Oleh: Henry Subiakto
(Dosen Program Pascasarjana Studi Media dan Komunikasi Universitas Airlangga,
Direktur Lembaga Konsumen Media, dan Direktur CBC Jakarta).
Suatu hari pada acara berita kriminal di tv swasta,
muncul sebuah adegan polisi berlari-lari membawa pistol mengejar seorang
tersangka pelaku pencurian sepeda motor. Tiba-tiba terdengar suara tembakan berkali-kali dan bentakan-bentakan. Kemudian seorang pemuda yang berlumuran darah nampak diseret petugas. Kamera mengclose up wajah “tersangka penjahat” yang
sedang menggelesot di tanah dengan mimik merintih. Kelihatan pula badannya yang
bertato, dan kakinya yang berlumuran darah.
Narasi berita menyebutkan, polisi terpaksa menembak pelaku karena
berusaha melarikan diri.
Pada berita berikutnya,
diceritakan adanya sebuah kasus perkosaan.
Pelakunya remaja. Kamera memperlihatkan sebuah rumah yang sedang dikepung
petugas. Kemudian pintu didobrak, petugas masuk dan si pelaku ditangkap. Tak
jelas gimana ceritanya si pelaku ketika ditangkap wajahnya sudah bengap. Dengan
sendirinya gambar itu bercerita kalau tersangka telah dipukuli sebelum
ditangkap.
Ada lagi adegan sebuah rumah digerebek beberapa
polisi bersenjata api. Seorang ibu teriak-teriak karena anaknya diseret petugas
reserse anti narkoba. Pemuda gondrong anak ibu itu dijambak rambutnya, dan
ditekuk tangannya. Narator berita menyebutkan, orang tersebut memang merupakan target operasi anti narkoba, dan ditangkap beserta barang
buktinya..
Adegan kekerasan, penganiayaan, atau gambar korban yang mengerikan, tiap hari bisa kita saksikan di hampir seluruh
stasiun tv swasta. Pelakunyapun beragam. Kadang penjahat, kadang warga masyarakat,
dan tak jarang polisi. Peristiwanya sendiri ada yang direkam kamera ketika
kejadiannya berlangsung. Tapi ada pula yang reka ulang. Jadi adegannya sering mirip
“film action”. Tapi ada pula yang seperti sandiwara.
Tayangan kriminalitas dan kekerasan
memang sudah menjadi menu harian di tv. Tayangan itu hadir di tengah keluarga
kita. Masuk ke ruang tamu, bahkan kamar tidur. Penayangannyapun tak mempedulikan
waktu. Ada yang malam, sore, ataupun siang
hari. Seakan publik terus
menerus haus berita kriminal dan kekerasan. Anak-anakpun seakan layak belajar
dan mengenal berbagai jenis kekerasan dan kriminal. Pengelola tv sepertinya
kurang peka, bahwa di waktu siang dan sore, bagi anak-anak tv merupakan “teman
bermain“, “guru“, bahkan pengganti orang tua yang masih bekerja. Lalu bagaimana jadinya, jika tiap hari diberi suguhan tayangan
kekerasan dan kriminalitas?
Dahulu adegan kekerasan
hanyalah diperlakukan sebagai bumbu sebuah tayangan atau berita. Sekarang ketika
pertelevisian bersaing ketat, kekerasan dan kriminalitas telah menjadi menu
favorit yang dikemas, dijual, dan diberi acara tersendiri di hampir sebagian
besar stasiun tv. Selama ratingnya
tinggi, pengelola tv seakan merasa “sah“ menayangkan adegan demikian.
Seing is believing
Padahal tayangan tv menurut
berbagai studi terbukti mempunyai pengaruh yang kuat. Dengan melihat, orang
menjadi lebih percaya. Apa yang nampak di tv dianggap sebagai realitas yang
bermakna. Gerbner dalam Growing up with television
(1994), juga Porter dalam On Media
Violence (1999), menuturkan, efek
tayangan kekerasan di tv memilliki efek segera
atau jangka pendek, dan efek jangka panjang.
Munculnya
rasa takut dan ngeri, kemudian tekanan darah naik, merupakan contoh efek segera
dari emotional effect dan physiological effect. Namun beberapa ahli juga menunjukan potensi adanya
imitasi atau peniruan sebagai efek segera yang sering muncul di masyarakat atas tayangan kekerasan di tv.
Sedangkan efek jangka panjangnya
adalah habituation. Yaitu menjadi terbiasa dengan kekerasan dan kriminal. Orang menjadi
tidak peka, permisive, dan tolerance.
Bahkan Poter (1999) menunjukkan adanya learning social norms, karena tayangan
yang terus menerus, kekerasan bisa dianggap sebagai cara yang dibenarkan untuk
menyelesaikan masalah. Makanya tak heran kalau masyarakat Indonesia menjadi “makin akrab” terhadap
berbagai bentuk kekerasan. Terlebih kalau obyeknya tersangka pelaku kriminal. Untuk mereka, dihajar,
ditembak, dibunuh, bahkan dibakar hidup-hidup seakan sudah dianggap “wajar”. Hukum, dan prasangka baik, sering tidak berlaku bagi tersangka kriminal. Apalagi
mempertimbangkan, bahwa mereka itu mungkin juga korban keadaan. Di mana keadaan
ekonomi dan sosial, sering mengkondisikan orang-orang tertentu untuk berbuat
jahat. Tapi pemikiran demikian tenggelam dengan “dipupuknya”
budaya kekerasan oleh media massa, yang secara tak langsung juga mensosialisasikan
cara berpikir pendek, tidak cerdas, dan
tidak mencerahkan.
Diatur Tanpa Membelenggu Kebebasan Pers
Kekerasan di tv harus diatur waktu
dan cara penayangannya. Karena karakteristik tv dan radio memang sarat dengan
aturan. Filosofi ini berlaku
di manapun, termasuk di negara liberal sekalipun seperti Amerika dan Inggris. Dibuatnya
Draf Pedoman Perilaku dan Standar Program Penyiaran oleh KPI hendaknya direspon
dengan bijak dan hati-hati. Disamping karena hal itu berdasar amanat UU No 32
tahun 2002 tentang Penyiaran, pengaturan demikian juga didasarkan pada kepentingan
penonton.
Di
negara liberal seperti Inggris, tayangan program yang mengandung kekerasan juga diatur. Regulasi
itu menyangkut cara menampilkannya (the
portrayal of violence), maupun jadwal penayangannya (scheduling programmes). OFCOM, nama baru Komisi Penyiaran
Inggris yang berlaku sejak 1 April 2004
lalu, dalam salah satu aturannya berbunyi “programmes
containing violent material is unsuitable for children will not be shown before
the watershed time of 9 pm”.
Ada
lagi aturan yang menyebutkan “in
reporting or depicting violent crime, programmes will avoid glamourising it or
promoting fear of crime.” Jadi di sana
program yang mengandung kekerasan tidak boleh ditayangkan pada saat anak-anak sedang
banyak menonton. Kemudian, berita kekerasan
dan kriminal, juga harus menghindarkan kesan yang mengagumkan, pantas dicontoh,
atau membangkitkan rasa takut.
KPI nampaknya ingin melakukan hal serupa sebagaimana komisi
sejenis di luar negeri. Makanya semua pihak harus siap kalau nanti berbagai isi
tv dan radio akan diatur. Termasuk ketentuan tentang imparsialitas program berita,
persoalan kesopanan isi program, periklanan, sponsorship, hingga penempatan
waktu tayang. Persoalannya apakah pengaturan demikian itu berarti pembelengguan
terhadap kebebasan pers? Sebagaimana sempat
dikhawatirkan kalangan Assosiasi Televisi Swasta Indonesia (Kompas, 27 Mei 2004).
Yang jelas, karakteristik tv dan radio memang sarat dengan aturan detail. Tapi KPI tidak boleh
seenaknya dalam membuat regulasi. Tetap harus memperhatikan prinsip yang paling
dasar. Yaitu tidak boleh bertentangan dengan kebebasan pers yang telah dijamin UUD
1945 pasal 28F, dan UU no 40 th 1999
pasal 4 dan 5. Juga harus berpegang pada aturan mengenai tugas dan keawajiban
KPI, menjamin masyarakat untuk memperoleh
informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia (UU no 32 th
2002 tentang Penyiaran pasal 8 ayat 3). Dengan
demikian lembaga penyiaran tetap menjadi kekuatan kontrol terhadap kekuasaan, serta
menyajikan informasi yang menjadikan warga negara mampu memainkan peran
demokratiknya secara signifikan.
Namun
demikian aturan yang dibuat KPI justru sebaiknya harus detail dan operasional.
Dengan begitu akan terhindar dari pasal karet. Tapi sebagai lembaga baru,
membuat aturan yang detail memang tidak mudah. Apalagi
kerjaan KPI untuk waktu sekarang amat banyak dan menumpuk. Belum lagi kalangan
penyiaran juga bisa shock,
terkaget-kaget, dengan aturan yang detail. Karena sudah terbiasa unregulated, tiba-tiba dihadapkan pada
aturan yang rinci. Makanya tak heran kalau Draf Pedoman Perilaku dan Standar
Program yang dibuat KPI itu tidak sedetil dan selengkap Programme Code yang dimiliki
negara maju seperti Inggris, Perancis,
Jerman, maupun Yunani. Draf dari KPI malah menyederhanakan dengan menggabungkan aturan untuk tv dan radio.
Padahal kedua medium penyiaran tersebut memiliki karakteristik dan aturan yang
berbeda, dan di banyak negara diatur secara terpisah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar