Senin, 09 April 2012

MENIKMATI TONTONAN KEKERASAN



Oleh : Henry Subiakto
(Ketua Program Pascasarjana Studi Media dan Komunikasi Unair)

Berturut turut drama kekerasan politik yang anarkhis terjadi di negeri ini. Protes, unjuk rasa, ataupun penyampaian pesan politik, sepertinya kurang afdol jika tanpa tindak kekerasan. Seakan persoalan konflik sosial dan politik layak diselesaikan dengan kekerasan. Protes hasil Pilkada, demonstrasi buruh, penertiban pedagang kaki lima, penolakan terhadap eksekusi pengadilan, konflik aliran agama, hingga unjuk rasa mahasiswa, kesemuanya sering diwarnai  kekerasan dan anarkhi.

Yang terbaru, demo buruh di Jakarta, dan protes pilkada di Tuban. Namun sebelumnya kita juga melihat hal serupa terjadi di berbagai daerah. Dari Papua hingga Aceh, semuanya pernah dan berpotensi muncul kekerasan dan anarkhi dalam menyelesaikan persoalan politik maupun sosial.

Sepertinya paska kerusuhan Mei 1998, bangsa ini menjadi lebih akrab dan lebih sering melakukan kekerasan dan anarkhi. Keterpurukan ekonomi yang menyebabkan sulitnya hidup, ditambah pemahaman yang salah terhadap arti kebebasan, telah menjadi lahan subur munculnya budaya kekerasan dan anarkhi. Belum lagi gejala political distrust, ketidak percayaan politik terhadap hampir semua lembaga resmi, telah menambah kondisi matang frustrasi di masyarakat. Karena rakyat pernah dibohongi oleh regim Orde Baru. Kemudian pasca refomasi kebohongan itupun masih sering dirasakan, maka munculah ketidakpercayaan di berbagai level  kehidupan.

Terjadi political distrust yang begitu mendalam di masyarakat. Bahkan sesuatu yang dilakukan secara jujurpun sering tidak percaya. Repotnya, gejala berupa kekecewaan, dan ketidakpercayaan semacam ini, acapkali ditanggapi secara ”business as usual”. Masih terlalu banyak elite politik dan penguasa yang tidak peduli terhadap kondisi rakyat. Masih terlalu sering para pejabat dan elite menyembunyikan kebusukan atau kebohongan. Masih terlalu banyak para pejabat yang terkesan ”angkuh” tidak mau ”mendengarkan” keluhan dan jeritan rakyat.  Pamer kemewahan dan pemborosan di tengah  mayoritas rakyat yang menderita, dan anggaran negara yang konon makin ”cupet”.

Kalau ada kritik yang disampaikan secara santun melalui tulisan atau pernyataan, biasanya dianggap remeh. Opini yang berkualitas dari satu atau sedikit orang, jarang diperhatikan. Elite politik baru menganggap opini publik itu penting kalau sudah didukung orang banyak. Atau diwujudkan dalam gerakan massa. Padahal ini justru sangat berbahaya. Gerakan massa bisa jadi memang refleksi sebuah opini yang berkualitas dan didukung orang banyak. Tapi dalam kenyataan, gerakan massa acapkali justru sering diwarnai oleh mobilisasi massa yang tidak paham terhadap persoalan.  Massa hanya dijadikan alat untuk pressure. Padahal melibatkan orang banyak itu amat rawan memunculkan anarkhisme. Tapi memang tanpa didukung massa, elite politik enggan memperhatikan dan  menanggapinya.

Ini menunjukkan, gerakan reformasi di Indonesia relatif tidak banyak mempengaruhi perubahan sikap dan perilaku politik kalangan pejabat atau elite. Komunikasi politik tetap saja tidak berjalan lancar. Arogansi dari mereka yang berkuasa masih mewarnai dunia politik di Indonesia.  Karenanya rakyat menjadi ”sakit hati”, dan berprasangka buruk terhadap berbagai keputusan yang kontroversial. Bahkan sesuatu kesalahan yang tidak disengaja, atau ketidak profesionalan bisa dipahami publik sebagai kecurangan dan kebohongan.

Inilah kondisi matang masyarakat yang mudah ”meledak”. Atau ibarat rumput kering yang gampang terbakar. Triger sekecil apapun acapkalai sudah cukup untuk membakar amarah massa. Rumor yang belum tentu kebenarannya juga bisa menggerakkan banyak orang untuk melakukan agresi. Apalagi kalau pemicunya itu benar-benar penyimpangan atau kebohongan publik yang nyata.

Sekaranglah saatnya semua pihak harus berubah. Elite jangan lagi membodohi rakyat yang sudah tidak percaya. Sudah bukan jamannya lagi para pejabat dan elite tampil ”angkuh” merasa berkuasa, dan menunjukkan kemewahan. Sekarang saatnya para pejabat dan elite lebih merakyat, sederhana, dan terbuka dari berbagai masukan publik.

Ajaran pejabat sebagai pelayan rakyat harus benar-benar dilaksanakan dan tidak hanya dijadikan slogan. Bagaimana rakyat bisa menerima kalau pejabat mengatakan dirinya sebagai pelayan publik, tetapi keadaannya amat jauh bermewah-mewah dari rakyat yang ”dilayani”. Mengaakan sebagai pelayan publik, tapi lebih banyak berinteraksi dengan kalangan atas, nglencer ke luar negeri, atau malah ngendon di Jakarta.  Hal semacam ini hanya akan menambah kebencian kepada mereka yang berkuasa. Kemudian menjadi makin runyam ketika keadaan ini dimanfaatkan oleh orang-orang yang mengejar ambisi politik dan kepentingan pribadi. 

Namun yang tidak kalah pentingnya adalah peran media massa. Hampir tiap hari media massa kita telah menunjukkan dan ”mengajari” pada  masyarakat tentang bagaimana kekerasan dan anarkhi itu biasa dilakukan. Media massa, khususnya televisi secara tidak langsung mensosialisasikan penggunaan kekerasan sebagai cara paling mudah dan menarik untuk menyelesaikan masalah. Bahkan ada yang mengatakan, ”Kalau Anda atau daerah Anda ingin masuk televisi, maka lakukanlah unjuk rasa dengan kekerasan atau anarkhi. Niscaya media akan berebut memberitakan”.

Makanya tidak heran, sekarang bangsa ini menjadi lebih akrab dengan kekerasan dan anarkhi. Media tidak hanya mengajari tentang penggunaan kekerasan, tetapi juga memunculkan habitus baru. Yaitu masyarakat diajak menikmati adegan kekerasan dan anarkhi sebagai tontonan yang mengasyikkan. Lihat saja, semakin keras dan semakin anarkhis suatu peristiwa, maka akan semakin lama dan semakin sering adegan kekerasan itu ditayangkan. Walhasil kita betul-betul menikmati kekarasan bak sebagai tontonan yang menghibur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar