Senin, 09 April 2012

KEKERASAN DI TV DAN ATURAN KPI


Oleh: Henry Subiakto
(Dosen Program Pascasarjana Studi Media dan Komunikasi Universitas Airlangga, Direktur Lembaga Konsumen Media, dan Direktur CBC Jakarta).

Suatu hari pada acara berita kriminal di tv swasta, muncul sebuah adegan polisi berlari-lari membawa pistol mengejar seorang tersangka pelaku pencurian sepeda motor. Tiba-tiba terdengar suara tembakan berkali-kali dan bentakan-bentakan.  Kemudian seorang pemuda yang berlumuran  darah nampak diseret petugas. Kamera mengclose up wajah “tersangka penjahat” yang sedang menggelesot di tanah dengan mimik merintih. Kelihatan pula badannya yang bertato, dan kakinya yang berlumuran darah.  Narasi berita menyebutkan, polisi terpaksa menembak pelaku karena berusaha melarikan diri.
Pada berita berikutnya, diceritakan adanya sebuah kasus perkosaan.  Pelakunya remaja. Kamera memperlihatkan sebuah rumah yang sedang dikepung petugas. Kemudian pintu didobrak, petugas masuk dan si pelaku ditangkap. Tak jelas gimana ceritanya si pelaku ketika ditangkap wajahnya sudah bengap. Dengan sendirinya gambar itu bercerita kalau tersangka telah dipukuli sebelum ditangkap.
 Ada lagi adegan sebuah rumah digerebek beberapa polisi bersenjata api. Seorang ibu teriak-teriak karena anaknya diseret petugas reserse anti narkoba. Pemuda gondrong anak ibu itu dijambak rambutnya, dan ditekuk tangannya. Narator berita menyebutkan, orang tersebut memang  merupakan target operasi  anti narkoba, dan ditangkap beserta barang buktinya..
 Adegan kekerasan, penganiayaan,  atau gambar korban yang mengerikan, tiap  hari bisa kita saksikan di hampir seluruh stasiun tv swasta. Pelakunyapun beragam. Kadang penjahat, kadang warga masyarakat, dan tak jarang polisi. Peristiwanya sendiri ada yang direkam kamera ketika kejadiannya berlangsung. Tapi ada pula yang reka ulang. Jadi adegannya sering mirip “film action”. Tapi ada pula yang seperti sandiwara.    
Tayangan kriminalitas dan kekerasan memang sudah menjadi menu harian di tv. Tayangan itu hadir di tengah keluarga kita. Masuk ke ruang tamu, bahkan kamar tidur. Penayangannyapun tak mempedulikan waktu. Ada yang malam, sore, ataupun  siang hari. Seakan publik terus menerus haus berita kriminal dan kekerasan. Anak-anakpun seakan layak belajar dan mengenal berbagai jenis kekerasan dan kriminal. Pengelola tv sepertinya kurang peka, bahwa di waktu siang dan sore, bagi anak-anak tv merupakan “teman bermain“, “guru“, bahkan pengganti orang tua yang masih bekerja.  Lalu bagaimana jadinya,  jika tiap hari diberi suguhan tayangan kekerasan dan kriminalitas?
Dahulu adegan kekerasan hanyalah diperlakukan sebagai bumbu sebuah tayangan atau berita. Sekarang ketika pertelevisian bersaing ketat, kekerasan dan kriminalitas telah menjadi menu favorit yang dikemas, dijual, dan diberi acara tersendiri di hampir sebagian besar stasiun tv. Selama ratingnya tinggi, pengelola tv seakan merasa “sah“ menayangkan adegan demikian.

Seing is believing
Padahal tayangan tv menurut berbagai studi terbukti mempunyai pengaruh yang kuat. Dengan melihat, orang menjadi lebih percaya. Apa yang nampak di tv dianggap sebagai realitas yang bermakna. Gerbner dalam Growing up with television (1994), juga Porter dalam On Media Violence (1999),  menuturkan, efek tayangan kekerasan di tv  memilliki efek segera atau  jangka pendek, dan efek jangka panjang.
            Munculnya rasa takut dan ngeri, kemudian tekanan darah naik, merupakan contoh efek segera dari emotional effect dan physiological effect.  Namun beberapa ahli juga menunjukan potensi adanya imitasi atau peniruan sebagai efek segera yang sering muncul  di masyarakat atas tayangan kekerasan di tv.
Sedangkan efek jangka panjangnya adalah habituation. Yaitu menjadi terbiasa dengan kekerasan dan kriminal. Orang menjadi tidak peka, permisive,  dan tolerance. Bahkan Poter (1999)  menunjukkan adanya learning social norms, karena tayangan yang terus menerus, kekerasan bisa dianggap sebagai cara yang dibenarkan untuk menyelesaikan masalah. Makanya tak heran kalau  masyarakat Indonesia menjadi “makin akrab” terhadap berbagai bentuk kekerasan. Terlebih kalau obyeknya  tersangka pelaku kriminal. Untuk mereka, dihajar, ditembak, dibunuh, bahkan dibakar hidup-hidup seakan sudah dianggap “wajar”.  Hukum, dan prasangka baik, sering tidak berlaku bagi tersangka kriminal. Apalagi mempertimbangkan, bahwa mereka itu mungkin juga korban keadaan. Di mana keadaan ekonomi dan sosial, sering mengkondisikan orang-orang tertentu untuk berbuat jahat.   Tapi pemikiran demikian tenggelam dengan “dipupuknya” budaya kekerasan oleh media massa, yang secara tak langsung juga mensosialisasikan cara berpikir pendek, tidak cerdas,  dan tidak mencerahkan.

Diatur Tanpa Membelenggu Kebebasan Pers   
            Kekerasan di tv harus diatur waktu dan cara penayangannya. Karena karakteristik tv dan radio memang sarat dengan aturan. Filosofi ini berlaku di manapun, termasuk di negara liberal sekalipun seperti Amerika dan Inggris. Dibuatnya Draf Pedoman Perilaku dan Standar Program Penyiaran oleh KPI hendaknya direspon dengan bijak dan hati-hati. Disamping karena hal itu berdasar amanat UU No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, pengaturan demikian juga didasarkan pada kepentingan penonton.
            Di negara liberal seperti Inggris, tayangan program  yang mengandung kekerasan  juga diatur. Regulasi itu menyangkut cara menampilkannya (the portrayal of violence), maupun jadwal penayangannya (scheduling programmes). OFCOM, nama baru Komisi Penyiaran Inggris  yang berlaku sejak 1 April 2004 lalu, dalam salah satu aturannya berbunyi “programmes containing violent material is unsuitable for children will not be shown before the watershed time of 9 pm”.  Ada lagi aturan yang menyebutkan “in reporting or depicting violent crime, programmes will avoid glamourising it or promoting fear of crime.” Jadi di sana program yang mengandung kekerasan tidak boleh ditayangkan pada saat anak-anak sedang banyak menonton. Kemudian,  berita kekerasan dan kriminal, juga harus menghindarkan kesan yang mengagumkan, pantas dicontoh, atau membangkitkan rasa takut. 
            KPI nampaknya ingin melakukan hal serupa sebagaimana komisi sejenis di luar negeri. Makanya semua pihak harus siap kalau nanti berbagai isi tv dan radio akan diatur. Termasuk ketentuan tentang imparsialitas program berita, persoalan kesopanan isi program, periklanan, sponsorship, hingga penempatan waktu tayang. Persoalannya apakah pengaturan demikian itu berarti pembelengguan terhadap kebebasan pers? Sebagaimana sempat  dikhawatirkan kalangan Assosiasi Televisi Swasta Indonesia (Kompas, 27 Mei 2004).
Yang jelas,  karakteristik tv dan radio memang  sarat dengan aturan detail. Tapi KPI tidak boleh seenaknya dalam membuat regulasi. Tetap harus memperhatikan prinsip yang paling dasar. Yaitu tidak boleh bertentangan dengan kebebasan pers yang telah dijamin UUD 1945  pasal 28F, dan UU no 40 th 1999 pasal 4 dan 5. Juga harus berpegang pada aturan mengenai tugas dan keawajiban KPI,  menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia (UU no 32 th 2002 tentang Penyiaran pasal 8 ayat 3).  Dengan demikian lembaga penyiaran tetap menjadi kekuatan kontrol terhadap kekuasaan, serta menyajikan informasi yang menjadikan warga negara mampu memainkan peran demokratiknya secara signifikan.
  Namun demikian aturan yang dibuat KPI justru sebaiknya harus detail dan operasional. Dengan begitu akan terhindar dari pasal karet. Tapi sebagai lembaga baru, membuat aturan yang detail memang tidak mudah. Apalagi kerjaan KPI untuk waktu sekarang amat banyak dan menumpuk. Belum lagi kalangan penyiaran juga bisa shock, terkaget-kaget, dengan aturan yang detail. Karena sudah terbiasa unregulated, tiba-tiba dihadapkan pada aturan yang rinci. Makanya tak heran kalau Draf Pedoman Perilaku dan Standar Program yang dibuat KPI itu tidak sedetil dan selengkap Programme Code  yang dimiliki negara maju  seperti Inggris, Perancis, Jerman, maupun Yunani. Draf dari KPI malah menyederhanakan dengan  menggabungkan aturan untuk tv dan radio. Padahal kedua medium penyiaran tersebut memiliki karakteristik dan aturan yang berbeda, dan di banyak negara diatur secara terpisah.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar