Senin, 09 April 2012

KONTESTASI WACANA CIVIL SOCIETY, NEGARA, DAN INDUSTRI PENYIARAN DALAM DEMOKRATISASI SISTEM PENYIARAN PASCA ORDE BARU


ABSTRACT
Broadcast media is not only seen as the strength of civil society which guarantees freedom, but is also seen as the power of capitalist which dominates states. Based on this background, there appears to be a problem, is it true that the relationship pattern among the state, the broadcast industry, and civil society in the New Order Broadcasting System discourse is characterized by the industry’s co-optation towards the state and civil society? The social construction analysis is used in this research to answer these problems. Through the social construction analysis, discourse as a form of spoken, written, and argued messages is viewed as part of the social construction process. To reveal discourse contestation means to reveal the social construction process that has been undertaken by discourse producers. Based on the critical constructionist theory of Robert Heiner, the construction and meaning of social reality represents the interest of elites rather than the public or wider community. Elites dominantly produced meaning and discourse. This research reveals that the construction of reality is critically tested with the ideal value selected by the researcher. The result of this research shows that the position of civil society remains weak in their relationship with the state and industry. Indonesian civil society is not as ideal as Habermas's theory. Civil society contributes more at the discourse level but ignore many other civil society’s concepts at the normative and implementation level. The relationship pattern with the state, civil society, and the broadcast industries shows strong patterns of industry hegemonies state and civil society. The strong relationship pattern is indicated by weak enforcement of regulations at the implementation level and the emergent of regulations that accommodate the interest of the industry. This means that a balanced pattern of checks and balances that is idealized in the three agents’ relationship did not happen.

Key words: discourse, broadcast system, civil society, industry, state.

Awalnya, media massa merupakan komponen yang dibutuhkan untuk mengontrol kekuasaan, dengan diposisikan sebagai “watch dog”, atau sebagai the fourth estate of democracy. Dalam konteks itu, demokrasi mensyaratkan adanya kebebasan pers, akan tetapi tatkala media masa tumbuh sebagai kekuatan yang berpengaruh secara politik, ekonomi, dan budaya, media justru bisa menjadi ancaman tersendiri bagi demokrasi. Menurut Peter Golding dan Graham Murdock, “Media as a political and economic vehicle, tend to be controlled by conglomerates and media barons who are becoming fewer in number but through acquisition, controlled the larger part of the world’s mass media and mass communication”(Golding & Murdock, 2000:71).
Melalui proses merger dan akuisisi, para baron pemilik media dunia semakin sedikit. Menurut Robert W Mc Chesney, pada tahun 2000, penguasa media dunia yang sebelumnya ada puluhan, kini tinggal tiga besar. Chesney khawatir, apa jadinya jika kekuatan media sebagai produsen budaya, produsen informasi politik, dan kekuatan ekonomi, hanya terkonsentrasi pada beberapa orang (McChesney, 2000). Bagi Chesney, demokratis tidaknya suatu negara tidak cukup hanya dilihat dari sistem politiknya. Ia menekankan pentingnya perubahan sistem media sebagai bagian dari demokratisasi. Untuk mendemokratisasikan masyarakat, harus pula dilakukan upaya mengubah sistem media .
Salah satu bentuk media yang paling dominan adalah penyiaran. Media penyiaran merupakan medium raksasa yang setiap saat hadir sebagai ruang publik bagi siapapun yang menonton atau mendengarkannya. Media penyiaran merupakan alun-alun demokrasi modern, yang begitu besar dan begitu dahsyat dampaknya bagi kehidupan dan kebudayaan (Garin Nugroho, dalam Panjitan & Siregar, 2003:5). Media penyiaran juga memiliki kekhasan, menggunakan ranah publik berupa frekuensi yang jumlahnya terbatas. Di berbagai negara, media penyiaran senantiasa sarat dengan aturan (highly regulated), baik infrastruktur maupun isinya (McQuail 2002:208). Mekanisme pengaturan menjadi indikator demokratis tidaknya negara yang bersangkutan.
Studi komunikasi politik di Indonesia yang berkaitan dengan topik tersebut sudah beberapa kali dilakukan, di antaranya oleh Krishna Sen dan David Hill, Murdoch University (2000), Bimo Nugoho Sekundatmo, Universitas Indonesia (2006), juga Hermin Indah Wahyuni, Universitas Leipzig Jerman (2006). Dilihat dari perspektif teori yang digunakan beberapa studi di atas, lebih mendasarkan pada teori kuatnya hegemoni negara, sedangkan bagaimana kekuatan civil society belum dianalisis secara mendalam. Begitu pula yang berkaitan dengan kekuatan kapitalisme di industri penyiaran. Kajian mengenai bagaimana kapitalisme menghegemoni negara maupun civil society kurang mendapat tempat. Dari latar belakang itulah permasalahan studi ini dimulai, sekaligus menjadi starting point untuk berteori. Pertanyaannya, betulkah pola hubungan antara negara, industri penyiaran, dan civil society dalam diskursus Sistem Penyiaran Pasca Orde Baru diwarnai oleh kooptasi kapitalis atau industri?
Tinjauan Pustaka
Dalam esai yang berjudul  Idiological States Apparatus, Althusser (1971) mengatakan bahwa wacana baik yang berupa pernyataan, isi media, maupun berbagai aturan, berfungsi sebagai ranah dan dasar pembenar represi yang dilakukan negara kepada warganya. Alasannya negara senantiasa membutuhkan ketertundukan dan kepatuhan warganya. Untuk mendapatkannya, tidak dapat hanya mengandalkan kekuasaan dan kekerasan semata, karena bisa dinilai otoriter. Padahal negara senantiasa membutuhkan legitimasi,  agar kekuasaan tidak diusik. Menurut Althusser, masyarakat dipersatukan bukan oleh ekonomi semata, tetapi oleh ideologi (Beilhartz 2005:4) Althusser, memperkenalkan konsep aparatur negara represif (repressive state apparatus), yaitu mereka yang identik dengan sistem dan struktur negara, yang berdiri sebagai penyangga kekuasaan yang sah dan eksplisit. Contohnya militer, pengadilan, dan birokrat. Konsep kedua, ideological state aparatus (ISA), yaitu institusi agama, kebudayaan, pendidikan, termasuk media massa. Cara kerja ISA lebih banyak bergerak pada aspek idiologis. Kemudian pada akhirnya akan bersifat represif juga, karena memang dimaksudkan untuk memanipulasi kesadaran.
Di sini pemikiran Althusser sebenarnya memperkuat pemikiran teoritisi Jerman, Antonio Gramsci (1971) mengenai hegemoni. Teori hegemoni Gramsci (1971) sebagaimana teori ideological state apparatus Althusser pada dasarnya juga merupakan represi kekuasaan.  Bedanya, represi dalam hegemoni itu berciri ”halus” (subtle) mengandalkan kepemimpinan moral dan intelektual dan bersifat aktif. Hegemoni tidak dicapai melalui coercive power, tapi melalui diskursus sistemik (bahasa), terarah, dan berkelanjutan untuk memenangkan penerimaan publik  secara sukarela akan sebuah gagasan atau rezim (Hendarto 1992:66).
Dalam kehidupan empiris, untuk menciptakan ketertundukan masyarakat, paradigma kekuasaan pada masa Orde Baru banyak mengandalkan  represive state aparatus, dan idiological state aparatus. Paradigma saat itu juga dikenal dengan istilah korporatisme negara. Rejim Orde Baru menerapkan authoritarian corporatism dalam pengorganisasian politik sebagai instrumen menjalankan kontrol politik secara otoriter, atas nama ”tujuan nasional” yang ditetapkan oleh rejim penguasa itu sendiri (Robison 1993:45-46).
            Karl D Jackson memberi istilah dengan nama “bereaucratic polity”,  sebuah bentuk pemerintahan totaliter yang lebih mendahulukan mobilisasi ketimbang partisipasi (Jackson & Pye, 1978:4) Semua elemen negara, masyarakat, dan berbagai kekuatan ekonomi dimobilisasi untuk mencapai tujuan negara, yang kesemuanya dalam kontrol kekuasaan Soeharto. Fenomena inilah yang disebut Arief Budiman sebagai otoriter birokratik pembangunan (Budiman 1991:13), di mana pejabat negara memiliki otoritas luas untuk melakukan regulasi dan memberikan fasilitas kemudahan pada para pengusaha kroni mereka. Lama kelamaan para pengusaha yang handal menjadi mandiri, kemudian kalangan berjuasi ini menjadi elite baru, menduduki kelas dominan dalam model pembangunan yang birokratik otoriter (Budiman 1991:14).
Pada masa itu media massa ditempatkan sebagai ideological state aparatus yang berperan mereproduksi dan menjaga stabilitas legitimasi rejim (Hidayat, 2006:6). Kalangan analisis instrumentalis melihat kehidupan media massa di Indonesia saat itu sebagai instrumen dominasi penguasa Orde Baru dan pemilik modal (Herman & Chomsky 1988:ix). Orde Baru memiliki surplus akses ke media, memiliki legalitas mengontrol media serta monopoli pemberian lisensi. Di lain pihak,  para pemilik media memiliki kekuasaan penuh terhadap para pekerjanya.
Boleh dikatakan rezim Orde Baru benar-benar menguasai segalanya. Kalangan pengusaha, maupun masyarakat, terhegemoni dan tunduk di bawah kekuasaan negara. Saat itu menurut Richard Robison, kejayaan negara telah melampaui kekuatan pasar, the triumph of the state over the market.  Negara telah menjadi predator yang mengintervensi institusi lain (Robison 1993: 33).

Menguatkah peran civil society?
 Gerakan reformasi 1998 telah membawa perubahan. Reformasi tidak saja menjatuhkan kekuasaan Soeharto, tetapi juga menjadi tonggak sejarah melemahnya kekuatan negara. Terjadi deregulasi dan liberalisme di berbagai sektor. Salah satu yang signifikan adalah jaminan kebebasan berpekspresi dan kebebasan media massa, yaitu dihilangkannya ketentuan SIUPP dengan berlakunya Undang-Undang No 40 tahun 1999 tentang Pers.
            Reformasi telah menghasilkan perubahan politik, tetapi persoalannya apakah kemudian tercipta suatu keadaan ideal yang demokratis? Menurut Samuel Huntington, demokratisasi membutuhkan budaya yang kondusif. Demokrasi tidak dapat dicapai hanya dengan membuat perubahan kelembagaan karena kelangsungannya tergantung pada nilai-nilai dan kepercayaan warga (Huntinton & Harrison 2006:43). Modal sosial merupakan faktor penting untuk menciptakan civil society yang sehat. Menghasilkan kondusivitas dan produktivitas dalam masyarakat yang berinteraksi dengan saling memiliki kepercayaan satu sama lainnya (Huntington &  Harrison 2006: 44).
Kondisi civil society pasca-reformasi memang lebih baik dibanding masa Orde Baru, namun tidak bisa dikatakan telah terjadi penguatan.  Suatu negara dikatakan civil society-nya menguat apabila memenuhi kriteria; the existence of shared values, the increase of social trust, stronger social cohation, the growing of solidarity based on humanism, more balance partisipation, the growing of beliefs in social justice, stronger beliefs in social political progress (Sparinga, 2008:4).  Tujuh karakteristik tersebut tidak muncul, malahan terjadi sebaliknya yaitu, sharp fragmentation of ideologies, growing of social distrust, widening of violent communal conflicts, the persistency of ethnic or religious sentiments, over public participation, widening of perceived systematic injustice, stronger apathy, pessimism, and scepticsm (Sparinga 2008:7).
Hal itu dibenarkan Philip Kitley bahwa di Korea, Thailand dan Indonesia terdapat civil society yang memiliki perhatian terhadap persoalan-persoalan media dan kepentingan publik, namun pengaruhnya masih terbatas (Kitley 2003: 17). Lalu siapa sebenarnya yang dimaksud civil society? Menurut USAIDS, civil society menggambarkan lembaga bukan pemerintah, nirlaba, organisasi independen yang terbuka untuk keikutsertaan seluruh lapisan masyarakat; termasuk  kelompok-kelompok hak azasi manusia, asosiasi professional, lembaga keagamaan,  kelompok  penegak demokrasi, organisasi aktivis lingkungan, perkumpulan buruh, organisasi-organisasi  media, dan asosiasi sukarela yang bekerja untuk kebaikan publik  (Hoang Thi Minh 2002: 27).
Civil society  merupakan bentuk baru tindakan kolektif yang pengelompokannya tidak berdasar kelas, namun berkait dengan institusi publik dari masyarakat, yang berkumpul secara legal. Civil society  berbeda dari negara, dan juga berbeda  dari ekonomi pasar kapitalis karena merekalah aktor transisi demokrasi (Cohen & Arato 1994:2). 
Civil society di Indonesia berakar dari gerakan oposisi pada masa Orde Baru, dari middle class yang ingin memperjuangkan demokratisasi dan liberalisasi (Robison, 1993:124). Mereka membentuk LSM, ataupun asosiasi tandingan, menentang organisasi resmi dukungan pemerintah. Gerakan civil society itu awalnya lebih banyak difokuskan untuk menentang otoritarianisme negara, karena itu kurang terorganisasi dengan baik
Sedangkan Gramsci (1971) merujuk civil society sebagai organisasi di luar negara, yaitu ada dalam formasi sosial di luar sistem produksi material dan ekonomi yang didukung dan dilaksanakan oleh orang atau komponen di luar batasan ekonomi (mode of production), dan negara (political society). Mereka adalah semua organisasi swasta (private), yakni gereja, media massa, partai politik, serikat dagang, lembaga kebudayaan, dan lembaga sukarela lanilla (Simon 1999: 103).  
Kapitalisme yang Makin Dominan
            Selama Orde Baru pertumbuhan ekonomi di Indonesia tidak disangsikan. Membaiknya ekonomi memunculkan kelas menengah, juga kalangan borjuis, kapitalis. Ada yang besar karena telah menjadi kroni penguasa, tapi ada pula karena kehandalan mereka dalam berusaha. Saat itu negara begitu kuat, mampu mengatur segalanya, termasuk bisnis dan industri.
Pasca-reformasi terjadi perubahan besar. Runtuhnya Orde Baru berimplikasi kuatnya gejala demokratisasi sekaligus liberalisasi di sektor politik maupun ekonomi. Indonesia-pun mengalami pola umum, sebagaimana disinyalir Fukuyama (1992). Pola umum itu adalah evolusi sejarah yang berakhir pada kenyataan bahwa masyarakat cenderung melakukan pencarian terhadap “pengakuan” dan kebebasan, yang hanya dapat ditemukan pada masyarakat kapitalis demokrasi liberal (Fukuyama 1992).  
Runtuhnya Orde Baru juga menyebabkan para kapitalis termasuk pemilik media ”terbebas” dari kontrol negara. Dalam perkembangannya, para profesional di bidang mediapun mulai menampakkan peran dan pengaruhnya. Sebagaimana CEO di perusahaan multinasional, dalam perusahaan mediapun terdapat fragmentasi dan stratifikasi yang membentuk kelas baru. Sekaligus bisa diartikan, perkembangan kapitalisme media bukan sesuatu yang  monolitik. Wartawan dan pemilik media merupakan entitas yang karakternya berbeda-beda (Golding & Murdock 2000).
            Awal reformasi, kalangan pekerja media penyiaran akrab dengan civil society. Mereka berjuang bersama untuk kebebasan pers dan melepaskan diri dari kontrol negara. Keadaan berubah ketika Undang-Undang Penyiaran akan diterapkan. Para kapitalis didukung pekerja profesional penyiaran, dengan tegas menolak  UU No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Nampaknya kepentingan yang sama, mampu menyatukan sikap kalangan pemilik dengan kalangan profesional.
             Bagi neo liberalisme, tuntutan deregulasi industri penyiaran pada hakekatnya adalah penghapusan semaksimal mungkin state regulation untuk digantikan oleh market regulation (Hidayat 2000: 5). UU no 32 tahun 2002 dianggap tetap memunculkan state regulation dengan gaya yang baru, dari kewenangan pemerintah ke independen regulatory body yaitu KPI. Untuk menjelaskan fenomena penolakan  tersebut,  kita dapat menggunakan pemikian yang ditawarkan oleh Michel Foucault (1972).
Kapitalisme mempunyai kecenderungan mengontrol negara tetapi dengan cara yang halus, yaitu dengan cara mengontrol pengetahuan, wacana dan membuat definisi apa-apa yang dianggap baik dan benar. Mode baru penahklukan ini adalah, orang ditetapkan sebagai objek pengetahuan, objek wacana ilmiah. Pendirian kuncinya adalah ilmu pengetahuan manusia modern (Rizer & Goodman 2004: 619). Menurut Foucault (1972) pengetahuan adalah kekuasaan untuk menguasai yang lain.
            Penolakan terhadap Undang-Undang Penyiaran, menunjukkan kebenaran sinyalemen Foucault (1972). Meminjam konsepsi Lash dan Urry, menamakan kondisi seperti itu dengan ”Kapitalisme Tidak Tertata” di mana kelas kapital menjadi semakin dominan  (Barker 2004: 109). Dominasinya tidak saja pada negara, sebagaimana konsep Marx ortodoks, tetapi juga kontrol terhadap civil society melalui kebudayaan yang konsumtif.
            Neo kapitalisme menunjukan basis struktur ekonomi tidak lagi hanya dibagi ke dalam dua kriteria mereka yang memiliki modal dengan mereka yang tidak memiliki. Dalam masyarakat modern yang makin kompleks, kekuasaan pada mode of production berada selain pada pemilik juga pada manajemen. Kalangan profesional seperti manajemen, sebenarnya bukan merupakan pemilik  sarana produksi atau modal, namun  karena profesi dan relasinya terhadap perusahaan sebagai sumber hidupnya, mereka menjadi amat berkepentingan terhadap kejayaan industri tersebut. Kelas utama dalam masyarakat baru yang tengah muncul tersebut adalah kelas profesional yang berdasarkan pengetahuan ketimbang kekayaan (Bell dalam Barker 2004: 107). Walhasil yang menjadi kelas dominan adalah kelompok yang mampu mengakses dan mengontrol informasi. Kendati ada perubahan sektor-sektor ekonomi, pola-pola organisasi kerja kapitalis tetap berjalan (Barker 2004: 108).
            Dalam banyak hal civil society dimanfaatkan oleh kapitalis sebagai jembatan untuk meluaskan budaya konsumsi, tujuannya supaya kaum proletar tetap tunduk, dan kapitalisme tetap berjalan. Industri budaya telah menjadi faktor ekonomis dan politis yang krusial pada kapitalisme akhir, yang mengalihkan perhatian dari masalah yang sebenarnya mereka alami, menawarkan solusi palsu. Industri budaya telah membantu memanipulasi kesadaran sehingga memperpanjang kapitalisme yang dulu kemundurannya diharapkan Marx (Agger 2005: 108).
            Dengan liberalisasi, industri penyiaran menjadi semakin bebas dari kontrol negara, namun semakin rentan terhadap represi rejim kapital, atau kediktatoran pasar (market dictatorship), yang beroperasi melalui the invisible hand mekanisme pasar. Khususnya dalam industri penyiaran, represi rejim kapital tersebut berlangsung di dua front: pasar khalayak, dan juga pasar industri periklanan (Hidayat 2000: 5).
Repotnya kecenderungan industri media memang menuju pada kondisi yang ”mengkhawatirkan”. Kecenderungan industri media di dunia, dalam beberapa tahun terakhir menurut David Croteau dan Wiliam Hoynes mengalami empat macam perkembangan, yaitu: 1) Growth, pertumbuhan, diwarnai dengan fenomena mergers antar perusahaan atau joint, sehingga makin besar dan merambah ke mana-mana. 2)  Integration,  terintergrasi secara horisontal dengan bergerak ke berbagai bentuk media seperti film, penerbitan, radio, televisi, internet, dan sebagainya. Juga secara vertikal, dengan memiliki perusahaan di berbagai tahapan produksi dan distribusi. 3) Globalization, telah menjadi entitas global, dengan jaringan pemasaran yang menembus yuridiksi negara dan mendunia. 4) Concentration of ownership, kepemilikan holdings media yang menjadi meanstream semakin terkonsentrasi kepemilikannya (Croteau & Iones 2001: 39-99). Amerika Serikat secara sadar memang melakukan banyak deregulasi di bidang konsentrasi media. Ada anggapan, konsentrasi kepemilikan merupakan sarana yang menguntungkan untuk perusahaan Amerika mendominasi pasar dunia (Barker 2004: 1001).
Wacana sebagai Instrumen. 
Menurut Foucault (1972), setiap era sejarah memiliki pandangan, deskripsi, klasifikasi, dan pemahaman tentang dunia khas. Cara pikir ditentukan bukan oleh orang-orang, tetapi ditentukan oleh struktur diskursif yang dominan pada masa itu. Struktur diskursif  bisa berupa teks tertulis, bahasa verbal oral dan nonverbal, praktik-praktik institusi, dan lain-lain (Faucault, 1972/2002: 211).
Michel Foucault dalam The Archaeology of Knowledge (1972), mengatakan bahwa wacana membentuk dan mengkonstruksikan peristiwa tertentu, dan gabungan dari peristiwa-peristiwa tersebut membentuk narasi yang dapat dikenali. Dalam suatu masyarakat biasanya terdapat berbagai macam wacana yang berbeda satu sama lain, namun kekuasaan memilih dan mendukung wacana tertentu sehingga wacana tersebut menjadi dominan, sedangkan wacana-wacana lainnya akan terpinggirkan (marginalized) atau terpendam (submerged) (Beilhartz 2005: 132).
Foucault  menganggap kekuasaan tidak hanya dimiliki oleh negara, beberapa kelompok memiliki jenis kekuasaan tertentu. Melalui wacana (discourse) mereka mengontrol pemikiran, keyakinan dan tindakan individu lain. Discourse ini menjadi key word yang dibahas dan ditawarkan dalam pemikiran Foucault sebagai instrumen yang dipakai oleh berbagai kekuatan untuk mempengaruhi yang lain dalam rangka mencapai tujuan (Foucault 1977).
Menurutnya masyarakat menjadi subjek-subjek yang diciptakan oleh sistem dan jaringan kekuasaan yang biasanya tidak disadari sama sekali oleh sang subjek. Menurut Foucault, kekuasaan menciptakan pengetahuan, pengetahuan dan kekuasaan saling mempengaruhi secara langsung satu sama lain.  Metafor utama Faucault (1977) adalah bahwa masyarakat itu mirip “Panoptikon”, suatu penjara dimana semua orang di dalamnya bisa diawasi terus menerus (Ritzer & Goodman 2004:620).  Filsafat  Foucault (1977) jelas tampak relevan bagi zaman informasi sekarang ini, dimana pengetahuan dan kekuasaan keduanya berjalan bersama-sama.
Dalam term yang lebih spesifik geneologi kekuasaan, (Foucault 1975) mengupas bahwa kekuasaan dan ilmu pengetahuan secara langsung berdampak pada yang lain. Tidak ada hubungan kekuasaan tanpa pembentukan bidang ilmu pengetahuan, sebaliknya, pada saat yang sama, tidak ada ilmu pengetahuan yang  tidak mengisyaratkan dan merupakan hubungan kekuasaan  (Ritzer 2005: 94).
Selanjutnya menurut Foucault (1972) dikatakan bahwa kapitalisme pada dasarnya mempunyai kecenderungan mengontrol negara tetapi dengan cara yang halus, yaitu dengan cara mengontrol pengetahuan, wacana dan membuat definisi apa-apa yang dianggap baik dan benar. Mode baru penahklukan ini adalah, orang ditetapkan sebagai objek pengetahuan, objek wacana ilmiah. Pendirian kuncinya adalah ilmu pengetahuan manusia modern (Ritzer & Goodman, 2004: 619).
Jadi menurut Foucault (1972) diskursus mengatur bukan hanya apa yang bisa dikatakan  melainkan juga siapa yang dapat berbicara, di mana dan kapan. Dalam rejim modernitas, ”kebenaran” senantiasa  melibatkan relasi pengetahuan, di mana pengetahuan merupakan bentuk kekuasan yang memproduksi subjektivitas.
Selanjutnya, diskursus yang diproduksi oleh para agen ataupun atau aktor-aktor pemroduksi diskursus, pada dasarnya merupakan tindakan pengungkapan pengalaman subyektif mereka ke dalam dunia simbolik. Diskursus dapat dipahami sebagai realitas simbolik yang diproduksi oleh para aktor dalam rangka proses pengkonstruksian realitas. Artinya suatu diskursus yang diproduksi oleh seseorang bisa dilihat juga sebagai suatu proses pengkonstruksian realitas sosial yang sedang dilakukan oleh seseorang. Dasar pemikiran ini adalah teori Social Construction of Reality dari Peter Berger dan Thomas Luckman.
Realitas sosial bersifat relatif, dibentuk dan dikonstruksi oleh manusia. Dengan pemahaman semacam ini realitas berwajah plural. Setiap orang mempunyai konstruksi yang berbeda atas suatu realitas, sesuai pengalaman, preferensi, pendidikan, lingkungan pergaulan dan tatanan sosial tertentu.  Hanya saja, dalam interaksi sosial tidak semua orang memiliki peran yang sama. Menurut paradigma konstruksionisme kritis, pemaknaan terhadap realitas sosial  mainstream yang direpresentasikan pada wilayah publik, melalui wacana maupun bentuk-bentuk lain, pada dasarnya hanya menggambarkan kepentingan elit  daripada keseluruhan masyarakat (Heiner 2006). Para elitelah sebenarnya yang dominan memproduksi   pemaknaan dan wacana. Hasilnya tentu saja amat kental dengan kepentingan elite tersebut.
Metode
            Paradigma yang dipakai dalam studi ini adalah social constructionism. Dengan menggunakan paradigma social constructionism, berarti realitas sosial dilihat sebagai hasil konstruksi yang dilakukan dengan berbagai cara oleh aktor-aktor yang dominan di masyarakat. Social contructionism berkonsentrasi melakukan analisis pada proses pengkonstruksian realitas, di mana manusia adalah pelaku aktif yang melakukan pengkonstruksian terhadap pengetahuan. Dikatakan oleh Thomas A Swant, we invent concepts, models, and schemes to make sense of experience, and we continually test and modify these contructions in the light of new experience. Furthermore, there is an invitable historical and sociocultural dimension to this constructions (Denzin &  Yvonna, 2000:197).
Dengan paradigma social constructionism atau sering disebut juga dengan perspectivism, berarti penelitian ini menempatkan semua pengetahuan tentang realitas dipahami sebagai hasil konstruksi dan evaluasi yang terjadi di dalam kerangka kerja konseptual para pelaku sosial  melalui proses penggambaran dan penjelasan tentang apa yang terjadi tersebut. Realitas disusun dengan satu cara atau dengan cara lain yaitu saat mereka membicarakannya, menulis atau berargumentasi tentang realitas tersebut. Dalam bahasa aslinya dikatakan oleh  Potter, the world is constituted in one way or another as people talk it, write it and argue it (Denzin & Yvonna, 2000:197).
Dengan paradigma ini, diskursus atau wacana sebagai suatu bentuk pesan yang diucapkan, ditulis, dan diargumentasikan dipandang sebagai bagian dari proses konstruksi sosial. Karena itu studi yang mengungkap kontestasi wacana atau persaingan tarik ulur mengenai konsep tertentu, berdasar argumentasi Potter yang disitir oleh Thomas Swant, berarti studi itu juga sedang melakukan pengungkapan proses konstruksi sosial yang dilakukan oleh para produsen wacana. 
Selanjutnya, dengan paradigma social constructionism peneliti dapat mendeskripsikan bagaimana realitas itu dikonstruksi secara sosial dengan memetakan keterlibatan elemen-elemen sosial yang ada, kemudian dilakukan analisis yang memperbandingkan antara nilai-nilai ideal (bicara tentang value) dengan kenyataan yang terbentuk. Dengan kata lain, studi ini membandingkan antara nilai ideal dengan realitas normatif dan implementasinya di lapangan. Dengan dilakukannya analisis diskripsi konstruksi sosial semacam itu, dapat teridentifikasi pula keberadaan kelompok dominan dan kepentingan-kepentingan yang ada di balik pengkonstruksian sosial tersebut
Hasil dan Diskusi
Sejak masih berupa rancangan hingga implementasinya di lapangan, UU nomor 32 tentang Penyiaran sarat dengan kontroversi. Pada awalnya, UU ini banyak mendapat tentangan dari kalangan industri penyiaran, sementara di kalangan civil society, mereka mendukung hingga memperjuangkan pelaksanaannya. Tarik ulur atau kontestasi mengenai beberapa konsep yang ada pada UU Penyiaran ini pun seperti tiada hentinya. Negara, industri penyiaran, dan civil society memiliki interpretasi dengan argumen yang berbeda terhadap beberapa konsep dari sistem penyiaran yang demokratis.
 Dalam pembahasan mengenai pola hubungan antara negara, industri penyiaran, dan civil society, ditemukan bahwa posisi civil society pada dasarnya masih lemah. Mereka lebih banyak berperan pada level wacana, namun di level normatif dan implementasi peran mereka tidaklah signifikan. Posisi civil society yang kuat sebagaimana teori Habermas (1989) belum terjadi. Demokratisasi sebagai proses perubahan memang telah terjadi dan memberikan kesempatan yang luas bagi civil society untuk memproduksi wacana, sehingga mereka lah yang dominan di level ideal mewacanakan perubahan. Data menunjukkan bahwa berbagai tulisan dan pernyataan di media massa dipenuhi oleh pemikiran para tokoh civil society (Subiakto 2010: 209-317). Hal ini dikarenakan adanya kebebasan berkomunikasi yang memungkinkan civil society tumbuh dan berperan sebagai agen perubahan dalam tansisi demokrasi.
Pada level normatif, interpretasi negara tampak dominan dibandingkan agen yang lain. Interpretasi negara berlaku sebagai aturan normatif, bahkan diperkuat keputusan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Interpretasi UU Penyiaran oleh civil society dikalahkan oleh interpretasi pemerintah dalam beberapa kali yudicial review. Fenomena ini menunjukkan terjadinya konsolidasi negara setelah reformasi. Institusi-institusi negara saling dukung menciptakan konsolidasi pada tataran normatif yang sebelumnya sempat melemah karena deregulasi dan liberalisasi setelah reformasi. Diskursus di lingkungan negara diwarnai oleh pendekatan pembangunan media. Demokratisasi sebagai proses perubahan menjadi lebih sulit diterima oleh negara karena mereka sudah terbisa dengan sistem lama serta berkepentingan secara langsung terhadap sistem tersebut. Ini semakin kuat tatkala berbagai peraturan perundangan dan mindset lama masih juga bertahan di kalangan negara.
Di arah implementasi, kalangan industri atau pelaku penyiaran memiliki cara dan interpretasi sendiri yang cenderung pragmatis, sesuai kepentingan bisnis. Kalangan industri mengimplementasi aturan dan mewarnai diskursusnya dengan pendekatan pasar bebas. Hal ini tampak dari data-data empiris yang dilakukan oleh industri media, baik dalam melaksanakan sistem stasiun jaringan, maupun praktik-praktik pembelian ataupun pengalihan pemilikan lembaga penyiaran swasta yang tetap berlangsung (Subiakto 2010: 318-415). Implementasi yang berbeda dengan level ideal dan normatif dikarenakan posisi industri memiliki kepentingan langsung terhadap sistem yang sudah ada. Bagi industri, sistem lama telah memberikan banyak keuntungan, melakukan perubahan justru merupakan ancaman.
Selanjutnya ditemukan bahwa konsep civil society di Indonesia ternyata begitu kompleks dan khas. Jika dalam teori-teori sosial (Gramsci 1971, Hoang Thi Minth 2002) media massa dianggap sebagai bagian dari civil society, kenyataannya media massa, khususnya penyiaran, kalangan profesionalnya justru lebih banyak menempatkan diri sebagai bagian dari industri atau kapitalis. Ini nampak dari berbagai data pernyataan di berbagai media tentang kepentingan yang sama antara pemilik media penyiaran dengan para pekerjanya, terutama dalam menentang UU Penyiaran (Subiakto 2010: 209-241). Artinya, tidak selamanya media massa yaitu penyiaran bisa dimasukkan secara konseptual sebagai civil society.
Ditemukan pula bahwa aktivis civil society dalam kasus sistem penyiaran di Indonesia banyak yang berasal dari latar belakang yang berseberangan kepentingannya dengan gerakan civil society itu sendiri. Tokoh-tokoh yang berperan ada yang berasal dari negara dan ada pula yang dari industri. Dengan kata lain, ”kakinya” berada di banyak tempat, pada suatu saat yang bersangkutan berada di civil society, tetapi di saat yang lain berada di wilayah negara atau di industri (Subiakto 2010: 418-432).  Tentu saja diskursus yang mereka produksi tidak pernah terlepas dari pengalaman, preferensi, pendidikan, lingkungan pergaulan, dan tatanan sosial dari mana mereka berasal. Civil society acapkali ”dibajak” oleh kepentingan yang berbeda dengan mengatasnamakan publik. Pemaknaan terhadap realitas sosial yang direpresentasikan pada wilayah publik melalui wacana, pada akhirnya sarat  dengan kepentingan elite di kalangan civil society. Fenomena ini sesuai dengan teori konstruksionisme kritis dari Robert Heiner (2006), bahwa konstruksi dan pemaknaan terhadap realitas sosial lebih merepresentasikan kepentingan elite daripada masyarakat luas. Pada dasarnya, para elite lah yang dominan memproduksi pemaknaan dan wacana.
Temuan berikutnya, kendati Indonesia sudah berubah demokratis, tetapi kalangan civil society masih berpikir penuh kecurigaan terhadap negara. Negara senantiasa dicurigai akan melakukan kooptasi terhadap media penyiaran. Kekhawatiran terhadap pemerintah senantiasa muncul, baik dalam berbagai tulisan, pernyataan, berita, maupun seminar. Itu terjadi baik saat pemerintahan Megawati maupun pemerintahan SBY, dari Menkominfo Syamsur Ma’arif, Sofyan Jalil, Muhammad Nuh, hingga Tifatul Sembiring. Hal ini karena pengalaman masa Orde Baru, di mana negara memperlakukan media sebagai ideological state aparatus sebagaimana konsep Althusser (1971). Berdasar pengalaman itu, civil society memiliki mindset yang tidak berubah, menggunakan pendekatan visi radikal dalam wacana mereka untuk sistem penyiaran yang demokratis. Tidak berubahnya mindset dikarenakan aktivis civil society di bidang media penyiaran itu sendiri tidak banyak perubahan personalnya sejak masa reformasi hingga studi ini dilakukan (Subiakto, 2010: 429-432).
Visi radikal yang dimaksud, mendasarkan pada kekhawatiran akan kembalinya kekuasaan negara yang powerfull, sekaligus kekhawatiran akan kekuatan kapitalis yang cenderung mengkooptasi negara. Civil society melihat secara curiga hubungan antara negara dan industri dalam rangka penerapan diversity of ownership, negara dinilai lemah dihadapan industri, seakan negara begitu mudah terkooptasi oleh kekuatan kapitalis. Karena itu, yang diperjuangkan civil society adalah independensi media dari negara, sekaligus independensi media dari kapitalis, dan menciptakan pluralitas sistem media melalui keberadaan regulator yang independen. Visi radikal ditolak, baik oleh kalangan industri penyiaran maupun negara (Subiakto 2010: 432-441).
Sedangkan, kalangan industri melihat negara tidak lagi sebagai otoritas yang mengancam  atau akan mengkooptasi mereka. Industri justru inconvenience dengan keberadaan dan peran lembaga kuasi negara, yaitu KPI. Industri lebih mementingkan jaminan kebebasan berusaha sehingga ada peluang untuk berkembang. Sebagai institusi bisnis, stand point industri lebih fokus kepada kepentingan memperoleh keuntungan.
Temuan berikutnya, terdapat pandangan negara yang melihat dirinya sebagai institusi yang harus mendahulukan kepentingan umum dan keseimbangan dari berbagai stake holders. Relasinya dengan media bersifat kontekstual, berdasar pemikiran determinisme teknologi dan legal compliance. Semua yang dilakukan negara adalah menjalankan peraturan. Pandangan ini acapkali berseberangan dengan cara pandang civil society. Ideologi civil society tidak compatible dengan logika negara dalam memperlakukan media. Akibatnya, terjadi position incoherency,  tidak bertemunya pemikiran dan wacana di kalangan civil society dan negara .
Terdapat data terjadinya kooptasi industri terhadap negara, khususnya dalam kasus pembuatan Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2005. Negara sebagai sebuah sistem, diakui  memiliki banyak titik masuk terjadinya intervensi dari industri. Negara terdiri dari kalangan birokrat dan politisi. Kalangan political appointee atau politisi keberadaannya lebih dependent terhadap industri media. Sistem demokrasi di Indonesia yang menganut pilihan langsung oleh rakyat memberikan peran amat besar pada media massa untuk membentuk citra politisi. Kepentingan-kepentingan inilah yang kemudian menjadi faktor pendorong sikap akomodatif politisi (negara) terhadap industri media. Secara konseptual, berarti negara tidaklah monolitik, negara tidak ubahnya konsep civil society dan industri, sebagai entitas yang tidak tunggal.. 
Konsepsi negara menjadi semakin rumit, tidak lagi hanya eksekutif yang terdiri dari politisi dan birokrasi, namun juga mencakup legislatif dan yudikatif. Ditambah keberadaan state auxilary institution, yang memiliki kewenangan regulasi bahkan penindakan. KPI misalnya, dipilih oleh DPR, diangkat oleh Presiden, dan digaji melalui anggaran negara. Simbol mereka pun memakai lambang negara. Merekapun bagian dari negara, hanya saja dikarenakan komisionernya berasal dari civil society, seringkali KPI menempatkan dirinya lebih sebagai representasi civil society daripada negara. Tidak jarang mereka berhadap-hadapan dengan pemerintah atau negara itu sendiri. Terjadi apa yang disebut single country with multi-governments, satu negara dengan beberapa pemerintahan, yang sistem pertanggung-jawabannya tidak tunggal. Birokrasi negara bertanggung jawab kepada menteri dan presiden, sedang KPI bertanggung jawab kepada parlemen, padahal fungsinya sama, yaitu pelayanan pada publik, sehingga menjadikan pelayanan itu tidak efektif, proses perijinan menjadi panjang, lama, dan mahal.
Terdapat kecenderungan bahwa perkembangan teknologi dan bisnis akan mendorong terjadinya konsentrasi pemilikan, baik melalui merger maupun kerjasama. Secara empiris, kekhawatiran berlebihan terhadap konsentrasi pemilikan media justru akan menghambat perkembangan industri media penyiaran Indonesia menjadi perusahaan yang kuat dan kompetitif secara global. Sementara membiarkan seluruh sumber daya frekuensi dikuasai oleh segelintir orang juga akan memunculkan persoalan. Maka, diperlukan suatu konsep yang seimbang antara dua kepentingan itu. Kekhawatiran berlebihan pada konsentrasi media, bertentangan dengan bukti empiris bahwa tidak ada kontrol yang sempurna terhadap konten media, kendati oleh pemiliknya sendiri. Dengan kata lain, kekuatan kapitalisme dalam industri penyiaran lebih hanya pada kontrol asset atau kekayaan media, sementara kontrol terhadap isi tidak mungkin efektif secara sempurna. Karena para pekerja media memiliki logika sendiri, mereka senantiasa mempertimbangkan kepentingan pasar dan kehendak khalayak, baik dalam pemberitaan maupun program. Peran rating amat tinggi, ia menjadi ukuran keberhasilan penetrasi media, sekaligus pedoman isi untuk melangsungkan hidupnya. Tanpa memperhitungkan rating atau keinginan khalayak, industri media tidak akan hidup. Rating bukan hanya menjadi barometer, melainkan juga filter bagi ownership control. Dengan demikian, demokrasi tidak sepenuhnya terancam oleh kepemilikan media semata karena ada kekuatan pengontrol terhadap the power of ownership.
Di samping itu, format isi penyiaran juga bisa menjadi kontrol, bila senantiasa dikaitkan dengan surat izin yang diberikan oleh negara. Lembaga penyiaran swasta yang berubah format siarannya berarti mengingkari kontrak yang menjadi alasan diberikannya izin, karena itu idealnya apabila ada media penyiaran yang berubah format isinya berarti bisa dicabut izinnya. Sedangkan perubahan pemilikam saham bisa tetap dimungkinkan, asal tidak merubah format isi siaran. Di sinilah perlunya peran pengawasan KPI.
Studi ini juga mendapatkan data bahwa perkembangan teknologi menuntut semakin siapnya semua pihak akan terjadinya kecenderungan konsentrasi industri. Teknologi digital dan konvergensi memperbesar kemungkinkan terjadinya penggabungan antara para penyedia infrastruktur telekomunikasi dan konten penyiaran atau sebaliknya. Hal itu terlihat dari fenomena perkembangan IPTV yang sudah diadopsi di Indonesia maupun data-data perkembangan teknologi di kalangan industri media yang menggabungkan operator telepon dengan operator content media, juga operator penyiaran. Di sini terbukti secara empiris karakter teknologi konvergensi mendorong terjadinya sinergi dalam bentuk kerja sama dan merger antara operator telepon, internet, dengan operator penyiaran. Perkembangan teknologi adalah perkembangan kapital yang akan mendorong peluang-peluang bisnis baru dengan konsekuensi-konsekuensi baru,  yaitu menguatnya korporasi yang menguasai teknologi itu. Dengan kata lain, karakter teknologi akan mendorong semakin terjadinya konsentrasi pemilikian terhadap beragam industri karena hanya dengan cara itulah teknologi yang mahal menjadi efisien dalam penggunaannya.
Studi ini juga menemukan bahwa perkembangan teknologi memunculkan berbagai bentuk alternatif media, baik yang berdasar keberagaman segmen pasar, hingga bentuk media baru yang bersifat interaktif. Keberadaan teknologi interaktif inilah yang kemudian memunculkan citizen journalism dan terbentuknya public sphere yang menggairahkan partisipasi publik, sehingga justru mendukung iklim demokrasi.
Dengan terjadinya perkembangan teknologi komunikasi, maka menuntut pula perubahan pada aspek regulasi. Undang-Undang Penyiaran pada dasarnya kurang mengantisipasi perkembangan teknologi, sehingga memunculkan berbagai persoalan dalam implementasinya.
Simpulan
Dapat disimpulkan, pola hubungan antara negara, civil society, dan industri penyiaran, secara as it is relasi tersebut menunjukkan adanya kooptasi industri terhadap negara dan civil society. Lemahnya penegakkan aturan ideal di aras implementasi serta munculnya aturan yang akomodatif pada kepentingan industri merupakan indikator yang kuat terhadap pola hubungan semacam ini.
Disimpulkan pula civil society di Indonesia itu kompleks, konsep civil society bukanlah sebuah konsep yang baku yang berlaku sama di setiap negara, melainkan suatu konsep yang dinamis sesuai dengan sifat kondisi maupun pengalaman  negara masing-masing. Kalau selama ini berdasar teori sosial (Gramsci 1971, Hoang Thi Minh, 2002), menempatkan media massa sebagai bagian dari gerakan masyarakat sipil (civil society), studi ini telah mengoreksi teori tersebut. 
Implikasinya, secara teoritis studi ini memperkuat teori neo capitalism dalam konteks industri media penyiaran. Dasarnya adanya fakta keberadaan basis struktur ekonomi yang tidak lagi hanya dibagi ke dalam dua kriteria sebagaimana Marxian ortodoks, yaitu pemilik modal dan kaum proletar. Kekuasaan mode of production di industri penyiaran tidak hanya berada pada pemilik, tetapi juga pada manajemen. Kalangan profesional media sebenarnya bukan pemilik sarana produksi atau modal, namun karena profesi dan relasinya terhadap perusahaan sebagai sumber hidup, mereka menjadi amat berkepentingan pada kejayaan industri medianya. Di situlah mengapa kalangan profesional televisi merasa atau menempatkan dirinya sebagai industri, bukan civil society.  
Disimpulkan pula studi ini juga memperkuat konsep civil society menurut Cohen and Arato (1994), yang menempatkan kelompok civil society sebagai agen transisi demokrasi, yang senantiasa berbeda dengan negara dan pasar. Studi ini memperlihatkan bagaimana kritisnya civil society terhadap negara dan pasar. Terkadang, civil society mencurigai negara akan melakukan kooptasi terhadap media, namun di waktu yang lain, negara juga dianggap lemah terhadap industri. Tuduhan ini seakan saling bertentangan, namun ini bisa dipahami sebagai bukti bahwa posisi civil society memang berbeda dengan negara dan pasar, sekaligus menunjukkan dinamika civil society senantiasa ingin menjadi agen transisi demokrasi.
Simpulan studi ini juga memperkuat tesis Daniel Dhakidae dalam desertasinya di Cornell University tahun 1991. Dakhidae mencatat bahwa implikasi inovasi teknologi cetak yang mampu mencetak dengan kecepatan luar biasa dan hasil yang bersifat massal telah mempengaruhi ekspansi bisnis baru dengan membutuhkan manajemen yang lebih profesional. Dengan kapasitas teknologi mesin cetak yang semakin cepat, berimplikasi pada intensifikasi dan ekstensifikasi bisnis yang berkait dengan pemanfaatan teknologi tersebut. Perkembangan teknologi berarti merupakan transformasi kapital. Teknologi telah mendorong terjadinya konsentrasi industrial menjadi industri baru.
Sebagaimana tesis Dhakidae, karakter teknologi digital dan konvergensi telah  memperbesar kemungkinkan terjadinya sinergi, penggabungan atau merger antara para penyedia infrastruktur telekomunikasi dan konten penyiaran. Perkembangan teknologi konvergen juga akan mendorong peluang-peluang bisnis baru dengan konsekuensi-konsekuensi baru, yaitu menguatnya korporasi yang menguasai teknologi itu. Konsentrasi industri merupakan cara paling efisien dalam penggunaan teknologi yang begitu mahal. Ini berarti memperkuat tesis bahwa teknologi merupakan kapital untuk berkembangnya bisnis baru, dengan bentuk bentuk baru, dengan konsekuensi baru pula.
Studi ini juga memperkuat tesis C. Edwin Baker (Baker 2007:55), yang tidak setuju dengan pemikiran Bagdikian (1983) maupun McChessney (2000) yang mengkhawatirkan konsentrasi media. Menurut Barker internet telah merubah segalanya, karena menyajikan berbagai alternatif dan isinya tidak dapat dikontrol secara sempurna oleh siapapun. “Because of internet, whatever concentrated media power that existed previously “is breaking up”,  conclusion that objectionable concentration does not exist, especially as properly evaluated in respect to the media as a whole “ (Baker 2007:55). Jadi, perkembangan teknologi tetap akan menjamin adanya diversity of voices karena media yang beragam, sesuai dengan pasar ide mereka, akan memiliki suara yang beragam pula. Baker dalam kesempatan yang lain, juga mengatakan bahwa konsentrasi kepemilikan tujuannya selain efisiensi, untuk memperkuat perusahaan dalam persaingan pasar dunia. Disimpulkannya konsentrasi kepemilikan merupakan sarana yang menguntungkan untuk perusahaan Amerika mendominasi pasar dunia, media concentrations of media ownership beneficially aids American firm domination of world markets, (Baker 2004:1001).
Implikasi penerimaan tesis Baker berarti mengoreksi konsep sistem penyiaran yang demokratis dari Denis McQuail (2002), yang salah satunya mengharuskan adanya diversity of ownerships. Konsepsi ini, di masa depan akan semakin sulit dipenuhi karena bertentangan dengan trend teknologi, kecenderungan bisnis, hingga semakin tidak relevannya alasan yang mendasari konsep tersebut. Dengan standpoint ini, berarti berimplikasi pula terhadap perlunya peninjauan kembali mengenai regulasi keragaman kepemilikan, sebagaimana yang juga tertuang dalam Undang-Undang Penyiaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar