ABSTRACT
Broadcast media is not only seen as
the strength of civil society which guarantees freedom, but is also seen as the
power of capitalist which dominates states. Based on this background, there
appears to be a problem, is it true that the relationship pattern among the
state, the broadcast industry, and civil society in the New Order Broadcasting
System discourse is characterized by the industry’s co-optation towards the
state and civil society? The social construction analysis is used in this
research to answer these problems. Through the social construction analysis,
discourse as a form of spoken, written, and argued messages is viewed as part
of the social construction process. To reveal discourse contestation means to
reveal the social construction process that has been undertaken by discourse
producers. Based on the critical constructionist theory of Robert Heiner, the
construction and meaning of social reality represents the interest of elites
rather than the public or wider community. Elites dominantly produced meaning
and discourse. This research reveals that the construction of reality is
critically tested with the ideal value selected by the researcher. The result of this
research shows that the position of civil society remains weak in their
relationship with the state and industry. Indonesian civil society is not as
ideal as Habermas's theory. Civil society contributes more at the discourse
level but ignore many other civil society’s concepts at the normative and
implementation level. The relationship pattern with the state, civil society,
and the broadcast industries shows strong patterns of industry hegemonies state
and civil society. The strong relationship pattern is indicated by weak
enforcement of regulations at the implementation level and the emergent of
regulations that accommodate the interest of the industry. This means that a
balanced pattern of checks and balances that is idealized in the three agents’
relationship did not happen.
Key words: discourse, broadcast system, civil society, industry, state.
Awalnya, media massa merupakan
komponen yang dibutuhkan untuk mengontrol kekuasaan, dengan diposisikan sebagai
“watch dog”, atau sebagai the fourth estate of democracy. Dalam
konteks itu, demokrasi mensyaratkan adanya kebebasan pers, akan tetapi tatkala
media masa tumbuh sebagai kekuatan yang berpengaruh secara politik, ekonomi,
dan budaya, media justru bisa menjadi ancaman tersendiri bagi demokrasi.
Menurut Peter Golding dan Graham Murdock, “Media as a political and economic
vehicle, tend to be controlled by conglomerates and media barons who are
becoming fewer in number but through acquisition, controlled the larger part of
the world’s mass media and mass communication”(Golding & Murdock,
2000:71).
Melalui proses merger dan
akuisisi, para baron pemilik media dunia semakin sedikit. Menurut Robert W Mc
Chesney, pada tahun 2000, penguasa media dunia yang sebelumnya ada puluhan,
kini tinggal tiga besar. Chesney khawatir, apa jadinya jika kekuatan media
sebagai produsen budaya, produsen informasi politik, dan kekuatan ekonomi,
hanya terkonsentrasi pada beberapa orang (McChesney, 2000). Bagi Chesney,
demokratis tidaknya suatu negara tidak cukup hanya dilihat dari sistem
politiknya. Ia menekankan pentingnya perubahan sistem media sebagai bagian dari
demokratisasi. Untuk mendemokratisasikan masyarakat, harus pula dilakukan upaya
mengubah sistem media .
Salah satu bentuk media yang paling
dominan adalah penyiaran. Media penyiaran merupakan medium raksasa yang setiap
saat hadir sebagai ruang publik bagi siapapun yang menonton atau
mendengarkannya. Media penyiaran merupakan alun-alun demokrasi modern, yang
begitu besar dan begitu dahsyat dampaknya bagi kehidupan dan kebudayaan (Garin
Nugroho, dalam Panjitan & Siregar, 2003:5). Media penyiaran juga memiliki
kekhasan, menggunakan ranah publik berupa frekuensi yang jumlahnya terbatas. Di
berbagai negara, media penyiaran senantiasa sarat dengan aturan (highly
regulated), baik infrastruktur maupun isinya (McQuail 2002:208). Mekanisme
pengaturan menjadi indikator demokratis tidaknya negara yang bersangkutan.
Studi
komunikasi politik di Indonesia yang berkaitan dengan topik tersebut sudah
beberapa kali dilakukan, di antaranya oleh Krishna Sen dan David Hill, Murdoch
University (2000), Bimo Nugoho Sekundatmo, Universitas Indonesia (2006), juga
Hermin Indah Wahyuni, Universitas Leipzig Jerman (2006). Dilihat dari
perspektif teori yang digunakan beberapa studi di atas, lebih mendasarkan pada
teori kuatnya hegemoni negara, sedangkan bagaimana kekuatan civil society
belum dianalisis secara mendalam. Begitu pula yang berkaitan dengan kekuatan
kapitalisme di industri penyiaran. Kajian mengenai bagaimana kapitalisme
menghegemoni negara maupun civil society kurang mendapat tempat. Dari
latar belakang itulah permasalahan studi ini dimulai, sekaligus menjadi starting
point untuk berteori. Pertanyaannya, betulkah pola hubungan antara negara,
industri penyiaran, dan civil society dalam diskursus Sistem Penyiaran
Pasca Orde Baru diwarnai oleh kooptasi kapitalis atau industri?
Tinjauan
Pustaka
Dalam esai yang berjudul Idiological
States Apparatus, Althusser (1971) mengatakan bahwa wacana baik yang berupa
pernyataan, isi media, maupun berbagai aturan, berfungsi sebagai ranah dan
dasar pembenar represi yang dilakukan negara kepada warganya. Alasannya negara
senantiasa membutuhkan ketertundukan dan kepatuhan warganya. Untuk
mendapatkannya, tidak dapat hanya mengandalkan kekuasaan dan kekerasan semata,
karena bisa dinilai otoriter. Padahal negara senantiasa membutuhkan
legitimasi, agar kekuasaan tidak diusik. Menurut Althusser, masyarakat
dipersatukan bukan oleh ekonomi semata, tetapi oleh ideologi (Beilhartz 2005:4)
Althusser, memperkenalkan konsep aparatur negara represif (repressive state
apparatus), yaitu mereka yang identik dengan sistem dan struktur negara,
yang berdiri sebagai penyangga kekuasaan yang sah dan eksplisit. Contohnya
militer, pengadilan, dan birokrat. Konsep kedua, ideological state aparatus
(ISA), yaitu institusi agama, kebudayaan, pendidikan, termasuk media massa.
Cara kerja ISA lebih banyak bergerak pada aspek idiologis. Kemudian pada
akhirnya akan bersifat represif juga, karena memang dimaksudkan untuk
memanipulasi kesadaran.
Di sini pemikiran Althusser
sebenarnya memperkuat pemikiran teoritisi Jerman, Antonio Gramsci (1971) mengenai
hegemoni. Teori hegemoni Gramsci (1971) sebagaimana teori ideological state
apparatus Althusser pada dasarnya juga merupakan represi kekuasaan.
Bedanya, represi dalam hegemoni itu berciri ”halus” (subtle)
mengandalkan kepemimpinan moral dan intelektual dan bersifat aktif. Hegemoni
tidak dicapai melalui coercive power, tapi melalui diskursus sistemik
(bahasa), terarah, dan berkelanjutan untuk memenangkan penerimaan publik
secara sukarela akan sebuah gagasan atau rezim (Hendarto 1992:66).
Dalam kehidupan empiris, untuk
menciptakan ketertundukan masyarakat, paradigma kekuasaan pada masa Orde Baru
banyak mengandalkan represive state aparatus, dan idiological
state aparatus. Paradigma saat itu juga dikenal dengan istilah korporatisme
negara. Rejim Orde Baru menerapkan authoritarian corporatism dalam
pengorganisasian politik sebagai instrumen menjalankan kontrol politik secara
otoriter, atas nama ”tujuan nasional” yang ditetapkan oleh rejim penguasa itu
sendiri (Robison 1993:45-46).
Karl D Jackson memberi istilah dengan nama “bereaucratic polity”,
sebuah bentuk pemerintahan totaliter yang lebih mendahulukan mobilisasi
ketimbang partisipasi (Jackson & Pye, 1978:4) Semua elemen negara,
masyarakat, dan berbagai kekuatan ekonomi dimobilisasi untuk mencapai tujuan
negara, yang kesemuanya dalam kontrol kekuasaan Soeharto. Fenomena inilah yang
disebut Arief Budiman sebagai otoriter birokratik pembangunan (Budiman
1991:13), di mana pejabat negara memiliki otoritas luas untuk melakukan
regulasi dan memberikan fasilitas kemudahan pada para pengusaha kroni mereka.
Lama kelamaan para pengusaha yang handal menjadi mandiri, kemudian kalangan
berjuasi ini menjadi elite baru, menduduki kelas dominan dalam model
pembangunan yang birokratik otoriter (Budiman 1991:14).
Pada masa itu media massa
ditempatkan sebagai ideological state aparatus yang berperan
mereproduksi dan menjaga stabilitas legitimasi rejim (Hidayat, 2006:6).
Kalangan analisis instrumentalis melihat kehidupan media massa di Indonesia
saat itu sebagai instrumen dominasi penguasa Orde Baru dan pemilik modal
(Herman & Chomsky 1988:ix). Orde Baru memiliki surplus akses ke media,
memiliki legalitas mengontrol media serta monopoli pemberian lisensi. Di lain
pihak, para pemilik media memiliki kekuasaan penuh terhadap para
pekerjanya.
Boleh dikatakan rezim Orde Baru
benar-benar menguasai segalanya. Kalangan pengusaha, maupun masyarakat,
terhegemoni dan tunduk di bawah kekuasaan negara. Saat itu menurut Richard
Robison, kejayaan negara telah melampaui kekuatan pasar, the triumph of the
state over the market. Negara telah menjadi predator yang
mengintervensi institusi lain (Robison 1993: 33).
Menguatkah peran civil society?
Gerakan reformasi 1998 telah membawa perubahan. Reformasi tidak saja
menjatuhkan kekuasaan Soeharto, tetapi juga menjadi tonggak sejarah melemahnya
kekuatan negara. Terjadi deregulasi dan liberalisme di berbagai sektor. Salah
satu yang signifikan adalah jaminan kebebasan berpekspresi dan kebebasan media
massa, yaitu dihilangkannya ketentuan SIUPP dengan berlakunya Undang-Undang No
40 tahun 1999 tentang Pers.
Reformasi telah menghasilkan perubahan politik, tetapi persoalannya apakah
kemudian tercipta suatu keadaan ideal yang demokratis? Menurut Samuel
Huntington, demokratisasi membutuhkan budaya yang kondusif. Demokrasi tidak
dapat dicapai hanya dengan membuat perubahan kelembagaan karena kelangsungannya
tergantung pada nilai-nilai dan kepercayaan warga (Huntinton & Harrison
2006:43). Modal sosial merupakan faktor penting untuk menciptakan civil
society yang sehat. Menghasilkan
kondusivitas dan produktivitas dalam masyarakat yang berinteraksi dengan saling
memiliki kepercayaan satu sama lainnya (Huntington & Harrison 2006:
44).
Kondisi civil society pasca-reformasi memang
lebih baik dibanding masa Orde Baru, namun tidak bisa dikatakan telah terjadi
penguatan. Suatu negara dikatakan civil
society-nya menguat apabila memenuhi kriteria; the existence of shared
values, the increase of social trust, stronger social cohation, the growing of
solidarity based on humanism, more balance partisipation, the growing of
beliefs in social justice, stronger beliefs in social political progress
(Sparinga, 2008:4). Tujuh karakteristik tersebut tidak muncul,
malahan terjadi sebaliknya yaitu, sharp fragmentation of ideologies, growing
of social distrust, widening of violent communal conflicts, the persistency of
ethnic or religious sentiments, over public participation, widening of
perceived systematic injustice, stronger apathy, pessimism, and scepticsm
(Sparinga 2008:7).
Hal itu dibenarkan Philip Kitley bahwa di Korea, Thailand dan Indonesia
terdapat civil society yang memiliki perhatian terhadap
persoalan-persoalan media dan kepentingan publik, namun pengaruhnya masih
terbatas (Kitley 2003: 17). Lalu siapa sebenarnya yang dimaksud civil society?
Menurut USAIDS, civil society menggambarkan lembaga bukan pemerintah,
nirlaba, organisasi independen yang terbuka untuk keikutsertaan seluruh lapisan
masyarakat; termasuk kelompok-kelompok hak azasi manusia, asosiasi
professional, lembaga keagamaan, kelompok
penegak demokrasi, organisasi aktivis lingkungan, perkumpulan buruh,
organisasi-organisasi media, dan asosiasi sukarela yang bekerja untuk
kebaikan publik (Hoang Thi Minh 2002: 27).
Civil
society merupakan bentuk baru tindakan kolektif yang pengelompokannya tidak
berdasar kelas, namun berkait dengan institusi publik dari masyarakat, yang
berkumpul secara legal. Civil society berbeda dari negara, dan juga berbeda dari ekonomi pasar
kapitalis karena merekalah aktor transisi demokrasi (Cohen & Arato
1994:2).
Civil society di Indonesia berakar dari
gerakan oposisi pada masa Orde Baru, dari middle class yang ingin
memperjuangkan demokratisasi dan liberalisasi (Robison, 1993:124). Mereka
membentuk LSM, ataupun asosiasi tandingan, menentang organisasi resmi dukungan
pemerintah. Gerakan civil society itu awalnya lebih banyak difokuskan
untuk menentang otoritarianisme negara, karena itu kurang terorganisasi dengan
baik
Sedangkan Gramsci (1971) merujuk civil society sebagai organisasi di
luar negara, yaitu ada dalam formasi sosial di luar sistem produksi material
dan ekonomi yang didukung dan dilaksanakan oleh orang atau komponen di luar
batasan ekonomi (mode of production), dan negara (political society).
Mereka
adalah semua organisasi swasta (private), yakni gereja, media massa,
partai politik, serikat dagang, lembaga kebudayaan, dan lembaga sukarela
lanilla (Simon 1999: 103).
Kapitalisme yang Makin Dominan
Selama Orde Baru pertumbuhan ekonomi di Indonesia tidak disangsikan. Membaiknya
ekonomi memunculkan kelas menengah, juga kalangan borjuis, kapitalis. Ada yang
besar karena telah menjadi kroni penguasa, tapi ada pula karena kehandalan
mereka dalam berusaha. Saat itu negara begitu kuat, mampu mengatur segalanya,
termasuk bisnis dan industri.
Pasca-reformasi terjadi perubahan
besar. Runtuhnya Orde Baru berimplikasi kuatnya gejala demokratisasi sekaligus
liberalisasi di sektor politik maupun ekonomi. Indonesia-pun mengalami pola
umum, sebagaimana disinyalir Fukuyama (1992). Pola umum itu adalah evolusi
sejarah yang berakhir pada kenyataan bahwa masyarakat cenderung melakukan
pencarian terhadap “pengakuan” dan kebebasan, yang hanya dapat ditemukan pada
masyarakat kapitalis demokrasi liberal (Fukuyama 1992).
Runtuhnya Orde Baru juga menyebabkan
para kapitalis termasuk pemilik media ”terbebas” dari kontrol negara. Dalam
perkembangannya, para profesional di bidang mediapun mulai menampakkan peran
dan pengaruhnya. Sebagaimana CEO di perusahaan multinasional, dalam perusahaan
mediapun terdapat fragmentasi dan stratifikasi yang membentuk kelas baru. Sekaligus bisa diartikan, perkembangan kapitalisme media bukan sesuatu
yang monolitik. Wartawan dan pemilik media merupakan entitas yang
karakternya berbeda-beda (Golding & Murdock 2000).
Awal reformasi, kalangan pekerja media penyiaran akrab dengan civil society.
Mereka berjuang bersama untuk kebebasan pers dan melepaskan diri dari kontrol
negara. Keadaan berubah ketika Undang-Undang Penyiaran akan diterapkan. Para
kapitalis didukung pekerja profesional penyiaran, dengan tegas menolak UU
No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Nampaknya kepentingan yang sama, mampu menyatukan
sikap kalangan pemilik dengan kalangan profesional.
Bagi neo liberalisme, tuntutan deregulasi industri penyiaran pada
hakekatnya adalah penghapusan semaksimal mungkin state regulation untuk
digantikan oleh market regulation (Hidayat 2000: 5). UU no 32 tahun 2002
dianggap tetap memunculkan state regulation dengan gaya yang baru, dari
kewenangan pemerintah ke independen regulatory body yaitu KPI. Untuk
menjelaskan fenomena penolakan tersebut, kita dapat menggunakan
pemikian yang ditawarkan oleh Michel Foucault (1972).
Kapitalisme mempunyai kecenderungan mengontrol negara tetapi dengan cara
yang halus, yaitu dengan cara mengontrol pengetahuan, wacana dan membuat
definisi apa-apa yang dianggap baik dan benar. Mode baru penahklukan ini
adalah, orang ditetapkan sebagai objek pengetahuan, objek wacana ilmiah.
Pendirian kuncinya adalah ilmu pengetahuan manusia modern (Rizer & Goodman
2004: 619). Menurut Foucault (1972) pengetahuan adalah kekuasaan untuk menguasai
yang lain.
Penolakan terhadap Undang-Undang Penyiaran, menunjukkan kebenaran sinyalemen
Foucault (1972). Meminjam konsepsi Lash dan Urry, menamakan kondisi seperti itu
dengan ”Kapitalisme Tidak Tertata” di mana kelas kapital menjadi semakin
dominan (Barker 2004: 109). Dominasinya tidak saja pada negara, sebagaimana konsep Marx ortodoks,
tetapi juga kontrol terhadap civil society melalui kebudayaan yang
konsumtif.
Neo kapitalisme menunjukan basis struktur ekonomi tidak lagi hanya dibagi ke
dalam dua kriteria mereka yang memiliki modal dengan mereka yang tidak
memiliki. Dalam masyarakat modern yang makin kompleks, kekuasaan pada mode
of production berada selain pada pemilik juga pada manajemen. Kalangan
profesional seperti manajemen, sebenarnya bukan merupakan pemilik sarana
produksi atau modal, namun karena profesi dan relasinya terhadap
perusahaan sebagai sumber hidupnya, mereka menjadi amat berkepentingan terhadap
kejayaan industri tersebut. Kelas utama dalam masyarakat baru yang tengah
muncul tersebut adalah kelas profesional yang berdasarkan pengetahuan ketimbang
kekayaan (Bell dalam Barker 2004: 107). Walhasil yang menjadi kelas dominan
adalah kelompok yang mampu mengakses dan mengontrol informasi. Kendati ada
perubahan sektor-sektor ekonomi, pola-pola organisasi kerja kapitalis tetap
berjalan (Barker 2004: 108).
Dalam banyak hal civil society dimanfaatkan oleh kapitalis sebagai
jembatan untuk meluaskan budaya konsumsi, tujuannya supaya kaum proletar tetap
tunduk, dan kapitalisme tetap berjalan. Industri budaya telah menjadi faktor
ekonomis dan politis yang krusial pada kapitalisme akhir, yang mengalihkan
perhatian dari masalah yang sebenarnya mereka alami, menawarkan solusi palsu.
Industri budaya telah membantu memanipulasi kesadaran sehingga memperpanjang
kapitalisme yang dulu kemundurannya diharapkan Marx (Agger 2005: 108).
Dengan liberalisasi, industri penyiaran menjadi semakin bebas dari kontrol
negara, namun semakin rentan terhadap represi rejim kapital, atau kediktatoran
pasar (market dictatorship), yang beroperasi melalui the invisible
hand mekanisme pasar. Khususnya dalam industri penyiaran, represi rejim
kapital tersebut berlangsung di dua front: pasar khalayak, dan juga
pasar industri periklanan (Hidayat 2000: 5).
Repotnya kecenderungan industri media memang menuju pada kondisi yang
”mengkhawatirkan”. Kecenderungan industri media di dunia, dalam beberapa tahun
terakhir menurut David Croteau dan Wiliam Hoynes mengalami empat macam
perkembangan, yaitu: 1) Growth, pertumbuhan, diwarnai dengan fenomena mergers
antar perusahaan atau joint, sehingga makin besar dan merambah ke
mana-mana. 2) Integration, terintergrasi secara horisontal
dengan bergerak ke berbagai bentuk media seperti film, penerbitan, radio,
televisi, internet, dan sebagainya. Juga secara vertikal, dengan memiliki
perusahaan di berbagai tahapan produksi dan distribusi. 3) Globalization, telah menjadi entitas global, dengan jaringan
pemasaran yang menembus yuridiksi negara dan mendunia. 4) Concentration of
ownership, kepemilikan holdings media yang menjadi meanstream
semakin terkonsentrasi kepemilikannya (Croteau & Iones 2001: 39-99). Amerika Serikat secara sadar memang melakukan banyak deregulasi di bidang
konsentrasi media. Ada anggapan, konsentrasi kepemilikan merupakan
sarana yang menguntungkan untuk perusahaan Amerika mendominasi pasar dunia
(Barker 2004: 1001).
Wacana sebagai Instrumen.
Menurut Foucault (1972), setiap era
sejarah memiliki pandangan, deskripsi, klasifikasi, dan pemahaman tentang dunia
khas. Cara pikir ditentukan bukan oleh orang-orang,
tetapi ditentukan oleh struktur diskursif yang dominan pada masa itu. Struktur
diskursif bisa berupa teks tertulis, bahasa verbal oral dan nonverbal,
praktik-praktik institusi, dan lain-lain (Faucault, 1972/2002: 211).
Michel Foucault dalam The Archaeology of Knowledge (1972),
mengatakan bahwa wacana membentuk dan mengkonstruksikan peristiwa tertentu, dan
gabungan dari peristiwa-peristiwa tersebut membentuk narasi yang dapat dikenali.
Dalam suatu masyarakat biasanya terdapat berbagai macam wacana yang berbeda
satu sama lain, namun kekuasaan memilih dan mendukung wacana tertentu sehingga
wacana tersebut menjadi dominan, sedangkan wacana-wacana lainnya akan
terpinggirkan (marginalized) atau terpendam (submerged)
(Beilhartz 2005: 132).
Foucault menganggap kekuasaan tidak hanya dimiliki oleh negara,
beberapa kelompok memiliki jenis kekuasaan tertentu. Melalui wacana (discourse)
mereka mengontrol pemikiran, keyakinan dan tindakan individu lain. Discourse
ini menjadi key word yang dibahas dan ditawarkan dalam pemikiran
Foucault sebagai instrumen yang dipakai oleh berbagai kekuatan untuk
mempengaruhi yang lain dalam rangka mencapai tujuan (Foucault 1977).
Menurutnya masyarakat menjadi subjek-subjek yang diciptakan oleh sistem dan
jaringan kekuasaan yang biasanya tidak disadari sama sekali oleh sang subjek.
Menurut Foucault, kekuasaan menciptakan pengetahuan, pengetahuan dan kekuasaan
saling mempengaruhi secara langsung satu sama lain. Metafor utama
Faucault (1977) adalah bahwa masyarakat itu mirip “Panoptikon”, suatu
penjara dimana semua orang di dalamnya bisa diawasi terus menerus (Ritzer &
Goodman 2004:620). Filsafat Foucault (1977) jelas tampak relevan
bagi zaman informasi sekarang ini, dimana pengetahuan dan kekuasaan keduanya
berjalan bersama-sama.
Dalam term yang lebih spesifik geneologi kekuasaan, (Foucault 1975)
mengupas bahwa kekuasaan dan ilmu pengetahuan secara langsung berdampak pada
yang lain. Tidak ada hubungan kekuasaan tanpa pembentukan bidang ilmu
pengetahuan, sebaliknya, pada saat yang sama, tidak ada ilmu pengetahuan
yang tidak mengisyaratkan dan merupakan hubungan kekuasaan (Ritzer
2005: 94).
Selanjutnya menurut Foucault (1972) dikatakan bahwa kapitalisme pada
dasarnya mempunyai kecenderungan mengontrol negara tetapi dengan cara yang
halus, yaitu dengan cara mengontrol pengetahuan, wacana dan membuat definisi
apa-apa yang dianggap baik dan benar. Mode baru penahklukan ini adalah, orang
ditetapkan sebagai objek pengetahuan, objek wacana ilmiah. Pendirian kuncinya
adalah ilmu pengetahuan manusia modern (Ritzer & Goodman, 2004: 619).
Jadi menurut Foucault (1972) diskursus mengatur bukan hanya apa yang bisa dikatakan
melainkan juga siapa yang dapat berbicara, di mana dan kapan. Dalam rejim
modernitas, ”kebenaran” senantiasa melibatkan relasi pengetahuan, di mana
pengetahuan merupakan bentuk kekuasan yang memproduksi subjektivitas.
Selanjutnya, diskursus yang diproduksi oleh para agen ataupun atau
aktor-aktor pemroduksi diskursus, pada dasarnya merupakan tindakan pengungkapan
pengalaman subyektif mereka ke dalam dunia simbolik. Diskursus dapat dipahami
sebagai realitas simbolik yang diproduksi oleh para aktor dalam rangka proses
pengkonstruksian realitas. Artinya suatu diskursus yang diproduksi oleh
seseorang bisa dilihat juga sebagai suatu proses pengkonstruksian realitas
sosial yang sedang dilakukan oleh seseorang. Dasar pemikiran ini adalah teori Social
Construction of Reality dari Peter Berger dan Thomas Luckman.
Realitas sosial bersifat relatif, dibentuk dan dikonstruksi oleh manusia.
Dengan pemahaman semacam ini realitas berwajah plural. Setiap orang mempunyai
konstruksi yang berbeda atas suatu realitas, sesuai pengalaman, preferensi,
pendidikan, lingkungan pergaulan dan tatanan sosial tertentu. Hanya saja, dalam interaksi sosial tidak semua orang memiliki peran yang
sama. Menurut paradigma konstruksionisme kritis, pemaknaan terhadap realitas
sosial mainstream yang direpresentasikan pada wilayah publik,
melalui wacana maupun bentuk-bentuk lain, pada dasarnya hanya menggambarkan
kepentingan elit daripada keseluruhan masyarakat (Heiner 2006). Para
elitelah sebenarnya yang dominan memproduksi pemaknaan dan wacana.
Hasilnya tentu saja amat kental dengan kepentingan elite tersebut.
Metode
Paradigma yang dipakai dalam studi ini adalah social constructionism.
Dengan menggunakan paradigma social constructionism, berarti realitas
sosial dilihat sebagai hasil konstruksi yang dilakukan dengan berbagai cara
oleh aktor-aktor yang dominan di masyarakat. Social contructionism
berkonsentrasi melakukan analisis pada proses pengkonstruksian realitas, di
mana manusia adalah pelaku aktif yang melakukan pengkonstruksian terhadap
pengetahuan. Dikatakan oleh Thomas A Swant, we invent concepts, models, and schemes
to make sense of experience, and we continually test and modify these
contructions in the light of new experience. Furthermore, there is an invitable
historical and sociocultural dimension to this constructions (Denzin &
Yvonna, 2000:197).
Dengan paradigma social
constructionism atau sering disebut juga dengan perspectivism,
berarti penelitian ini menempatkan semua pengetahuan tentang realitas dipahami sebagai
hasil konstruksi dan evaluasi yang terjadi di dalam kerangka kerja konseptual
para pelaku sosial melalui proses penggambaran dan penjelasan tentang apa
yang terjadi tersebut. Realitas disusun dengan satu cara atau dengan cara lain
yaitu saat mereka membicarakannya, menulis atau berargumentasi tentang realitas
tersebut. Dalam bahasa aslinya dikatakan oleh Potter, the world is
constituted in one way or another as people talk it, write it and argue it
(Denzin & Yvonna, 2000:197).
Dengan paradigma ini, diskursus atau
wacana sebagai suatu bentuk pesan yang diucapkan, ditulis, dan diargumentasikan
dipandang sebagai bagian dari proses konstruksi sosial. Karena itu studi yang
mengungkap kontestasi wacana atau persaingan tarik ulur mengenai konsep tertentu,
berdasar argumentasi Potter yang disitir oleh Thomas Swant, berarti studi itu
juga sedang melakukan pengungkapan proses konstruksi sosial yang dilakukan oleh
para produsen wacana.
Selanjutnya, dengan paradigma social
constructionism peneliti dapat mendeskripsikan bagaimana realitas itu
dikonstruksi secara sosial dengan memetakan keterlibatan elemen-elemen sosial
yang ada, kemudian dilakukan analisis yang memperbandingkan antara nilai-nilai
ideal (bicara tentang value) dengan kenyataan yang terbentuk. Dengan
kata lain, studi ini membandingkan antara nilai ideal dengan realitas normatif
dan implementasinya di lapangan. Dengan dilakukannya analisis diskripsi
konstruksi sosial semacam itu, dapat teridentifikasi pula keberadaan kelompok
dominan dan kepentingan-kepentingan yang ada di balik pengkonstruksian sosial
tersebut
Hasil dan Diskusi
Sejak masih berupa rancangan hingga
implementasinya di lapangan, UU nomor 32 tentang Penyiaran sarat dengan
kontroversi. Pada awalnya, UU ini banyak mendapat tentangan dari kalangan
industri penyiaran, sementara di kalangan civil society, mereka
mendukung hingga memperjuangkan pelaksanaannya. Tarik ulur atau kontestasi
mengenai beberapa konsep yang ada pada UU Penyiaran ini pun seperti tiada
hentinya. Negara, industri penyiaran, dan civil society memiliki
interpretasi dengan argumen yang berbeda terhadap beberapa konsep dari sistem
penyiaran yang demokratis.
Dalam pembahasan mengenai pola
hubungan antara negara, industri penyiaran, dan civil society, ditemukan
bahwa posisi civil society pada dasarnya masih lemah. Mereka lebih
banyak berperan pada level wacana, namun di level normatif dan implementasi
peran mereka tidaklah signifikan. Posisi civil society yang kuat
sebagaimana teori Habermas (1989) belum terjadi. Demokratisasi sebagai proses
perubahan memang telah terjadi dan memberikan kesempatan yang luas bagi civil
society untuk memproduksi wacana, sehingga mereka lah yang dominan di level
ideal mewacanakan perubahan. Data menunjukkan bahwa berbagai tulisan dan
pernyataan di media massa dipenuhi oleh pemikiran para tokoh civil society
(Subiakto 2010: 209-317). Hal ini dikarenakan adanya kebebasan berkomunikasi
yang memungkinkan civil society tumbuh dan berperan sebagai agen
perubahan dalam tansisi demokrasi.
Pada level normatif, interpretasi
negara tampak dominan dibandingkan agen yang lain. Interpretasi negara berlaku
sebagai aturan normatif, bahkan diperkuat keputusan Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi. Interpretasi UU Penyiaran oleh civil society dikalahkan oleh
interpretasi pemerintah dalam beberapa kali yudicial review. Fenomena
ini menunjukkan terjadinya konsolidasi negara setelah reformasi.
Institusi-institusi negara saling dukung menciptakan konsolidasi pada tataran
normatif yang sebelumnya sempat melemah karena deregulasi dan liberalisasi
setelah reformasi. Diskursus di lingkungan negara diwarnai oleh pendekatan
pembangunan media. Demokratisasi sebagai proses perubahan menjadi lebih sulit
diterima oleh negara karena mereka sudah terbisa dengan sistem lama serta berkepentingan
secara langsung terhadap sistem tersebut. Ini semakin kuat tatkala berbagai
peraturan perundangan dan mindset lama masih juga bertahan di kalangan
negara.
Di arah implementasi, kalangan
industri atau pelaku penyiaran memiliki cara dan interpretasi sendiri yang
cenderung pragmatis, sesuai kepentingan bisnis. Kalangan industri
mengimplementasi aturan dan mewarnai diskursusnya dengan pendekatan pasar
bebas. Hal ini tampak dari data-data empiris yang dilakukan oleh industri
media, baik dalam melaksanakan sistem stasiun jaringan, maupun praktik-praktik
pembelian ataupun pengalihan pemilikan lembaga penyiaran swasta yang tetap
berlangsung (Subiakto 2010: 318-415). Implementasi yang berbeda dengan level
ideal dan normatif dikarenakan posisi industri memiliki kepentingan langsung
terhadap sistem yang sudah ada. Bagi industri, sistem lama telah memberikan
banyak keuntungan, melakukan perubahan justru merupakan ancaman.
Selanjutnya ditemukan bahwa konsep civil
society di Indonesia ternyata begitu kompleks dan khas. Jika dalam
teori-teori sosial (Gramsci 1971, Hoang Thi Minth 2002) media massa dianggap
sebagai bagian dari civil society, kenyataannya media massa, khususnya
penyiaran, kalangan profesionalnya justru lebih banyak menempatkan diri sebagai
bagian dari industri atau kapitalis. Ini nampak dari berbagai data pernyataan
di berbagai media tentang kepentingan yang sama antara pemilik media penyiaran
dengan para pekerjanya, terutama dalam menentang UU Penyiaran (Subiakto 2010:
209-241). Artinya, tidak selamanya media massa yaitu penyiaran bisa dimasukkan
secara konseptual sebagai civil society.
Ditemukan pula bahwa aktivis civil
society dalam kasus sistem penyiaran di Indonesia banyak yang berasal dari
latar belakang yang berseberangan kepentingannya dengan gerakan civil
society itu sendiri. Tokoh-tokoh yang berperan ada yang berasal dari negara
dan ada pula yang dari industri. Dengan kata lain, ”kakinya” berada di banyak
tempat, pada suatu saat yang bersangkutan berada di civil society, tetapi
di saat yang lain berada di wilayah negara atau di industri (Subiakto 2010:
418-432). Tentu saja diskursus yang mereka produksi tidak pernah terlepas
dari pengalaman, preferensi, pendidikan, lingkungan pergaulan, dan tatanan
sosial dari mana mereka berasal. Civil society acapkali ”dibajak” oleh
kepentingan yang berbeda dengan mengatasnamakan publik. Pemaknaan terhadap
realitas sosial yang direpresentasikan pada wilayah publik melalui wacana, pada
akhirnya sarat dengan kepentingan elite di kalangan civil society.
Fenomena ini sesuai dengan teori konstruksionisme kritis dari Robert Heiner
(2006), bahwa konstruksi dan pemaknaan terhadap realitas sosial lebih
merepresentasikan kepentingan elite daripada masyarakat luas. Pada dasarnya,
para elite lah yang dominan memproduksi pemaknaan dan wacana.
Temuan berikutnya, kendati Indonesia
sudah berubah demokratis, tetapi kalangan civil society masih berpikir
penuh kecurigaan terhadap negara. Negara senantiasa dicurigai akan melakukan
kooptasi terhadap media penyiaran. Kekhawatiran terhadap pemerintah senantiasa
muncul, baik dalam berbagai tulisan, pernyataan, berita, maupun seminar. Itu
terjadi baik saat pemerintahan Megawati maupun pemerintahan SBY, dari
Menkominfo Syamsur Ma’arif, Sofyan Jalil, Muhammad Nuh, hingga Tifatul
Sembiring. Hal ini karena pengalaman masa Orde Baru, di mana negara
memperlakukan media sebagai ideological state aparatus sebagaimana
konsep Althusser (1971). Berdasar pengalaman itu, civil society memiliki
mindset yang tidak berubah, menggunakan pendekatan visi radikal dalam
wacana mereka untuk sistem penyiaran yang demokratis. Tidak berubahnya mindset
dikarenakan aktivis civil society di bidang media penyiaran itu sendiri
tidak banyak perubahan personalnya sejak masa reformasi hingga studi ini
dilakukan (Subiakto, 2010: 429-432).
Visi radikal
yang dimaksud, mendasarkan pada kekhawatiran akan kembalinya kekuasaan negara
yang powerfull, sekaligus kekhawatiran akan kekuatan kapitalis yang
cenderung mengkooptasi negara. Civil society melihat secara curiga hubungan
antara negara dan industri dalam rangka penerapan diversity of ownership,
negara dinilai lemah dihadapan industri, seakan negara begitu mudah terkooptasi
oleh kekuatan kapitalis. Karena itu, yang diperjuangkan civil society
adalah independensi media dari negara, sekaligus independensi media dari
kapitalis, dan menciptakan pluralitas sistem media melalui keberadaan regulator
yang independen. Visi radikal ditolak, baik oleh kalangan industri penyiaran
maupun negara (Subiakto 2010: 432-441).
Sedangkan, kalangan industri melihat
negara tidak lagi sebagai otoritas yang mengancam atau akan mengkooptasi
mereka. Industri justru inconvenience dengan keberadaan dan peran
lembaga kuasi negara, yaitu KPI. Industri lebih mementingkan jaminan kebebasan
berusaha sehingga ada peluang untuk berkembang. Sebagai institusi bisnis, stand
point industri lebih fokus kepada kepentingan memperoleh keuntungan.
Temuan berikutnya, terdapat
pandangan negara yang melihat dirinya sebagai institusi yang harus mendahulukan
kepentingan umum dan keseimbangan dari berbagai stake holders. Relasinya
dengan media bersifat kontekstual, berdasar pemikiran determinisme teknologi
dan legal compliance. Semua yang dilakukan negara adalah menjalankan
peraturan. Pandangan ini acapkali berseberangan dengan cara pandang civil
society. Ideologi civil society tidak compatible dengan
logika negara dalam memperlakukan media. Akibatnya, terjadi position
incoherency, tidak bertemunya pemikiran dan wacana di kalangan civil
society dan negara .
Terdapat data terjadinya kooptasi
industri terhadap negara, khususnya dalam kasus pembuatan Peraturan Pemerintah
No. 50 Tahun 2005. Negara sebagai sebuah sistem, diakui memiliki banyak
titik masuk terjadinya intervensi dari industri. Negara terdiri dari kalangan
birokrat dan politisi. Kalangan political appointee atau politisi
keberadaannya lebih dependent terhadap industri media. Sistem demokrasi
di Indonesia yang menganut pilihan langsung oleh rakyat memberikan peran amat
besar pada media massa untuk membentuk citra politisi. Kepentingan-kepentingan
inilah yang kemudian menjadi faktor pendorong sikap akomodatif politisi
(negara) terhadap industri media. Secara konseptual, berarti negara tidaklah
monolitik, negara tidak ubahnya konsep civil society dan industri,
sebagai entitas yang tidak tunggal..
Konsepsi negara menjadi semakin
rumit, tidak lagi hanya eksekutif yang terdiri dari politisi dan birokrasi,
namun juga mencakup legislatif dan yudikatif. Ditambah keberadaan state auxilary
institution, yang memiliki kewenangan regulasi bahkan penindakan. KPI
misalnya, dipilih oleh DPR, diangkat oleh Presiden, dan digaji melalui anggaran
negara. Simbol mereka pun memakai lambang negara. Merekapun bagian dari negara,
hanya saja dikarenakan komisionernya berasal dari civil society,
seringkali KPI menempatkan dirinya lebih sebagai representasi civil society
daripada negara. Tidak jarang mereka berhadap-hadapan dengan pemerintah atau
negara itu sendiri. Terjadi apa yang disebut single country with
multi-governments, satu negara dengan beberapa pemerintahan, yang sistem
pertanggung-jawabannya tidak tunggal. Birokrasi negara bertanggung jawab kepada
menteri dan presiden, sedang KPI bertanggung jawab kepada parlemen, padahal
fungsinya sama, yaitu pelayanan pada publik, sehingga menjadikan pelayanan itu
tidak efektif, proses perijinan menjadi panjang, lama, dan mahal.
Terdapat kecenderungan bahwa
perkembangan teknologi dan bisnis akan mendorong terjadinya konsentrasi
pemilikan, baik melalui merger maupun kerjasama. Secara empiris, kekhawatiran
berlebihan terhadap konsentrasi pemilikan media justru akan menghambat
perkembangan industri media penyiaran Indonesia menjadi perusahaan yang kuat
dan kompetitif secara global. Sementara membiarkan seluruh sumber daya
frekuensi dikuasai oleh segelintir orang juga akan memunculkan persoalan. Maka,
diperlukan suatu konsep yang seimbang antara dua kepentingan itu. Kekhawatiran
berlebihan pada konsentrasi media, bertentangan dengan bukti empiris bahwa tidak
ada kontrol yang sempurna terhadap konten media, kendati oleh pemiliknya
sendiri. Dengan kata lain, kekuatan kapitalisme dalam industri penyiaran lebih
hanya pada kontrol asset atau kekayaan media, sementara kontrol terhadap
isi tidak mungkin efektif secara sempurna. Karena para pekerja media memiliki
logika sendiri, mereka senantiasa mempertimbangkan kepentingan pasar dan
kehendak khalayak, baik dalam pemberitaan maupun program. Peran rating
amat tinggi, ia menjadi ukuran keberhasilan penetrasi media, sekaligus pedoman
isi untuk melangsungkan hidupnya. Tanpa memperhitungkan rating atau
keinginan khalayak, industri media tidak akan hidup. Rating bukan hanya
menjadi barometer, melainkan juga filter bagi ownership control.
Dengan demikian, demokrasi tidak sepenuhnya terancam oleh kepemilikan media
semata karena ada kekuatan pengontrol terhadap the power of ownership.
Di samping itu, format isi penyiaran
juga bisa menjadi kontrol, bila senantiasa dikaitkan dengan surat izin yang
diberikan oleh negara. Lembaga penyiaran swasta yang berubah format siarannya
berarti mengingkari kontrak yang menjadi alasan diberikannya izin, karena itu
idealnya apabila ada media penyiaran yang berubah format isinya berarti bisa
dicabut izinnya. Sedangkan perubahan pemilikam saham bisa tetap dimungkinkan,
asal tidak merubah format isi siaran. Di sinilah perlunya peran pengawasan KPI.
Studi ini juga mendapatkan data
bahwa perkembangan teknologi menuntut semakin siapnya semua pihak akan
terjadinya kecenderungan konsentrasi industri. Teknologi digital dan
konvergensi memperbesar kemungkinkan terjadinya penggabungan antara para
penyedia infrastruktur telekomunikasi dan konten penyiaran atau sebaliknya. Hal
itu terlihat dari fenomena perkembangan IPTV yang sudah diadopsi di Indonesia maupun
data-data perkembangan teknologi di kalangan industri media yang menggabungkan
operator telepon dengan operator content media, juga operator penyiaran.
Di sini terbukti secara empiris karakter teknologi konvergensi mendorong
terjadinya sinergi dalam bentuk kerja sama dan merger antara operator telepon,
internet, dengan operator penyiaran. Perkembangan teknologi adalah perkembangan
kapital yang akan mendorong peluang-peluang bisnis baru dengan
konsekuensi-konsekuensi baru, yaitu menguatnya korporasi yang menguasai
teknologi itu. Dengan kata lain, karakter teknologi akan mendorong semakin
terjadinya konsentrasi pemilikian terhadap beragam industri karena hanya dengan
cara itulah teknologi yang mahal menjadi efisien dalam penggunaannya.
Studi ini juga menemukan bahwa
perkembangan teknologi memunculkan berbagai bentuk alternatif media, baik yang
berdasar keberagaman segmen pasar, hingga bentuk media baru yang bersifat
interaktif. Keberadaan teknologi interaktif inilah yang kemudian memunculkan citizen
journalism dan terbentuknya public sphere yang menggairahkan
partisipasi publik, sehingga justru mendukung iklim demokrasi.
Dengan terjadinya perkembangan
teknologi komunikasi, maka menuntut pula perubahan pada aspek regulasi.
Undang-Undang Penyiaran pada dasarnya kurang mengantisipasi perkembangan
teknologi, sehingga memunculkan berbagai persoalan dalam implementasinya.
Simpulan
Dapat disimpulkan, pola hubungan
antara negara, civil society, dan industri penyiaran, secara as it is
relasi tersebut menunjukkan adanya kooptasi industri terhadap negara dan civil
society. Lemahnya penegakkan aturan ideal di aras implementasi serta
munculnya aturan yang akomodatif pada kepentingan industri merupakan indikator
yang kuat terhadap pola hubungan semacam ini.
Disimpulkan pula civil society
di Indonesia itu kompleks, konsep civil society bukanlah sebuah konsep
yang baku yang berlaku sama di setiap negara, melainkan suatu konsep yang
dinamis sesuai dengan sifat kondisi maupun pengalaman negara masing-masing.
Kalau selama ini berdasar teori sosial (Gramsci 1971, Hoang Thi Minh, 2002),
menempatkan media massa sebagai bagian dari gerakan masyarakat sipil (civil
society), studi ini telah mengoreksi teori tersebut.
Implikasinya, secara teoritis studi
ini memperkuat teori neo capitalism dalam konteks industri media
penyiaran. Dasarnya adanya fakta keberadaan basis struktur ekonomi yang tidak
lagi hanya dibagi ke dalam dua kriteria sebagaimana Marxian ortodoks, yaitu
pemilik modal dan kaum proletar. Kekuasaan mode of production di
industri penyiaran tidak hanya berada pada pemilik, tetapi juga pada manajemen.
Kalangan profesional media sebenarnya bukan pemilik sarana produksi atau modal,
namun karena profesi dan relasinya terhadap perusahaan sebagai sumber hidup,
mereka menjadi amat berkepentingan pada kejayaan industri medianya. Di situlah
mengapa kalangan profesional televisi merasa atau menempatkan dirinya sebagai
industri, bukan civil society.
Disimpulkan pula studi ini juga
memperkuat konsep civil society menurut Cohen and Arato (1994), yang
menempatkan kelompok civil society sebagai agen transisi demokrasi, yang
senantiasa berbeda dengan negara dan pasar. Studi ini memperlihatkan bagaimana
kritisnya civil society terhadap negara dan pasar. Terkadang, civil
society mencurigai negara akan melakukan kooptasi terhadap media, namun di
waktu yang lain, negara juga dianggap lemah terhadap industri. Tuduhan ini
seakan saling bertentangan, namun ini bisa dipahami sebagai bukti bahwa posisi civil
society memang berbeda dengan negara dan pasar, sekaligus menunjukkan
dinamika civil society senantiasa ingin menjadi agen transisi demokrasi.
Simpulan studi ini juga memperkuat
tesis Daniel Dhakidae dalam desertasinya di Cornell University tahun 1991.
Dakhidae mencatat bahwa implikasi inovasi teknologi cetak yang mampu mencetak
dengan kecepatan luar biasa dan hasil yang bersifat massal telah mempengaruhi
ekspansi bisnis baru dengan membutuhkan manajemen yang lebih profesional.
Dengan kapasitas teknologi mesin cetak yang semakin cepat, berimplikasi pada
intensifikasi dan ekstensifikasi bisnis yang berkait dengan pemanfaatan
teknologi tersebut. Perkembangan teknologi berarti merupakan transformasi
kapital. Teknologi telah mendorong terjadinya konsentrasi industrial menjadi
industri baru.
Sebagaimana tesis Dhakidae, karakter
teknologi digital dan konvergensi telah memperbesar kemungkinkan
terjadinya sinergi, penggabungan atau merger antara para penyedia infrastruktur
telekomunikasi dan konten penyiaran. Perkembangan teknologi konvergen juga akan
mendorong peluang-peluang bisnis baru dengan konsekuensi-konsekuensi baru,
yaitu menguatnya korporasi yang menguasai teknologi itu. Konsentrasi industri
merupakan cara paling efisien dalam penggunaan teknologi yang begitu mahal. Ini
berarti memperkuat tesis bahwa teknologi merupakan kapital untuk berkembangnya
bisnis baru, dengan bentuk bentuk baru, dengan konsekuensi baru pula.
Studi ini juga memperkuat tesis C.
Edwin Baker (Baker 2007:55), yang tidak setuju dengan pemikiran Bagdikian
(1983) maupun McChessney (2000) yang mengkhawatirkan konsentrasi media. Menurut
Barker internet telah merubah segalanya, karena menyajikan berbagai alternatif
dan isinya tidak dapat dikontrol secara sempurna oleh siapapun. “Because of
internet, whatever concentrated media power that existed previously “is
breaking up”, conclusion that objectionable concentration does not exist,
especially as properly evaluated in respect to the media as a whole “
(Baker 2007:55). Jadi, perkembangan teknologi tetap akan menjamin adanya diversity
of voices karena media yang beragam, sesuai dengan pasar ide mereka, akan
memiliki suara yang beragam pula. Baker dalam kesempatan yang lain, juga
mengatakan bahwa konsentrasi kepemilikan tujuannya selain efisiensi, untuk memperkuat
perusahaan dalam persaingan pasar dunia. Disimpulkannya konsentrasi kepemilikan
merupakan sarana yang menguntungkan untuk perusahaan Amerika mendominasi pasar
dunia, media concentrations of media ownership beneficially aids American
firm domination of world markets, (Baker 2004:1001).
Implikasi penerimaan tesis Baker
berarti mengoreksi konsep sistem penyiaran yang demokratis dari Denis McQuail
(2002), yang salah satunya mengharuskan adanya diversity of ownerships.
Konsepsi ini, di masa depan akan semakin sulit dipenuhi karena bertentangan
dengan trend teknologi, kecenderungan bisnis, hingga semakin tidak
relevannya alasan yang mendasari konsep tersebut. Dengan standpoint ini,
berarti berimplikasi pula terhadap perlunya peninjauan kembali mengenai regulasi
keragaman kepemilikan, sebagaimana yang juga tertuang dalam Undang-Undang
Penyiaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar