Oleh: Henry Subiakto
(Dosen Komunikasi FISIP Unair)
Apa jadinya bangsa ini jika tiap
hari, tiap saat, selalu disuguhi isi televisi dengan berbagai tayangan yang
negatif? Lihat saja sebagian besar tayangan televisi mengenai negeri ini, lebih
melihat Indonesia sebagai negeri yang suram. Indonesia yang sarat konflik, sarat
kekerasan, sarat penyelesaian dengan otot-ototan, sarat kericuhan, pengrusakan,
dan bentrokan. ”Potret Indonesia” di televisi adalah potret kesedihan. Potret
sebuah bangsa yang seakan manusianya tidak berbudaya, tidak beradab, dipenuhi orang-orang pemarah, orang-orang yang
mudah mencela, mudah menyalahkan, bahkan siap menghancurkan. Sementara hal-hal
baik yang mendahulukan nilai keluhuran, kemanusiaan, seperti gotong royong,
kekeluargaan, kesepakatan yang bijak dan adil, terasa hilang tersapu oleh realitas
rekaan yang dikonstruksi tv-tv kita.
Dalam aspek hiburan, content televisi tak kalah
memprihatinkan. Isinya kalau tidak sinetron, ya infotainment, atau lawakan yang
fulgar. Terlalu sering masyarakat disuguhi isi televisi yang sarat dengan
pelecehan logika, menjual mimpi, memuja kemewahan, hingga mengkorek-korek aib
orang. Pertanyaan sekali lagi, apakah isi media semacam itu yang akan
menghantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar, bangsa yang cerdas,
beradab dan mampu bersaing dengan negara lain?
Jawabanya tentulah tidak
demikian. Kondisi Indonesia yang sesungguhnya tidak sesuram seperti apa yang
kita lihat di TV. Tetapi nasib bangsa ini amat ditentukan bagaimana realitas sosial
dikonstruksi, dan pelaku konstruksi sosial yang handal adalah media massa,
terutama televisi. Bagaimana bangsa ini akan bersikap optimis, lalu mau kerja
keras menyongsong masa depan, jika di benak khalayak acapkali ditanamkan oleh
media televisi, bahwa negeri ini adalah negeri yang rusak?
Saatnya Lebih Tegas
Sudah saatnya content penyiaran khususnya televisi
ditata dan dijaga agar lebih beradab. Isi televisi yang memiliki dampak besar
terhadap kehidupan bangsa tidak selayaknya dipasrahkan pada mekanisme pasar
tanpa pengendalian yang bijak dan cerdas. Kreativitas berbau liberal yang mengagungkan
kebebasan berdasar selera massa perlu dipikirkan ulang. Rating tidak selayaknya dipuja sebagai kiblat, panduan, bahkan ”Tuhan”
dari pogram-program televisi. Perlu sebuah sistem yang mampu menciptakan
keseimbangan, antara mekanisme pasar dengan standard yang tegas untuk menciptakan
isi penyiaran yang bermartabat.
Jelas ini bukan tugas
pemerintah. Karena UU 32 tahun 2002 tentang Penyiaran secara gamblang mengamanatkan
agar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menciptakan sistem penyiaran yang sehat. KPI
sebagai regulatory body yang
independen memiliki kewenangan untuk mengawasi isi penyiaran, membuat aturan
tentang isi sekaligus memberikan sanksi jika ada pelanggaran. Tugas mengawasi
isi penyiaran inilah yang merupakan tugas amat penting yang harus dilaksanakan.
Kualitas mental dan budaya bangsa ini sekarang maupun mendatang, tidak bisa
dilepaskan dari hyper reality yang
diciptakan media, khususnya televisi.
Kenyataannya sampai periode
ketiga keberadaan KPI, dunia pertelevisian Indonesia masih memprihatinkan. Keluhan, kritikan bahkan kecaman terhadap
tayangan tv tidak pernah sepi. Banyak anggota masyarakat merasa ngeri, bahkan
muak melihat tayangan tv kita. Beberapa
stasiun televisi juga nyata-nyata
dijadikan alat politik yang mengabaikan prinsip imparsialitas. Menunjukkasn fungsi pengawasan isi oleh KPI terasa begitu lemah,
KPI masih banyak disibukkan oleh persoalan lain, terutama berkait dengan perizinan.
Saatnya KPI periode ketiga yang baru
saja dipilih DPR dan disahkan 3 Mei lalu untuk lebih konsentrasi ke content penyiaran. KPI harus berani
tegas menegakkan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).
Tv-tv yang tidak menghargai penggunaan fekuensi sebagai public domein, harus mendapat sanksi yang menjerakan. Ketegasan
komisi penyiaran pernah diberi contoh oleh ITC, Independent Television Commision di Inggris pada tahun 1998. Kala
itu sebuah televisi satelit yang bernama Med-TV yang senantiasa isinya dipakai
untuk mendukung kepentingan politik Muhammad Ochalan, seorang tokoh politik
Turki, mendapatkan peringatan dan sanksi keras dari ITC. Med-TV karena tidak
bisa imparsial, ditutup dan dicabut izinnya oleh komisi penyiaran Inggris saat
itu. Med TV baru boleh buka kembali setelah off
tiga bulan, dan berjanji untuk tidak mengulang pemihakannya pada satu
kepentingan politik.
Aturan main TV di manapun memang
dituntut netral dan imparsial, hal ini juga diwajibkan oleh UU Penyiaran pasal
36 ayat 4. Karena pada dasarnya televisi itu menggunakan ranah publik, yaitu
frekuensi. Publik itu beragam. Partainya beragam. Kepentingan politiknya
beragam, bahkan agamanya-pun juga beragam. Menggunakan ranah publik harus
memperhitungkan keragamanan publik tersebut. Memakai frekuensi untuk
kepentingan pemilik atau kekuatan politik tertentu, adalah sebuah pelanggaran
besar. Tidak heran jika di negara tempat pembelajaran pertama freedom
of the press, yaitu Inggris, hal itu mendapat sanksi yang berat.
Di Indonesia penjagaan terhadap
penggunaan public domein secara bijak
dan adil perlu ditegakkan. KPI dituntut tegas untuk menjaga nasib bangsa ke
depan dari para pelaku semena-mena terhadap public
domein. Kalau memang ada televisi
yang sudah berkali kali diperingatkan tapi tidak mengindahkan, maka sesuai UU
Penyiaran pasal 55, KPI memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi, dari
teguran tertulis, penghentian mata acara yang bermasalah, pembekuan kegiatan siaran, hingga pencabutan
izin.
Persoalannya sudahkah pelanggaran itu
terjadi? Kalau sudah, beranikah lembaga independen ini menghadapi stasiun
televisi yang powerful dan sebagian
besar dimiliki oleh oleh kekuatan besar pula? Bagaimanapun juga atas nama kepentingan
publik sudah saatnya aturan ditegakkan. Saatnya KPI menyelamatkan negeri ini
dari content-content yang tidak
bertanggung jawab. Mudah-mudahan KPI yang baru ini lebih berani. Kita lihat
saja nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar