Senin, 09 April 2012

*TELEVISI DAN REGULASI SISTEM SIARAN BERJARINGAN*

Oleh: Dr. Henry Subiakto, SH, MA
(Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Unair)

Berdasar regulasi lama, UU No 24 tahun 1997, stasiun TV swasta wajib berkantor pusaty di ibukota negara, sehingga televisi nasional terkonsentrasi di Jakarta. Sementara Undang Undang 32 tahun 2002 tentang Penyiaran justru mendorong munculnya penguatan daerah dengan keberadaan stasiun-stasiun TV lokal, beserta local content-nya. Stasiun televisi yang siaran dari Jakarta diperkenankan siaran hingga propinsi lain namun harus dengan Sistem Stasiun Jaringan, dan menurut UU penyiaran itu paling lambat sudah harus dilaksanakan paling lambat 30 Desember 2007.
Penerapan konsep siaran berjaringan sesuai amanat UU diharapkan banyak pihak, terutama kalangan civil society. SSJ merupakan upaya menciptakan keragaman informasi media massa selayaknya  merefleksikan struktur dan isinya sesuai dengan keragaman realitas sosial, ekonomi dan budaya. Kritik dasar yang ditujukan pada dunia penyiaran Indonesia adalah tidak terdistribusinya sumber daya penyiaran, termasuk di dalamnya frekuensi radio dan televisi, secara demokratis dan adil.
Namun beberapa aktivis, salah satunya Paulus Widianto kecewa pada keterlambatan sistem stasiun jaringan yang tidak jadi dijalankan pada akhir tahun 2007. menurut mereka ini bukti bahwa UU Penyiaran tidak dijalankan oleh Negara atau pemerintah. Padahal UU itu disahkannya sejak 2002 dan harusnya pada 28 Desember 2007, yaitu setelah massa transisi lima tahun, sudah ada sistem stasiun jaringan. Nampaknya hingga sekarang pun tidak ada kegiatan yang dianggap penting untuk itu. Padahal menurut Paulus konsep demokrasi penyiaran itu salah satu pilar pentingnya adalah tidak terjadinya sistem penyiaran yang sentralistik, tapi harus dibangun sistem penyiaran yang berjaringan (network). Sistem stasiun jaringan menjadi sangat penting dari sistem penyiaran di Indonesia, karena memang tidak lagi boleh terjadi sentralisasi. Seperti lembaga penyiaran publik, TVRI atau RRI itu sebenarnya sudah menjalankan sistem penyiaran jaringan,  baik yang sifatnya national wide, kemudian ada yang local wide, walau semuanya masih terpusat di Jakarta.
Sistem penyiaran berjaringan yang diamanatkan UU Penyiaran juga berlaku bagi lembaga penyiaran swasta. Mereka harus masuk dalam sistem penyiaran berjaringan, karena TVRI dan RRI sudah masuk. Dalam desain awal UU Penyiaran, diharapkan supaya tidak semua lembaga penyiaran swasta itu berada di Jakarta, tapi juga ada di Medan, Surabaya, Bali, Makasar, dan seterusnya. Dengan demikian pusat stasiun jaringan tidak di Jakarta semua, tapi juga ada di daerah-daerah, sehingga semua tidak lagi sentralistik, dan masyarakat semakin banyak memiliki variasi dan sangat opsional.
Dari segi sistem penyiaran berjaringan itu terdapat kendala, karena banyak dari lembaga penyiaran swasta itu mengharapkan bersistem jaringan tapi sifatnya nasional, dan pusatnya selalu Jakarta, derah itu hanya sebagai pelengkap. Sejak awal UU Penyiaran menurut Paulus telah didesain bahwa lembaga penyiaran swasta itu tidak bersifat nasional. Sementara yang boleh melakukan siaran nasional hanya TVRI dan RRI. Maka, dalam ketentuannya, yang bisa melayani seluruh rakyat Indonesia hanya lembaga penyiaran publik tersebut. Sedangkan lembaga siaran swasta hanya boleh siaran dengan wilayah siaran terbatas.
Menurut Paulus Widianto, dengan adanya konsep siaran terbatas yang diperjuangkan sejak awal RUU. Konsekuensnyai adalah harus ada konsep pembagian wilayah (region). Misalkan sistem penyiaran swasta X ada di Medan, maka daerah yang menjadi layanannya adalah daerah di sekitar Medan dan beberapa di wilayah lain di Sumatera. Begitulah juga untuk daerah lain, Palembang, Makassar, Bali, wilayah terbatasnya itu sudah ditentukan sesuai peta frekuensi. DPR dalam diskusinya pernah membahas, wilayah siaran lembaga penyiaran swasta tadi kira-kira hanya 25%, dari wilayah yang dia jangkau sebelumnya, yaitu wilayah penyiaran nasional 100 %. Dengan demikian, masing-masing lembaga penyiaran saling berkompetisi dan memiliki wilayah siaran yang terbatas.
Diakui Paulus, sejak awal lembaga penyiaran swasta atau kalangan industri menolak konsep ini, dengan alasan mereka tidak bisa hidup apabila harus dibatasi jangkauannya dan dipecah-pecah kepemilikannya di daerah. Mereka juga sudah berinvestasi terlalu banyak. Menurut Paulus, hal itu hanyalah alasan-alasan yang semata-mata karena kepentingan bisnis, padahal sistem penyiaran berjaringan, adalah bagian penting dari demokratisasi penyiaran yang harus dijalankan.
Akhirnya UU Penyiaran di dalam pasal-pasalnya memasukkan pula konsep siaran terbatas dan keharusan adanya sistem siaran berjaringan. Aturan perundangan yang mengamanahkan adanya sistem siaran berjaringan itu ada pasal 6 ayat (3) UU 32/2002. Isinya berisi ketentuan; Dalam sistem penyiaran nasional terdapat lembaga penyiaran dan pola jaringan yang adil dan terpadu yang dikembangkan dengan membentuk stasiun jaringan dan stasiun lokal. Kemudian pada Pasal 31 UU 32/2002 disebutkan bahwa; Lembaga penyiaran yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau jasa penyiaran televisi terdiri atas stasiun penyiaran jaringan dan/atau stasiun penyiaran lokalLebih lanjut aturan ini dilengkapi dengan pasal 70 dalam PP no 50 tahun 2005, yang isinya mengatakan; LPS jasa penyiaran TV yang sudah mempunyai stasiun relai di ibukota provinsi wajib melepaskan kepemilikan atas stasiun relainya paling lambat tanggal 28 Desember 2007, kecuali pemilik modal daerah belum mampu mendirikan stasiun penyiaran lokal atau ada alasan khusus yang ditetapkan oleh Menteri atau Pemda setempat. Aturan-aturan inilah kemudian yang didesakkan oleh kalangan civil society untuk dilaksanakan secara konsekuen oleh Pemerintah, KPI dan kalangan industri. 
Dalam perkembangannya, sistem siaran berjaringan itu pelaksanaannya tertunda-tunda. Aturan dalam UU yang menyebutkan paling lambat dilaksanakan 5 tahun setelah diundangkan, kemudian dalam PP 50 tahun 2005 disebutkan tanggal paling akhir dilaksanakannya sistem itu adalah 28 Desember 2007, namun  ternyata mengalami penundaan. Alasannya, pertama UU Penyiaran lama, UU No. 24/1997, justru mengharuskan TV swasta memiliki jangkauan nasional dengan membangun stasiun relai di seluruh Indonesia, dengan berkedudukan pusatnya di Jakarta. Sementara UU yang baru memerintahkan sebaliknya. Kedua pemerintah dan kalangan industri beralasan bahwa selama 5 tahun yaitu 2002 hingga 2007 terjadi konflik kewenangan antara KPI dan Pemerintah, serta berjalannya 3 judicial review terhadap UU Penyiaran, maupun PP 50. Praktis konflik dan judicial review itu  menyebabkan persiapan sistem siaran berjaringan, baik dari sisi pembuatan regulasi maupun kelembagaan  mengalami kelambatan. Ketiga alasannya adalah bahwa pada pasal 70 PP tahun 2005 memang dimungkinkan menteri menentukan penundaan dengan alasan khusus. Pasal itu berbunyi:  LPS jasa penyiaran TV yang sudah mempunyai stasiun relai di ibukota provinsi wajib melepaskan kepemilikan atas stasiun relainya paling lambat tanggal 28 Desember 2007, kecuali pemilik modal daerah belum mampu mendirikan stasiun penyiaran lokal atau ada alasan khusus yang ditetapkan oleh Menteri atau Pemda setempat.
Baru dari situlah kemudian diputuskan oleh pemerintah bersama KPI, bahwa paling lambat 28 Desember 2009 atau mulai januari 2010 sistem siaran jaringan harus sudah dijalankan. Artinya lembaga penyiaran swasta yang selama ini siaran nasional, tidak bisa lagi diteruskan. Keputusan ini telah dituangkan ke dalam Peraturan Menkominfo no 32/Per/M.Kominfo/12/2007 mengenai penerapan sistem jaringan lembaga jasa penyiaran televisi. 
Berdasarkan peraturan itu, lembaga penyiaran swasta diharuskan memilih, untuk menjadi stasiun berjaringan atau menjadi stasiun lokal. Tidak ada lagi istilah stasiun nasional menurut UU Penyiaran, yang diperbolehkan siaran secara nasional hanyalah TVRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik. Tanggal 28 Desember 2009 merupakan batas akhir bagi seluruh penyelenggara stasiun televisi nasional untuk segera melakukan siaran berjaringan. Apabila mereka ingin melakukan siaran hingga melewati propinsi lain di luar propinsi DKI, lembaga televisi bersangkutan harus bekerja sama dengan perusahaan penyiaran yang berbeda yang ada di propinsi lain tersebut. Pemilikan perusahaan itu minimal 10% sahamnya dimiliki oleh orang lokal. Kemudian stasiun yang ada di daerah tersebut juga wajib menyiarkan kandungan lokal minimal juga 10%. Keberadaan stasiun jaringan tersebut ada di ibukota propinsi, sedangkan untuk daerah kabupaten kota cukup dengan merelai aktivitas penyiaran dari ibukota propinsi. Itulah ketentuan turunan dari UU Penyiaran yang kemudian di atur dalam PP no 50 tahun 2005 dan Peraturan Menkominfo No 32 tahun 2007.
Penerapan Sistem Stasiun Jaringan tersebut dimaksudkan agar terjadi desentralisasi penyiaran, dan tidak lagi ada sentralisasi penyiaran yang hanya berada di Jakarta. Tujuannya agar semua aspek budaya dan sumber daya manusia maupun sumber daya ekonomi bisa dimasukkan dalam lembaga penyiaran yang bersifat lokal. “Dengan penerapan sistem berjaringan diharapkan lembaga penyiaran televisi nasional akan membuat stasiun televisi lokal di daerah-daerah sehingga mampu memberdayakan potensi SDM maupun ekonomi lokal”, kata ketua KPI Sasa Djuarsa.  Jadi pengertian stasiun berjaringan adalah dalam hal konten siaran, tujuannya agar tidak menghilangkan nilai nasional, tetapi juga menampung konten-konten lokal yang dibutuhkan masyarakat.

Sumber : SKDI Depkominfo (Januari 2008)

Ilustrasi tadi adalah menggambarkan pembagian wilayah-wilayah jaringan televisi yang ada di Indonesia. Hingga tahun 2009, ada 10 stasiun televisi nasional bersiaran dari Jakarta menjangkau berbagai wilayah-wilayah siaran yang ditandai dengan bundaran warna merah. Tetapi sejak 28 Desember 2009 hal itu tidak diperkenankan lagi. Dasarnya selain UU Penyiaran, PP no 50 tahun 2005, juga Peraturan Menteri Kominfo nomer 12 tahun 2007. Sejak tanggal itu stasiun televisi yang bersiaran dari Jakarta seperti RCTI, SCTV, TPI, Indosiar, Antv, Metro TV, Global TV, Trans TV, Trans 7, dan TV One tidak bisa menjangkau wilayah di luar Jakart, kecuali sudah menerapkan sistem stasiun jaringan (SSJ). Adapun konsep SSJ yang dikeluarkan oleh Pemerintah (Depkominfo) kalau diilustrasikan adalah sebagai berikut

Sumber SKDI, Depkominfo (Janurai 2008).

Menurut Bambang Subiantoro, Plt Dirjen SKDI, Sistem Stasiun Jaringan (SSJ) adalah tata kerja yang mengatur relai siaran secara tetap antar lembaga penyiaran, yang terdiri atas induk stasiun jaringan, dan anggota stasiun jaringan. Induk Stasiun Jaringan terletak di Ibukota Propinsi (IKP), anggota SSJ terletak di ibukota provinsi, kabupaten dan atau kota. Menurut PP 50 tahun 2005  jangkauan SSJ dibatasi max 75% dari seluruh Provinsi di Indonesia, kecuali bagi stasiun relay yang beroperasi sebelum PP 50 itu diberlakukan. Untuk stasiun televisi lama, mereka diperbolehkan bersiaran hingga 90% dari keseluruhan provinsi. Dengan ketentuan maximum 80% di daerah ekonomi maju (yang dipilih sendiri oleh stasiun televisi yang bersangkutan), dan minimum 20% di daerah ekonomi kurang maju (lokasinya ditetapkan oleh Pemerintah). Semua konsepsi itu  menurut Bambang berdasarkan pada PP no 50 tahun 2005 dan UU Penyiaran.
Penerapan sistem stasiun jaringan (SSJ) adalah salah satu indikator dilaksanakannya sistem penyiaran yang demokratis. Menurut Bambang Soebiantoro, SSJ memungkinkan posisi masing-masing media menjadi tetap independen. Berjaringan tetapi independen, tidak saling kooptasi. Jadi apabila ada radio mengaku telah melakukan sistem siaran berjaringan, pertanyaannya adalah lembaga stasiun radio di daerah yang jumlahnya banyak dan diajak siaran berjaringan itu independen atau tidak? Isinya apakah hanya ditentukan dari induk jeringan di Jakarta atau ada independensi editorial? Bagiamana dengan modalnya? Teknologinya, visi misinya? Dalam sistem yang demokratis semua itu harus ada independensi, sehingga SSJ benar-benar menjadi sarana terwujudnya sistem yang demokratis.
Sesuatu yang harus dihindari menurut Bambang, adalah adanya kooptasi pada informasi. Informasi itu untuk  membangun demokrasi. ”Kalau informasinya sendiri sudah dikooptasi, lalu apa yang akan dibangun?” Menurutnya,  informasi yang mencerdaskan itu adalah informasi yang mampu membangun sikap demokrat seseorang. Informasi yang menghilangkan feodalisme, otoritarianisme, hingga memberikan masukan-masukan yang cerdas, mencerahkan, dan memberi inspirasi. Jadi harus ada diskusi, untuk saling melengkapi, check and balances namun tetap saling menghormati pendapat masing-masing dan tidak tersinggung. Disitulah pentingnya lembaga media yang independen, tidak terkooptasi pada kepentingan politik praktis tertentu atau kekuatan di balik permodalan.
Keterlambatan penerapan Sistem Stasiun Jaringan, bukan dikarenakan tidak adanya kehendak melaksanakan UU, tetapi persoalan di lapangan yang muncul begitu banyak. Hal itu dikemukakan oleh Basuki Yusuf Iskandar. Dikatakan keterlambatan itu karena kita mewarisi sistem yang berubah secara drastis, dari sentralisasi menjadi harus berjaringan. Perubahan 180 derajad antara UU Penyiaran 24 tahun 1997 dan UU Penyiaran  no 32 tahun 2002.  Layanan TV nasional waktu itu dimanatkan UU lama  sampai ke pelosok, dan induknya harus di Jakarta, atau Ibu kota Negara. Menurut Basuki semua itu sekarang jadi masalah. Izin Siaran Radio (ISR) juga  jadi masalah. Karena harus mengikuti pola jaringan. Ini semua  merupakan masalah yang kompleks karena terkait aturan masa lalu. Membalikkan yang lama menjadi sama sekali baru itu butuh waktu dan jadi masalah kompleks.
Tetapi menurut Basuki tujuan utama harus dicapai, yaitu diversity of content, budaya-busaya daerah harus diberi tempat dalam sistema penyiaran Indonesia. Selama ini, menurutnya dengan sistem TV Nasional, budaya yang ditampilkan hanya budaya Jakarta, budaya metropolis. Budaya lokal terabaikan, padahal Indonesia itu berbineka dalam persoalan budaya. Stasiun TV berjaringan diarahkan menuju pada penghargaan diversity of culture.  Artinya setiap budaya diberikan hak untuk tampil. Masalahnya menurut Basuki  ada stagnasi selama tahun 2003 hingga 2007. Aturannya diajukan judicial review, pemerintah terlibat konflik dengan DPR dan KPI, sehingga semua pihak tidak bisa bekerja secara efektif. Baru mulai tahun 2008 dilakukan pembenahan. Targetnya sistem siaran berjaringan harus tuntas akhir tahun 2009.
Sementara kalangan industri media, mengatakan mereka sedang mempersiapkan penerapan konsep sistem siaran berjaringan itu. Diakui mereka memang kesulitan terutama dalam hal membuat perusahaan lokal yang harus berbeda dengan perusahaan induknya. Mengenai konten lokal yang minimal 10 persen sudah mulai mereka jalankan, terutama di propinsi yang potensial seperti Jawa Timur dengan kota Surabaya sebagai pusat, Sumatera Utara dengan Medan, dan Sulawesi Selatan dengan Makasarnya, yang lain masih dalam proses.
Terlepas dari itu ketentuan dalam UU Penyiaran dan PP 50 mengenai keharusan Sistem Stasiun Jaringan ini dinilai oleh Alex Kumara amat kejam pada dunia industri. Televisi yang sudah investasi ratusan miliar dan berusaha berbisnis secara sehat, dipotong diharuskan menjadi kecil-kecil dan berjaringan. Menurut Alex aturan-aturan itu ada secara tiba-tiba menjadi beban berat bagi industri. Kalau dikatakan PP 50 tahun 2005 itu menguntungkan industri, itu tidak benar. Isi PP itu amat kejam baik dalam hal pembatasan cross ownership, sistem siaran jaringan, maupun mengenai perpindahan izin. Jadi ATVSI merasa kecolongan dengan berbagai peraturan itu, kalangan industri televisi sama sekali tidak mengantisipasi aturan yang begitu keras. Ketika aturan itu dibuat ATVSI tidak banyak terlibat, mereka masih sibuk berbisnis, jadi tidak  sempat melobi ataupun intervensi untuk kepentingan industri. Demikian pengakuan Alex Kumara, pendiri ATVSI, mantan direksi di MNC, kemudian sempat menjadi salah satu direktur di TVRI, direktur di Trans TV, dan sekarang sebagai direktur teknik di TV One.
Gilang Iskandar dari MNC yang juga salah satu pengurus ATVSI, menganggap penerapan sistem stasiun jaringan adalah meng-cut off stasiun televisi swasta yang sudah ada. “Ini benar-benar sulit diterima, kami bisa cut off semua. Apalagi kalau di tiap daerah kami harus memiliki perusahaan yang berbeda, terus harus ada akta notaris untuk perjanjian di antara induk jaringan dan anggota jaringan. Harus ada berapa perusahaan untuk mengcover sebagian besar wilayah Indonesia ini?”. Kalangan industri mengaku kesulitan, baik secara teknis maupun secara hukum. Apalagi jika anggota jaringan yang berupa perusahaan-perusahaan baru itu juga harus memiliki izin sendiri-sendiri, itulah yang dikeluhkan dan menjadi keberatan mereka.
Fredy Tulung, mantan Dirjen SKDI mengatakan bahwa SSJ betapapun beratnya harus dilaksanakan. Industri harus tunduk pada aturan perundangan. Kalau mereka menolak atau mengeluh, PP nomer 50 tahun 2005 itu juga hasil lobi mereka pada pemerintah waktu itu. Menurut Fredy, sebenarnya ada lobi kalangan industri televisi pada saat akhir PP itu akan dikeluarkan, yaitu sekitar bulan September 2005. Menkominfo saat itu Sofyan Jalil, dan Dirjen SKDI, Prof Dr. Widi Atnyana, memperoleh banyak “tekanan”. Sementara dia sendiri saat PP itu dibuat belum menjadi Dirjen SKDI.  Belakangan yang terjadi kalangan industri merasa kecolongon, dan aturannya bisa mengamputasi mereka, khususnya untuk SSJ.
“Intervensi” industri terhadap materi PP 50 tahun 2005 juga diakui oleh Aswin Sasongko. Menurut mantan Sekjen Depkominfo ini PP 50 itu hasil kompromi antara pemerintah dengan tekanan industri, makanya isinya banyak saling bertentangan. Di bagian muka pasal-pasalnya penuh ketegasan, namun di bagian belakang  beberapa pasal, melemahkan pasal di depannya. Bahkan menurut Aswin, saking ruwetnya isi PP 50 sebagai hasil kompromi tadi, Prof Widi Atnyana mengeluh ketika harus menegakkan PP tersebut. Makanya Prof Widi memilih mengundurkan diri dari Dirjen SKDI pada tahun 2007 dari pada harus menjalankan aturan yang  isinya saling bertentangan.
Ketika ditanya, mengapa Prof Widi tidak mampu mengamankan PP 50 dari intervensi industri, menurut Aswin hal itu terlalu rumit, karena melibatkan banyak orang, dan melibatkan beberapa departemen. Sebagai Dirjen-pun Prof Widi merasa kesulitan, dan akhirnya dia merasa sangat berat menjalankan PP yang sarat dengan kompromi itu. Pada bulan Agustus 2007 dia benar-benar mengundurkan diri dari Dirjen  SKDI, disetujui oleh menteri Mohammad  Nuh untuk kembali ke ITB.
Demikian isi PP 50 tetap dirasa berat oleh industri penyiaran. Terutama aturan tentang penerapan Sistem Stasiun Jaringan (SSJ). Penentangan dan intervensi stasiun televisi terhadap aturan yang ingin menata industri, sebenarnya tidak hanya terjadi pada masa reformasi. Pada tahun 1997 pernah juga terjadi. Saat itu RUU Penyiaran (yang lama UU 24 tahun 1997) sudah  selesai di DPR. Tetapi di dalamnya ada aturan yang melarang stasiun televisi swasta melakukan transmisi melebihi 50% populasi nasional. Mengetahui itu para pemilik TV menentangnya. Melalui ”kedekatan” dengan Soeharto, akhirnya RUU itu ditolak dan tidak ditandatangani oleh presiden. Ini menjadi sejarah pertama kali dalam Orde Baru, dimana RUU yang sudah  disetujui DPR dikembalikan oleh Presiden karena adanya kepentingan televisi. Akhirnya UU no 24 tahun 1997 tentang Penyiaran itupun diubah mengikuti tekanan industri televisi, dengan menghilangkan pasal pembatasan pada televisi swasta.
Kalau kalangan ATVSI merasa tidak siap, hal yang berbeda dikemukakan oleh tokoh televisi lokal. Menurut Imawan Mashuri, ketua Asosiasi Televisi Lokal Indonesia, Kebijaksanaan di organisasinya (ATVLI) dalam hal konten media justru sudah amat siap. Walaupun aturan di  PP 50 menetapkan 90% konten boleh berjaringan berasal dari induknya di pusat jaringan, ATVLI memutuskan 40% untuk konten lokal. Menurut Imawan PP 50 membolehkan 90%, artinya konten lokal hanya 10%. Padahal lokal merupakan martabat demokrasi. ATVLI, maupun grup Jawa Pos Multimedia Corporation (JPMC) yaitu induk jaringan televisi-televisi di kelompok Jawa Pos group, dengan JTV sebagai induk. JPMC malah mematok 40% untuk konten berjaringan (dari induk), dan 60% untuk konten lokal. Jadi bagi televisi yang tergabung dalam jawa pos group, mereka sudah menerapkan 40% saja yang harus relai dari pusat jaringan. Menurut Imawan konten lembaga penyiaran jangan sampai menjauhkan masyarakat dari identitas ke-Indonesiaan. TV lokal berkomitmen membangun citra lokal dengan mengangkat kearifan lokal, yaitu budaya-budaya dari keragaman Indonesia.
Menurut Imawan Mashuri konsep Sistem Stasiun Jaringan yang dibuat pemerintah atas dasar PP 50 sudah cukup bagus. Dalam konsep itu stasiun televisi berinduk di provinsi sehingga bisa direlai oleh kota-kota lain di tingkat kabupaten kota di seluruh provinsi. Imawan justru mengkritik dari aspek kontennya, yang ini merupakan tugas KPI. Perlu ada kejelasan tentang porsi persentase kontennya. “Apakah hanya di acara berita, program hiburan atau program yang lain, lalu bagaimana penayangannya, apakah boleh di tengah malam, atau harus di prime time?”
Imawan melihat KPI belum melakukan apa-apa dalam memperkaya konsep sistem stasiun berjaringan, terutama dari sisi konten. Padahal mereka bisa membuat elemen-elemen konten, kriteria konten apa saja yang  bisa dijaringkan. Dari sisi ini nampak peran KPI  yang kurang serius menangani konten, kesannya kurang kreatif, mereka terlalu serius ngurusi izin. Ada fokus yang keliru yang mereka mainkan. Harusnya yang sudah ada ini dibenahi, dan  dicerahkan.
            Sementara berkait dengan keharusan televisi nasional menerapkan sistem siaran jaringan dan pemberian kesempatan yang begitu besar pada televisi lokal,  Alex Kumara berkeberatan. Menurutnya selama ini TV nasional, dituduh menggunakan ranah publik (frekuensi) secara tidak baik oleh MPPI. Kenyataannya  ranah publik terbatas itu digunakan oleh stasiun televisi nasional selama 7 hari 24 jam, jadi amat optimal untuk melayani publik. Sedangkan TV daerah, sebagaimana diketahui, mereka  kadang siaran kadang tidak. TV-TV baru itu izinya juga masih bermasalah menurut ketentuan UU, tapi yang selalu jadi sasaran selalu TV TV Nasional.
Padahal Indonesia yang begitu luas dan beragam ini, memerlukan media pemersatu, yang bisa menjadi sarana pemerintah pusat efektif pesannya sampai ke daerah. Dahulu peran TVRI dominan sampai ke daerah. Tetapi sekarang jelas tidak cukup hanya dengan TVRI atau RRI. Menurut Alex, dewasa ini banyak policy pemerintah pusat yang ditentang oleh daerah, atau tidak sampai ke daerah. “Kalau tidak ada televisi nasional, bisa saja persatuan dan kesatuan Indonesia bubar, yang paling sederhana, kalau semua televisi lokal menggunakan sapaan dalam bahasa daerah. Lalu akan kemana bahasa Indonesia kita”. Disimpulkan oleh Alex, bahwa siaran nasional oleh televisi swasta itu banyak sisi positifnya. Tidak tepat hanya dilihat dari sisi negatif. Ia mengusulkan perlu dipertahankan sekitar 5 LPS boleh siaran nasional, untuk kepentingan yang lebih besar yaitu kesatuan bangsa. Dengan demikian perlu ada revisi terhadap UU Penyiaran dan turunannya. 
Memang sejak awal kalangan industri penyiaran, khususnya Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) mempermasalahkan tentang aturan ini. Bahkan pada waktu menjelang pengesahan RUU Penyiaran-pun salah satu pasal yang secara tegas mereka tolak adalah mengenai kewajiban televisi swasta berjaringan jika ingin siaran melintasi daerah lain. Keharusan ini dinilai terlalu memberatkan televisi swasta yang telah berinvestasi milyaran rupiah untuk membangun transmisi di daerah-daerah. Apalagi belakangan mereka harus menggandeng perusahaan yang berbeda  yang ada di daerah, dengan kandungan lokal minimal 10%.
Diskursus penolakan atas penundaan Sistem Stasiun Jaringan terus saja digulirkan kalangan civil society, mereka mendorong agar sistem stasiun jaringan segera diterapkan, tanpa pandang bulu. Kalangan aktivis civil society ini dengan penuh curiga menengarai adanya konspirasi antara negara (pemerintah) dan industri. Salah satunya dari tulisan Agus Sudibyo di Harian KOMPAS pada 25 Januari 2008 dengan judul “Penundaan Sistem Berjaringan”.
Menurut Agus, penundaan pelaksanaan Sistem Stasiun Jaringan (SSJ) merupakan sesuatu yang ganjil itu. Sesuatu yang  telah ditetapkan oleh pemerintah, dimentahkan pemerintah sendiri. Padahal penerapan SSJ sebagaimana juga diatur dalam Pasal 70 PP No 50 Tahun 2005 adalah salah-satu capaian penting UU Penyiaran No 32. Akomodasi atas konsep desentralisasi di bidang media dan pengelolaan ranah publik berbasis kepentingan komunitas.
Agus mempertanyakan, benarkah masa transisi lima tahun pemberlakuan SSJ yang diberikan UU Penyiaran tidak cukup? PP No 50 Tahun 2005 eksplisit memberikan tenggat waktu 28 Desember 2007 untuk pemberlakuan SSJ. Tidak masuk akal jika penentuan tenggat waktu ini tidak didasarkan pada asumsi-asumsi persiapan teknis, permodalan, dan ketentuan peraturan pemberlakuan SSJ. Apakah pemerintah juga hanya memaklumi dan tidak menjatuhkan konsekuensi apa pun kepada stasiun televisi yang tidak melakukan persiapan menuju pemberlakuan SSJ pada masa transisi itu?
Dalam tulisan  Agus Sudibyo di KOMPAS itu dikatakan, kita sedang dihadapkan pada kecenderungan semakin terabaikannya prinsip-prinsip utama demokratisasi penyiaran: otonomi publik, diversity of ownership, diversity of content, desentralisasi dalam kehidupan media penyiaran di Indonesia. Realitas kebijakan, kepemilikan, dan praktik media penyiaran semakin kurang berurusan dengan nilai keutamaan publik dan hanya mengarah kepada re-establishment kepentingan investasi dan kekuasaan birokrasi atas ranah media.  Lalu Aguspun menyitir Bagdikian (1990) yang mengungkap sikap para konglomerat media Amerika Serikat yang cenderung menutup mata atas praktik korupsi pejabat dan kegagalan berbagai program pemerintah. Bagdikian berkesimpulan, para konglomerat media sengaja ”memberi perlindungan secara politik” kepada pemerintah karena ada kesepakatan tertentu di antara mereka. Sepertinya Agus juga menuduh bahwa pemerintah Indonesiapun melakukan konspirasi dengan kalangan konglomerat media, sebagaimana yang terjadi di AS seperti yang diamati Bagdikian.
Undang-Undang no 32 tahun 2002 tentang Penyiaran sama sekali tidak memperhitungkan perkembangan teknologi dan trend bisnis media, tetapi lebih menitikberatkan pada aspek politis, sehingga tidak kompatibel dengan perkembangan industri dan karakter perkembangan teknologi. Memang undang undang ini memiliki semangat yang besar untuk keadilan dan demokratisasi, tetapi kehadirannya terlambat dibanding perkembangan industri yang sudah ada. Sebelum peraturan perundangan itu mengatur berbagai hal tentang konsentrasi,  dunia industri media penyiaran sudah banyak yang terlanjur mengembangkan usahanya secara konglomeratif, dengan memiliki beberapa stasiun  televisi, radio, media cetak, operator seluler dan usaha-usaha lain. Belum lagi undang undang penyiaran yang lama (UU no 24 tahun 1997) mewajibkan sebaliknya. Semua stasiun televisi swasta justru harus terkonsentrasi di ibukota negara, Jakarta.  Bagi industri penyiaran mengikuti aturan seperti interpretasi civil society, dengan keharusan menjadi stasiun jaringan, kemudian dilarang merger, serta pembatasan pemilikan, berarti memotong rantai bisnis yang sudah jadi.
Karena itu, industri dengan kekuatan dan segala upayanya mencoba untuk menyiasati aturan perundangan tersebut. Mereka merasa dikerdilkan, dibatasi, dan dilemahkan, padahal mereka juga harus menghadapi persaingan global. Walhasil terjadilah diskrepansi atau gap antara wacana ideal yang disuarakan civil society, dengan implementasi di lapangan. Sedangkan dalam aras normatif, negara nampak lebih akomodatif dengan keadaan industri, karena mereka menganggap bahwa tugas negara salah satunya adalah memajukan iklim industri di dalam negeri, termasuk industri media penyiaran. Terlebih lagi aturan yang ada, menurut kalangan negara, memang dianggap multi interpretasi, sehingga negara dalam hal ini mengambil posisi yang “paling aman”, dengan tidak menerapkan aturan yang belum jelas. Mereka berupaya netral melayani semua kepentingan, termasuk industri.
Diversity of ownership dan diversity of content memang penting tetapi tidak cukup diterjemahkan hanya dengan keberadaan sebanyak-banyaknya lembaga penyiaran swasta di daerah, dengan pemilik yang beragam latar belakangnya. Sistem penyiaran yang demokratis tidak identik dengan sekadar jumlah stasiun televisi yang banyak dan dimiliki sembarang orang. Tetapi ada karateristik lain yang harus dipenuhi, yaitu quality of information and culture available to public. Lembaga penyiaran yang banyak yang dimiliki sembarang orang, tidak menjamin adanya isi yang berkualitas. Karena kualitas isi amat berkait dengan profesionalitas dan dukungan ekonomi. Jika media terlalu banyak dan tidak sesuai dengan daya dukung ekonomi, yang terjadi justru buruknya kualitas. Dalam hal ini, kesimbangan antara jumlah media, kepemilikan yang beragam, dengan daya dukung ekonomi amatlah penting diperhitungkan agar kualitas isi terjaga.  
Saatnya perlu dicari konsep yang lebih compatible dengan tuntutan dan keadaan Indonesia modern. Prinsip demokrasi tetap harus dikedepankan sebagai upaya menjamin keadilan dan mendahulukan kepentingan publik, namun juga harus disesuaikan dengan perkembangan teknologi dan trend bisnis media secara global, tanpa hal itu, sistem penyiaran di Indonesia akan tertinggal.
Kekhawatiran yang berlebihan terhadap konsentrasi pemilikan media tentu akan menghambat perkembangan industri media penyiaran menjadi kurang kompetitif secara global. Sementara membiarkan seluruh sumber daya frekuensi dikuasai oleh segelintir orang juga akan memunculkan banyak persoalan.  Maka diperlukan suatu konsep yang lebih seimbang antara dua kepentingan itu. Sikap yang berlebihan dengan aturan yang begitu ketat mengenai kepemilikan, sampai-sampai larangan adanya perpindahan kepemilikan karena penjualan saham perusahaan, jelas  merupakan konsepsi yang kurang menguntungkan dari aspek industri. Disini perlu dipikirkan penerapan pendekatan yang lebih akomodatif antara dua tuntutan tersebut. Pendekatan pasar bebas terbatas bisa menjadi alternatif, dimana menurut pendekatan ini negara memberikan peluang pada pasar bebas dalam batas-batas tertentu, dengan tetap memberi perlindungan pada perusahaan lokal.[1]  
Dalam sejarah penyiaran di Indonesia, konsentrasi pemilikan media, bahkan mengarah ke monopoli pernah terjadi. Berdasar studi Krishna Sen dan David Hill (2001) saat runtuhnya pemerintahan Soeharto hingga awal munculnya reformasi. Dikatakan monopoli pemilikan tidak senantiasa mampu, mengontrol konten secara ketat. Terbukti menurut studi itu, tidak ada kontrol yang sempurna terhadap konten media, kendati oleh pemiliknya sendiri. Pengalaman Orde Baru adalah contoh nyata, seluruh stasiun televisi swasta dimiliki oleh kelompok keluarga Cendana dan kroni-kroninya. Ketika krisis politik dan ekonomi melanda, hampir semua stasiun televisi tidak bisa dikontrol untuk hanya menguntungkan rejim Soeharto. Media penyiaran dengan kalangan profesionalnya memiliki logika, dan karater sendiri, yang tidak bisa terus menerus harus tunduk pada kontrol pemilik.
Jadi kekuatan kapitalisme dalam iklim industri media penyiaran, bisa dikatakan sebatas kontrol asset atau kekayaan media, tetapi kontrol terhadap isi medianya tidak akan bisa sempurna. Secara empiris para pekerja media senantiasa mempertimbangkan kepentingan pasar, kehendak khalayak, baik dalam pemberitaan maupun program. Dalam konteks ini peran rating amat tinggi, ia menjadi ukuran keberhasilan penetrasi media, sekaligus pedoman isi untuk melangsungkan hidupnya. Tanpa memperhitungkan rating atau keinginan khalayak, industri media tidak akan hidup, dan kalangan profesional-nya akan dianggap gagal.
Disini secara teoritis peran rating memiliki makna yang juga bersifat positif dalam konteks sistem penyiaran yang demokratis. Rating bukan hanya menjadi barometer, melainkan juga ”filter” bagi ”ownership control”. Keinginan pemilik yang berseberangan dengan kehendak orang banyak, kebutuhan dan rasa ingin tahu orang banyak,  bisa menyebabkan medianya ditinggalkan audience. Hal semacam ini tentu menjadi perhitungan yang penting bagi pengelola media. Pengalaman sejarah di Indonesia, media partisan yang banyak didekte oleh kepentingan pemilik selalu gagal untuk menjadi besar. Ini merupakan pelajaran yang amat penting bagi kalangan profesional pengelola media, sekaligus rambu-rambu bagi pemilik.
Berdasar argumentasi di atas, secara rasional sebenarnya tidak perlu terlalu khawatir terhadap pengaruh pemilik pada konten media penyiaran, apalagi jika format isi media penyiaran tersebut senantiasa dikaitkan dengan surat izin yang diberikan oleh negara. Artinya akan terjadi kontrol dalam bentuk berbeda dari selain rating dan logika profesional. Kontrol itu muncul melalui mekanisme yang menjamin, bahwa izin penyiaran senantiasa berkait dengan format isi siaran. Logikanya izin diberikan karena adanya niche yang berkait dengan format isi yang sesuai dengan kepentingan, kebutuhan dan kesenangan publik atau public interest, necessity and convenienece atau sering disingkat dengan istilah Picon. Lembaga penyiaran swasta yang berubah format siarannya berarti mengingkari kontrak, yang menjadi  alasan diberikannya izin, karena itu izin penyelenggaraan penyiaran melekat pada format isi siaran, berubah formatnya maka  bisa dicabut izinnya.
Perubahan saham karena pembelian oleh pemilik baru, bisa tetap dimungkinkan dengan syarat perubahan pemilikan tidak merubah format isi siaran. Karena pada dasarnya pemberian izin oleh negara, pertimbangannya semata-mata karena format isi media tersebut dibutuhkan oleh publik sesuai dengan peta assesment kebutuhan publik, dan daya dukung ekonomi. Prinsip ini relevan dengan azas pentingnya diversity of content yang merupakan tujuan akhir diversity of ownership. Dalam hal ini peran KPI adalah mengawasi format isi siaran, sekaligus mengawasi pula penerapan azas-azas impartialitas dan etika yang dituangkan dalam P3SPS.  Konsentrasi tugas KPI pada isi ini, nantinya dikaitkan dengan rekomendasi perizinan yang akan diberikan. Konsepsi demikian amatlah penting untuk menjaga semangat terbentuknya sistem penyiaran yang demokratis.

DAFTAR PUSTAKA
Albarran,  Alan B.,  Media   Economics,    Understanding   Markets,  Industries, and Concepts,  Iowa State University Press, Ames, Iowa. 1996.
Baker, Edwin C., Media, Market and Democracy., Communication Society and Politics.,
             Cambridge University Press, 2004
----------------------.,   Media Concentration and Democracy, Why Ownerships Matter,
              Cambridge University Press, 2007
Cohen., Jen L  & Arato, Andrew.,  Civil Society and Political Theory, Massachusetts and
            Institute Technology Press, 1994

Croteau,  David,.   Media Society, Industries, Images, and Audiences, 3th Edition, Pine Forge Press, Thousand Oak, London, 2003.

-------------------, &  Hoynes,  William, The Business of The Media, Corporate Media and The Public Interest,  Pine Forge Press, 2001: 37

Golding, Peter., and Murdock, Graham.,   The  Political Economy of The Media.,  Sage Publication., London  2000.

Graber A, Doris, Mass Media and American Politics, Sixth Edition, CQ Press A Division of Congressional Quarterly Inc, Washington D.C, 2002.

Hasan. Robert.,  Media, Politics and The Network Society, In Issue in Culture and Media Studies,  2004, Open University Press, hal 102. 

Keane, John., Media and Democracy. Cambridge University Press: Polity Press, 1991.
Kitley, Philip., Television, Regulation and Civil Society in Asia. Routledge, London,   2003.

Mc Quail, Denis., Mass Communication Theory, Fifth Edition, Sage Publication, London,
            Thousand Oaks, New Delhi, 2005

---------------------, &  Siune, K. (eds.)):   Media  Policy:   Convergence, Concentration  Commerce, London: SAGE (1998).

Panjaitan., Hinca dan  Effendi Siregar, Amir.,  Membangun Sistem Penyiaran Yang Demokratis, USAID,  Jakarta   2003.
Street, John., Mass Media, Politics and Democracy, Palgrave, Printed in China, 2001.

Tony Thwaites, Llyod Davis &  Warwicks Mules, Tools   for  Cultural   Studies,  An Introduction,  Sage Publication, London  1998.



* Disampaikan dalam  National Broadcasting Forum Networking Television di Universitas Mercu Buana, 5 Oktober 2010
[1]  Hermin, Indah Wahyuni.,  Op.Cit : 263

Tidak ada komentar:

Posting Komentar