Oleh: Henry Subiakto
(Dosen Komunikasi FISIP Universitas
Airlangga)
Ingin melihat wajah buruk
Indonesia, tontonlah berita di televisi. Sebagian besar pemberitaan televisi mengenai
negeri ini, lebih menunjukkan Indonesia yang suram. Indonesia yang sarat
konflik, sarat kekerasan, dan kerusuhan. Seakan tidak ada habisnya drama
kericuhan mewarnai pemberitaan televisi. Dari konflik Pemilukada, bentrok antar
kelompok masyarakat di Tangerang, unjuk rasa brutal, hingga perkelahian antar
kampung di Papua dan masih banyak yang lain. ”Potret Indonesia” nampak coreng
moreng di televisi kita. Indonesia tergambar sebagai bangsa yang seakan manusianya
tidak lagi berbudaya, bahkan tidak beradab. Dipenuhi orang-orang pemarah, orang-orang
yang mudah mencela, mudah menyalahkan, bahkan siap merusak, dan menghancurkan.
Di era demokrasi dan kebebasan
ini semakin sulit ditemukan dalam berita televisi, keberadaan orang Indonesia yang
baik, yang mendahulukan nilai keluhuran, kemanusiaan, gotong royong,
kekeluargaan, dan mudah mufakat. Seakan hal-hal positif dari bangsa ini hilang
tersapu oleh realitas pilihan yang dikonstruksi oleh stasiun televisi.
Muncul pertanyaan, apakah isi pemberitaan
media semacam itu yang akan menghantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang
besar, bangsa yang cerdas, beradab, menjunjung tinggi Pancasila dan mampu
bersaing di tataran internasional?
Realitas Pilihan
Indonesia yang membentang dari
Sabang sampai Merauke, yang jaraknya hampir sama dengan Teheran-London, adalah
sebuah negeri yang amat luas, dengan penduduk yang juga amat besar. Tentu saja kondisi
itu menyebabkan terjadinya realitas yang amat kompleks. Artinya, kekerasan dan
kericuhan itu memang ada, namun hal-hal baik yang lainpun juga tak kalah banyak.
Namun media televisi sengaja memilih realitas yang comply dengan kebutuhan mereka sebagai industri ”tontonan”. Kalau
mau fair, kondisi umum Indonesia yang
sesungguhnya tidak sesuram seperti apa yang kita lihat di TV. Tetapi karena
realitas yang dikonstruksi itu adalah realitas pilihan, maka potret Indonesia yang
tergambar di televisi adalah wajah murung negeri ini. Televisi sebagai produsen
”tontonan” amat membutuhkan tayangan yang dramatik. Konflik dengan kekerasan
merupakan salah satu jenis informasi realitas yang dramatik tersebut. Sehingga
adegan konflik sosial senantiasa diburu gambarnya oleh kru televisi. Bahkan terkadang karena tuntutan kebutuhan,
adegan konflik itupun acapkali diciptakan, direka ulang, dengan maksud
memperoleh tayangan yang dramatik.
Padahal nasib bangsa ini amat ditentukan oleh bagaimana
realitas sosial itu dikonstruksi. Sulit nampaknya bangsa ini akan bersikap
optimis menyongsong masa depan, jika di benak mereka senantiasa dijejali oleh televisi,
tentang ”kebrutalan” sebagian orang negeri ini? Sangatlah mungkin kekerasan
yang semakin sering terjadi akhir-akhir ini, justru dikarenakan adanya copy cat, belajar dari apa yang mereka lihat di televisi. Ketika
kekerasan menjadi menu utama televisi, maka khalayakpun berpikir bahwa kekerasanlah
jalan yang paling mudah untuk menyelesaikan berbagai persoalan. Ada juga yang berharap,
dengan melakukan tindakan kekerasan, televisi akan perhatian, dan memberitakannya,
sehingga secara tidak langsung memang ada hubungan timbal balik antara ekspos
kekerasan di televisi dangan maraknya kekerasan itu sendiri.
Saatnya KPI Lebih Tegas
Sudah saatnya content penyiaran khususnya televisi
ditata dan dijaga agar lebih beradab. Isi televisi yang memiliki dampak besar
terhadap kehidupan bangsa tidak selayaknya dipasrahkan pada tuntutan pasar. Media
televisi saatnya tidak hanya melayani keinginan selera massa tanpa
memperhitungkan dampak jangka panjang. Kebebasan yang berbau liberal berdasar
selera massa perlu dipikirkan ulang. Rating
tidak selayaknya dipuja sebagai kiblat, atau panduan satu-satunya program
televisi. Negeri ini perlu sebuah sistem yang mampu menciptakan keseimbangan,
antara mekanisme pasar dengan standard yang tegas untuk menciptakan isi
penyiaran yang bermartabat dan tidak berdampak buruk.
Jelas ini bukan tugas
pemerintah. Karena UU 32 tahun 2002 tentang Penyiaran secara gamblang mengamanatkan
agar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menciptakan sistem penyiaran yang sehat. KPI
sebagai regulatory body yang
independen memiliki kewenangan untuk mengawasi isi penyiaran, membuat aturan
tentang isi sekaligus memberikan sanksi jika ada pelanggaran. Tugas mengawasi
isi penyiaran inilah yang merupakan tugas amat penting yang harus dilaksanakan.
Sayangnya selama tiga periode keberadaan
KPI, dunia pertelevisian Indonesia masih memprihatinkan. Keluhan, kritikan
bahkan kecaman terhadap tayangan tv tidak pernah sepi. Sementara pelanggaran
terhadap Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 SPS) yang
dibuat KPI masih saja berlangsung. Bahkan ada stasiun televisi yang nyata-nyata
dijadikan alat politik pemiliknya, dengan mengabaikan prinsip imparsialitas. Ini
menunjukkan, fungsi pengawasan KPI
begitu lemah, KPI lebih disibukkan oleh persoalan perizinan.
Saatnya KPI periode ketiga yang baru saja
ditetapkan presiden 25 Mei, dan mulai bekerja 1 Juni lalu untuk lebih
konsentrasi ke content penyiaran. KPI
harus berani tegas menegakkan aturan P3 SPS. Stasiun televisi yang tidak
menghargai penggunaan fekuensi sebagai public
domein, harus diberi sanksi yang menjerakan. Ketegasan semacam itu pernah
diberi contoh oleh ITC, Independent
Television Commision di Inggris pada tahun 1998. Kala itu sebuah televisi
satelit yang bernama Med-TV yang
senantiasa dipakai untuk mendukung kepentingan politik Muhammad Ochalan,
seorang tokoh politik Turki, mendapatkan peringatan dan sanksi keras dari ITC (sekarang namanya Ofcom). Karena dinilai tidak bisa
imparsial, Med TV ditutup dan dicabut
izinnya oleh komisi penyiaran Inggris saat itu. Baru boleh siaran kembali setelah
tiga bulan, dan berjanji tidak mengulang pemihakannya pada satu kepentingan
politik.
TV memang dituntut imparsial, karena
menggunakan ranah publik, yaitu frekuensi. Publik itu beragam, partainya
beragam, kepentingan politik beragam, bahkan agamanya-pun juga beragam.
Menggunakan frekuensi harus memperhitungkan keragamanan tersebut. Memakai
frekuensi untuk kepentingan pemilik atau kekuatan politik tertentu, adalah
sebuah pelanggaran besar. Hal itu juga berlaku di Indonesia. UU Penyiaran pasal
36 ayat 4 mewajibkan media penyiaran untuk netral.
Saatnya pengawasan terhadap penggunaan
public domein perlu ditegakkan. KPI harus
tegas dalam menjaga nasib bangsa ke depan dari content yang merusak. Kalau ada televisi yang sudah berkali kali melanggar,
sesuai UU Penyiaran pasal 55, KPI memiliki kewenangan menjatuhkan sanksi, dari
teguran tertulis, penghentian mata acara,
pembekuan kegiatan siaran, hingga pencabutan izin. Persoalannya
beranikah lembaga independen ini menghadapi stasiun televisi yang powerful dan sebagian besar dimiliki
oleh oleh kekuatan besar pula? Mudah-mudahan KPI yang baru ini lebih berani.
Kita lihat saja nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar