerasan. Seakan persoalan
konflik sosial dan politik layak diselesaikan dengan kekerasan. Protes hasil
Pilkada, demonstrasi buruh, penertiban pedagang kaki lima, penolakan terhadap eksekusi
pengadilan, konflik aliran agama, hingga unjuk rasa mahasiswa, kesemuanya
sering diwarnai kekerasan dan anarkhi.
Yang terbaru, demo buruh di Jakarta, dan protes
pilkada di Tuban. Namun sebelumnya kita juga melihat hal serupa terjadi di
berbagai daerah. Dari Papua hingga Aceh, semuanya pernah dan berpotensi muncul
kekerasan dan anarkhi dalam menyelesaikan persoalan politik maupun sosial.
Sepertinya paska kerusuhan Mei 1998, bangsa ini
menjadi lebih akrab dan lebih sering melakukan kekerasan dan anarkhi.
Keterpurukan ekonomi yang menyebabkan sulitnya hidup, ditambah pemahaman yang
salah terhadap arti kebebasan, telah menjadi lahan subur munculnya budaya kekerasan
dan anarkhi. Belum lagi gejala political
distrust, ketidak percayaan politik terhadap hampir semua lembaga resmi,
telah menambah kondisi matang frustrasi di masyarakat. Karena rakyat pernah
dibohongi oleh regim Orde Baru. Kemudian pasca refomasi kebohongan itupun masih
sering dirasakan, maka munculah ketidakpercayaan di berbagai level kehidupan.
Terjadi political
distrust yang begitu mendalam di masyarakat. Bahkan sesuatu yang dilakukan
secara jujurpun sering tidak percaya. Repotnya, gejala berupa kekecewaan, dan ketidakpercayaan
semacam ini, acapkali ditanggapi secara ”business
as usual”. Masih terlalu banyak elite politik dan penguasa yang tidak peduli
terhadap kondisi rakyat. Masih terlalu sering para pejabat dan elite
menyembunyikan kebusukan atau kebohongan. Masih terlalu banyak para pejabat yang
terkesan ”angkuh” tidak mau ”mendengarkan” keluhan dan jeritan rakyat. Pamer kemewahan dan pemborosan di tengah mayoritas rakyat yang menderita, dan anggaran
negara yang konon makin ”cupet”.
Kalau ada kritik yang disampaikan secara santun
melalui tulisan atau pernyataan, biasanya dianggap remeh. Opini yang
berkualitas dari satu atau sedikit orang, jarang diperhatikan. Elite politik
baru menganggap opini publik itu penting kalau sudah didukung orang banyak.
Atau diwujudkan dalam gerakan massa. Padahal ini justru sangat berbahaya.
Gerakan massa bisa jadi memang refleksi sebuah opini yang berkualitas dan
didukung orang banyak. Tapi dalam kenyataan, gerakan massa acapkali justru
sering diwarnai oleh mobilisasi massa yang tidak paham terhadap persoalan. Massa hanya dijadikan alat untuk pressure. Padahal melibatkan orang
banyak itu amat rawan memunculkan anarkhisme. Tapi memang tanpa didukung massa,
elite politik enggan memperhatikan dan
menanggapinya.
Ini menunjukkan, gerakan reformasi di Indonesia relatif
tidak banyak mempengaruhi perubahan sikap dan perilaku politik kalangan pejabat
atau elite. Komunikasi politik tetap saja tidak berjalan lancar. Arogansi dari mereka yang berkuasa masih
mewarnai dunia politik di Indonesia. Karenanya
rakyat menjadi ”sakit hati”, dan berprasangka buruk terhadap berbagai keputusan
yang kontroversial. Bahkan sesuatu
kesalahan yang tidak disengaja, atau ketidak profesionalan bisa dipahami publik
sebagai kecurangan dan kebohongan.
Inilah kondisi matang masyarakat yang mudah
”meledak”. Atau ibarat rumput kering yang gampang terbakar. Triger sekecil apapun acapkalai sudah
cukup untuk membakar amarah massa. Rumor yang belum tentu kebenarannya juga
bisa menggerakkan banyak orang untuk melakukan agresi. Apalagi kalau pemicunya
itu benar-benar penyimpangan atau kebohongan publik yang nyata.
Sekaranglah saatnya semua pihak harus berubah.
Elite jangan lagi membodohi rakyat yang sudah tidak percaya. Sudah bukan
jamannya lagi para pejabat dan elite tampil ”angkuh” merasa berkuasa, dan
menunjukkan kemewahan. Sekarang saatnya para pejabat dan elite lebih merakyat,
sederhana, dan terbuka dari berbagai masukan publik.
Ajaran pejabat sebagai pelayan rakyat harus
benar-benar dilaksanakan dan tidak hanya dijadikan slogan. Bagaimana rakyat
bisa menerima kalau pejabat mengatakan dirinya sebagai pelayan publik, tetapi
keadaannya amat jauh bermewah-mewah dari rakyat yang ”dilayani”. Mengaakan
sebagai pelayan publik, tapi lebih banyak berinteraksi dengan kalangan atas,
nglencer ke luar negeri, atau malah ngendon di Jakarta. Hal semacam ini hanya akan menambah kebencian
kepada mereka yang berkuasa. Kemudian menjadi makin runyam ketika keadaan ini
dimanfaatkan oleh orang-orang yang mengejar ambisi politik dan kepentingan
pribadi.
Namun yang tidak kalah pentingnya adalah peran
media massa. Hampir tiap hari media massa kita telah menunjukkan dan
”mengajari” pada masyarakat tentang
bagaimana kekerasan dan anarkhi itu biasa dilakukan. Media massa, khususnya
televisi secara tidak langsung mensosialisasikan penggunaan kekerasan sebagai
cara paling mudah dan menarik untuk menyelesaikan masalah. Bahkan ada yang
mengatakan, ”Kalau Anda atau daerah Anda ingin masuk televisi, maka lakukanlah
unjuk rasa dengan kekerasan atau anarkhi. Niscaya media akan berebut
memberitakan”.
Makanya tidak heran, sekarang bangsa ini menjadi
lebih akrab dengan kekerasan dan anarkhi. Media tidak hanya mengajari tentang
penggunaan kekerasan, tetapi juga memunculkan habitus baru. Yaitu masyarakat
diajak menikmati adegan kekerasan dan anarkhi sebagai tontonan yang
mengasyikkan. Lihat saja, semakin keras dan semakin anarkhis suatu peristiwa,
maka akan semakin lama dan semakin sering adegan kekerasan itu ditayangkan.
Walhasil kita betul-betul menikmati kekarasan bak sebagai tontonan yang
menghibur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar