Selasa, 24 April 2012

MENUNGGU KETEGASAN KPI


Oleh: Henry Subiakto
(Dosen Komunikasi FISIP Unair)

Apa jadinya bangsa ini jika tiap hari, tiap saat, selalu disuguhi isi televisi dengan berbagai tayangan yang negatif? Lihat saja sebagian besar tayangan televisi mengenai negeri ini, lebih melihat Indonesia sebagai negeri yang suram. Indonesia yang sarat konflik, sarat kekerasan, sarat penyelesaian dengan otot-ototan, sarat kericuhan, pengrusakan, dan bentrokan. ”Potret Indonesia” di televisi adalah potret kesedihan. Potret sebuah bangsa yang seakan manusianya tidak berbudaya, tidak beradab,  dipenuhi orang-orang pemarah, orang-orang yang mudah mencela, mudah menyalahkan, bahkan siap menghancurkan. Sementara hal-hal baik yang mendahulukan nilai keluhuran, kemanusiaan, seperti gotong royong, kekeluargaan, kesepakatan yang bijak dan adil, terasa hilang tersapu oleh realitas rekaan yang dikonstruksi tv-tv kita.  
Dalam aspek hiburan, content televisi tak kalah memprihatinkan. Isinya kalau tidak sinetron, ya infotainment, atau lawakan yang fulgar. Terlalu sering masyarakat  disuguhi isi televisi yang sarat dengan pelecehan logika, menjual mimpi, memuja kemewahan, hingga mengkorek-korek aib orang. Pertanyaan sekali lagi, apakah isi media semacam itu yang akan menghantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar, bangsa yang cerdas, beradab dan mampu bersaing dengan negara lain?
Jawabanya tentulah tidak demikian. Kondisi Indonesia yang sesungguhnya tidak sesuram seperti apa yang kita lihat di TV. Tetapi nasib bangsa ini amat ditentukan bagaimana realitas sosial dikonstruksi, dan pelaku konstruksi sosial yang handal adalah media massa, terutama televisi. Bagaimana bangsa ini akan bersikap optimis, lalu mau kerja keras menyongsong masa depan, jika di benak khalayak acapkali ditanamkan oleh media televisi, bahwa negeri ini adalah negeri yang rusak?

Saatnya Lebih Tegas
Sudah saatnya content penyiaran khususnya televisi ditata dan dijaga agar lebih beradab. Isi televisi yang memiliki dampak besar terhadap kehidupan bangsa tidak selayaknya dipasrahkan pada mekanisme pasar tanpa pengendalian yang bijak dan cerdas. Kreativitas berbau liberal yang mengagungkan kebebasan berdasar selera massa perlu dipikirkan ulang. Rating tidak selayaknya dipuja sebagai kiblat, panduan, bahkan ”Tuhan” dari pogram-program televisi. Perlu sebuah sistem yang mampu menciptakan keseimbangan, antara mekanisme pasar dengan standard yang tegas untuk menciptakan isi penyiaran yang bermartabat.
Jelas ini bukan tugas pemerintah. Karena UU 32 tahun 2002 tentang Penyiaran secara gamblang mengamanatkan agar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menciptakan sistem penyiaran yang sehat. KPI sebagai regulatory body yang independen memiliki kewenangan untuk mengawasi isi penyiaran, membuat aturan tentang isi sekaligus memberikan sanksi jika ada pelanggaran. Tugas mengawasi isi penyiaran inilah yang merupakan tugas amat penting yang harus dilaksanakan. Kualitas mental dan budaya bangsa ini sekarang maupun mendatang, tidak bisa dilepaskan dari hyper reality yang diciptakan media, khususnya televisi.
Kenyataannya sampai periode ketiga keberadaan KPI, dunia pertelevisian Indonesia masih memprihatinkan. Keluhan, kritikan bahkan kecaman terhadap tayangan tv tidak pernah sepi. Banyak anggota masyarakat merasa ngeri, bahkan muak melihat tayangan tv kita.  Beberapa stasiun televisi juga  nyata-nyata dijadikan alat politik yang mengabaikan prinsip imparsialitas. Menunjukkasn fungsi pengawasan isi oleh KPI terasa begitu lemah, KPI masih banyak disibukkan oleh persoalan lain, terutama berkait dengan perizinan.
Saatnya KPI periode ketiga yang baru saja dipilih DPR dan disahkan 3 Mei lalu untuk lebih konsentrasi ke content penyiaran. KPI harus berani tegas menegakkan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Tv-tv yang tidak menghargai penggunaan fekuensi sebagai public domein, harus mendapat sanksi yang menjerakan. Ketegasan komisi penyiaran pernah diberi contoh oleh ITC, Independent Television Commision di Inggris pada tahun 1998. Kala itu sebuah televisi satelit yang bernama Med-TV yang senantiasa isinya dipakai untuk mendukung kepentingan politik Muhammad Ochalan, seorang tokoh politik Turki, mendapatkan peringatan dan sanksi keras dari ITC. Med-TV karena tidak bisa imparsial, ditutup dan dicabut izinnya oleh komisi penyiaran Inggris saat itu. Med TV baru boleh buka kembali setelah off tiga bulan, dan berjanji untuk tidak mengulang pemihakannya pada satu kepentingan politik.
Aturan main TV di manapun memang dituntut netral dan imparsial, hal ini juga diwajibkan oleh UU Penyiaran pasal 36 ayat 4. Karena pada dasarnya televisi itu menggunakan ranah publik, yaitu frekuensi. Publik itu beragam. Partainya beragam. Kepentingan politiknya beragam, bahkan agamanya-pun juga beragam. Menggunakan ranah publik harus memperhitungkan keragamanan publik tersebut. Memakai frekuensi untuk kepentingan pemilik atau kekuatan politik tertentu, adalah sebuah pelanggaran besar. Tidak heran jika di negara tempat pembelajaran pertama  freedom of the press, yaitu Inggris, hal itu mendapat sanksi yang berat.
Di Indonesia penjagaan terhadap penggunaan public domein secara bijak dan adil perlu ditegakkan. KPI dituntut tegas untuk menjaga nasib bangsa ke depan dari para pelaku semena-mena terhadap public domein.   Kalau memang ada televisi yang sudah berkali kali diperingatkan tapi tidak mengindahkan, maka sesuai UU Penyiaran pasal 55, KPI memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi, dari teguran tertulis, penghentian mata acara yang bermasalah,  pembekuan kegiatan siaran, hingga pencabutan izin.
Persoalannya sudahkah pelanggaran itu terjadi? Kalau sudah, beranikah lembaga independen ini menghadapi stasiun televisi yang powerful dan sebagian besar dimiliki oleh oleh kekuatan besar pula? Bagaimanapun juga atas nama kepentingan publik sudah saatnya aturan ditegakkan. Saatnya KPI menyelamatkan negeri ini dari content-content yang tidak bertanggung jawab. Mudah-mudahan KPI yang baru ini lebih berani. Kita lihat saja nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar