(Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Unair)
Berdasar regulasi lama, UU No 24 tahun
1997, stasiun TV swasta wajib berkantor pusaty di ibukota negara, sehingga
televisi nasional terkonsentrasi di Jakarta. Sementara Undang Undang 32 tahun
2002 tentang Penyiaran justru mendorong munculnya penguatan daerah dengan
keberadaan stasiun-stasiun TV lokal, beserta local content-nya. Stasiun televisi yang siaran dari Jakarta
diperkenankan siaran hingga propinsi lain namun harus dengan Sistem Stasiun Jaringan,
dan menurut UU penyiaran itu paling lambat sudah harus dilaksanakan paling
lambat 30 Desember 2007.
Penerapan konsep siaran berjaringan
sesuai amanat UU diharapkan banyak pihak, terutama kalangan civil society. SSJ merupakan upaya
menciptakan keragaman informasi media massa selayaknya merefleksikan struktur dan isinya sesuai
dengan keragaman realitas sosial, ekonomi dan budaya. Kritik dasar yang
ditujukan pada dunia penyiaran Indonesia adalah tidak terdistribusinya sumber
daya penyiaran, termasuk di dalamnya frekuensi radio dan televisi, secara
demokratis dan adil.
Namun beberapa aktivis, salah satunya
Paulus Widianto kecewa pada keterlambatan sistem stasiun jaringan yang tidak
jadi dijalankan pada akhir tahun 2007. menurut mereka ini bukti bahwa UU
Penyiaran tidak dijalankan oleh Negara atau pemerintah. Padahal UU itu disahkannya sejak 2002 dan harusnya
pada 28 Desember 2007, yaitu setelah massa transisi lima tahun, sudah ada
sistem stasiun jaringan. Nampaknya hingga sekarang pun tidak ada kegiatan yang
dianggap penting untuk itu. Padahal menurut Paulus konsep demokrasi penyiaran
itu salah satu pilar pentingnya adalah tidak terjadinya sistem penyiaran yang
sentralistik, tapi harus dibangun sistem penyiaran yang berjaringan (network). Sistem stasiun jaringan
menjadi sangat penting dari sistem penyiaran di Indonesia, karena memang tidak
lagi boleh terjadi sentralisasi. Seperti lembaga penyiaran publik, TVRI atau
RRI itu sebenarnya sudah menjalankan sistem penyiaran jaringan, baik yang sifatnya national wide, kemudian
ada yang local wide, walau semuanya
masih terpusat di Jakarta.
Sistem penyiaran berjaringan
yang diamanatkan UU Penyiaran juga berlaku bagi lembaga penyiaran swasta. Mereka
harus masuk dalam sistem penyiaran berjaringan, karena TVRI dan RRI sudah
masuk. Dalam desain awal UU Penyiaran, diharapkan supaya tidak semua lembaga
penyiaran swasta itu berada di Jakarta, tapi juga ada di Medan, Surabaya, Bali,
Makasar, dan seterusnya. Dengan demikian pusat stasiun jaringan tidak di
Jakarta semua, tapi juga ada di daerah-daerah, sehingga semua tidak lagi
sentralistik, dan masyarakat semakin banyak memiliki variasi dan sangat
opsional.
Dari segi sistem penyiaran
berjaringan itu terdapat kendala, karena banyak dari lembaga penyiaran swasta
itu mengharapkan bersistem jaringan tapi sifatnya nasional, dan pusatnya selalu
Jakarta, derah itu hanya sebagai pelengkap. Sejak awal UU Penyiaran menurut
Paulus telah didesain bahwa lembaga penyiaran swasta itu tidak bersifat
nasional. Sementara yang boleh melakukan siaran nasional hanya TVRI dan RRI.
Maka, dalam ketentuannya, yang bisa melayani seluruh rakyat Indonesia hanya
lembaga penyiaran publik tersebut. Sedangkan lembaga siaran swasta hanya boleh
siaran dengan wilayah siaran terbatas.
Menurut Paulus Widianto, dengan adanya
konsep siaran terbatas yang diperjuangkan sejak awal RUU. Konsekuensnyai adalah
harus ada konsep pembagian wilayah (region).
Misalkan sistem penyiaran swasta X ada di Medan, maka daerah yang menjadi
layanannya adalah daerah di sekitar Medan dan beberapa di wilayah lain di
Sumatera. Begitulah juga untuk daerah lain, Palembang, Makassar, Bali, wilayah
terbatasnya itu sudah ditentukan sesuai peta frekuensi. DPR dalam diskusinya
pernah membahas, wilayah siaran lembaga penyiaran swasta tadi kira-kira hanya
25%, dari wilayah yang dia jangkau sebelumnya, yaitu wilayah penyiaran nasional
100 %. Dengan demikian, masing-masing lembaga penyiaran saling berkompetisi dan
memiliki wilayah siaran yang terbatas.
Diakui Paulus, sejak awal lembaga
penyiaran swasta atau kalangan industri menolak konsep ini, dengan alasan
mereka tidak bisa hidup apabila harus dibatasi jangkauannya dan dipecah-pecah
kepemilikannya di daerah. Mereka juga sudah berinvestasi terlalu banyak. Menurut
Paulus, hal itu hanyalah alasan-alasan yang semata-mata karena kepentingan
bisnis, padahal sistem penyiaran berjaringan, adalah bagian penting dari
demokratisasi penyiaran yang harus dijalankan.
Akhirnya UU Penyiaran di dalam
pasal-pasalnya memasukkan pula konsep siaran terbatas dan keharusan adanya
sistem siaran berjaringan. Aturan perundangan yang mengamanahkan adanya sistem
siaran berjaringan itu ada pasal 6 ayat
(3) UU 32/2002. Isinya berisi ketentuan; Dalam sistem penyiaran nasional
terdapat lembaga penyiaran dan pola jaringan yang adil dan terpadu yang
dikembangkan dengan membentuk stasiun jaringan dan stasiun lokal. Kemudian pada
Pasal 31 UU 32/2002 disebutkan bahwa; Lembaga penyiaran yang menyelenggarakan
jasa penyiaran radio atau jasa penyiaran televisi terdiri atas stasiun
penyiaran jaringan dan/atau stasiun penyiaran lokal. Lebih lanjut aturan ini dilengkapi dengan
pasal 70 dalam PP no 50 tahun 2005, yang isinya mengatakan; LPS jasa penyiaran TV
yang sudah mempunyai stasiun relai di ibukota provinsi wajib melepaskan
kepemilikan atas stasiun relainya paling lambat tanggal 28 Desember 2007,
kecuali pemilik modal daerah belum mampu mendirikan stasiun penyiaran lokal
atau ada alasan khusus yang ditetapkan oleh Menteri atau Pemda setempat.
Aturan-aturan inilah kemudian yang didesakkan oleh kalangan civil society untuk dilaksanakan secara
konsekuen oleh Pemerintah, KPI dan kalangan industri.
Dalam perkembangannya, sistem
siaran berjaringan itu pelaksanaannya tertunda-tunda. Aturan dalam UU yang
menyebutkan paling lambat dilaksanakan 5 tahun setelah diundangkan, kemudian
dalam PP 50 tahun 2005 disebutkan tanggal paling akhir dilaksanakannya sistem
itu adalah 28 Desember 2007, namun
ternyata mengalami penundaan. Alasannya, pertama UU Penyiaran lama, UU No. 24/1997, justru mengharuskan TV swasta
memiliki jangkauan nasional dengan membangun stasiun relai di seluruh
Indonesia, dengan berkedudukan pusatnya di Jakarta. Sementara UU yang baru
memerintahkan sebaliknya. Kedua pemerintah dan kalangan industri
beralasan bahwa selama 5 tahun yaitu 2002 hingga 2007 terjadi konflik
kewenangan antara KPI dan Pemerintah, serta berjalannya 3 judicial review terhadap UU Penyiaran, maupun PP 50. Praktis
konflik dan judicial review itu menyebabkan persiapan sistem siaran
berjaringan, baik dari sisi pembuatan regulasi maupun kelembagaan mengalami kelambatan. Ketiga alasannya adalah
bahwa pada pasal 70 PP tahun 2005 memang dimungkinkan menteri menentukan
penundaan dengan alasan khusus. Pasal itu berbunyi: LPS jasa penyiaran TV yang sudah mempunyai
stasiun relai di ibukota provinsi wajib melepaskan kepemilikan atas stasiun
relainya paling lambat tanggal 28 Desember 2007, kecuali pemilik modal daerah
belum mampu mendirikan stasiun penyiaran lokal atau ada alasan khusus yang
ditetapkan oleh Menteri atau Pemda setempat.
Baru dari situlah kemudian
diputuskan oleh pemerintah bersama KPI, bahwa paling lambat 28 Desember 2009
atau mulai januari 2010 sistem siaran jaringan harus sudah dijalankan. Artinya
lembaga penyiaran swasta yang selama ini siaran nasional, tidak bisa lagi
diteruskan. Keputusan ini telah dituangkan ke dalam Peraturan Menkominfo no
32/Per/M.Kominfo/12/2007 mengenai penerapan sistem jaringan lembaga jasa
penyiaran televisi.
Berdasarkan peraturan itu,
lembaga penyiaran swasta diharuskan memilih, untuk menjadi stasiun berjaringan
atau menjadi stasiun lokal. Tidak ada lagi istilah stasiun nasional menurut UU
Penyiaran, yang diperbolehkan siaran secara nasional hanyalah TVRI sebagai
Lembaga Penyiaran Publik. Tanggal 28 Desember 2009 merupakan batas akhir bagi
seluruh penyelenggara stasiun televisi nasional untuk segera melakukan siaran
berjaringan. Apabila mereka ingin melakukan siaran hingga melewati propinsi
lain di luar propinsi DKI, lembaga televisi bersangkutan harus bekerja sama
dengan perusahaan penyiaran yang berbeda yang ada di propinsi lain tersebut.
Pemilikan perusahaan itu minimal 10% sahamnya dimiliki oleh orang lokal.
Kemudian stasiun yang ada di daerah tersebut juga wajib menyiarkan kandungan
lokal minimal juga 10%. Keberadaan stasiun jaringan tersebut ada di ibukota
propinsi, sedangkan untuk daerah kabupaten kota cukup dengan merelai aktivitas
penyiaran dari ibukota propinsi. Itulah ketentuan turunan dari UU Penyiaran yang kemudian di atur dalam PP
no 50 tahun 2005 dan Peraturan Menkominfo No 32 tahun 2007.
Penerapan Sistem Stasiun
Jaringan tersebut dimaksudkan agar terjadi desentralisasi penyiaran, dan tidak
lagi ada sentralisasi penyiaran yang hanya berada di Jakarta. Tujuannya agar
semua aspek budaya dan sumber daya manusia maupun sumber daya ekonomi bisa
dimasukkan dalam lembaga penyiaran yang bersifat lokal. “Dengan penerapan
sistem berjaringan diharapkan lembaga penyiaran televisi nasional akan membuat
stasiun televisi lokal di daerah-daerah sehingga mampu memberdayakan potensi
SDM maupun ekonomi lokal”, kata ketua KPI Sasa Djuarsa. Jadi pengertian stasiun berjaringan adalah
dalam hal konten siaran, tujuannya agar tidak menghilangkan nilai nasional,
tetapi juga menampung konten-konten lokal yang dibutuhkan masyarakat.
Sumber : SKDI Depkominfo (Januari 2008)
Ilustrasi tadi adalah
menggambarkan pembagian wilayah-wilayah jaringan televisi yang ada di
Indonesia. Hingga tahun 2009, ada 10 stasiun televisi nasional bersiaran dari
Jakarta menjangkau berbagai wilayah-wilayah siaran yang ditandai dengan
bundaran warna merah. Tetapi sejak 28 Desember 2009 hal itu tidak diperkenankan
lagi. Dasarnya selain UU Penyiaran, PP no 50 tahun 2005, juga Peraturan Menteri
Kominfo nomer 12 tahun 2007. Sejak tanggal itu stasiun televisi yang bersiaran
dari Jakarta seperti RCTI, SCTV, TPI, Indosiar, Antv, Metro TV, Global TV,
Trans TV, Trans 7, dan TV One tidak bisa menjangkau wilayah di luar Jakart,
kecuali sudah menerapkan sistem stasiun jaringan (SSJ). Adapun konsep SSJ yang
dikeluarkan oleh Pemerintah (Depkominfo) kalau diilustrasikan adalah sebagai
berikut
Sumber SKDI, Depkominfo (Janurai 2008).
Menurut Bambang Subiantoro, Plt
Dirjen SKDI, Sistem Stasiun Jaringan (SSJ) adalah tata kerja yang mengatur relai siaran secara
tetap antar lembaga penyiaran, yang terdiri atas induk stasiun jaringan, dan
anggota stasiun jaringan. Induk Stasiun Jaringan terletak di Ibukota
Propinsi (IKP), anggota SSJ terletak di ibukota provinsi,
kabupaten dan atau kota. Menurut PP 50 tahun 2005 jangkauan SSJ dibatasi max 75% dari
seluruh Provinsi di Indonesia, kecuali bagi stasiun relay yang beroperasi
sebelum PP 50 itu diberlakukan. Untuk stasiun televisi lama, mereka diperbolehkan
bersiaran hingga 90% dari keseluruhan provinsi. Dengan ketentuan maximum 80% di
daerah ekonomi maju (yang dipilih sendiri oleh stasiun televisi yang
bersangkutan), dan minimum 20% di daerah ekonomi kurang maju (lokasinya
ditetapkan oleh Pemerintah). Semua konsepsi itu menurut Bambang berdasarkan pada PP no 50
tahun 2005 dan UU Penyiaran.
Penerapan sistem stasiun
jaringan (SSJ) adalah salah satu indikator dilaksanakannya sistem penyiaran
yang demokratis. Menurut Bambang Soebiantoro, SSJ memungkinkan posisi
masing-masing media menjadi tetap independen. Berjaringan tetapi independen,
tidak saling kooptasi. Jadi apabila ada radio mengaku telah melakukan sistem
siaran berjaringan, pertanyaannya adalah lembaga stasiun radio di daerah yang
jumlahnya banyak dan diajak siaran berjaringan itu independen atau tidak?
Isinya apakah hanya ditentukan dari induk jeringan di Jakarta atau ada
independensi editorial? Bagiamana dengan modalnya? Teknologinya, visi misinya?
Dalam sistem yang demokratis semua itu harus ada independensi, sehingga SSJ
benar-benar menjadi sarana terwujudnya sistem yang demokratis.
Sesuatu yang harus dihindari
menurut Bambang, adalah adanya kooptasi pada informasi. Informasi itu
untuk membangun demokrasi. ”Kalau
informasinya sendiri sudah dikooptasi, lalu apa yang akan dibangun?” Menurutnya, informasi yang mencerdaskan itu adalah
informasi yang mampu membangun sikap demokrat seseorang. Informasi yang menghilangkan
feodalisme, otoritarianisme, hingga memberikan masukan-masukan yang cerdas,
mencerahkan, dan memberi inspirasi. Jadi harus ada diskusi, untuk saling
melengkapi, check and balances namun
tetap saling menghormati pendapat masing-masing dan tidak tersinggung.
Disitulah pentingnya lembaga media yang independen, tidak terkooptasi pada
kepentingan politik praktis tertentu atau kekuatan di balik permodalan.
Keterlambatan penerapan Sistem
Stasiun Jaringan, bukan dikarenakan tidak adanya kehendak melaksanakan UU,
tetapi persoalan di lapangan yang muncul begitu banyak. Hal itu dikemukakan oleh Basuki Yusuf Iskandar.
Dikatakan keterlambatan itu karena
kita mewarisi sistem yang berubah secara drastis, dari sentralisasi menjadi
harus berjaringan. Perubahan 180 derajad antara UU Penyiaran 24 tahun
1997 dan UU Penyiaran no 32 tahun
2002. Layanan TV nasional waktu itu
dimanatkan UU lama sampai ke pelosok,
dan induknya harus di Jakarta, atau Ibu kota Negara. Menurut Basuki semua itu
sekarang jadi masalah. Izin Siaran Radio (ISR) juga jadi masalah. Karena harus mengikuti
pola jaringan. Ini semua merupakan
masalah yang kompleks karena terkait aturan masa lalu. Membalikkan yang lama
menjadi sama sekali baru itu butuh waktu dan jadi masalah kompleks.
Tetapi
menurut Basuki tujuan utama harus dicapai, yaitu diversity of content,
budaya-busaya daerah harus diberi tempat dalam sistema penyiaran Indonesia.
Selama ini, menurutnya dengan sistem TV Nasional, budaya yang ditampilkan hanya
budaya Jakarta, budaya metropolis. Budaya lokal terabaikan, padahal Indonesia
itu berbineka dalam persoalan budaya. Stasiun TV berjaringan diarahkan menuju
pada penghargaan diversity of culture.
Artinya setiap budaya diberikan hak untuk tampil. Masalahnya menurut
Basuki ada stagnasi selama tahun 2003
hingga 2007. Aturannya diajukan judicial review, pemerintah terlibat
konflik dengan DPR dan KPI, sehingga semua pihak tidak bisa bekerja secara
efektif. Baru mulai tahun 2008 dilakukan pembenahan. Targetnya sistem siaran
berjaringan harus tuntas akhir tahun 2009.
Sementara
kalangan industri media, mengatakan mereka sedang mempersiapkan penerapan
konsep sistem siaran berjaringan itu. Diakui mereka memang kesulitan terutama
dalam hal membuat perusahaan lokal yang harus berbeda dengan perusahaan
induknya. Mengenai konten lokal yang minimal 10 persen sudah mulai mereka
jalankan, terutama di propinsi yang potensial seperti Jawa Timur dengan kota
Surabaya sebagai pusat, Sumatera Utara dengan Medan, dan Sulawesi Selatan
dengan Makasarnya, yang lain masih dalam proses.
Terlepas dari itu ketentuan
dalam UU Penyiaran dan PP 50 mengenai keharusan Sistem Stasiun Jaringan ini
dinilai oleh Alex Kumara amat kejam pada dunia industri. Televisi yang sudah
investasi ratusan miliar dan berusaha berbisnis secara sehat, dipotong
diharuskan menjadi kecil-kecil dan berjaringan. Menurut Alex aturan-aturan itu
ada secara tiba-tiba menjadi beban berat bagi industri. Kalau dikatakan PP 50
tahun 2005 itu menguntungkan industri, itu tidak benar. Isi PP itu amat kejam
baik dalam hal pembatasan cross ownership,
sistem siaran jaringan, maupun mengenai perpindahan izin. Jadi ATVSI merasa
kecolongan dengan berbagai peraturan itu, kalangan industri televisi sama
sekali tidak mengantisipasi aturan yang begitu keras. Ketika aturan itu dibuat
ATVSI tidak banyak terlibat, mereka masih sibuk berbisnis, jadi tidak sempat melobi ataupun intervensi untuk
kepentingan industri. Demikian pengakuan Alex Kumara, pendiri ATVSI, mantan
direksi di MNC, kemudian sempat menjadi salah satu direktur di TVRI, direktur
di Trans TV, dan sekarang sebagai direktur teknik di TV One.
Gilang Iskandar dari MNC yang
juga salah satu pengurus ATVSI, menganggap penerapan sistem stasiun jaringan
adalah meng-cut off stasiun televisi
swasta yang sudah ada. “Ini benar-benar sulit diterima, kami bisa cut off semua. Apalagi kalau di tiap
daerah kami harus memiliki perusahaan yang berbeda, terus harus ada akta
notaris untuk perjanjian di antara induk jaringan dan anggota jaringan. Harus
ada berapa perusahaan untuk mengcover
sebagian besar wilayah Indonesia ini?”. Kalangan industri mengaku kesulitan, baik
secara teknis maupun secara hukum. Apalagi jika anggota jaringan yang berupa
perusahaan-perusahaan baru itu juga harus memiliki izin sendiri-sendiri, itulah
yang dikeluhkan dan menjadi keberatan mereka.
Fredy Tulung, mantan Dirjen
SKDI mengatakan bahwa SSJ betapapun beratnya harus dilaksanakan. Industri harus
tunduk pada aturan perundangan. Kalau mereka menolak atau mengeluh, PP nomer 50
tahun 2005 itu juga hasil lobi mereka pada pemerintah waktu itu. Menurut Fredy,
sebenarnya ada lobi kalangan industri televisi pada saat akhir PP itu akan
dikeluarkan, yaitu sekitar bulan September 2005. Menkominfo saat itu Sofyan
Jalil, dan Dirjen SKDI, Prof Dr. Widi Atnyana, memperoleh banyak “tekanan”.
Sementara dia sendiri saat PP itu dibuat belum menjadi Dirjen SKDI. Belakangan yang terjadi kalangan industri
merasa kecolongon, dan aturannya bisa mengamputasi mereka, khususnya untuk SSJ.
“Intervensi” industri terhadap
materi PP 50 tahun 2005 juga diakui oleh Aswin Sasongko. Menurut mantan Sekjen
Depkominfo ini PP 50 itu hasil kompromi antara pemerintah dengan tekanan
industri, makanya isinya banyak saling bertentangan. Di bagian muka
pasal-pasalnya penuh ketegasan, namun di bagian belakang beberapa pasal, melemahkan pasal di depannya.
Bahkan menurut Aswin, saking ruwetnya isi PP 50 sebagai hasil kompromi tadi,
Prof Widi Atnyana mengeluh ketika harus menegakkan PP tersebut. Makanya Prof
Widi memilih mengundurkan diri dari Dirjen SKDI pada tahun 2007 dari pada harus
menjalankan aturan yang isinya saling
bertentangan.
Ketika ditanya, mengapa Prof
Widi tidak mampu mengamankan PP 50 dari intervensi industri, menurut Aswin hal
itu terlalu rumit, karena melibatkan banyak orang, dan melibatkan beberapa
departemen. Sebagai Dirjen-pun Prof Widi merasa kesulitan, dan akhirnya dia
merasa sangat berat menjalankan PP yang sarat dengan kompromi itu. Pada bulan
Agustus 2007 dia benar-benar mengundurkan diri dari Dirjen SKDI, disetujui oleh menteri Mohammad Nuh untuk kembali ke ITB.
Demikian isi PP 50 tetap
dirasa berat oleh industri penyiaran. Terutama aturan tentang penerapan Sistem
Stasiun Jaringan (SSJ). Penentangan dan intervensi stasiun televisi terhadap
aturan yang ingin menata industri, sebenarnya tidak hanya terjadi pada masa
reformasi. Pada tahun 1997 pernah juga terjadi. Saat itu RUU Penyiaran (yang
lama UU 24 tahun 1997) sudah selesai di
DPR. Tetapi di dalamnya ada aturan yang melarang stasiun televisi swasta
melakukan transmisi melebihi 50% populasi nasional. Mengetahui itu para pemilik
TV menentangnya. Melalui ”kedekatan” dengan Soeharto, akhirnya RUU itu ditolak
dan tidak ditandatangani oleh presiden. Ini menjadi sejarah pertama kali dalam
Orde Baru, dimana RUU yang sudah
disetujui DPR dikembalikan oleh Presiden karena adanya kepentingan
televisi. Akhirnya UU no 24 tahun 1997 tentang Penyiaran itupun diubah
mengikuti tekanan industri televisi, dengan menghilangkan pasal pembatasan pada
televisi swasta.
Kalau kalangan ATVSI merasa
tidak siap, hal yang berbeda dikemukakan oleh tokoh televisi lokal. Menurut
Imawan Mashuri, ketua Asosiasi Televisi Lokal Indonesia, Kebijaksanaan di organisasinya (ATVLI) dalam hal
konten media justru sudah amat siap. Walaupun aturan di PP 50 menetapkan 90% konten boleh berjaringan
berasal dari induknya di pusat jaringan, ATVLI memutuskan 40% untuk konten
lokal. Menurut Imawan PP 50 membolehkan 90%, artinya konten lokal hanya 10%.
Padahal lokal merupakan martabat demokrasi. ATVLI, maupun grup Jawa Pos
Multimedia Corporation (JPMC) yaitu induk jaringan televisi-televisi di
kelompok Jawa Pos group, dengan JTV sebagai induk. JPMC malah mematok 40% untuk
konten berjaringan (dari induk), dan 60% untuk konten lokal. Jadi bagi televisi
yang tergabung dalam jawa pos group, mereka sudah menerapkan 40% saja yang
harus relai dari pusat jaringan. Menurut Imawan konten lembaga penyiaran jangan
sampai menjauhkan masyarakat dari identitas ke-Indonesiaan. TV lokal
berkomitmen membangun citra lokal dengan mengangkat kearifan lokal, yaitu budaya-budaya
dari keragaman Indonesia.
Menurut Imawan Mashuri konsep Sistem Stasiun
Jaringan yang dibuat pemerintah atas dasar PP 50 sudah cukup bagus. Dalam
konsep itu stasiun televisi berinduk di provinsi sehingga bisa direlai oleh
kota-kota lain di tingkat kabupaten kota di seluruh provinsi. Imawan justru
mengkritik dari aspek kontennya, yang ini merupakan tugas KPI. Perlu ada
kejelasan tentang porsi persentase kontennya. “Apakah hanya di acara berita,
program hiburan atau program yang lain, lalu bagaimana penayangannya, apakah
boleh di tengah malam, atau harus di prime
time?”
Imawan melihat KPI belum melakukan
apa-apa dalam memperkaya konsep sistem stasiun berjaringan, terutama dari sisi
konten. Padahal mereka bisa membuat elemen-elemen konten, kriteria konten apa
saja yang bisa dijaringkan. Dari sisi
ini nampak peran KPI yang kurang serius
menangani konten, kesannya kurang kreatif, mereka terlalu serius ngurusi izin.
Ada fokus yang keliru yang mereka mainkan. Harusnya yang sudah ada ini
dibenahi, dan dicerahkan.
Sementara
berkait dengan keharusan televisi nasional menerapkan sistem siaran jaringan
dan pemberian kesempatan yang begitu besar pada televisi lokal, Alex Kumara berkeberatan. Menurutnya selama
ini TV nasional, dituduh menggunakan ranah publik (frekuensi) secara tidak baik
oleh MPPI. Kenyataannya ranah publik terbatas
itu digunakan oleh stasiun televisi nasional selama 7 hari 24 jam, jadi amat
optimal untuk melayani publik. Sedangkan TV daerah, sebagaimana diketahui,
mereka kadang siaran kadang tidak. TV-TV
baru itu izinya juga masih bermasalah menurut ketentuan UU, tapi yang selalu
jadi sasaran selalu TV TV Nasional.
Padahal Indonesia yang begitu luas dan
beragam ini, memerlukan media pemersatu, yang bisa menjadi sarana pemerintah
pusat efektif pesannya sampai ke daerah. Dahulu peran TVRI dominan sampai ke daerah.
Tetapi sekarang jelas tidak cukup hanya dengan TVRI atau RRI. Menurut Alex, dewasa
ini banyak policy pemerintah pusat yang ditentang oleh daerah, atau
tidak sampai ke daerah. “Kalau tidak ada televisi nasional, bisa saja persatuan
dan kesatuan Indonesia bubar, yang paling sederhana, kalau semua televisi lokal
menggunakan sapaan dalam bahasa daerah. Lalu akan kemana bahasa Indonesia kita”.
Disimpulkan oleh Alex, bahwa siaran nasional oleh televisi swasta itu banyak
sisi positifnya. Tidak tepat hanya dilihat dari sisi negatif. Ia mengusulkan perlu
dipertahankan sekitar 5 LPS boleh siaran nasional, untuk kepentingan yang lebih
besar yaitu kesatuan bangsa. Dengan demikian perlu ada revisi terhadap UU
Penyiaran dan turunannya.
Memang sejak awal kalangan industri
penyiaran, khususnya Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI)
mempermasalahkan tentang aturan ini. Bahkan pada waktu menjelang pengesahan RUU
Penyiaran-pun salah satu pasal yang secara tegas mereka tolak adalah mengenai
kewajiban televisi swasta berjaringan jika ingin siaran melintasi daerah lain.
Keharusan ini dinilai terlalu memberatkan televisi swasta yang telah
berinvestasi milyaran rupiah untuk membangun transmisi di daerah-daerah.
Apalagi belakangan mereka harus menggandeng perusahaan yang berbeda yang ada di daerah, dengan kandungan lokal
minimal 10%.
Diskursus penolakan atas penundaan
Sistem Stasiun Jaringan terus saja digulirkan kalangan civil society, mereka mendorong agar sistem stasiun jaringan segera
diterapkan, tanpa pandang bulu. Kalangan aktivis civil society ini dengan penuh curiga menengarai adanya konspirasi
antara negara (pemerintah) dan industri. Salah satunya dari tulisan Agus
Sudibyo di Harian KOMPAS pada 25 Januari 2008 dengan judul “Penundaan Sistem
Berjaringan”.
Menurut Agus, penundaan pelaksanaan
Sistem Stasiun Jaringan (SSJ) merupakan sesuatu yang ganjil itu. Sesuatu
yang telah ditetapkan oleh pemerintah,
dimentahkan pemerintah sendiri. Padahal penerapan SSJ sebagaimana juga diatur
dalam Pasal 70 PP No 50 Tahun 2005 adalah salah-satu capaian penting UU
Penyiaran No 32. Akomodasi atas konsep desentralisasi di bidang media dan
pengelolaan ranah publik berbasis kepentingan komunitas.
Agus mempertanyakan, benarkah masa transisi lima tahun pemberlakuan SSJ
yang diberikan UU Penyiaran tidak cukup? PP No 50 Tahun 2005 eksplisit
memberikan tenggat waktu 28 Desember 2007 untuk pemberlakuan SSJ. Tidak masuk
akal jika penentuan tenggat waktu ini tidak didasarkan pada asumsi-asumsi
persiapan teknis, permodalan, dan ketentuan peraturan pemberlakuan SSJ. Apakah
pemerintah juga hanya memaklumi dan tidak menjatuhkan konsekuensi apa pun
kepada stasiun televisi yang tidak melakukan persiapan menuju pemberlakuan SSJ
pada masa transisi itu?
Dalam tulisan Agus Sudibyo di KOMPAS
itu dikatakan, kita sedang dihadapkan pada kecenderungan semakin terabaikannya
prinsip-prinsip utama demokratisasi penyiaran: otonomi publik, diversity of ownership, diversity of content,
desentralisasi dalam kehidupan media penyiaran di Indonesia. Realitas
kebijakan, kepemilikan, dan praktik media penyiaran semakin kurang berurusan
dengan nilai keutamaan publik dan hanya mengarah kepada re-establishment kepentingan investasi dan kekuasaan birokrasi atas
ranah media. Lalu Aguspun menyitir
Bagdikian (1990) yang mengungkap sikap para konglomerat media Amerika Serikat
yang cenderung menutup mata atas praktik korupsi pejabat dan kegagalan berbagai
program pemerintah. Bagdikian berkesimpulan, para konglomerat media sengaja
”memberi perlindungan secara politik” kepada pemerintah karena ada kesepakatan
tertentu di antara mereka. Sepertinya Agus juga menuduh bahwa pemerintah
Indonesiapun melakukan konspirasi dengan kalangan konglomerat media,
sebagaimana yang terjadi di AS seperti yang diamati Bagdikian.
Undang-Undang no 32
tahun 2002 tentang Penyiaran sama sekali tidak memperhitungkan perkembangan
teknologi dan trend bisnis media,
tetapi lebih menitikberatkan pada aspek politis, sehingga tidak kompatibel
dengan perkembangan industri dan karakter perkembangan teknologi. Memang undang
undang ini memiliki semangat yang besar untuk keadilan dan demokratisasi,
tetapi kehadirannya terlambat dibanding perkembangan industri yang sudah ada.
Sebelum peraturan perundangan itu mengatur berbagai hal tentang konsentrasi, dunia industri media penyiaran sudah banyak
yang terlanjur mengembangkan usahanya secara konglomeratif, dengan memiliki
beberapa stasiun televisi, radio, media
cetak, operator seluler dan usaha-usaha lain. Belum lagi undang undang penyiaran
yang lama (UU no 24 tahun 1997) mewajibkan sebaliknya. Semua stasiun televisi
swasta justru harus terkonsentrasi di ibukota negara, Jakarta. Bagi industri penyiaran mengikuti aturan
seperti interpretasi civil society,
dengan keharusan menjadi stasiun jaringan, kemudian dilarang merger, serta
pembatasan pemilikan, berarti memotong rantai bisnis yang sudah jadi.
Karena itu,
industri dengan kekuatan dan segala upayanya mencoba untuk menyiasati aturan
perundangan tersebut. Mereka merasa dikerdilkan, dibatasi, dan dilemahkan,
padahal mereka juga harus menghadapi persaingan global. Walhasil terjadilah
diskrepansi atau gap antara wacana
ideal yang disuarakan civil society,
dengan implementasi di lapangan. Sedangkan dalam aras normatif, negara nampak
lebih akomodatif dengan keadaan industri, karena mereka menganggap bahwa tugas
negara salah satunya adalah memajukan iklim industri di dalam negeri, termasuk
industri media penyiaran. Terlebih lagi aturan yang ada, menurut kalangan
negara, memang dianggap multi interpretasi, sehingga negara dalam hal ini mengambil
posisi yang “paling aman”, dengan tidak menerapkan aturan yang belum jelas.
Mereka berupaya netral melayani semua kepentingan, termasuk industri.
Diversity of ownership dan diversity
of content memang penting tetapi tidak cukup diterjemahkan hanya dengan
keberadaan sebanyak-banyaknya lembaga penyiaran swasta di daerah, dengan
pemilik yang beragam latar belakangnya. Sistem penyiaran yang demokratis tidak
identik dengan sekadar jumlah stasiun televisi yang banyak dan dimiliki
sembarang orang. Tetapi ada karateristik lain yang harus dipenuhi, yaitu quality of information and culture available
to public. Lembaga penyiaran yang banyak yang dimiliki sembarang orang,
tidak menjamin adanya isi yang berkualitas. Karena kualitas isi amat berkait
dengan profesionalitas dan dukungan ekonomi. Jika media terlalu banyak dan
tidak sesuai dengan daya dukung ekonomi, yang terjadi justru buruknya kualitas.
Dalam hal ini, kesimbangan antara jumlah media, kepemilikan yang beragam,
dengan daya dukung ekonomi amatlah penting diperhitungkan agar kualitas isi
terjaga.
Saatnya
perlu dicari konsep yang lebih compatible
dengan tuntutan dan keadaan Indonesia modern. Prinsip demokrasi tetap harus
dikedepankan sebagai upaya menjamin keadilan dan mendahulukan kepentingan
publik, namun juga harus disesuaikan dengan perkembangan teknologi dan trend bisnis media secara global, tanpa
hal itu, sistem penyiaran di Indonesia akan tertinggal.
Kekhawatiran yang
berlebihan terhadap konsentrasi pemilikan media tentu akan menghambat perkembangan
industri media penyiaran menjadi kurang kompetitif secara global. Sementara
membiarkan seluruh sumber daya frekuensi dikuasai oleh segelintir orang juga
akan memunculkan banyak persoalan. Maka
diperlukan suatu konsep yang lebih seimbang antara dua kepentingan itu. Sikap
yang berlebihan dengan aturan yang begitu ketat mengenai kepemilikan,
sampai-sampai larangan adanya perpindahan kepemilikan karena penjualan saham
perusahaan, jelas merupakan konsepsi
yang kurang menguntungkan dari aspek industri. Disini perlu dipikirkan
penerapan pendekatan yang lebih akomodatif
antara dua tuntutan tersebut. Pendekatan pasar bebas terbatas bisa menjadi
alternatif, dimana menurut pendekatan ini negara memberikan peluang pada
pasar bebas dalam batas-batas tertentu, dengan tetap memberi perlindungan pada
perusahaan lokal.[1]
Dalam sejarah
penyiaran di Indonesia, konsentrasi pemilikan media, bahkan mengarah ke
monopoli pernah terjadi. Berdasar studi Krishna Sen dan David Hill (2001) saat
runtuhnya pemerintahan Soeharto hingga awal munculnya reformasi. Dikatakan
monopoli pemilikan tidak senantiasa mampu, mengontrol konten secara ketat.
Terbukti menurut studi itu, tidak ada kontrol yang sempurna terhadap konten
media, kendati oleh pemiliknya sendiri. Pengalaman Orde Baru adalah contoh
nyata, seluruh stasiun televisi swasta dimiliki oleh kelompok keluarga Cendana
dan kroni-kroninya. Ketika krisis politik dan ekonomi melanda, hampir semua
stasiun televisi tidak bisa dikontrol untuk hanya menguntungkan rejim Soeharto.
Media penyiaran dengan kalangan profesionalnya memiliki logika, dan karater
sendiri, yang tidak bisa terus menerus harus tunduk pada kontrol pemilik.
Jadi kekuatan kapitalisme dalam iklim
industri media penyiaran, bisa dikatakan sebatas kontrol asset atau kekayaan media, tetapi kontrol terhadap isi medianya tidak
akan bisa sempurna. Secara empiris para pekerja media senantiasa
mempertimbangkan kepentingan pasar, kehendak khalayak, baik dalam pemberitaan
maupun program. Dalam konteks ini peran rating
amat tinggi, ia menjadi ukuran keberhasilan penetrasi media, sekaligus pedoman
isi untuk melangsungkan hidupnya. Tanpa memperhitungkan rating atau keinginan khalayak, industri media tidak akan hidup,
dan kalangan profesional-nya akan dianggap gagal.
Disini secara teoritis peran rating memiliki makna yang juga bersifat
positif dalam konteks sistem penyiaran yang demokratis. Rating bukan hanya menjadi barometer, melainkan juga ”filter” bagi ”ownership control”. Keinginan pemilik yang berseberangan dengan
kehendak orang banyak, kebutuhan dan rasa ingin tahu orang banyak, bisa menyebabkan medianya ditinggalkan audience. Hal semacam ini tentu menjadi
perhitungan yang penting bagi pengelola media. Pengalaman sejarah di Indonesia,
media partisan yang banyak didekte oleh kepentingan pemilik selalu gagal untuk
menjadi besar. Ini merupakan pelajaran yang amat penting bagi kalangan
profesional pengelola media, sekaligus rambu-rambu bagi pemilik.
Berdasar argumentasi di atas, secara
rasional sebenarnya tidak perlu terlalu khawatir terhadap pengaruh pemilik pada
konten media penyiaran, apalagi jika format isi media penyiaran tersebut
senantiasa dikaitkan dengan surat izin yang diberikan oleh negara. Artinya akan
terjadi kontrol dalam bentuk berbeda dari selain rating dan logika profesional. Kontrol itu muncul melalui mekanisme
yang menjamin, bahwa izin penyiaran senantiasa berkait dengan format isi
siaran. Logikanya izin diberikan karena adanya niche yang berkait dengan format isi yang sesuai dengan
kepentingan, kebutuhan dan kesenangan publik atau public interest, necessity and convenienece atau sering disingkat dengan istilah Picon. Lembaga
penyiaran swasta yang berubah format siarannya berarti mengingkari kontrak,
yang menjadi alasan diberikannya izin,
karena itu izin penyelenggaraan penyiaran melekat pada format isi siaran,
berubah formatnya maka bisa dicabut
izinnya.
Perubahan saham karena pembelian oleh
pemilik baru, bisa tetap dimungkinkan dengan syarat perubahan pemilikan tidak
merubah format isi siaran. Karena pada dasarnya pemberian izin oleh negara,
pertimbangannya semata-mata karena format isi media tersebut dibutuhkan oleh
publik sesuai dengan peta assesment
kebutuhan publik, dan daya dukung ekonomi. Prinsip ini relevan dengan azas
pentingnya diversity of content yang
merupakan tujuan akhir diversity of
ownership. Dalam hal ini peran KPI adalah mengawasi format isi siaran,
sekaligus mengawasi pula penerapan azas-azas impartialitas dan etika yang
dituangkan dalam P3SPS. Konsentrasi
tugas KPI pada isi ini, nantinya dikaitkan dengan rekomendasi perizinan yang
akan diberikan. Konsepsi demikian amatlah penting untuk menjaga semangat
terbentuknya sistem penyiaran yang demokratis.
DAFTAR PUSTAKA
Albarran, Alan B., Media Economics,
Understanding Markets, Industries, and Concepts, Iowa State University Press, Ames, Iowa. 1996.
Baker, Edwin C., Media, Market and Democracy., Communication Society and Politics.,
Cambridge University Press, 2004
----------------------., Media
Concentration and Democracy, Why Ownerships Matter,
Cambridge University Press, 2007
Cohen., Jen
L & Arato, Andrew., Civil
Society and Political Theory, Massachusetts and
Institute Technology Press, 1994
Croteau,
David,. Media
Society, Industries, Images, and Audiences, 3th Edition, Pine Forge Press,
Thousand Oak, London, 2003.
-------------------,
& Hoynes, William,
The Business of The Media, Corporate Media and The Public Interest, Pine Forge Press, 2001: 37
Golding, Peter., and Murdock, Graham., The Political
Economy of The Media., Sage
Publication., London 2000.
Graber A, Doris, Mass Media and American Politics, Sixth Edition, CQ Press A
Division of Congressional Quarterly Inc, Washington D.C, 2002.
Hasan. Robert., Media,
Politics and The Network Society, In Issue in Culture and Media Studies, 2004, Open University Press, hal 102.
Keane,
John., Media and Democracy. Cambridge University Press: Polity Press,
1991.
Kitley, Philip., Television, Regulation and Civil Society in Asia. Routledge,
London, 2003.
Mc Quail,
Denis., Mass Communication Theory,
Fifth Edition, Sage Publication, London,
Thousand Oaks, New Delhi, 2005
---------------------,
& Siune, K. (eds.)):
Media Policy: Convergence, Concentration Commerce, London: SAGE (1998).
Panjaitan., Hinca dan Effendi Siregar, Amir., Membangun Sistem Penyiaran Yang
Demokratis, USAID, Jakarta 2003.
Street, John., Mass
Media, Politics and Democracy, Palgrave, Printed in China, 2001.
Tony Thwaites,
Llyod Davis & Warwicks Mules, Tools
for Cultural Studies,
An Introduction, Sage
Publication, London 1998.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar