Senin, 09 April 2012

KEKERASAN, KERUSUHAN, DAN BERITA TELEVISI


Oleh: Henry Subiakto
(Dosen Komunikasi FISIP Universitas Airlangga)

Ingin melihat wajah buruk Indonesia, tontonlah berita di televisi. Sebagian besar pemberitaan televisi mengenai negeri ini, lebih menunjukkan Indonesia yang suram. Indonesia yang sarat konflik, sarat kekerasan, dan kerusuhan. Seakan tidak ada habisnya drama kericuhan mewarnai pemberitaan televisi. Dari konflik Pemilukada, bentrok antar kelompok masyarakat di Tangerang, unjuk rasa brutal, hingga perkelahian antar kampung di Papua dan masih banyak yang lain. ”Potret Indonesia” nampak coreng moreng di televisi kita. Indonesia tergambar sebagai bangsa yang seakan manusianya tidak lagi berbudaya, bahkan tidak beradab. Dipenuhi orang-orang pemarah, orang-orang yang mudah mencela, mudah menyalahkan, bahkan siap merusak, dan  menghancurkan.
Di era demokrasi dan kebebasan ini semakin sulit ditemukan dalam berita televisi, keberadaan orang Indonesia yang baik, yang mendahulukan nilai keluhuran, kemanusiaan, gotong royong, kekeluargaan, dan mudah mufakat. Seakan hal-hal positif dari bangsa ini hilang tersapu oleh realitas pilihan yang dikonstruksi oleh stasiun televisi.  
Muncul pertanyaan, apakah isi pemberitaan media semacam itu yang akan menghantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar, bangsa yang cerdas, beradab, menjunjung tinggi Pancasila dan mampu bersaing di tataran internasional?


Realitas Pilihan
Indonesia yang membentang dari Sabang sampai Merauke, yang jaraknya hampir sama dengan Teheran-London, adalah sebuah negeri yang amat luas, dengan penduduk yang juga amat besar. Tentu saja kondisi itu menyebabkan terjadinya realitas yang amat kompleks. Artinya, kekerasan dan kericuhan itu memang ada, namun hal-hal baik yang lainpun juga tak kalah banyak. Namun media televisi sengaja memilih realitas yang comply dengan kebutuhan mereka sebagai industri ”tontonan”. Kalau mau fair, kondisi umum Indonesia yang sesungguhnya tidak sesuram seperti apa yang kita lihat di TV. Tetapi karena realitas yang dikonstruksi itu adalah realitas pilihan, maka potret Indonesia yang tergambar di televisi adalah wajah murung negeri ini. Televisi sebagai produsen ”tontonan” amat membutuhkan tayangan yang dramatik. Konflik dengan kekerasan merupakan salah satu jenis informasi realitas yang dramatik tersebut. Sehingga adegan konflik sosial senantiasa diburu gambarnya oleh kru televisi.  Bahkan terkadang karena tuntutan kebutuhan, adegan konflik itupun acapkali diciptakan, direka ulang, dengan maksud memperoleh tayangan yang dramatik.
 Padahal nasib bangsa ini amat ditentukan oleh bagaimana realitas sosial itu dikonstruksi. Sulit nampaknya bangsa ini akan bersikap optimis menyongsong masa depan, jika di benak mereka senantiasa dijejali oleh televisi, tentang ”kebrutalan” sebagian orang negeri ini? Sangatlah mungkin kekerasan yang semakin sering terjadi akhir-akhir ini, justru  dikarenakan adanya copy cat, belajar dari apa yang mereka lihat di televisi. Ketika kekerasan menjadi menu utama televisi, maka khalayakpun berpikir bahwa kekerasanlah jalan yang paling mudah untuk menyelesaikan berbagai persoalan. Ada juga yang berharap, dengan melakukan tindakan kekerasan, televisi akan perhatian, dan memberitakannya, sehingga secara tidak langsung memang ada hubungan timbal balik antara ekspos kekerasan di televisi dangan maraknya kekerasan itu sendiri.

Saatnya KPI Lebih Tegas
Sudah saatnya content penyiaran khususnya televisi ditata dan dijaga agar lebih beradab. Isi televisi yang memiliki dampak besar terhadap kehidupan bangsa tidak selayaknya dipasrahkan pada tuntutan pasar. Media televisi saatnya tidak hanya melayani keinginan selera massa tanpa memperhitungkan dampak jangka panjang. Kebebasan yang berbau liberal berdasar selera massa perlu dipikirkan ulang. Rating tidak selayaknya dipuja sebagai kiblat, atau panduan satu-satunya program televisi. Negeri ini perlu sebuah sistem yang mampu menciptakan keseimbangan, antara mekanisme pasar dengan standard yang tegas untuk menciptakan isi penyiaran yang bermartabat dan tidak berdampak buruk.
Jelas ini bukan tugas pemerintah. Karena UU 32 tahun 2002 tentang Penyiaran secara gamblang mengamanatkan agar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menciptakan sistem penyiaran yang sehat. KPI sebagai regulatory body yang independen memiliki kewenangan untuk mengawasi isi penyiaran, membuat aturan tentang isi sekaligus memberikan sanksi jika ada pelanggaran. Tugas mengawasi isi penyiaran inilah yang merupakan tugas amat penting yang harus dilaksanakan.
Sayangnya selama tiga periode keberadaan KPI, dunia pertelevisian Indonesia masih memprihatinkan. Keluhan, kritikan bahkan kecaman terhadap tayangan tv tidak pernah sepi. Sementara pelanggaran terhadap Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 SPS) yang dibuat KPI masih saja berlangsung. Bahkan ada stasiun televisi yang nyata-nyata dijadikan alat politik pemiliknya, dengan mengabaikan prinsip imparsialitas. Ini menunjukkan, fungsi pengawasan KPI begitu lemah, KPI lebih disibukkan oleh persoalan perizinan.
Saatnya KPI periode ketiga yang baru saja ditetapkan presiden 25 Mei, dan mulai bekerja 1 Juni lalu untuk lebih konsentrasi ke content penyiaran. KPI harus berani tegas menegakkan aturan P3 SPS. Stasiun televisi yang tidak menghargai penggunaan fekuensi sebagai public domein, harus diberi sanksi yang menjerakan. Ketegasan semacam itu pernah diberi contoh oleh ITC, Independent Television Commision di Inggris pada tahun 1998. Kala itu sebuah televisi satelit yang bernama Med-TV yang senantiasa dipakai untuk mendukung kepentingan politik Muhammad Ochalan, seorang tokoh politik Turki, mendapatkan peringatan dan sanksi keras dari ITC (sekarang namanya Ofcom). Karena dinilai tidak bisa imparsial, Med TV ditutup dan dicabut izinnya oleh komisi penyiaran Inggris saat itu. Baru boleh siaran kembali setelah tiga bulan, dan berjanji tidak mengulang pemihakannya pada satu kepentingan politik.
TV memang dituntut imparsial, karena menggunakan ranah publik, yaitu frekuensi. Publik itu beragam, partainya beragam, kepentingan politik beragam, bahkan agamanya-pun juga beragam. Menggunakan frekuensi harus memperhitungkan keragamanan tersebut. Memakai frekuensi untuk kepentingan pemilik atau kekuatan politik tertentu, adalah sebuah pelanggaran besar. Hal itu juga berlaku di Indonesia. UU Penyiaran pasal 36 ayat 4 mewajibkan media penyiaran untuk netral.
Saatnya pengawasan terhadap penggunaan public domein perlu ditegakkan. KPI harus tegas dalam menjaga nasib bangsa ke depan dari content yang merusak. Kalau ada televisi yang sudah berkali kali melanggar, sesuai UU Penyiaran pasal 55, KPI memiliki kewenangan menjatuhkan sanksi, dari teguran tertulis, penghentian mata acara,  pembekuan kegiatan siaran, hingga pencabutan izin. Persoalannya beranikah lembaga independen ini menghadapi stasiun televisi yang powerful dan sebagian besar dimiliki oleh oleh kekuatan besar pula? Mudah-mudahan KPI yang baru ini lebih berani. Kita lihat saja nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar